Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

Demam Tifoid

Oleh
dr. Ika Putriyuliani

Pembimbing
dr. Baiq Yuliana A.P.

DPJP
dr. Made Sujaya, Sp. PD

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


ANGKATAN III PERIODE SEPTEMBER 2018
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
RUMAH SAKIT ISLAM SITI HAJAR MATARAM
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat waktu.
Laporan kasus berjudul “Demam Tifoid” ini disusun dalam rangka mengikuti Program
Intership Dokter Indonesia (PIDI) angkatan III periode September 2018.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
banyak memberikan bimbingan kepada penulis:
1. dr. Made Sujaya, Sp. PD selaku DPJP pasien
2. dr. Baiq Yuliana A.P. selaku pembimbing PIDI
3. Rekan-rekan dokter Internship
4. Pihak-pihak lain yang telah banyak membantu
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat khususnya kepada penulis dan
kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih

Mataram, 18 Desember 2018

Penulis

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Nn. SR
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun
Alamat : Dasan Baru, Kediri, Lombok Barat
Masuk RS : 13 Desember 2018
Pulang : 15 Desember 2018
Anamnesis dilakukan tanggal 13 Desember 2018, pukul 14.00, secara auto dan
alloanamnesis

Keluhan Utama : Demam


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSI Siti Hajar dengan keluhan demam sejak 6 hari. Demam
dirasakan terutama sore hari dan malam hari, dan turun di pagi hari. Demam disertai mual,
pasien sempat muntah 1 kali, pusing, nafsu makan berkurang dan nyeri ulu hati. Demam
tidak disertai pilek dan batuk. Pasien juga tidak mengeluh BAB cair. BAB berwarna merah
atau kehitaman disangkal. BAK seperti biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat Pengobatan
Pasien sempat dibawa ke RS Kota Mataram namun pulang paksa. Dari RS Kota
Mataram pasien diberikan antibiotik dan penurun panas, namun hanya diminum sehari
karena tidak merasa mengalami perbaikan.

3
Riwayat Nutrisi dan Lifestyle
Pasien adalah seorang mahasiswi yang tinggal di kos. Jadwal makan pasien tidak teratur
dan sering membeli makanan di pinggir jalan.

B. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, kuat angkat
RR : 18 x / menit
Suhu : 38°C
Pemeriksaan status generalis :
Kepala : tidak tampak kelainan
Mata : konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-)
THT : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor,
tremor (+)
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normal.
Paru :
Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak
ada ketinggalan gerak.
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-)
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik (<3
detik), bising usus normal tidak meningkat
4
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal (3x/menit)
Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik
C. Daftar masalah
- Demam 6 hari,terutama sore hari kadang disertai menggigil
- Mual, pusing
- Nafsu makan berkurang
- Lidah tampak kotor
- Nyeri tekan epigastrium

D. Diagnosis
Diagnosis : Susp. Demam Tifoid
Diagnosis banding : malaria

E. Usulan pemeriksaan penunjang


- Cek malaria
- Pemeriksaan widal

Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 15 februari 2012


- RDT (-)

F. Penatalaksanaan
- Diet lunak
- Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Cefotaxim 2x1gr
- Inj. Ranitidin 2x1amp
- Drip B12 1amp/24jam
- Paracetamol 3 x 500mg

G. Prognosis
5
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Follow Up
Tanggal 16 Februari 2012
S : demam (+), mual(+), muntah (-), pusing (+), menggigil (+), nafsu makan turun,
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 90/60 mmHg, nadi 100 x/ menit, RR 22 x/menit, Suhu : 38,7°C, konjungtiva
anemis (-), lidah kotor (+), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat
A : Susp.Demam tifoid
P : - Diet lunak
- Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Cefotaxim 2x1gr
- Inj. Ranitidin 2x1amp
- Drip B12 1amp/24jam
- Paracetamol 3 x 500mg
Tanggal 17 Februari 2012
S : Demam turun naik, mual berkurang, pusing (-), menggigil (-), nafsu makan berkurang
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 90/60 mmHg, nadi 94 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 38,2°C, konjungtiva anemis
(-), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat
A : Susp. Demam tifoid
P : - Diet lunak
- Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Cefotaxim 2x1gr
- Inj. Ranitidin 2x1amp
- Drip B12 1amp/24jam
- Paracetamol 3 x 500mg
Tanggal 18 Februari 2012
6
S : Demam (-), mual (-), nafsu makan (+)
O : ku : baik
TD: 100/70 mmHg, nadi 88 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 37°C, nyeri tekan
epigastrium (-), akral hangat
A : Susp. Demam tifoid
P : - Cefixime 2x100mg
- Paracetamol 3 x 500mg
- Vit B complex 3x1 tab
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp
(lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, B, C

B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
7
C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi

D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan
menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi
berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan
menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel
yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan
dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya
8
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sitemik.

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi infeksi
sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan dan gangguan organ lainnya.

9
Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinis

10
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi
dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
 Demam sekitar interminten/remiten
11
 Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
 Gambaran gejala saluran nafas atas
 Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
 Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/
hepatomegali
 Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


 Demam kontinyu
 Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali permenit)
 Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
 Hepatomegali dan splenomegali,
 Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan
kehilangan nafsu makan
 Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


 Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
 Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.

F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses
kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada
12
pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula
terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan
dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini
kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan false-positif
terjadi.

Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk
menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O,
kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara
9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi
aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah
divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri
13
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.

G. Penatalaksanaan
14
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat yang
adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan-
elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi
abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi.
Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka
kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam
tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut
adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk
antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal, diikuti
1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien dengan syok,
penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan pengawasan .

15
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

16
H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya
komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat
kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi ≥3bulan
setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi
karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun
secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.
17
DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid


Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and
Biologicals. WHO.

Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment of
Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York,

Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article


231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011.

CDC. Communicable Disease Management Protocol – Typhoid and Paratyphoid Fever


(enteric fever) .2012. Available from:
http://www.gov.mb.ca/health/publichealth/cdc/protocol/typhoid.pdf

18
Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi,
Maulani RF. Jakarta EGC

Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik Infeksi Indonesia. Naskah Konsensus


Penatalaksanaan Demam Tifoid. Jakarta: PETRI: 2006
Pudjiadi AH, et al, editor. Pedoman Pelayanan Medis Anak. Jilid 1, Cetakan I. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia : 2010

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,


Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

Soedarmo s. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri tropis. Edisi kedua. Jakarta: Ikatan dokter
Anak Indonesia:2008

Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
edisi IV. Jakarta FKUI

19

Anda mungkin juga menyukai