Disusun Oleh :
62019040075
3. KARAKTERISTIK LANSIA
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan
masalah ksehatan lansia adalah :
a. Jenis kelamin
Lansia lebih banyak wanita. Terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah
kesehatan yang berbeda antara laki- laki dan perempuan. Misalnya laki-laki
dengan hipertropi prostat, maka perempuan mungkin mengalami osteoporosis.
b. Status perkawinan
Status masih pasangan lengkap atau sudah menjanda atau duda akan
mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik aupun psikologis
c. Living arrangement
Misalnya keadaan pasangan, tingga; sendiri atau bersama istri, anak atau
keluarga lainnya
d. Kondisi kesehatan
1. Kondisi umum : kemampuan umum untuk tidak bergantung kepada orang
lain dalam kegiatan sehari-hari seperti : mandi, buang air besar dan kecil
2. Frekuensi sakit : frekuensi sakit yang tinggi menjadikan tidak produktif lagi
bahkan mulai tergantung kepada orang lain.
e. Keadaan ekonomi.
1. Sumber pendapatan resmi : pensiunan ditambah sumber pendapatan lain
kalau masih bisa aktif
2. Sumber pedpatan keluarga : ada bahka ada tidaknya bantuan keluarga dari
anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada anggota tergantung
padanya
3. Kemampuan pendapatan : lansia memerlukan pedapatan yang lebih tinggi,
sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi sangat terancam,
sehingga cukup beralasan untuk melakukan berbgagai perubahan besar
dalam kehidupan , menentukan kondisi hidup yang dengan perubahan status
ekonomi dan kondisi fisik.
4. TIPOLOGI LANSIA
Tipologi Manusia Lanjut Usia Di zaman sekarang atau zaman pembangunan,
dijumpai banyak bermacam-macam tipe lanjut usia, antara lain :
1.Tipe Mandiri Mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatan-
kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta
memenuhi undangan.
2.Tipe tidak Puas Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang
kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar , mudah
tersinggung, menuntut sulit dilayani dan pengkritik.
3.Tipe Pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis
gelap dating terang, emgikuti kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja
dilakukan.
4.Tipe Bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa
minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh
5. MITOS LANSIA
1. Mitos konservatif
Ada pandangan bahwa lansia pada umumnya:
Konservaatif
Tidak kreatif
Menolak inovasi
Berorientasi ke masa silam
Merindukan masa lalu
Kembali ke masa kanak-kanak
Susah menerima ide baru
Susah berubah
Keras kepala
Cerewet
Faktanya : tidak semua lansia bersikap, berfikiran, dan berperilaku demikian.
2. Mitos berpenyakit dan kemunduran
Lansia sering kali dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai
dengan berbagai penderitaan akibat bermacam penyakit yang menyertai
proses menua (lansia merupakan masa berpenyakitan dan kemunduran)
Faktanya : memang proses menua disertai dengan menurunnya daya tahan
tubuh dan metabolisme sehingga rawan terhadap penyakit. Akan tetapi, saat
ini telah banyak penyakit yang dapat dikontrol dan diobati.
3. Mitos senilitas
Lansia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan oleh adanya
kerusakan sel otak.
Faktanya: banyak lansia yang masih tetap sehat dan segar bugar, daya
pikirnya masih jernih dan cenderung cemerlang, bnyak cara untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan daya ingat.
4. Mitos ketidakproduktifan
Lansia dipandang sebagai masa usia yang tidak produktif, bahkan menjadi
beban keluarganya. Lansia dipandang sebagai masa usia yang tidak produktif,
bahkan menjadi beban keluarganya.
Faktanya: tidak demikian, banyak individu yang mencapai kebenaran,
kematangan, kemantapan, serta produktifitas mental dan material dimas lanjut
usia.
5. Mitos asektualitas
Ada pandangan bahwa pada lansia, minat, dorongan, gairah, kebutuhan,
dan daya seks menurun.
Faktanya: kehidupan seks pada lansia berlangsung normal, dan frekuensi
hubungan seksual menurun sejalan meningkatnya usia, tetapi masih tetap
tinggi.
6. Mitos tidak jatuh cinta
Lansia sudah tidak lagi jatuh cinta, tidak tertarik atau bergairah kepada
lkawan jenis.
Faktanya: perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa, perasaan
cinta tidak berhenti hanya karena menjadi lansia.
7. Mitos kedamaian dn ketenangan
Lansia dapat santai menikmati hasil kerja dan jerih payahnya di masa
muda dan dewasanya. Badai dan berbagai goncangan kehidupan seakan-akan
telah berhasil dilewatinya.
Faktanya:L sering ditemukan stres karena kemiskinan dan berbagai keluhan
serta penderitaan karena penyakit, kecemasan, kekhawatiran, depresi,
paranoid, dan psikotik.
6. TEORI PENUAAN
Teori proses menua menurut Potter dan Perry (2005) yaitu sebagai berikut :
Teori Biologis
1) Teori radikal bebas
Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang
dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya radikal
bebas akan dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa berhasil
lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat di
lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan. Radikal
bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas dapat
menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-produk limbah
yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas
menyerang molekul, akan terjadi kerusakan membran sel; penuaan
diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya
mengganggu fungsi. Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan dalam
lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya lemak dan protein. Peran
lipofusin pada penuaan mungkin kemampuannya untuk mengganggu
transportasi sel dan replikasi DNA. Lipofusin, yang menyebabkan bintik-
bintik penuaan, adalah dengan produk oksidasi dan oleh karena itu
tampaknya terkait dengan radikal bebas.
2) Teori cross-link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul kolagen
dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama
meningkatkan regiditas sel, cross-linkage diperkirakan akibat reaksi kimia
yang menimbulkan senyawa antara melokul-melokul yang normalnya
terpisah (Ebersole & Hess, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
3) Teori imunologis
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama
proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran dalam
pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga
pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.perubahan
sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak
adanya keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan
kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh.
Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan integritas sistem tubuh untuk
melawan sistem imun itu sendiri.
Teori Psikososial
1) Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran
masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan dikatakan bahagia apabila
kontak sosial telah berkurang dan tanggungjawab telah diambil oleh generasi
yang lebih muda. Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah
agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi kembali pencapaian yang
telah dialami dan untuk menghadapi harapan yang belum dicapai.
2) Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang
sukses maka ia harus tetap beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi
dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia.
Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif
mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik yang
berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
3) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan kelanjutan
dari perilaku yang sering dilakukan klien pada usia dewasa. Perilaku hidup
yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga usia lanjut dan
akan semakin menurunkan kualitas hidup.
DENGAN TIDAK
NO KRITERIA MANDIRI
BANTUAN MAMPU
1. Makan 2
2. Mandi 1
3. Perawatan diri 1
4. Berpakaian 2
5. Buang Air Kecil 2
6. Buang Air Besar 2
7. Berpindah dari kursi 2
roda ke tempat tidur,
sebaliknya
8. Personal toilet ( cuci 3
muka, menyisir rambut,
gosok gigi)
9. Aktivitas 3
duduk/transfer
10. Naik turun tangga 2
Penilaian : 20 (Mandiri)
C. SPSMQ
Digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual terdiri dari
10 hal yang menilai orientasi, memori dalam hubungan dengan kemampuan
perawatan diri, memori jauh dan kemampuan matematis
D. GDS
Skala Depresi Geritrik Yesavage (GDS)
Instrumen yang disusun secara khusus untuk memeriksa depresi
Terdiri atas 30 pertanyaan dengan jawaban YA atau TIDAK
Beberapa nomor jawaban YA dicetak tebal, dan beberapa nomor yang lain jawab TIDAK
dicetak tebal
Yang dicetak tebal nilai 1 bila dipilih ( jawaban yang sesuai pertanyaan)
Skor 0 – 10 : not depressed
Skor 11 – 20 : mild depression
Skor 21 -30 : savere depression
E. APGAR KELUARGA
Hubungan lansia dengan keluarga memerankan peran sentral pada seluruh tingkat
kesehatan dan kesejahteraan lansia. Alat skrining singkat yang dapat digunakan
untuk mengkaji fungsi social lansia adalah APGAR Keluarga. Instrument
disesuaikan untuk digunakan pada klien yang mempunyai hubungan social lebih
intim dengan teman-temannya atau dengan keluarga. Nilai < 3 menandakan
disfungsi keluarga sangat tinggi, nilai 4 – 6 disfungsi keluarga sedang.
A : Adaptation
P : Partnership
G :Growth
A :Affection
R : Resolve
F. MMSE
Menguji aspek kognitif dari fungsi mental, orientasi, registrasi,perhatian dank
kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa. Nilai kemungkinan paliong tinggi
adalaha 30, dengan nialu 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan
kognitif yang memerlukan penyelidikan leboh lanjut.
2. ETIOLOGI
Penyebab RA menurut Helmi (2013), tidak diketahui. Faktor genetik,
lingkungan, hormon, imunologi dan faktor-faktor infeksi mungkin memainkan
peran penting. Sementara itu, faktor sosial ekonomi, psikologis, dan gaya hidup
dapat memengaruhi progresivitas dari penyakit.
a. Genetik
Sekitar 60% dari pasien dengan RA embawa epitop bersama dari cluster HLA-
DR4 yang merupakan salah satu situs pengiktn peptida-molekul HLA-DR
tertentu yang berkaitan dengan RA.
b. Lingkungan
Untuk beberapa dekade, sejumlah agen infeksi seperti orgaisme Mycoplasma,
Epstein-Barr dan virus rubella menjadi prodisposisi peningkatan RA.
c. Hormonal
Hormonal seks mungkin memainkan peran, terbukti dengan jumlah perempuan
yang tidak proporsional dengan RA, Ameliorasi selama kehamilan, kambuh
dalam periode postpartm dini dan insiden berkurang pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral
d. Immunologisemua
Semua elemen imunologi utama memainkan peran penting dalam propagasi,
inisiasi, dan pemeliharaan dari proes autoimun RA. Peristiwa seluler dan
sitokin yang mengakibatkan konsekuensi pada patologi kompleks, seperti
proliferasi sinovia dan kerusakan sendi berikutnya. Keterlibatan limfosit T dan
B, antigen-presentig sel (misalnya sel B, makrofag dan sel dendritik). Serta
banyak sitokin. Penyimpangan produksi dan regulasi dri kedua sitokin
proidlamasi dan antiinflamasi dan jalur sitokin ditemukan di RA. Sel T CD4
diasumsikan memainkan peran penting dalam inisiasi RA. Sel-sel kemudian
dapat mengaktifkan makrofag dan populasi lainnya, termasuk fibrolas sinovia.
Makrofag dan sinoviafibrolas menjadi produsen utama dari sitokin
proinflamasi TNF alfa dan IL1. Hiperaktivasi dari membran sinovia
membentuk jaringan pannus dan menyerang tulang sehingga mengalami
degenerasi oleh aktivasi osteoklas.
3. PATOFISIOLOGI
RA Merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi
autoimun terjadi di jaringan synovial, dan kerusakan sendi terjadi mulai dari
proliferasi makrofag dan fibroblast synovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
system dan terjadi proliferasi sel-sel endotel lalu terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadi pertumbuhan yang irregular
pada jaringan synovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi
dan merusak rawan sendi dan tulang. Respon imun melibatkan peran sitokin,
interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan
destruksi sendi dan komplikasi sistemik. Peran sel T pada RA diawali oleh
interaksi antara reseptor sel T dengan share sytem dari major histocompability
complex class II (MHCII-SE) dan peptide pada antigen-presenting cell (APC)
pada system atau sistemik namun peran sel B dalam imunopatologis RA belum
diketahui secara pasti (Suarjana, 2009).
RA memiliki komponen genetik yang disignifikan dan berbagai epitop dari
cluster HLA-DR4/DR1 hadir pada 90% psien dengan RA. Hiperplasi sel cairan
sendi dan aktivasi sel endotel adalah kejadian pada awal proses patologis yang
berkembang menjadi peradangan yang tidak terkontrol danberakibat pada
kehancuran tulang dan tulang rawan. Faktor genetik dan kelainan sistem
kekebalan berkontribusiterhadap progresif penyakit. Sel T CD4, fagosit
mononuklear, fibroblas, osteiklas, dan neutroil memainkan peran seluler utama
dalam patofiiologi RA, sedangkan limfosit B memproduksi autoantibodi. Produksi
sitokin abnormal, kemokin, dan mediator inflamasi lain (misalnya TNF-alpha,
interleukin (IL)-1-6, IL-8, serta faktor pertumbuhan fibrolas) telah ditunjukan
dengan pasien RA. Pada akhirnya peradangan dan proliferasi sinovium (yaiti
pannus) menuju kerusakan dari berbagai jaringan, termasuk tulang rawan, tulang
tendon, ligamen, dan pembuluh darah. Meskipun struktur artikular adalah tempat
utama yang terlibat oleh RA, tetapi jaringan lain terpengaruh (Helmi, 2013).
PATHWAY
4. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Helmi (2013), RA ditandai dengan adanya:
a. Kekakuan sendi jari jari tangan pada pagi hari.
b. Nyeri pada pergelangan sendi atau nyeri tekan sekurang kurangnya pada satu
sendi.
c. Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada
salah satu sendi secara terus menerus sekurang-kurangnya selama enam
minggu.
d. Pembengkakaan pada salah satu sendi.
e. Pembengkakan pada sendi yang simetris .
f. Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah eksensor.
Pengendapan caira pada cousin yang jelek
5. KLASIFIKASI
Buffer (2010) mengklasifikasikan reumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Reumatoid arthritis klasik
pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Reumatoid arthritis defisit
pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable Reumatoid arthritis
pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible Reumatoid arthritis
pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Tes serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, Darah bisa terjadi anemia dan
leukositosis, Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita
2. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan
lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan
awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan
subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
3. Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium
4. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/
degenerasi tulang pada sendi
5. Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari
normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-
produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan
viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
6. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
7. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau
atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan
kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.
7. PENATALAKSANAAN
Menurut Swale & Bulstrode (2013), Spekrum RA memerlukan pendekatan
multidisiplin yang melibatkan :
a. Perawatan khusus : Edukasi dukungn pada pasien, kelompok merawat diri
sendiri
b. Fisioterapi : Olahraga dan proteksi sendi
c. Terapi okupasi : Adaptasi, alat bantu dan bidai.
d. Farmakologi : Kontrol nyeri dan penyakit.
e. Pembedahan : Penggantian sendi, arthrodesis dan perbaikan tendon.
INTERVENSI
No Dx NOC NIC
1. Nyeri b.d Setelah dilakukan tindakan Kaji keluhan nyeri
pencedera, keperawatan selama 3x24 jam Catat lokasi ( skala nyeri
distensi diharapkan tidak ada keluhan 0-10)
jaringan oleh nyeri, dengan KH: Dorong untuk mengubah
akumulasi Menunjukan nyeri posisi, bantu untuk
cairan/ proses hilang/ terkontrol bergerak ditempat tidur,
inflamasi, Terliht rileks sokong sendi yang sakit di
destruksi Mengikuti program atas dan dibawah
sendi. farmakologi Anjurkan pasien mandi air
Menggabungkan hangat
keterampilan relaksasi
dan aktivitas hiburan
kedalam program kontrol
nyeri
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Evaluasi/ lanjutkan
mobilitas keperawatan selama 3x24 jam pemantauan tingkat
fisik b.d diharapkan mobilitas fisik baik inflamasi/ rasa sakit pada
deformitas dengan kriteria : sendi
skeletal, Mempertahankan fungsi Pertahankan istirahat tirah
nyeri, posisi dengan tidak hadirnya/ baring/ duduk jika diperlukan
penurunan, pembatasan kontraktur. jadwal aktivitas untuk.
kekuatan Mempertahankan ataupun Bantu dengan rentang gerak
otot. meningkatkan kekuatan dan aktif/pasif,
fungsi dari dan/ atau Ubah posisi dengan sering
kompensasi bagian tubuh dengan jumlah personel
Mendemonstrasikan tehnik/ cukup.
perilaku yang memungkinkan Posisikan dengan bantal,
melakukan aktivitas kantung pasir, gulungan
trokanter, bebat, brace
Gunakan bantal kecil/tipis di
bawah leher.
Suarjana, 2009 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Interna Publishing,
Jakarta.