Anda di halaman 1dari 16

TEOLOGI INKLUSIF TRANSFORMATIF: KRITIK ATAS

MUTAKALLIMIN PERSPEKTIF FILOSOF MUSLIM


Amirudin24@yahoo.co.id

Abstrak

Pemahaman kalam (teologi), pada perkembangannnya tidak saja


perdebatan antar teolog, seperti Khawārij, Mu’tazilah, Si’ah, Sunnī,
Qadāriyah ataupun Jabbāriyah saja. Begitu pula substansi kalam, mulai
bergeser, dari masalah teosentris mengarah ke antroposentris, dari kajian
ketuhanan an sich berkembang kearah yang lebih luas, misalnya kajian
kemanuasiaan. Kalam tidak saja diintegrasikan dengan konteks dan
aktualita, namun lebih jauh menjadi inklusif, bertransformasi dengan
kajian kemanusiaan, lingkungan, alam dan kajian lainnya. Teologi tidak
lagi menjadi doktrin dari sekte-sekte kalam yang berbicara melangit,
namun telah menjadi kritik atas realita sosial-kemanusiaan. Bahkan lebih
jauh menjadi paradigma teologi baru yang lebih inklusif-transformatif.
Para teolog dan pemikir Islam sejak zaman Al-Ghazāli dan Ibnu
Rusyd, hingga pemikir Islam kontemporer seperti Muhammad Iqbal,
Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer, tidak saja memberikan kritik
atas pemahaman teologi klasik, namun mencoba memberikan solusi
paradigma baru teologi yang lebih, inklusif, tranformatif dan humanis.
Teologi yang lebih plural dan memiliki kebermaknaan universal, yang
tidak saja berpengaruh pada keberagamaan indivudu, namun menjadi
rahmatan lil-‘ālamīn.

Keyword: Teologi, inklusif, tranformatif, mutakallimīn.

A. Pendahuluan
Diskursus teologi klasik biasanya tidak lepas dari perdebatan
paham kalam antar teolog sepereti Khawārij, Mu’tazilah, Asy’āriyah,
Qadariyah, Jabbāriyah dan beberapa golongan lain. Tahkim, takfīry dan
bid’ah serta perdebatan sejenis menjadi topik yang tak kunjung usai.
Diskursus teologis bersifat apologis ekslusif, dan biasanya ini hanya
terjadi pada teolog muslim yang memiliki pengetahuan filosofis teologis,
sehingga secara tidak mudah dipahami oleh kaum muslimin secara
universal.

1
Di sisi lain ummat muslim – secara mayoritas – tidak seluruhnya
memiliki kapasitas pemikiran teologis, hal ini yang kemudian kaum
muslimin lainnya hanya bisa menjadi muqallid (pengikut) mutakalliimin
yang dicenderunginya. Sehingga tidak sedikit antara satu golongan dengan
golongan lain dapat dengan mudah memberikan hukum takfīr bila tidak
sejalan dalam pemikiran golongan yang bertikai. Bahkan secara lebih sadis
paham teologi secara politis dijadikan ideologi pengusa.
Dalam konteks kemajemukan, menjadi sebuah keniscayaan bahwa
transformasi makna teologi dari apologis-eksklusif ke teologi inklusif-
transformatif perlu dilakukan agar teologi benar-benar menjadi alat
pembebas atas berhala struktur ekonomi, politik, budaya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan hal ini dimaksudkan Islam
sebagai rahmatan lil’ ālamīn tidak lagi hanya sebatas norm fact dan
norm force melainkan teologi seyogyanya menjadi hal emperical fact
dan social force. Lantas, apa makna substantif tauhid?
Kalau kita kembali pada sejarah Rasulullah, paham akan teologi
awalnya tidak terkotak-kotak, teologi Islam yang dikembangkan oleh
Muhammad saw, merupakan pemahaman atas Islam yang rahmatan lil’
ālamīn. Tuhan dan tauhid dimaknai secara sederhana dan dipahami dengan
sederhana pula. Namun pengkotakan atas paham teologi Islam ini muncul
pasca Khulafā’urrasyidīn yang diawali dengan pertentangan politik antar
golongan.
Di lain kondisi, pada wilayah tertentu, penyebaran Islam ke
berbagai wilayah dengan sekala yang lebih luas dan kemampuan
beradaptasi dengan komunitas local-pun hanya mungkin terjadi jika ada
fleksibelitas. Sesuatu yang sederhana selalu mampu merangkul masyarakat
yang lebih luas. Inilah yang membuktikan bagaimana Islam dapat
menembus ke jantung-jantung peradaban dunia dan agama-agama yang
sudah mapan.
Tampak tauhid dalam batasan kredo (ungkapan-ungkapan pendek
tentang kepercayaan) dalam rumusan sederhana,” lā ilāha illallāh” pada
satu sisi telah mampu menembus ikatan-ikatan primordialistik kesukuan
ras, agama dan tampak steril dari kepentingan yang sering memunculkan
kecurigaan dan prasangka. Sementara pada sisi lain dapat diandalkan
sebagai pembebas dalam segala bentuk taghūt yang ”mengacu pada

2
kekuatan sewenang-wenang, otoriter dan tirani atau segala sesuatu
yang melampaui batas”.1
Di sisi lain wacana pemikiran Islam kontemporer yang saat ini
sedang berkembang dan menjadi mainstream, perlu dan harus direspons
secara positif-kritis terutama dalam upaya untuk menghadapi serta
menjawab berbagai problem yang sedang melanda umat Islam dewasa
ini. Dengan demikian, persoalan ilmu kalam pada abad pertama yang
lebih disibukkan dengan masalah-masalah ghaib (metafisika) serta lebih
banyak diwarnai oleh hal-hal yang bersifat intelektual-spekulatif sudah
saatnya ditelaah ulang 2. Hal ini tentunya tidak bermaksud untuk
menegaskan bahwa teori pemikiran kalam klasik untuk masa sekarang ini
tidak diperlukan lagi, tetapi kita ingin lebih mengembangkan dengan
memiliki wawasan dan visi baru pemikiran kalam tersebut sesuai dengan
peradaban kontemporer yang sekarang berkembang, yang tentunya
sangat mempengaruhi dinamika keberagamaan manusia. Namun
demikian, pemikiran kalam yang dimunculkan itu tetap tidak keluar dari
prinsip-prinsip karangka mutlak, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah 3.
Dengan demikian, diskursus pemikiran ilmu kalam harus
mengikuti mainstream pemikiran kontemporer yang bergumul dengan
pemikiran filsafat Barat kontemporer, problem-problem sosial-politik,
pendidikaan, iptek, dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain agar ilmu kalam
tidak melulu lekat pada upaya apologetik “membela Tuhan”. Sehingga
ilmu kalam tidak lagi terbatas pada ilmu ketuhanan secara sempit-
eksklusif, tetapi lebih merupakan paduan dari sekian banyak nuansa
pemikiran keagamaan Islam yang berinteraksi secara sinergis-kritis
dengan pemikiran kontemporer4. Dengan kata lain, agar ilmu kalam
mempunyai kajian yang lebih luas dan lebih relevan dengan konteks
kekinian, seperti tentang isu-isu kemanusian universal, pluaralisme
keagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan
sebagainya5.
1
Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina,
1995) Cet. ke-3
2
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), 5.
3
Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga
Modern, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), 126.
4
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, 7.
5
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi
Keagamaan yang Dialogis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), 138.

3
B. Pembahasan.
Kritik yang biasanya dilontarkan terhadap teologi adalah bahwa
teologi, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaan, menurut
6
Ackermann , terlalu menitik beratkan struktur logis argumen-argumen
tekstual normatif. Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat
agama dihayati secara semestinya. Struktur logis tidak pernah benar-
benar berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi-tradisi
dan kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Lebih dari sekedar konsep, tauhid tidak hanya dimaknai sebagai
upaya-upaya mengesakan Allah tapi juga merupakan kekuatan
pembebas yang mengerakan perubahan-perubahan besar dalam sejarah.
Di masa Nabi, tauhid menjadi pijakan strategis untuk menundukan
semua pemberhalan (struktur sosial, struktur budaya, strukur ekonomi
dan struktur politik) sehingga mengutip Kenneth Boulding seorang
filosof sosial dan ekonom besar AS, Islam hadir dalam wajah profetik dan
transformatik. Tauhid juga menjadi kekuatan yang dapat menjembatani
sekat-sekat hubungan antar etnik, budaya dan antar agama. Hanya saja
ketika melembaga dalam aliran-aliran, tauhid kemudian kehilangan elan
pembebas, mapan bahkan menjadi kekuatan konservatif. Tauhid
mengalami reduksi dan deviasi pemaknaan menjadi perisai sikap-sikap
eksklusif dan apologis. Dalam konteks kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang semakin majemuk ini, para pemikir muslim kita
telah berupaya menawarkan model-model transformasi masyarakat
berdasarkan nilai nilai tauhid. Sebagian menawarkan transformasi
kultural yang diarahkan untuk merubah dan merombak pola berfikir
termasuk pola berteologi. Sementara yang lain lebih concern pada
perubahan struktural sosial, budaya, ekonomi dan politik di mana tauhid
merupakan bahagian inheren dalam perubahan tersebut.
Maka dipandang perlu adanya rekonstruksi teologis secara
sistematik. Rekonstruksi tersebut haruslah merupakan terobosan baru
yang memungkinkan pemikiran teologis melampaui batas-batas
tradisionalnya agar lebih segar dan tidak berkutat pada isu-isu
transendental-spekulatif.
Konstruksi dan sistematika pemikiran kalam klasik dibangun
dalam suasana dan juga sebagai respon terhadap hingar-bingar perpecahan
politik akibat pembunuhan khalifah ketiga Usman bin Affan, yang
6
Lihat Robert John Ackermann, Agama Sebagai Kritik: Analisis Eksistensi
Agama-agama Besar, terj. Herman Hambut (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 25

4
terjadi pada tahun 35 Hijriyah7, yang kemudian berlanjut dengan
terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pada tanggal 17
Ramadhan 40 H8. Adapun persoalan ilmu kalam yang pertama muncul
yang berkaitan langsung dengan peristiwa politik tersebut, yaitu tentang
posisi orang yang berdosa besar, seperti pembunuh Usman, Ali dan
Mu’awiyah yang terlibat dalam perang Siffin dan Tahkim, serta
Talhah, Zubair, Aisyah yang memberontak kepada khalifah Ali
dalam parang Jamal. Semua yang mereka tersebut di atas apakah mereka
tetap muslim atau kafir. Dalam perjalanan selanjutnya wacana
pemikiran kalam klasik itu kemudian diramu dengan bahan-bahan yang
berasal dari filsafat Yunani, sehingga menimbulkaan pemikiran kalam yang
semula berwatak “metafisik-normatif”, kemudian bertambah menjadi
berwatak “deduktif-spekulatif” dan secara keseluruhannya, pemikiran
kalam klasik hanya berorientasi “teosentris” 9.
Dengan wataknya yang bersifat metafisik-normatif dan deduktif-
spekulaitif serta berorientasi pada dimensi teosentris semata, maka tidak
mengherankan bila pemikirakan kalam klasik kurang atau bahkan tidak
memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan sosial umat dan
pesoalan kemanusian universal.
Realitas sosiologis umat Islam yang jatuh dalam kondisi
keterbelakangan selama beberapa abad, berakibat lemahnya rasa percaya
diri berhadapan dengan superioritas peradaban Barat. Kenyataan tersebut
menggugah kembali kesadaran bagi para pemikir kalam untuk segera
melakukan pembaruan dalam pemikiran kalam, agar pemikiran kalam ada
relevansinya dengan aspek kekinian semakin tampak. Pemikiran kalam
mestinya bergumul dengan pemikiran filsafat Barat kontemporer, problema-
problema sosial politik, pendidikan, iptek, dan lain sebagainya. Hal ini
agar ilmu kalam tidak melulu lekat pada upaya apologetik “membela
Tuhan”10.

1. Kritik Teologi Al-Ghazali Dalam Pemikiran Kalam.


7
Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran
Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), 13
8
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah,
Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), 81
9
Mustafa P., M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia,
(Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), 34-35.
10
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, 7.

5
Dalam pemikiran kalam, Sembilan abad sebelumnya Al-
11
Ghazali telah dengan cerdas menggambarkan kelemahan-kelemahan
pemikiran kalam klasik. Menurut Al-Ghazali, dia telah menulis di bidang
ilmu kalam ini beberapa karyanya, tetapi dia melihat bahwa kerja para
pemikir kalam itu hanya sibuk mengumpulkan argumen-argumen
lawan pahamnya, untuk dibantah dengan argumen sendiri yang
dianggap lebih rasional. Memang menurut Al-Ghazali, pemikiran kalam
hanya berpretensi untuk membentengi secara rasional akidah yang
benar, yang bersumber dari Al-Quran dan hadis, dari gangguan ahli
bid’ah. Tetapi menurutnya, untuk menumbuhkan akidah yang benar
pada umat yang belum atau tidak menganutnya, ilmu kalam tidak bisa
dipercaya berhasil melakukannnya.
Karena itu, Al-Ghazali menilai metode para teolog muslim
klasik tidak bisa memuaskan tuntunan jiwanya, yang mencari
pengatahuan yang meyakinkan agar terbuka hakikat kebenaran sesuatu
secara tuntas, meskipun dia menyadari ada orang yang cukup puas
dengan hasil kerja para pemikir kalam itu.12 Lebih tegas lagi Al-Ghazali
menyebutkan, bahwa ilmu kalam tidak bisa mengantarkan manusia
mendekati Tuhan, sebagaimana dalam karya tulisannya yang berjudul,
Al-Iljam al-Awwām ’an ‘Ilm al-Kalām, yang telah dikutip oleh
Mustafa P, bahwa, Al-Ghazali bahkan cenderung menentang ilmu
kalam, terutama gaya penalarannya yang berbelit-belit, yang dapat
membawa dampak negatif bagi masyarakat luas13. Walaupun dalam
kenyataannya, Al-Ghazali kemudian justru menjadi pengikut setia
dan juru bicara terkemuka kalam Asy’ariyah, karena metode
moderat yang digunakan juga oleh Al-Ghazali dalam pemikiran
kalamnya. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya seperti al-Iqtishād
fi al-I’tiqād, dimana para ahli yang menjadikan karya ini sebagai
obyek penilaian terhadap pemikiran kalam Al-Ghazali, menganggapnya
sebagai salah seorang tokoh dalam Asy’arisme. 14

11
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali at-Thuusy, dilahirkan pada tahun 450 H atau 1058 M. di kota al-
Ghozalah sebuah kota kecil di dekat kota Thuus di daerah Khurasan, (Lihat: Al-
Ghazali, Bidayatul Hidayah).
12
M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 76.
13
Mustafa P., M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia,
(Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), 36
14
M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi, 265

6
2. Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Mutakallimin
Kritik yang sama juga datang dari Ibnu Rusyd 15, terutama yang
ditujukan kapada golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Perbedaan
pendapat antara kedua golongann ini memang terlalu tajam. Menurut
Mu’tazilah, jika terjadi perbedaan antara pendapat akal dan keterangan
wahyu, akal harus berusaha mencari dan menganalisa makna sejati
yang dibawa wahyu itu. Di sini nampak bahwa metode rasional
sangat dominan di kalangan Mu’tazilah, namun sebagai pemikir
kalam, para tokoh-tokohnya juga tidak melupakan teks-teks wahyu
(Al-Quran dan hadis) dalam memformulasikan pendapat-pendapatnya.
Al-Quran dan hadis adalah sumber pokok-pokok kepercayaan yang
mereka yakini kebenarannya. Hanya saja, sesuai dengan metode
rasional yang mereka pegang teguh, yang sangat menjunjung tinggi
akal, ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dan diterima akal, mereka
jadikan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka, sedangkan
yang tidak demikian mereka takwilkan secara rasional atau
dilewatkan begitu saja. Begitu pula terhadap hadis, hadis yang
sesuai dengan akal diterima, tetapi yang dianggap tidak sesuai maka
ditakwilkan, malah ditolak sebagai hadis meskipun dianggap hadis
shahih oleh ahli hadis.16
Sebaliknya, metode pemikiran kalam Al-Asy’ari berbeda
metode pemikiran kalam Mu’tazilah dan Salafisme, dan bisa dikatakan
sebagai sentesa antara keduanya. Al-Asy’ari mengambil yang baik dari
metode rasional Mu’tazilah dan metode tekstual Salafisme, sehingga dia
menggunakan akal dan naql secara seimbang, menggunakan akal
secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah dalam
menggunakannya, dan memegang naql dengan kuat tetapi tidak seketat
Salafisme dalam menolak akal untuk menjamahnya17.

15
Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad Ibn Muhammad
Ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. dan wafat pada tahun 595
H/1198 M. (Lihat, Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam,
(Jakarta: Erlangga, 2006), h. 18 dan 21). Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad
ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, lahir di Cordopa pada tahun 520 H/1126 M.
dan wafat pada tahun 595 H/1198 M. (Lihat, Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan
Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), 18 dan 21
16
M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi, 35
17
M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi, 42-43

7
Dengan demikian Al-Asy’ari lebih banyak menerima dan
mengimani wahyu seperti adanya18. Dalam pandangan Ibn Rusyd, takwil-
takwil yang dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah
telah merobek-robek syari’at Islam dan memacah belah masyarakat
Muslim. Tetapi lebih dari itu menurut Ibn Rusyd bahwa prinsip-prinsip
metodologi kaum mutakallimin tidak memenuhi syarat-syarat
demonstratif (burhan). Prinsip-prinsip metodologis kaum Asy’ariyah
khususnya, menurutnya, banyak mengingkari hal-hal yang bersifat
pasti (ad-darūriyyāt), seperti aksiden-aksiden (al-a’rād),
kemampuan sesuatu untuk mempengaruhi sesuatu yang lain,
keberadaan sebab-sebab yang merupakan keniscayaan musabab-
musabab, bentuk-bentuk substansial, dan medium-medium sekunder. 19

3. Paradigma Teologi Islam Perspektif Hassan Hanafi.


Hassan Hanafi, mengajukan konsep baru tentang Teologi Islam
bertujuan untuk menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma
keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang
perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-
gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk
mentransformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris
menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia, dari tekstual
kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju
kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal didasarkan atas dua alasan:
pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah
pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya
teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga
praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah 20.
Untuk mengatasi kelemahan teologi tradisional yang dianggap
tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua
teori.16 Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam
teologi tradisional adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi
yang khas, seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa
diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi
18
Afrizal, M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam,
(Jakarta, Erlangga, 2006), 75
19
Mustafa P., M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia, 37
20
Hassan Hanafi, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr 1952-1981: al-Yamîn wa
al-Yasârfî al-Fikr al-Dînî, Jilid VII (Kairo: Maktabah Madbuli, 1987), 332.

8
sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan gaib,
tetapi juga mengungkap tentang iman, amal dan imamah, yang
historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan
dan akhirat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan
untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya
teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan
masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas
berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi
kontemporer.
Untuk memaparkan dua tawarannya tersebut, Hanafi paling
tidak menggunakan tiga metode berpikir: dialektika, fenomenologi dan
hermeneutik21. Untuk itulah, Hanafi mencoba mentransformulasikan
teologi dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi tradisional
secara metaforis-analogis.
Pemikiran Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan
dialektis antara subjek diri (Self) dan yang lain (Other) dalam proses
sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan reinterpretasi
terhadap tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer. Dengan
begitu dapat dikatakan bahwa teori pengetahuan Hanafi mempunyai
paradigma kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk
mencapai kebenaran. Untuk itu terjadi sebuah relasi kesadaran
subjek dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek
sejauh ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat
relasi-unikatif di antara subjek-objek-dan kesadaran.
Di sisi lain, dapat disaksikan bahwa Hanafi menyeru manusia
untuk menelusuri historisitas akidah dengan menggunakan nalar
hingga tauhid mempunyai ikatan dengan praksis, Allah dengan bumi,
subjek Ilahiah dengan subjek insaniah, sifat-sifat ketuhanan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, dan kehendak Allah dengan perjalanan
sejarah. Tujuan penelusuran rasional ini bukan untuk menyerang
orang kafir dan membela akidah itu sendiri, melainkan untuk
menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal melalui analisis rasional
terhadap pengalaman generasi masa lalu dan cara yang ditempuh

21
Boullata justru menilai, pemikiran hanafi didasarkan pada tiga metodologi,
yaitu: analisa sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Marxian. Lihat
Boullata, “Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan”, dalam Islamika, edisi
I, Juni-September 1993, 21.

9
untuk mengimplementasikannya. Langkah ini akan mampu
memberikan kebenaran eksternal hingga akidah menjadi inklusif dan
diterima orang untuk diterjemahkan dalam dunia.
Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi yang lahir
dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql. Selanjutnya,
dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih banyak
menggunakan rasionalisme Mu’tazilah daripada teori kasb Asy’ariyah
dan Jabariyah; begitu pula ia menggunakan ushul fiqh dalam mencari
sebab-musabab sebuah hukum. Dari sela-sela ilmu ushul fiqh ini,
Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini dan masa depan kaum
muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: (1)
kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui
metode-metode transmisi, (2) kesadaran spekulatif untuk
menginterpretasi teks-teks dan memahaminya melalui analisis bahasa,
dan (3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam
kehidupan praksis. Konsekuensinya, adalah bahwa wahyu
ditransformasikan ke dalam system-sistem ideal dunia dari celah-celah
usaha dan tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai
praksis pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih dekat
pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan demikian,
Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang dalam tradisi
Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat, sehingga ia tidak bisa
dikatakan eurocentris; sekalipun di sisi lain, mungkin ia banyak
memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu sosial.
Di sinilah nampak jelas bahwa kalam “baru” yang digagas
Hasan Hanafi bukan lagi menjadi kalam sebagai media apologis
dimensi “kelangitan”, tetapi diarahkan pada bagaimana kalam
mampu berdialektika dengan realitas yang sedang dihadapi manusia
kontemporer. Oleh karena itu, kalam tidak lagi ilmu yang berbicara
tentang dimensi ketuhanan secara murni, tetapi lebih pada
bagaimana pemahaman tentang dimensi ketuhanan tersebut mampu
ditransformasikan untuk mengokohkan eksistensi kemanusiaan dalam
realitas “kebumiannya”, dari Tuhan menuju bumi, dari zat Tuhan
menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari
sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir

10
manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia,
dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan22.

4. Kritik Mohammad Iqbal atas Pemikiran Teologi Islam Klasik


Sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa P. dalam tulisan
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thougth in Islam,
menurutnya, suatu studi yang seksama terhadap Al-Quran dan berbagai
aliran pemikiran kalam klasik yang muncul di bawah inspirasi filsafat
Yunani memperlihatkan dengan jelas bahwa, meskipun filsafat Yunani
telah memberikan sumbangan yang besar dalam memperluas
wawasan para pemikir Muslim, manun ia, dalam keseluruhannya,
telah mengaburkan visi mereka terhadap Al-Quran. Lebih jauh
menurut Muhammad Iqbal, bahwa kalam Asy’ariyah yang
menggunakan filsafat dialektika Yunani sekedar untuk mempertahankan
pandangan ortodoks dalam Islam. Demikian pula Mu’tazilah, terlalu jauh
bersandar pada akal, sehingga akibatnya mereka tidak menyadari
bahwa dalam wilayah pengetahuan agama pemisahan antara
pemikiran keagamaan dan pengalaman konkrit merupakan sebuah
kesalahan besar23.

5. Gagasan Teologi Asghar Ali Engineer


Disisi laim dalam menguraikan paradigma baru pemikiran
kalam dalam konteks kekinian, dapat juga dilihat melalui pemikiran
Teologi (Kalam) Pembebasan Asghar Ali Engineer (selajutnya disebut
Engineer)24. Dalam sebuah artikel yang berjudul What I Belive
22
Muhammad In‘am Esha, Falsafah Kalam Sosial, (Malang: UIN-Maliki
Press, 2010), 78.
23
Mustafa P., M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia,
Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010) 36.
24
Engineer dilahirkan 10 Maret 1939 di Rajastan di daratan India, dalam
sebuah keluarga yang berafiliasi kepada paham Syi’ah Ismailiyah. (lihat, M.Agus
Nuryantno, Asghar Ali Engineer: Sang Teolog Pembebasan, Engineer lahir dari
keluarga santri, belajar bahasa Arab dari ayahnya Syekh Qurban Husin dan
mendapat pendidikan sekuler hingga memperoleh gelar sarjana teknik sipil di
Universitas of Indore. Engineer pernah menjadi pemimpin komunitas Syi’ah
Ismailiyah Bohra di India, menjadi sekretaris Jenderal Pimpinan Komunitas Daudi
Bohras (1977), sebagai pendiri Institut of Islamic Studies di Mumbai (1980) dan
ikut mendirikan Center for the Study of Society and Secularism (1993). (lihat:
Nugroho Dewanto dan Iqbal Muhtarom, Anti MUI, Islam Yes, MUI No, Surga Bukan
Monopoli Muslim, Wawancara dengan Asghar Ali Engineer, Majalah Tempo, 20
Agustus 2008).

11
(Mumbay, 1999), Engineer mengemukakan tiga pokok persoalan yang
mendasari pemikirannya. Pertama, mengenai hubungan antara akal
dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, mengenai pluralitas dan
diversitas agama sebagai keniscayaan. Ketiga, menganai watak
keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan simpati terhadap
penderitaan kelompok masyarakat lemah.
Dari pokok-pokok pemikiran di atas inilah yang
melandasi Engineer untuk mengkonstruksi teologi pembebasan dalam
Islam, sebagaimana yang ia tunjukkan dalam bukunya Islam and
Liberation Theology (1990). Menurut Engineer teologi klasik
cenderung kepada masalah-masalah yang abstrak dan elitis, berbeda
dengan teologi pembebasan lebih cederung kepada hal-hal yang
konkret dan historis, di mana tekenannya ditujukan kepada realitas
kekinian, bukan realitas di alam maya. Bagi Engineer, teologi itu
tidak hanya bersifat transendental, tetapi juga kontekstual. Teologi
yang hanya berkutat pada wilayah metafisik akan tercerabut dari akar
sosialnya.
Lebih lanjut menurut Engineer, dalam pandangan teologi itu
tidak netral, ia mempunyai keberpihakan, apakah kepada status quo
atau kepada perubahan. Dengan kata lain, teologi itu dapat menjadi
instrumen pembebasan atau pembelanggu manusia. Semua itu
terngantung kepada siapa yang mengkonstruksi dan menggunakannya.
Keberpihakan teologi pembebasan sangat jelas, yaitu kepada mereka
yang lemah dan tertindas. Ia diproyeksikan untuk perubahan, bukan
untuk mengabdi kepada kekuasaan dan status quo. 25
Jadi teologi pembebasan yang diperlopori Engineer ini,
merupakan usulan kreatif yang mengkaitkan antara pentingnya
paradigma baru dalam teologi yang memerangi penindasan dalam
struktur sosio-ekonomi. Pradigma ini dilatarbelakangi oleh banyaknya
fenomena arogansi kekuasaan, ketidakadilan, penindasan terhadap
kaum lemah, pengakangan terhadap aspirasi masayarakat banyak,
diskriminasi kulit, bangsa atau jenis kelamin, penumpukan kekayaan
dan pemusatan kekuasaan dalam realitas masyarakat kontemporer. 26
25
M. Agus Nuryanto, Asghar Ali Engineer: Sang Teolog Pembebasan, dalam
h t t p : / / w w w . M a i l archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com/msg01

26
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
Sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 145.

12
Islam menurut Engineer adalah sebuah agama dalam
pengertian teknis dan sebagai pendorong revolusi sosial yang
memerangi struktur yang menindas. Tujuan dasarnya adalah
persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan
(equality) dan keadilan sosial (social justice)27
Dalam semangat teologi pembebasan ini, Engineer
mentrasformasikan tiga konsef kerangka praksis teologi
pembebasan, yaitu: Pertama, konsep tauhid yang tidak hanya
mengacu pada keesaan Allah, namun juga pada kesatuan manusia
(unity of mankind). Masyarakat tauhidy, mengakui dan menjamin
kesataraan manusia, dan tidak akan membenarkan adanya diskriminasi
dalam bentuk apapun, baik terkait ras, agama, kasta ataupun kelas sosial.
Kedua, konsep iman, tidak hanya dimaknai soal percaya kepada
Allah, tetapi orang yang beriman harus dapat dipercaya, berusaha
menciptakan kedamaian dan ketertiban, bersungguh-sungguh untuk
menciptakan maasyarakat adil dan sejahtera, dan menyakini nilai-nilai
kebaikan dalam kehidupan. Sedangkan makna kafir bagi Engineer,
adalah orang yang tidak hanya menentang eksitensi Allah, tetapi juga
yang menentang usaha-usaha jujur untuk membentuk masyarakat,
menghapus akumulasi kapital, menentang penindasan, dan mengakhiri
eksploitasi dalam segala bentuk. Ketiga, konsep jihad, yang dimaknai
sebagai perjuangan yang diakukan sacara dinamis dan istiqamah,
untuk menghapus eksploitasi, korupsi, dan berbagai bentuk kezaliman.
Teologi pembebasan tidak memaknai jihad sebagi perang militer, atau
bukan jihad untuk berperang (eggression). Tidak berlebihan jika
dikatakan, teologi pembebasan ala Engineer ini, adalah teologi
humanis, sebuah paradigma teologis dan praksis bagi pembebasan
manusia.28
Untuk itulah teologi pembebasan sangat menekankan pada
aspek praksis, yaitu kombinasi antara refleksi dan aksi, iman dan amal.
Ia merupakan produk pemikiran yang diikuti dengan praksis untuk
pembebasan. Jadi teologi pembebasan berupaya untuk menjadikan
mereka yang lemah dan tertidas menjadi makhluk yang independent dan
27
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung
Prihanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 33.
28
Muhammad In Am Esha, Rethinking Kalam Sejarah Sosial Pengetaahuan
Islam, Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), 91-93.

13
aktif. Karena dengan hanya menjadikan manusia yang aktif dan merdeka
mereka dapat melepaskan diri dari belenggu penindasan 29.

C. Kesimpulan
Lebih dari sekedar konsep, tauhid tidak hanya dimaknai sebagai
upaya-upaya mengesakan Allah tapi juga merupakan kekuatan
pembebas yang menggerakan perubahan-perubahan besar dalam
sejarah. Di masa Nabi, tauhid menjadi pijakan strategis untuk
menundukan semua pemberhalaan (struktur sosial, struktur budaya,
strukur ekonomi dan struktur politik) sehingga mengutip Kenneth
Boulding seorang filosof sosial dan ekonom besar AS Islam hadir dalam
wajah profetik dan transformatik. Tauhid juga menjadi kekuatan yang dapat
menjembatani sekat-sekat hubungan antar etnik, budaya dan antar
agama. Hanya saja ketika melembaga dalam aliran-aliran, tauhid
kemudian kehilangan peran pembebas, mapan bahkan menjadi kekuatan
konservatif. Tauhid mengalami reduksi dan deviasi pemaknaan menjadi
perisai sikap-sikap eksklusif dan apologis. Dalam konteks kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang semakin majemuk ini, para
pemikir muslim kita telah berupaya menawarkan model-model
transformasi masyarakat berdasarkan nilai-nilai tauhid. Sebagian
menawarkan transformasi kultural yang diarahkan untuk merubah dan
merombak pola berfikir termasuk pola berteologi. Sementara yang lain
lebih concern pada perubahan struktural sosial, budaya, ekonomi dan
politik di mana tauhid merupakan bahagian inheren dalam perubahan
tersebut.

D. Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

29
M. Agus Nuryantno, Asghar Ali Engineer, 2

14
--------------, Abdullah, M. Amin, (2006). Islamic Studies di Perguruan
Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ackermann, Robert John. Agama Sebagai Kritik: Analisis Eksistensi
Agama-
agama Besar. Terj. Herman Hambut. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Afrizal, M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam,
Jakarta: Erlangga, 2006.
Boullata, “Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan” dalam
Islamika,
edisi I, Juni-September, 1993.
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung
Prihanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Esha, Muhammad In Am, Rethinking Kalam Sejarah Sosial
Pengetaahuan Islam, Mencermati Dinamika dan Atas
Perkembangan Kalam Islam Kontemporer, Ygyakarta: eLSAQ
Press, 2006
-------------- , Rethinking Kalam Sejarah Sosial Pengetaahuan Islam,
Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam
Kontemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006
-------------- , Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, Malang: UIN-
Malang Press, 2008
-------------- , Falsafah Kalam Sosial, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
Sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
George, Lenczowski. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Terj. Asgar
Bixby. Bandung: Sinar Baru, 1992.
Ghazali, Al, Bidayatul Hidayah, Terjemah dan Penjelesan: Yahya al-
Mutamakkin, Semarang: PT Karya Toha Putera Semarang.
Ghazali, Adeng Muchtar, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi
Keagamaan yang Dialogis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
-------------- , Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga
Modern,Bandung: CV Pustaka Setia 2005.
Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah
Pemikiran Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2010.
Hanafi, Hassan, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr 1952-1981: al-Yamîn wa
al-Yasârfî al-Fikr al-Dînî, Jilid VII. Kairo: Maktabah Madbuli, 1987

15
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indoneia Pengusung Ide
Sekularisma, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, Jakarta: Hujjah
Prees, 2007.
In’am Esha, Muhammah, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
------------- , Falsafah Kalam Sosial, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Jahja, M. Zurkani, Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cet. I;
Jakarta Paramadina, 1992.
Muchtar Ghazali, Adeng, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga
Modern, Bandung: CV Pustaka Setia, 2005
Mustafa P., M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia,
Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010.
Nitiprawiro, Francis Wahono. Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode,
Praksis dan Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran,
dan Perkembangannya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2010.
Nuryantno, M. Agus, Asghar Ali Engineer: Sang Teolog Pembebasan,
dalamh t t p : / w w w . M a i l archive.com/kmnu2000@yahoogroups.c
om/msg01
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1991.

16

Anda mungkin juga menyukai