Anda di halaman 1dari 4

KPH Harus Jadi Lokomotif Pengembangan Ekonomi Masyarakat

Bangka - Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) harus menjadi lokomotif


peningkatan ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan,
melalui pengembangan berbagai usaha produktif pemanfaatan hasil hutan
kayu maupun nonkayu.

Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan (KLHK) Drasospolino menjelaskan, sebagai unit yang
berada di tingkat tapak, KPH adalah garda terdepan pengelolaan hutan di
Indonesia.

“KPH adalah bentuk kehadiran negara dalam pengelolaan hutan yang harus
berdampak pada perbaikan pengelolaan hutan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat,” kata Drasospolino pada Forum Bisnis KPH
Produksi Wilayah Provinsi Bangka Belitung, di Bangka, Jumat (24/11).

Saat ini, katanya, beberapa KPH berhasil mengembangkan usaha produktif


berbasis masyarakat. Misalnya, KPH Limau di Jambi yang mengembangkan
minyak kepayang, dan KPH Batulanteh, NTB, yang mengembangkan madu
sumbawa.

"Sementara KPH Yogyakarta berhasil mengembangkan minyak kayu putih


dengan pendapatan mencapai Rp 10 miliar per tahun. KPH Yogyakarta juga
mengembangkan ekowisasata dengan pendapatan mencapai Rp 6 miliar
per tahun,” ucapnya.

Drasospolino mengungkapkan, saat ini telah ada 149 KPH Produksi yang
telah beroperasi, 63 di antaranya telah mengembangkan usaha produktif
berbasis masyarakat.

Evaluasi yang dilakukan pihaknya menunjukan, keberadaan KPH Produksi


berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan pendapatan Kepala Keluarga (KK) yang menjadi mitra KPH
produksi naik 70,48% pada 2016 dibandingkan tahun 2015. Peningkatan
kembali terjadi pada 2017 sebesar 192% dibandingkan tahun sebelumnya.

Pembiayaan
Sementara itu, Kepala Sub Bagian Umum Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan (P3H) KLHK Edi Subiyanto mengungkapkan, pihaknya
menyediakan pembiayaan yang bisa dimanfaatkan KPH untuk mendukung
berbagai
usaha produktif masyarakat.

“Kami menyediakan pembiayaan dengan suku bunga yang terjangkau bagi


masyarakat dengan grace periode yang cukup panjang,” ujarnya.

Selain melalui skema pinjaman, penyaluran pembiayaan dari P3H juga bisa
dilakukan melalui skema kerja sama dan syariah. Sementara, jenis usaha
yang bisa dibiayai untuk pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu,
baik on farm maupun off farm.

Edi menyatakan, untuk penyaluran pembiayaan, pihaknya juga menyasar


usaha kehutanan yang dilakukan di wilayah tertentu pada KPH. “Di wilayah
KPH, masyarakat yang ingin mendapatkan pembiayaan harus memiliki
perjanjian kerja sama dengan KPH,” katanya.

Sampai saat ini sudah banyak usaha produktif masyarakat yang dibiayai
oleh P3H. Termasuk di antaranya adalah pengembangan madu di
Putusibau, Kalimantan Barat, pengolahan gula aren di Bengkulu, dan
pengembangan usaha pakan ternak kelinci di Garut.

Kembangkan Madu

Sementara itu Direktur Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) Hermanto


mengatakan, salah satu komoditas yang bisa dikembangkan oleh KPH
adalah madu. Menurut dia, madu telah menjadi bagian dari gaya hidup
sehat masyarakat milenial.

“Madu memiliki banyak khasiat. Apalagi madu hutan bersumber alami dan
bebas dari kontaminasi pestisida,” ucapnya.

Hermanto mengungkapkan, salah satu alasan madu layak dikembangkan


adalah komoditas ini bisa dikembangkan dan dipasarkan dengan
memperhatikan empat pilar, yaitu masyarakat (people), produk berkualitas
(product), keuntungan (profit) bagi masyarakat, dan kelestarian hutan dan
lingkungan (planet).
Penguatan Operasionalisasi KPH untuk
Kelestarian Hutan

Editor: Redjo Prahananda


Minggu, 23 September 2018 - 14:15

INDOPOS.CO.ID - Dalam rangka menjaga kelangsungan fungsi hutan, perlu dilakukan upaya
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Upaya ini merupakan
bagian dari operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai unit pengelola hutan di tingkat
tapak.

Sebagai bentuk evaluasi pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaksanakan Rapat Evaluasi Perkembangan
Operasionalisasi KPHP Tahun 2018 di Yogyakarta beberapa waktu lalu, yang dipimpin langsung
oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Hilman Nugroho.

"KPH harus memiliki kemampuan manajerial, untuk memanfaatkan secara optimal aset yang dimiliki
di wilayahnya, dan punya kemampuan memasarkannya untuk mencapai kemandiriannya, dengan
menentukan tujuan dan sasaran KPH, Desain Bussiness Plan, dan implementasinya, melalui Prinsip
6 M (Money, Manpower, Material, Methods, Machine dan Marketing)," jelas Hilman saat membuka
acara.

Evaluasi KPHP dilakukan melalui pendekatan 4 (empat) indikator kemandirian KPHP, yaitu
meningkatnya pendapatan masyarakat yang menjadi mitra KPHP, meningkatnya nilai investasi
usaha produktif di wilayah KPHP, berkurangnya jumlah gangguan/konflik di wilayah KPHP, dan
menurunnya tingkat deforestrasi dan degradasi hutan di wilayah KPHP.

Disampaikannya, tantangan pengelolaan hutan ke depan adalah, bagaimana mengusung


perubahan paradigma dari Timber Oriented ke arah Non Timber Oriented dalam pengelolaan
kawasan hutan negara.

"Dengan menurunkan beberapa kewenangan hingga ke tingkat tapak, menjadi obat mujarab bagi
penyakit kronis yang diderita kehutanan," lanjutnya.

Hilman juga menegaskan, agar kegiatan KPH mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 6
Tahun 2007 jo PP. No. 3 Tahun 2008, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kegiatan ini meliputi tata hutan dan penyusunan RPH,
pemanfaatan hutan, penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, serta
perlindungan hutan dan konservasi alam.

Sebagaimana dicontohkan Hilman, Indonesia memiliki hutan seluas ± 120 juta ha, dengan luas
lahan kritis: ± 24,3 juta ha (20 persen), sementara kemampuan pemerintah melaksanakan RHL
hanya seluas ± 500 ribu ha/tahun. Dengan demikian, diperlukan waktu selama 48 Tahun dalam
penyelesaiannya.
Terkait hal tersebut, serta fenomena bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia,
Hilman menekankan, upaya pencegahan dan penanggulangan bencana alam adalah tanggung
jawab bersama seluruh elemen masyarakat, terlebih institusi KPH, sesuai Peraturan Menteri LHK
No.P.74/MenLHK/Setjen /Kum.1/8/2016.

Pembangunan KPH sudah diamanatkan dalam dokumen perundang-undangan sejak Tahun 1967,
tetapi sampai saat ini upaya untuk mewujudkan KPH beroperasi masih banyak menemui kendala.

"Berbagai kampanye, diskusi, seminar, serta dukungan kebijakan hingga fasilitasi operasionalisasi
oleh Pemerintah, telah dilakukan, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Rapat ini merupakan momen penting bagi seluruh komponen punggawa KPH, bersinergis
menyatukan visi dan misi membangun hutan," pungkas Hilman.

Dalam rapat yang dilaksanakan selama tanggal 21-22 September 2018 ini, sekitar 300 peserta
hadir, terdiri dari pejabat Eselon II KLHK, Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan,
Kepala Balai Pemanfaatan Hutan Produksi, dan Kepala KPH seluruh Indonesia. Setelah rapat
evaluasi, KLHK juga akan melaksanakan Pameran Usaha Kehutanan (PUSAKA) pada tanggal 28-
29 September 2018, di Mangunan, Yogyakarta. (adl)

Anda mungkin juga menyukai