Anda di halaman 1dari 43

1

UJI EFEKTIVITAS ANTIFUNGI SARI DAUN SAMBILOTO


(Andrographis paniculata) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
Candida albicans

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebagai syarat untuk melakukan penelitian

OLEH :

AGUS INDRA JAYA


P00341017003

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2019
2

HALAMAN PERSETUJUAN

UJI EFEKTIVITAS SARI DAUN SAMBILOTO (Andrographis


paniculata) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
Candida albicans

Disusun dan Diajukan Oleh :


AGUS INDRA JAYA
P00341017003

Telah Mendapat Persetujuan Tim Pembimbing


Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Fonnie E. Hasan, DCN.,M.kes Ratih Feraritra Danu Atmaja,S.Si.,M.Sc


NIP. 196701311989032002 NIP.199002032019022001

Mengetahui:
Ketua Jurusan Teknologi Laboratorium Medis

Anita Rosanty, SST., M.Kes


NIP.196711171989032001
3

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
DAFTAR LAMPIRAN GAMBAR ...................................................................... 5
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
A. Latar Belakang ............................................................................................ 6
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 10
A. Tinjauan Umum Tentang Candida Albicans.............................................. 10
B. Tinjauan Umum tentang Tanaman Sambiloto ........................................... 16
C. Tinjauan Umum Tentang Pemeriksaan Uji Efektivitas ............................. 22
D. Tinjauan Umum Tentang Uji Antifingi...................................................... 25
BAB III KERANGKA KONSEP ....................................................................... 28
A. Dasar Pemikiran ......................................................................................... 28
B. Kerangka Pikir ........................................................................................... 29
C. Variabel Penelitian ..................................................................................... 30
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ............................................... 30
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 31
A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 31
B. Tempat dan Waktu penelitian .................................................................... 31
C. Subjek dan Objek Penelitian ...................................................................... 31
D. Bahan Uji ................................................................................................... 31
E. Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 32
F. Instrumen Penelitian................................................................................... 32
G. Jenis Data ............................................................................................... 38
4

H. Pengolahan Data ..................................................................................... 39


I. Analisis Data .............................................................................................. 39
J. Penyajian Data ........................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41
5

DAFTAR LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 2.1 Koloni Candida albicans pada media SDA


Gambar 2.2Morfologi Candida albicans dilihat pada mikroskopik
Gambar 2.3 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)
6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jamur merupakan organisme saprofitik yang tersebar luas di alam (tanah
dan tanaman); beberapa jamur hidup pada kulit atau mulut manusia (misalnya
Candida). Dari 50.000 spesies yang telah diketahui, beberapa spesies merupakan
patogen pada manusia dan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, mulai
dari keterlibatan superfisial kulit, rambut, atau kuku (misalnya ringworm,
pitiriosporiasis) atau membran mukosa (misalnya Candida), hingga keterlibatan
jaringan subkutan (misalnya misetoma), dan invasi lokal atau diseminata dalam
tubuh (mikosis sistemik). (Mandal et al., 2008)
Contoh penting mikosis sistemik adalah kandidiasis. Kandidiasis
merupakan infeksi yang paling sering di antara seluruh infeksi jamur; sebagian
besar bersifat superfisial yang melibatkan kulit atau membran mukosa. Sebagian
besar infeksi disebabkan Candida albicans yang hidup komensal pada mulut dan
usus manusia. (Mandal et al., 2008). Penyakit ini dapat ditemukan diseluruh dunia
dan dapat menyerang semua umur baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan
beberapa kasus yang terjadi, penderita kandidiasis ini 70% perempuan. Salah satu
contoh kasusnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Jon Farizal (2017),
penelitian ini membuktikan bahwa jamur Candida albicans juga dapat ditemukan
pada pasien saliva wanita penderita diabetes militus.
Salah satu bentuk kandidiasis adalah kandidiasis vaginalis. Kandidiasis
vulvovaginitis menyerang di daerah kewanitaan biasanya menimbulkan iritasi,
rasa gatal, dan pengeluaran sekret berlebihan. Menurut WHO, bahwa 75% dari
seluruh wanita di dunia pasti akan mengalami keputihan paling sekali dalam
seumur hidup dan sebanyak 45% akan mengalaminya 2 kali atau lebih dan
keputihan paling sering terjadi disebabkan oleh Candida albicans (Unoviana,
2003). Kemudian C. albicans juga dapat menyerang bagian kuku dengan
terjadinya bengkak kemerahan dan penebalan kulit disekitar kuku yang akhirnya
7

terjadi pengelupasan kuku merupakan indikasi dari infeksi kandidiasis kuku.


(Jawetzet al.,1996; Kusumaningtyas, 2004).
Pada rongga mulut orang dewasa terdapat sekitar 30-40 %, pada neonatus
45%, pada anak-anak sehat 45-65%, pada pasien yang memakai gigi palsu lepasan
50-65%, pada orang-orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang 65-
88%, pada pasien leukimia akut yang menjalani kemoterapi 90%, pada pasien
HIV/AIDS 95%. (D.Williams & M.lewis, 2011)
Di Indonesia, kasus kandidiasis kutis menempati urutan ketiga dalam
insidensi dermatomikosis, tetapi pada beberapa kota, yaitu Makassar, Medan, dan
Denpasar menempati urutan pertama dalam insiden dermatomikosis. (Seru S,
Suling PL, dan Pandeleke H, 2013). Kim & Sudbery (2011) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa dari 6.545 penderita HIV/AIDS, sekitar 44.8% adalah
penderita kandidiasis. Kemudian penelitian lain yang dilakukan oleh Shinta Dewi
Rahmadhani Soetojo dan Linda Astari (2016), menujukkan pada 20.975 pasien
yang datang ke URJ Kesehatan kulit dan Kelamin di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya dari tahun 2011-2013, 137 diantaranya menderita infeksi kandida pada
kulit dan kuku atau sekitar 0,65%.
Untuk mengatasi infeksi kandidiasis penanganan yang dapat dilakukan
salah satunya adalah dengan pemberian obat antifungi. Obat antifungi antara lain
adalah golongan polyene, contohnya amfoterisin B yang diproduksi oleh
Streptomyces. antibiotik ini bekerja dengan mengikat sterol pada membran plasma
fungi sehingga membran plasma sel menjadi sangat permeabel dan sel menjadi
mati. Obat lain adalah griseofulvin yang bekerja dengan mengikat keratin pada
kulit, folikel pada rambut, dan kuku dengan cara mengeblok penggabungan
mikrotubul pada mitosis sehingga menghambat reproduksi fungi (Pratiwi, 2008).
Penanganan masalah ini juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan obat-obat
tradisional yang telah dilakukan secara turun-temurun dan merupakan alternatif
pengobatan yang relatif murah, mudah diperoleh, efek samping yang kecil serta
toksisitas yang rendah. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan alternatif
pengobatan cenderung dilakukan masyarakat seiring dengan mahalnya obat-
obatan yang terbuat dari bahan kimia atau sintesis. Hal ini dipicu dengan semakin
8

berkembangnya kesadaran masyarakat ke alam (back to nature) (Subroto, 2006).


Salah satu tanaman obat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat antifungi adalah
tanaman sambiloto (Andrographis paniculata).
Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan salah satu tanaman obat
yang digunakan dalam pengobatan tradisional dan telah banyak dibudidayakan di
Indonesia. Sambiloto merupakan tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat yang
tumbuh liar ditempat terbuka, seperti dikebun, tepi sungai, tanah kosong atau
dipekarangan rumah. Sambiloto memiliki beberapa kandungan senyawa aktif
diantaranya batang: flavonoid dan lakton, daun: mengandung zat pahit
andrografolida yang merupakan golongan diterpenoid, juga mengandung
flavonoid, saponin, alkaloid, serta tannin dan kandungan kimia lain seperti lakton,
paniculin, dan kalmegin. Diantara senyawa aktif tersebut, andrographolide
merupakan kadar tertinggi pada daun sambiloto. Semua kandungan itu diketahui
memiliki aktivitas antijamur, antibakteri, antivirus, anti radang, antioksida,
antiparasitik, dan antialergi. (Kumar et al., 2012).
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang di atas, maka peneliti
tertarik untuk melakukan pelititian yang berjudul Uji efektivitas antifungi sari
daun sambiloto terhadap pertumbuhan C. albicans penyebab kandidiasis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan
yaitu “Bagaimanakah efektivitas antifungi sari daun Sambiloto (Andrographis
paniculata) Terhadap Pertumbuhan jamur C. albicans ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas pemberian sari daun sambiloto berbagai
konsentrasi terhadap pertumbuhan Candida albicans.
2. Tujuan Khusus
9

a. Dilakukan uji efektivitas sari daun sambiloto (Andrographis paniculata)


terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans pada konsentrasi 20%,
40%, 60%, 80%, dan 100% dengan metode Difusi Agar.
b. Diketahui efektivitas sari daun sambiloto (Andrographis paniculata)
terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans pada konsentrasi 20%,
40%, 60%, 80%, dan 100%.
c. Diketahui konsentrasi yang efektif dari sari daun sambiloto
(Andrographis paniculata) terhadap pertumbuhan jamur Candida
albicans.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi mahasiswa
khususnya Jurusan Teknologi Laboratorium Medis dan dapat menjadi bahan
bacaan bagi institusi dalam kegiatan proses belajar

2. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman dalam melakukan


penelitian kesehatan khususnya tentang efektivitas sari daun sambiloto sebagai
antifungi terhadap pertumbuhan Candida albicans

3. Bagi masyarakat

Daun sambiloto yang selama ini dipercaya dapat mengobati penyakit, dengan
adanya penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan manfaat sari daun
sambiloto sebagai antifungi terhadap pertumbuhan Candida albicans.

4. Bagi Peneliti Lain

Hasil dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk


penelitian selanjutnya.
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Candida Albicans


1. Pengertian
Candida albicans adalah spesies jamur patogen dari golongan
deuteromycota. Spesies cendawan ini merupakan penyebab infeksi oportunistik
yang disebut kandidiasis pada kulit, mukosa, dan organ dalam manusia. Beberapa
karakteristik dari spesies ini adalah berbentuk seperti telur (ovoid) atau sferis
dengan diameter 3 - 5 µm dan dapat memproduksi pseudohifa. Spesies Candida
albicans memiliki 2 jenis morfologi, yaitu bentuk seperti khamir dan bentuk hifa.
Selain itu, fenotipe atau penampakan mikroorganisme ini juga dapat berubah dari
berwarna putih dan rata menjadi kerut tidak beraturan, berbentuk bintang,
lingkaran, bentuk seperti topi, dan tidak tembus cahaya. Jamur ini memiliki
kemampuan untuk menempel pada sel inang dan melakukan kolonisasi. Candida
albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam
dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi
blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu.
(Tjampakasari CR, 2006).
Kandidiasis adalah infeksi jamur yang terjadi karena tidak terkontrolnya
pertumbuhan dari spesies Candida (Akpan & Morgan, 2002), yang dapat
menyebabkan sariawan (Vinces, 2004), lesi pada kulit (Bae et al, 2005),
vulvaginistis (Wilson, 2005), candiduria (Kobayashi et al, 2004), gastrointestinal
candidiasis yang menyebabkan gastriculcer (Brzozowski et al, 2005), atau bahkan
dapat menjadi komplikasi kanker (Dinubile et al, 2005).
Kandidiasis yang disebabkan oleh Candida albicans merupakan infeksi
jamur dengan insiden tertinggi disebabkan oleh infeksi oportunistik. Infeksi pada
seluruh tubuh manusia yang disebabkan oleh Candida dapat berupa akut, sub akut
atau kronis. (Mutiawati, 2016).
11

2. Klasifikasi
Klasifikasi Candida menurut C. P. Robin Berkhout (1923) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphilum : Saccharomycotina
Class : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Sinonim : Candida stellatoide atau Oidium albicans
(Komariah, 2012)

(a) Gambar 2.1 (b) Gambar 2.2


(a) Koloni Candida albicans pada media agar Sabouraud Dextrose
Agar
(b) Morfologi Candida albicans dilihat secara mikroskopis

3. Morfologi dan Identifikasi


Candida mempunyai beberapa bentuk elemen yaitu sel ragi
(blatospora/yeast), berbentuk intermedia/pseudohifa dan hifa. Sel ragi mempunyai
ciri berbentuk lonjong, bulat atau bulat lonjong dengan ukuran 2 - 5 µ x 3 - 6 µ
12

hingga 2 - 5,5 µ x 5 - 28 µ. Candida akan memperbanyak diri dengan membentuk


tunas yang terus memanjang membentuk hifa semu. Pertumbuhan optimum terjadi
pada temperatur berkisar antara 20˚ C - 38˚ C dan pH antara 2,5 - 7,5.
Pertumbuhan Candida tergolong cepat yaitu sekitar 48 - 72 jam. Candida albicans
dapat dikenali dengan ciri chlamydospore, yaitu kemampuan untuk membentuk
tabung benih/germ tubes dalam serum atau dengan terbentuknya spora besar
berdinding tebal yang terletak di ujung hifa. (Kusumaningtyas, 2007; Komariah,
2012; Mutiawati, 2016).
Pada biakan: Pada media padat, agar sabouraud suhu 25˚ C setelah 24 -
48 jam, Candida membentuk koloni seperti ragi (yeast-like colony). Koloni
tumbuh berbentuk bulat, menonjol, opaque, permukaan halus, licin, warna putih
kekuningan. Setelah satu bulan warna koloni menjadi krem, licin atau berkerut,
bagian tepi koloni ada hifa semu sebagai benang yang masuk ke dalam dasar
medium. Di dalam jaringan tubuh manusia, blastospora tubuh budding dan
pseudohyphae. (Irianto, 2014)
4. Epidemiologi
Candida albicans dapat di temukan pada manusia diseluruh dunia, terutama
menimbulkan penyakit pada golongan usia lanjut, kaum wanita dan bayi. Candida
albicans pada tubuh manusia dapat bersifat dua macam: sebagai saprofit yang
terdapat pada tubuh manusia tanpa menimbulkan gejala apapun, baik obyektif
maupun subyektif. Atau sebagai parasit yang dapat menimbulkan infeksi primer
atau sekunder terhadap kelainan lain yang telah ada. Sebagai saprofit, candida
albicans pada tubuh manusia dapat di jumpai di kulit, selaput lendir mulut,
saluran pencernaan, saluran pernapasan, vagina dan kuku. (Irianto, 2014).
5. Pathogenesis
Jamur Candida albicans merupakan mikroorganisme endogen pada rongga
mulut, traktus gastrointestinal, traktus genitalia wanita dan kadang - kadang pada
kulit. Infeksi Candida albicans pada umumnya merupakan infeksi oportunistik,
yaitu penyebab infeksinya dari flora normal host atau dari mikroorganisme
penghuni sementara ketika host mengalami kondisi immunocompromised. Dua
faktor penting pada infeksi oportunistik adalah adanya paparan agen penyebab
13

dan kesempatan terjadinya infeksi. Faktor predisposisi meliputi penurunan


imunitas yang diperantarai oleh sel, perubahan membran mukosa dan kulit serta
adanya benda asing.
Candida albicans juga mengandung faktor virulensi yang dapat
berkontribusi terhadap kemampuannya untuk menyebabkan infeksi. Faktor
virulensi utama meliputi; permukaan molekul yang memungkinkan adheren
organisme pada permukaan sel host, asam protease dan fosfolipase yang terlibat
dalam penetrasi dan kerusakan dinding sel, serta kemampuan untuk berubah
bentuk antara sel yeast dengan sel hifa. Infeksi Candida dapat dikelompokkan
menjadi tiga meliputi:
a. Infeksi candidiasis superfisial
Candidiasis superficial dapat mengenai mukosa, kulit dan kuku.
b. Infeksi candidiasis mukokutan
Candidiasis mukokutan melibatkan kulit dan mukosa rongga mulut atau
mukosa vagina.
c. Infeksi candidiasis sistemik
pada candidiasis sistemik dapat melibatkan traktus respirasi bawah dan
traktus urinary dengan menyebabkan candidaemia.
Lokasi yang sering pada endokardium, meninges, tulang, ginjal dan
mata (Lestari, 2015)
6. Pengobatan
Pengobatan yang dapat diberikan untuk mengatasi infeksi yang di sebabkan
infeksi jamur Candida albicans adalah sebagai berikut:
a. Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan antibiotik-antibiotik antijamur
yang dihasilkan oleh Streptomyces nodosus. Antibiotik ini bersifat
fungistatik atau fungisidal tergantung dari dosis dan sensitivitas jamur
yang dipengaruhi.
Mekanisme kerja dari Amfoterisin B adalah bekerja dengan cara
berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan
ini akan menyebabkan membran sel bocor, sehingga terjadi kehilangan
14

beberapa bahan intra sel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada
sel. Efek samping dari obat ini adalah sering menimbulkan kulit panas,
keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot,
flebitis, kejang dan penurunan fungsi ginjal. (Irianto, 2014).
b. Nistatin
Merupakan suatu antimikotik golongan polien, yang telah diisolasi
dari Streptomyces naursei pada tahun 1949 dan bersifat fungidal. Sebagai
obat pertama yang dipasarkan, maka nistatin paling banyak dipakai dan
dianggap obat pilihan untuk kandida.
Pada vaginitis, nistatin diberikan dalam bentuk tablet vagina atau
pesarium; dengan cara dimasukkan sedalam - dalamnya ke dalam vagina,
dua kali sehari selama dua minggu. Apabila ada infestasi Candida albicans
di saluran pencernaan, maka perlu diberikan tablet nistatin (500.000 µ)
dengan dosis 4 x 1 tablet sehari selama 2 minggu untuk mencegah
autoinfeksi. (Irianto, 2014).
c. Klotrinazol (Canesten)
Bersifat fungistatik pada dosis tinggi. Daya kerjanya berdasarkan
kemampuannya untuk menghalangi terbentuknya asam amoni esensial
jamur, terutama pada dermatofita dan kandida di samping jamur lain-
lainnya. Dosis yang dianjurkan satu pesarium sehari selama 6 hari atau dua
pesarium sehari selama 3 hari. Pengobatan sistemik secara oral dengan
dosis terapi, ternyata menimbulkan berbagai efek samping yang
mengganggu penyelesaian pengobatan tersebut. (Irianto, 2014).
d. Mikonazol (Daktarin)
Berkhasiat terhadap kandida, dermatofita, serta berbagai bakteri
Gram positif. Daya kerjanya adalah dengan mengadakan disintegrasi
jamur. Dosis yang dianjurkan adalah satu pesarium dimasukkan dua kali
sehari selama tujuh hari. (Irianto, 2014).
e. Flusitosin
Pirimidin terfluorinasi sintetik ini menghambat Candida sp. Obat
ini mengganggu sintesis protein. Flusitosin diabsorpsi dengan baik secara
15

oral dan dapat diberikan secara intravena. Supresi sumsung - sumsung


tulang, trombositopenia, dan uji fungsi hati abnormal merupakan kejadian
yang tidak diharapkan.
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan cara flusitosin masuk ke
dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase, di dalam sitoplasma
bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi 5-
fluorourasil. Sintesa protein sel jamur terganggu akibat penghambatan
langsung sintesa DNA oleh metabolit fluorourasil. Efek samping dari obat
ini adalah dapat menimbulkan anemia, leukopenia, dan trmbositopenia.
Efek samping lain adalah mual, muntah, diare dan enterokolitis yang
hebat. (Irianto, 2014).
f. Flukonazol
Merupakan suatu fluorinated bis-triazol dengan khasiat
farmakologis yang baru. Mekanisme kerja obat ini yaitu bekerja dengan cara
menghambat sintesis ergosterol membran jamur seperti ketokonazol. Efek
samping dari obat ini adalah gangguan saluran cerna paling banyak
diketemukan. Pada penderita AIDS diketemukan urtikaria, eosinofilia,
sindroma Stevens-Johnson, gangguan fungsi hati yang tersembunyi dan
trombositopenia. Dosis yang di sarankan 100 - 400 mg per hari. (Irianto,
2014).
g. Kaspofungin
Adalah antijamur sistemik dari suatu kelas baru yang di sebut
ekinokandin. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (I,3) -D-
glukan, suatu komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur. Efek
samping yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah, flushing, dan
pruritus karena lepasnya histamin. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kaspofungin dapat ditoleransi lebih baik dari pada amfoterisin B. (Irianto,
2014).
h. Ekonazol
Merupakan suatu derivat imidazol yang mempunyai struktur mirip
mikonazol. Daya kerjanya terhadap kandida menyebabkan perubahan
16

permebilitas dinding sel; penetrasi obat ini ke dalam sel kandida


menghambat sintesa asam ribonukleat dan protein, selanjutnya metabolisme
lemak pun dipengaruhi dan akhirnya reaksi ini mengakibatkan rusaknya
sistem membran intrasitoplasmik dan mengakibatkan pengendapan lemak
yang terdiri dari hasil akhir metabolisme di dalam mitokondria. Efek
samping obat dikatakan ringan, berupa gangguan gastro-intestinal, pruritus,
dan ginekomasti (pada beberapa penderita). (Irianto, 2014).

B. Tinjauan Umum tentang Tanaman Sambiloto


1. Pengertian
Tanaman sambiloto yang mempunyai nama Latin Andrographis
Paniculata Ness, kini banyak digunakan untuk berbagai pengobatan tradisional.
Tanaman ini merupakan tumbuhan berkhasiat obat, berupa ternak tegak yang
tingginya bisa mencapai 90 cm. Diperkirakan tumbuhan ini berasal dari asia
tropis. Dari India meluas ke selatan di Siam, ke timur sampai semenanjung
Malaysia, lalu ditemukan di Jawa. (Bangun, 2006).
Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan salah satu
tanaman yang banyak digunakan sebagai tanaman obat di Indonesia. Sambiloto
tumbuh sepanjang tahun karena tumbuhan ini dapat tumbuh di semua jenis tanah
seperti di kebun, tepi sungai, semak-semak, ataupun rumpun. Sambiloto
mempunyai nama daerah, seperti: Sambilata (Melayu); ampadu tanah (sumatera
Barat); sambiloto, ki pait, bidara, andiloto (Jawa Tengah) sedangkan nama
asinnya chuan xin lien (Tiongkok). (Bangun, 2006).
2. Klasifikasi
Secara taksonomi, menurut (Yuniarti, 2008) sambiloto dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Famili : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata (Burrm. f.) Ness
17

Gambar 2.3 Tumbuhan Sambiloto


3. Morfologi
Sambiloto merupakan tumbuhan liar yang memiliki banyak khasiat, yaitu
dapat mengobati berbagai macam penyakit. Karena merupakan jenis tumbuhan
liar, maka dapat ditemukan di tempat - tempat seperti kebun, tepi sungai, tanah
kosong yang lembap atau pekarangan. Batangnya disertai banyak cabang yang
berbentuk segi empat (kuadrangularis) dengan nodus yang membesar. (Bangun,
2006).
Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan silang, pangkal
meruncing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah
hijau muda, buah kapsul bentuk jorong, panjang 1,5 cm, lebar 0,5 cm, pangkal
dan ujung tajam, bila masak akan pecah menjadi 4 keping, biji gepeng, kecil -
kecil warna cokelat muda. (Bangun, 2006).
Tumbuhan sambiloto ini biasanya di dataran rendah sampai ketinggian
700 m di atas permukaan laut. Sambiloto dapat tumbuh baik pada curah hujan
hujan 2000 - 3000 mm/tahun dan suhu udara 25 - 32˚ C. Kelembapan yang di
butuhkan termasuk sedang, yaitu 70 - 90 % dengan penyinaran agak lama.
(Bangun, 2006).
4. Kandungan
Tumbuhan ini kaya kandungan kimia, seperti laktone pada daun dan
cabang berupa deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit),
neoandrographolide,14-deoxy-11,12-didehydroandrographolide, dan homo-
andrographolide. flavonoid pada akar berupa polymethoxyflavone, andrographin,
18

paniculin, mono-o-methylwithin, dan apigenin-7,4-dimethyl ether, alkane, ketone


dan aldehyde, kalium, kalsium, natrium, dan asam kersik, damar, andrografolida
sekurangnya 1%, kalmegin (zat amorf), serta hablur kuning. Rasanya pahit sampai
sangat pahit. Tumbuhan ini bersifat antibiotik, antipiretik, antiradang,
antibengkak, antidiare, dan hepatoprotektif. Herba ini efektif untuk mengobati
infeksi dan merangsang phagocytosis (immunostimulant). Mempunyai efek
hipoglikemik, hipotermia, diuretik, antibakteri dan analgetik. (Adi, 2008).
Senyawa-senyawa tersebut berperan sebagai antijamur yang bekerja
dengan mempengaruhi kondisi rigitas dinding sel, menurunkan tegangan
permukaan membran sterol dari dinding sel C. albicans, dan merusak dinding sel.
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan Nozelia Ekya Salma Dimar
(2017) bahwa infusa batang & daun sambiloto memiliki efek fungisidal terhadap
C. albicans.
Penelitian lain juga yang mendukung adalah penelitian yang telah
dilakukan oleh Indah Woro Utami (2016) menunjukkan bahwa ekstrak daun
sambiloto (Andrographis paniculata) terbukti dapat memberikan daya hambat
pada jamur Candida albicans dengan adanya zona hambat terhadap pertumbuhan
jamur Candida albicans. Disamping itu daun sambiloto mengandung saponin,
alkaloid, dan tannin. Kandungan kimia lainnya adalah lactone, paniculin,dan
kalmegin.
a. Flavonoid
Flavonoid juga dikenal sebagai Vitamin P dan Citrin. Flavonoid
merupakan turunan dari senyawa polifenol, sehingga warnanya akan
berubah bila ditambah dengan basa atau ammonia. Flavonoid sangat
efektif digunakan sebagai antioksidan, selain itu juga digunakan
sebagai antijamur karena memiliki gugus fenol yang dapat
mendenaturasi protein sehingga merusak membran sel yang bersifat
tidak bisa diperbaiki lagi (Pelczar, 1988; Astawandan Andreas, 2008).
b. Saponin
Saponin merupakan salah satu tipe glikosida yang banyak
ditemukan di tanaman, pada buah dan sayur akan memberikan rasa pahit
19

(Astawan dan Andreas., 2008). Senyawa ini akan menghasilkan busa bila
dikocok dalam air dan menyebabkan iritasi pada selaput lendir (Claus et
al., 1970). Saponin bersifat surfaktan yang berbentuk polar yang bekerja
dengan merusak lapisan membran sel pada jamur menyebabkan gangguan
permeabilitas membran sel sehingga proses difusi zat-zat yang
dibutuhkan oleh jamur terganggu dan akhirnya membengkak dan pecah
(Sugianitri, 2011).
c. Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan,
berasa pahit, pada saluran cerna bekerja dengan menggumpalkan protein
atau senyawa organik lain termasuk alkaloid dan asam amino sehingga
pembentukan dinding sel kurang sempurna dan mencegah penguraian
bakteri. Tanin banyak digunakan sebagai bahan pewarna, perekat, dan
mordan. Selain itu senyawa tannin dari tumbuhan juga banyak
digunakan sebagai obat-obatan (Rizky,2013).
d. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa organik yang bersifat basa dan berasa
pahit karena mengandung atom N (Nitrogen) dalam struktur aromatis.
Alkaloid biasanya beracun sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang
pengobatan. Sifat basa yang dimiliki alkaloid kemungkinan dapat
menghambat pertumbuhan jamur, karena umumnya jamur tumbuh pada
pH asam (4,5 –6,5) (Rahayu, 2009).
5. Manfaat
Tumbuhan sambiloto banyak digunakan sebagai bahan obat oleh
masyarakat Indonesia. Kandungan kimianya dapat digunakan sebagai salah satu
obat alternatif tradisional. Menurut Kumar et al., (2012) tumbuhan ini mempunyai
efek farmakologis sebagai antiflamasi, antipiretik, antioksidan, antimikroba,
antiparatistik, serta antidiabet.
a. Antiinflamasi
Antiflamasi merupakan obat yang berkhasiat untuk
mencegah atau melawan peradangan pada tubuh (Sumardjo, 2008)
20

b. Antipiretik
Antipiretik adalah obat yang berkhasiat untuk menurunkan
suhu tubuh yang tinggi ke keadaan normal, seperti demam pada
malaria. Antipiretik dari bahan sintetis bisanya juga dapat digunakan
sebagai analgetik yakni obat untuk mengurangi rasa sakit (Sumardjo,
2008)
c. Antioksidan
Antioksidan adalah obat yang bekerja untuk menghambat
terjadinya oksidasi didalam tubuh. Terjadinya oksidasi yang banyak
didalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan, karena berbagai reaksi
oksidasi normal tang terjadi didalam tubuh saat makanan dicerna
akan membentuk radikal bebas yang kemudian terjadi reaksi berantai
yang memicu kerusakan atau kematian sel (Anonim, 2013).
d. Antiparasitik
Antiparasitik dibagi menjadi empat yakni antimalaria,
antiamuba, anti cacing, dan antifungi. Antimalaria merupakan obat
untuk mengobati penyakit malaria yang disebabkan oleh parasite bersel
tunggal (protozoa). Antiamuba obat yang digunakan untuk mengobati
penyakit disentri amuba yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica.
Anticacing adalah obat untuk membunuh parasite cacing pada manusia
dan hewan. Antifungi adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi
yang disebabkan oleh jamur (ISO, 2012).
e. Antidiabetik
Antidiabetik adalah obat yang digunakan untuk pengobatan
penyakit Diabetes Mellitus (DM), biasanya dikonsumsi secara oral.
Obat ini hanya memberikan efek diet dan aktivitas cukup dalam
terapi pengobatan DM (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005)
f. Antimikroba
Antimikroba (antiinfeksi) termasuk juga antiparasit adalah obat
yang digunakan untuk terapi pengobatan penyakit yang disebabkan
oleh mikroba atau invasi parasit (ISO, 2012).
21

6. Mekanisme Kerja Antifungi


Anti jamur merupakan zat yang berkhasiat untuk penanganan penyakit
yang disebabkan oleh jamur (fungi). Aktivitas anti jamur terhadap Candida
albicans berhubungan erat dengan senyawa yang terkandung dalam tanaman obat.
Senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan merupakan hasil metabolisme
tanaman itu sendiri. Senyawa tersebut disebut juga senyawa metabolit sekunder
(Yadav dan Singh, 2012).
Senyawa anti jamur yang dihasilkan dari metabolit sekunder beberapa
tanaman dapat menyebabkan kerusakan dinding sel, perubahan permeabilitas
dinding sel, perubahan protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan
dapat menghambat sintesis asam nukleat atau protein. Hal ini dapat mengawali
terjadinya perubahan menuju matinya sel jamur tersebut (Brunton, 2006).
1. Kerusakan pada dinding sel
Dinding sel merupakan penutup pelindung bagi sel, juga
berpartisipasi di dalam proses-proses fisiologis tertentu. Struktur dinding sel
dapat dirusak dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya
setelah selesai terbentuk. (Brunton, 2006).
2. Perubahan permeabilitas membran sel
membran sitoplasma mempertahankan dan mengatur aliran keluar
masuknya bahan-bahan tertentu di dalam sel. Membran sel mempertahankan
integritas komponen-komponen seluler. Kerusakan pada membran ini akan
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. (Brunton,
2006).
3. Perubahan molekul protein dan asam nukleat
Hidup suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul
protein dan asam nukleat dalam keadaan ilmiahnya. Kondisi atau substansi
yang dapat mengubah keadaan ini, yaitu mendenaturasikan protein dan asam
nukleat sehingga dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu
tnggi dan konsentrasi pekat berbagai zat kimia dapat mengakibatkan
denaturasi irreversible komponen-komponen yang vital ini. (Brunton,
2006).
22

4. Penghambat kerja enzim


Berbagai macam enzim di dalam sel merupakan sasaran potensial
bagi suatu agen penghambat. Banyak zat kimia yang telah diketahui dapat
mengganggu reaksi biokimiawi suatu enzim. Penghambatan ini dapat
mengakibatkan terganggunya metabolisme sel sehingga sel tersebut bisa
mati. (Brunton, 2006).
5. Penghambat sintesis asam nukleat dan protein
Gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau fungsi
DNA, RNA, dan protein dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel,
karena zat-zat tersebut memiliki peranan penting dalam proses
mempertahankan kehidupan suatu sel yang normal. (Brunton, 2006).

C. Tinjauan Umum Tentang Pemeriksaan Uji Efektivitas


1. Uji Daya Hambat atau Efektivitas
Uji efektivitas mikroorganisme merupakan suatu metode
untuk menentukan tingkat kerentanan fungi terhadap zat antifungi dan
untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antifungi.
Metode uji efektivitas fungi adalah metode cara bagaimana mengetahui
dan mendapatkan produk alam yang berpotensi sebagai bahan antifungi
serta mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan dan
mematikan fungi pada konsentrasi yang rendah. Uji efektivitas fungi
merupakan satuan metode untuk menetukan tingkat kerentanan fungi
terhadap zat antifungi dan untuk mengetahui senyawa murni yang
memiliki aktivitas antifungi.
Pada umumnya metode yang digunakan dalam uji efektivitas
mikroorganisme adalah metode difusi agar yaitu dengan cara mengamati
daya hambat pertumbuhan mikroorganisme oleh ekstrak atau sari yang
diketahui dari daerah disekitar kertas cakram yang tidak ditumbuhi oleh
mikroorganisme. zona hambat pertumbuhan inilah yang menunjukkan
efektifitas fungi terhadap bahan antifungi. (Dwijoseputro, 2005).
Diameter zona hambatan pertumbuhan fungi menunjukkan
efektivitas fungi terhadap zat antifungi. Dikatakan bahwa semakin luas
23

diameter zona hambatan yang terbentuk maka semakin efektif zat


antifungi tersebut. (Hastowo, 1992)
Nilai diameter zona hambatan dianalisa secara deskriptif
berdasarkan kategori respon hambat:
1.Resistensi :<12 mm
2.Intermediet :13-17 mm
3.Sensitive :>18 mm

2. Media Pertumbuhan
Media adalah bahan yang terdiri dari campuran zat-zat
makanan(nutrisi) baik bahan alami maupun buatan, yang di perlukan
mikroorganisme untuk perkembangbiakan di laboratorium secara
invitro. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekul-
molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Syarat media
yang baik harus berupa molekul-molekul rendah dan mudah larut
dalam air, nutrient dalam media harus memenuhi kebutuhan dasar
mikroorganisme yang meliputi air, karbon, energy, mineral dan
factor tumbuh, tidak mengandung zat-zat penghambat dan media harus
steril (Yuniarti, 2014).
Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang
terdiri atas campuran nutrisi (nutrient) yang digunakan oleh suatu
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembangbiak pada media tersebut.
Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi pada media berupa molekul-
molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel-nya. Dengan
media pertumbuhan juga bisa digunakan untuk mengisolasi
mikroorganisme, identifikasi dan membuat kultur murni. Komposisi
media pertumbuhan dapat dimanipulasi untuk tujuan isolasi dan
identifikasi mikroorganisme tertentu sesuai dengan tujuan masing-masing
pembuatan suatu media.
Sabouraud Dextrose Agar (SDA) merupakan modifikasi dari
Dextrose Agar dengan Sabouraud. SDA digunakan untuk budidaya
24

jamur patogen & komensal dan ragi. Konsentrasi dekstrosa yang tinggi dan
pH asam dari rumus memungkinkan selektivitas fungi. Sabouraud
Dextrose Agar digunakan untuk menentukan kandungan mikroba dalam
kosmetik, juga digunakan dalam evaluasi mikologi makanan, dan secara
klinis membantu dalam diagnosis ragi dan jamur penyebab infeksi.
a. Jenis Media Sabouraud Dextrose Agar
1) Menurut konsistensinya : Media Sabouraud Dextrose
Agar merupakan media ber-
bentuk padat (solid).
2) Menurut fungsinya : Media Sabouraud Dextrose
Agar merupakan media selektif
untuk pertumbuhan jamur dan
menghambat pertumbuhan
bakteri.
3) Menurut bahan penyusunnya : Media Sabouraud Dextrose
Agar tersusun dari bahan
sintetis.
4) Menurut wadahnya : Media Sabouraud Dextrose
Agar merupakan media yang
disimpan dalam plate (cawan
petri).
b. Fungsi Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Adapun fungsi media secara umum yaitu:
1) Isolasi mikroorganisme menjadi kultur murni
2) Memanipulasi komposisi media pertumbuhannya
3) Menumbuhkan mikroorganisme
4) Memperbanyak jumlah
5) Menguji sifat-sifat fisiologisnya
6) Menghitung jumlah mikroba.
7) Media SDA banyak di gunakan untuk media jamur, di media
ini pertumbuhan jamur akan optimal di suhu 25-30 derajat celcius
25

c. Komposisi Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)


1) Mycological peptone 10 g
2) Glucose 40 g
3) Agar 15 g
d. Fungsi dari komponen dalam Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
1) Mycological peptone: menyediakan nitrogen dan sumber vitamin
yang diperlukan untuk pertumbuhan organisme dalam Sabouraud
Dextrose Agar.
2) Glucose: dalam konsentrasi yang tinggi dimasukkan sebagai
sumber energi
3) Agar: berperan sebagai bahan pemadate.
e. Digunakan pada mikrobiologi
Untuk budidaya jamur patogen & komensal dan ragi
1) Baik untuk isolasi terutama dermatofit
2) Digunakan untuk menentukan kandungan mikroba dalam kosmetik
3) Digunakan dalam evaluasi mikologi makanan, dan secara
klinis membantu dalam diagnosis ragi dan jamur penyebab infeksi.

D. Tinjauan Umum Tentang Uji Antifingi


Uji antifungi bertujuan untuk mengukur perkembangan pertumbuhan
jamur terhadap agen mikroba, sehingga tujuan dari uji ini adalah dapat diketahui
sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Terdapat berbagai macam metode uji
yakni metode dilusi dan difusi. (Pratiwi, 2008).
1. Metode Difusi
Menurut Pratiwi (2008) Metode Difusi dibagi menjadi 5 cara
adalah sebagai berikut :
a. Metode disc diffusion (tes Kirby & Bauer)
Untuk menentukan aktivitas agen antifungi. Piringan yang berisi
agen antifungi diletakkan pada media agar yang telah ditanami jamur yang
akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan
26

adanya hambatan pertumbuhan jamur oleh agen antijamur pada permukaan


media agar.
b. Metode E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu
konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme.
Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen
antijamur dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada
permukaan media agar yang telah ditanami jamur uji. Pengamatan
dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar
agen antijamur yang menghambat pertumbuhan jamur pada media agar.
c. Metode Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antijamur yang diletakkan
pada parit yang dibuat dengan memotong media agar dalam cawan petri
pada bagian tengah secara membujur dan jamur uji (maksimum 6 macam)
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antijamur tersebut.
d. Metode Cup-plate technique (Metode Sumuran/perforasi)
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan jamur uji dan pada
sumur tersebut diberi agen antijamur yang akan di uji kemudian aktivitas
antifungi dapat dilihat dari zona bening yang mengelilingi lubang.
e. Metode Gradient-plate technique
Pada metode ini konsentrasi agen antijamur pada media agar secara
teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan
larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan
petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang
di atasnya.
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antijamur berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji
(maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentasi tinggi ke
27

rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan jamur


maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan
hasil goresan.
Bila:
X = panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin
Y = panjang pertumbuhan aktual
C = konsentasi final agen antijamur pada total volume media mg/ml atau
µg/ml,
maka konsentrasi hambatan adalah: [(X,Y)]: C mg/ml atau µg/ml.
2. Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth
dilution) dan dilusi padat (solid dilution).
a. Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration
atau kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (Minimum bactericidal
Concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan
adalah dengan membuat seri pengenceran agen antijamur pada medium
cair yang ditambahkan dengan jamur uji. Larutan uji agen antijamur pada
kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan jamur uji
ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut
selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan jamur uji
ataupun agen antijamur, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang
tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
b. Metode dilusi padat/solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan
media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen
antijamur yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa jamur uji.
(Pratiwi, 2008).
28

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran
Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan tanaman yang berpotensi
sebagai antifungi. Sari daun sambiloto mempunyai efek daya hambat terhadap
pertumbuhan fungi Candida albicans karena memiliki kandungan flavonoid,
saponin, alkaloid dan tannin serta andrographolide sebagai antifungi. Sari daun
sambiloto dapat digunakan sebagai antifungi dengan proses pembuatan yang
sederhana dan tidak mengeluarkan biaya tinggi. Kandidiasis yang disebabkan oleh
Candida albicans merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering di
temukan di Indonesia. Proses penyembuhan pada penderita kandidiasis dapat
dilakukan dengan berbagai cara oleh masyarakat yakni dengan pemakaian obat
antifungi dari apotek atau dengan pemanfaatan obat-obat tradisional yang diolah
sendiri.
Untuk memperoleh sari daun sambiloto (Andrographis paniculata) yaitu
dengan memilih daun yang masih muda lalu dipetik dan dicuci bersih lalu
dikeringkan dan ditimbang sebanyak 500 gram dengan timbangan digital lalu di
blender, diperas dan disaring dengan kertas saring dan masukkan kedalam gelas
kimia, sari yang keluar diharapkan sebanyak 150 ml untuk dibuat konsentrasi
20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Untuk media pertumbuhan menggunakan
Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dan diinkubasi pada suhu 28˚C selama 3 x 24
jam, uji daya hambat fungi ini menggunakan metode difusi agar yaitu dengan cara
mengamati daya hambat pertumbuhan mikroorganisme oleh sari yang diketahui
dari daerah disekitar kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh
mikroorganisme. Zona hambat pertumbuhan inilah yang menunjukkan efektivitas
fungi terhadap bahan antifungi.
Untuk daerah zona hambat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
zona hambat resisten (zona hambat ≤ 12 mm), intermediate (zona hambat antara
13-17 mm), sensitifitas (zona hambat antara ≥ 18 mm), sehingga dapat
disimpulkan apakah daun sambiloto (Andrographis paniculata) efektif dalam
menghambat pertumbuhan Candida albicans atau tidak.
29

B. Kerangka Pikir
Daun Sambiloto (Andrographis Paniculata)
Memiliki Kandungan Kimia Yaitu
Flavonoid, Saponin, Alkaloid, Dan Tannin
Serta Andrographolide Sebagai Antifungi

500 Gram Daun Sambiloto Di Blender


Untuk Menghasilkan Sari Yang Pekat

Sari Daun Sambiloto Dibuat Konsentrasi


20%, 40%, 60%, 80%, 100 %.

Menghambat Pertumbuhan
Candida Albicans

Di Uji Dengan Metode Difusi


Agar Agar

Di Inkubasi Selama 3 X 24 jam


jaJam

Pengukuran Zona Hambat

Positif (+) Terbentuk Negatif (-) Tidak


Zona Hambat Terbentuk Zona Hambat

Sensitif > 18 mm Intermediate 13 – 17 mm Resisten < 12 mm

Keterangan :

Variabel diteliti :

Variabel tidak diteliti :


30

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independen)


Variabel independen pada penelitian ini yaitu zona hambat
pertumbuhan fungi Candida albicans.
2. Variabel Terikat (Dependen)
Variabel dependen pada penelitian ini yaitu efektivitas sari daun
sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap pertumbuhan fungi
Candida albicans.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif


1. Definisi operasional
a. Sari daun sambiloto (Andrographis paniculata) pada penelitian ini
yaitu sari yang diperoleh dari daun sambioloto (Andrographis
paniculata) yang telah dihaluskan menggunakan blender kemudian
disaring menggunakan kertas saring dan diperoleh sarinya
sebanyak 150 ml.
b. Candida albicans yang digunakan merupakan isolat yang diperoleh
dari Laboratorium Mikrobiologi Teknologi Laboratorium Medis
Poltekkes Kendari.
c. Daya hambat merupakan kemampuan sari daun sambiloto yang
telah dilarutkan menggunakan aquades dengan berbagai
konsentrasi yaitu 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% yang dapat
menghambat pertumbuhan Candida albicans.
d. Uji efektivitas sari daun sambiloto terhadap jamur Candida
albicans adalah uji untuk mengetahui daya hambat sari daun
sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap jamur Candida
albicans dengan metode difusi agar. Media pertumbuhan jamur
Candida albicans adalah Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
diinkubasi pada suhu 28˚C selama 3 x 24 jam.
2. Kriteria Objektif
a. positif (+) apabila menunjukkan daerah zona bening atau zona
hambat disekitar kertas cakram, besarnya zona hambat terdiri dari
tiga kategori yaitu :
1) Zona hambat dalam batas resisten :≤ 12 mm
2) Zona hambat dalam batas intermediate :13-17 mm
3) Zona hambat dalam batas sensitif :≥ 18 mm (CLSI,
2012)
b. Negatif (-) apabila tidak menunjukkan daerah zona hambat.
31

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratories, dengan
menggunakan desain One-shot Case Study yaitu desain penelitian dengan
perlakuan terhadap variabel independen. (Sugiyono, 2011).
B. Tempat dan Waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan
Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Kemenkes Kendari.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada
C. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Sari daun Sambiloto (Andrographis
paniculata). Sedangkan obyek penelitian yang digunakan yaitu biakan murni
fungi Candida albicans yang sudah tersedia di Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknologi laboratorium Medis Poltekkes Kemenkes Kendari.
D. Bahan Uji
Bahan uji dari penelitian ini adalah tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata). Tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata) yang digunakan
adalah daun sambiloto yang diperoleh dari Desa Matabondu, Kecamatan
Angata, Kabupaten Konawe Selatan. Daun dipetik secara manual dan dicuci
lalu dikeringkan dan ditimbang sebanyak 500 gram dengan timbangan digital
kemudian dipotong-potong lalukemudian di blender dan disaring dengan
kertas saring. Sehingga diharapkan mendapatkan air perasan daun sambiloto
(Andrographis paniculata) yang pekat sebanyak 150 mL dan dimasukkan
dalam gelas kimia kemudian sari daun sambiloto (Andrographis paniculata)
dibuat dalam 5 variasi konsentrasi yaitu pada konsentrasi 20%, 40%, 60%,
80% dan 100% yang akan di uji terhadap pertumbuhan Candida albicans.
32

E. Prosedur Pengumpulan Data


Data yang diperoleh selama penelitian berasal dari buku dan jurnal
penelitian yang merupakan data sekunder. Meliputi daun sambiloto segar
yang telah terpilih sebagai bahan penelitian dibawa ke Laboratorium Jurusan
Teknologi Laboratorium Medis, kemudian dilakukan pemeriksaan uji
efektivitas menggunakan Sari daun sambiloto terhadap pertumbuhan jamur
Candida albicans, dengan menggunakan biakan murni Candida albicans,
yaitu diawali dengan penanganan daun sambiloto (Andrographis paniculata)
terlebih dahulu dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%,
80%, dan 100%. Selanjutnya dilakukan Uji Efektivitas kemudian dilakukan
pengamatan secara langsung daya hambat pertumbuhan fungi Candida
albicans pada media Sabouraud Dextrose Agar.
F. Instrumen Penelitian
1. Pra Analitik
a. Persiapan sampel : Sari Daun Sambiloto
b. Metode : Difusi kertas cakram (paper disk)
c. Prinsip : Piringan yang berisi agen antifungi diletakkan
pada media agar yang telah ditanami jamur uji yang akan berdifusi pada
media agar tesebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan jamur oleh agen antifungi pada permukaan media Agar.
d. Persiapkan alat dan bahan :
1) Alat
a. Autoclave j. Gelas Ukur
b. Oven k. Karet Penghisap
c. Incubator l. Ose
d. Cawan Petri m. Labu Erlenmeyer
e. Tabung Reaksi n. Timbangan
f. Rak Tabung Analitik
g. Drigle Sky o. Batang Pengaduk
h. Blender p. Lampu Spiritus
i. Pipet Ukur q. Sendok Tanduk
33

r. Waterbath
s. Gelas Kimia
t. Cawan Porselin
u. Pinset
v. Jangka Sorong
w. Corong
34

2) Bahan
a. Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
b. daun sambiloto (Andrographis paniculata)
c. Biakan murni Candida albicans
d. NaCL 0,9%
e. Aquadest steril
f. Kertas cakram
g. Antibiotik Ketoconazole
h. Kertas saring
e. Sterilisasi alat penelitian
Disterilkan dalam oven untuk alat-alat yang terbuat dari kaca atau logam
yang tidak memiliki tingkat skala atau keakuratan tinggi dengan suhu 180˚C
selama 24 jam. Dan sterilkan alat-alat yang terbuat dari kaca yang memiliki
tingkat keakuratan atau plastik dalam autoclave dengan suhu 121ºC selama
15 menit.
f. Pembuatan Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Media yang digunakan untuk inokulasi fungi yaitu media Sabouraud
Dextrose Agar (SDA) berikut cara pembuatannya:
a) Ditimbang serbuk media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) 13 gram.
b) Dipindahkan serbuk media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang telah
ditimbang ke dalam Erlenmeyer, lalu ditambahkan aquades sebanyak 200
ml.
c) Dihomogenkan larutan dengan bantuan pemanasan pada Waterbath
sambil digoyang-goyangkan.
d) Dilakukan pemanasan tidak boleh sampai mendidih (pelarutan harus
sempurna sehingga tidak ada kristal yang tersisa).
e) Disterilisasi menggunakan Autoclave ±121ºC (1 atm) selama ±15 menit.
f) Dikeluarkan larutan dari autoclave, saat suhu rendah (20ºC) dan tekanan
telah turun (dilihat indikator autoclave).
g) Dituangkan ke cawan petri steril yang telah disediakan sebanyak 10
cawan petri.
h) Dibiarkan media pada Cawan petri membeku dengan sempurna.
35

i) Dimasukkan media ke inkubator (±37ºC), selama ±24 jam untuk uji


kualitas media, dengan posisi cawan petri terbalik.
j) Disimpan pada suhu 4ºC - 8ºC untuk menyimpan media
g. Pembuatan Sari Daun Sambiloto (Andrographis paniculata)
a) Ditimbang 500 gram Daun sambiloto (Andrographis paniculata) dengan
menggunakan timbangan analitik kemudian di blender dan diperas dan
disaring, sehingga diharapkan mendapatkan sari daun sambiloto
(Andrographis paniculata) sebanyak 150 ml.
b) Sari daun sambiloto (Andrographis paniculata) dibuat dalam 5 variasi
konsentrasi yaitu pada variasi konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan
100%. Volume sari daun sambiloto (Andrographis paniculata) yang
diambil dihitung dengan rumus pengenceran sebagai berikut:
Rumus Pengenceran :

V1. M1 = V2. M2

(Purwiyanto, 2013)
Keterangan :
V1 : Volume Larutan Stok
M1 : Konsentrasi Larutan Stok
V2 : Volume Larutan Perlakuan
M2 : Konsentrasi Larutan yang Diinginkan
Berdasarkan rumus pengenceran, maka cara pembuatan sari dibagi
menjadi 5 macam konsentrasi dengan tiap-tiap konsentrasi berjumlah 50
ml yaitu pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% adalah
sebagai berikut:
(a) Konsentrasi 20% yaitu 10 ml sari dan ditambahkan 40 ml aquadest
kemudian dihomogenkan
(b) Konsentrasi 40% yaitu 20 ml sari dan ditambahkan 30 ml aquadest
kemudian dihomogenkan
(c) Konsentrasi 60% yaitu 30 ml sari dan ditambahkan 20 ml aquadest
kemudian dihomogenkan
(d) Konsentrasi 80% yaitu 40 ml sari dan ditambahkan 10 ml aquadest
kemudian dihomogenkan
36

(e) Konsentrasi 100% yaitu dipipet 50 ml sari kemudian


dihomogenkan.
c) Sari daun sambiloto di tampung di dalam labu ukur steril lalu ditutup.
h. Pembuatan Suspensi Fungi Candida albicans
Pembuatan suspensi fungi yaitu diambil koloni yang akan di uji dengan
menggunakan kawat ose steril kemudian disuspensikan dalam 3 ml Nacl
0,9% dalam tabung reaksi steril dan dihomogenkan sesuai standar Mc.
Farland 0,5 yang ditandai dengan terbentuknya kekeruhan setelah
disuspensikan.
i. Pembuatan Antibiotik Ketoconazole (Kontrol positif)
Ketoconazole 200 mg dibuat konsentrasi dengan menimbang 0,5 gram
ketoconazole kemudian dilarutkan dengan menggunakan aquadest steril
sebanyak 25 ml sehingga diperoleh konsentrasi 2%.

2. Analitik
Uji efektivitas sari daun sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap
jamur Candida albicans:
a. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Disiapkan cawan petri yang sudah disterilkan
c. Disiapkan biakan murni jamur Candida albicans
d. Pembuatan suspensi dengan cara mengambil biakan murni jamur Candida
albicans menggunakan ose steril, selanjutnya dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang berisikan NaCL 0,9% sebanyak 3 ml kemudian dihomogenkan
e. Dipipet suspensi jamur sebanyak 0,1 ml lalu dimasukkan ke dalam masing-
masing media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang sudah disediakan lalu
diratakan dengan menggunakan Drigalsky. Pengerjaan harus dilakukan
didekat lampu spiritus yang tujuannya agar menhindari terjadinya kontaminasi
f. Diambil kertas cakram yang sudah direndam sari daun sambiloto
(Andrographis paniculata) dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan
100% lalu diletakkan diatas media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang
telah diinokulasi fungi Candida albicans menggunakan pinset steril.
Sebelumnya media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) sudah diberi label sesuai
dengan masing-masing konsentrasinya
37

g. Dimasukkan kertas cakram yang sudah direndam dengan antibiotik


ketoconazole sebagai kontrol positif (+) lalu diletakkan pada permukaan media
Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
h. Dibungkus cawan petri dengan menggunakan kertas, lalu diberi label dan
diinkubasi pada suhu 28ºC selama 3x24 jam
i. Diamati ada atau tidaknya zona hambatan (wilayah jernih) yang terbentuk
disekitar kertas cakram.

A. Pasca Analitik
a. Pencatatan hasil penelitian
Pencatatan hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang dilakukan
dengan pencatatan suatu aktivitas dalam bentuk tulisan baik diketik maupun di
tulis dengan atau dalam bentuk grafik atau gambar dari hasil pengukuran atau
pengamatan yang telah dilakukan.
Pencatatan hasil penelitian ditentukan dengan cara:

A B (AB + CD) – 6
6 mm
2

D
Keterangan :
AB : Diameter Horizontal
CD : Diameter Vertikal
38

b. Dokumentasi hasil penelitian


Suatu kegiatan pengambilan hasil penelitian baik dalam bentuk
foto atau gambar dari hasil pengukuran, pengamatan, pengambilan
sampel dan lain-lain yang berhubungan dengan hasil penelitian mulai
dari pra analitik, analitik sampai pasca analitik.
c. Pelaporan hasil penelitian
Pelaporan hasil penelitian adalah kegiatan melaporkan hasil
penelitian setelah dilakukan pengukuran dan pengamatan, hasil
penelitian tersebut dilaporkan berdasarkan hasil pengukuran yang
dijadikan sebagai hasil penelitian.
Efektif : Terjadi zona hambatan (wilayah jernih) disekitar
kertas cakram
Tidak efektif : Tidak terjadi zona hambatan (wilayah jernih)
disekitar kertas cakram (Lay. B, 1994).
Nilai diameter zona hambatan dianalisa secara deskriptif berdasarkan
kategori respon hambat:
1. Resisten : <12 mm
2. Intermediet : 13-17 mm
3. Sensitive : >18 mm (CLSI, 2012)

G. Jenis Data
a. Data primer
Data primer adalah tanaman sambiloto yang diperoleh dari Desa
Matabondu, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan. Data
lainnya diperoleh dari pemeriksaan di Laboratorium Jurusan Teknologi
Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kendari.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari hasil penelitian
terdahulu dan dari buku-buku yang dipublikasikan kemudian dijadikan
landasan teoritis dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
39

H. Pengolahan Data

Mentabulasi (tabulating) merupakan pengelompokan data kedalam suatu


data tertentu menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian.

I. Analisis Data

Pada penelitian ini dianalisa dengan metode deskriptif berdasarkan


kategori respon hambat (Resisten) <12 mm, (Intermediet) 13-17 mm, dan
(Sensitive) >18 mm.

J. Penyajian Data
Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel kemudian
dideskripsikan sehingga diperoleh hasil analisis uji efektivitas sari daun
sambiloto (Andrographis paniculata) dalam menghambat pertumbuhan jamur
Candida albicans.
40
41

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Apa itu antioksidan dan apa fungsinya ?
http://www.kolomsehat.com/apa-itu-antioksidan-dan-apa-fungsinya/
Diakses tanggal 1 Desember 2019

Astawan dan Andreas. 2008. Khasiat Warna-warni makanan. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta

Bangun, Abednego. 2006. Ensiklopedia Daun Obat. Bandung: Indonesia


Publishing House

Claus, E. P., Tvler V.E., Bradv. L. R. 1970. Pharmacognosy. Edisi 4. Febiser.


Philadelphia

[CLSI] clinical and laboratory standard institute. 2012. Performance standards


for antimicrobial disk and dilution susceptibility test for bacterial isolated
from animals approved standard

D. Williams and M. Lewis.2011.”Pathogenesis and treatment of oral


candidosis”,J. Oral Microbiol (vol. 3, no. 2011 pp. 1-11)

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta. Departemen Kesehatan RI

Irianto, Koes. 2014. Bakteriologi medis, mikologi medis, dan virologi medis
(Medical Bacteriology, Medical Micology, and Medical Virology).
Bandung: Alfabeta.

ISO. 2012. ISO Indonesia Informasi Spesialite obat, Vol. 46. PT. ISFI Penerbitan.
Jakarta

Jawetz, E., J. Melnick., dan E. Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran.


Edisi 20. EGC. Jakarta
42

Kumar, A., J. Dora., A. Sigh., dan R. Tripathi. 2012. A Review on King of Bitter
(kalmegh). International Jurnal Of Research In Pharmacy and Chemistry.
2.(1).116-124

Kusumaningtyas, Eni. 2004. Mekanisme Infeksi Candida albicans


pada Permukaan Sel. http://kalteng.litbang.pertanian.go.id/ind/pdf/all-
pdf/peternakan/fullteks/lokakarya/lkzo05-48.pdf Diakses tanggal 10
Oktober 2019

Mandal dkk. 2008. Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga

Pelczar, M.J dan Chen ESC, 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Universitas


Indonesia. Jakarta

Permadi, Adi. 2008. Membuat Kebun Tanaman Obat. Jakarta: Pustaka Bunda

Rahayu, T. 2009. Uji Antijamur Kombucha Coffe terhadap Candida albicans dan
Tricophyton mentagrophytes. Jurnal penelitian sains dan
Teknologi.10.(1);10 - 17

Rizky, Alfi. 2013. Dasar-dasar farmakognosi. Baiti Ilmina. Jakarta

Seru S, Suling PL, Pandeleke H. Profil kandidiasis kutis di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode 2009-2011 (skripsi).
Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. 2013. 1
(1):561-65.

Subroto. 2006. Tanaman Obat Indonesia. 43. Jilid 1. Direktorat Jendral


Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.

Sugianitri, N. K. 2011. Ekstrak Biji Buah Pinang (Areca catechu L.) Dapat
Menghambat Pertumbuhan Koloni Candida albicans secara In Vitro Pada
Resin Akrilik Heat Cured. Skripsi, Program Pasca Sarjana Program Studi
Ilmu Biomedik. Universitas Udayana Bali.
43

Sugiono. 2011. Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif (cetakan nomor. 14).
Bandung : Alfabeta

Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia : Buku panduan kuliah mahasiswa


kedokteran dan program strata 1 Fakultas Bioeksakta. EGC. Jakarta

Tjampakasari CR. Karakteristik Candida albicans. Cermin Dunia Kedokteran


No.151, 2006. p33. Accesed December 5, 2019

Unovia, Kartika. 2013. Majalah Wanita. Dalam


www.ypkp.net/forum/indeks/wap2. Diakses tanggal 30 Oktober 2019

Yadav JS dan Singh TP. 2012. Phytochemical Analysis And Antifungal Activity
Of Andrographis paniculata. International journal of pharmaceutical
research and bio-science. 1(4). 240-263

Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Cetakan Pertama.


MedPress. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai