Pondy mengidentifikasi empat jenis konflik, yaitu:
1. Latent Conflict Latent Conflict adalah konflik yang didasarkan atas tiga sumber yaitu : a. persaingan memperebutkan sumberdaya yang langka; b. kehendak untuk otonom atau berdiri sendiri, dan c. perbedaan sasaran-sasaran yang dikendaki oleh masing-masing unit dalam organisasi. Persaingan membentuk dasar konflik tatkala tuntutan untuk memperoleh sumberdaya melebihi sumberdaya yang tersedia di dalam organisasi. Kebutuhan untuk otonom terjelma menjadi konflik tatkala salah satu pihak berupaya menerapkan kendali atas sejumlah kegiatan yang oleh pihak lain diakui sebagai otonominya. Perbedaan sasaran menjadi sumber konflik tatkala dua pihak harus bekerja sama dalam sejumlah kegiatan, tetapi tidak bisa meraih kesepakatan seputar tindakan apa yang harus diambil. Dari Latent Conflict inilah kemudian muncul Model Konflik Peran. Model ini memperlakukan organisasi selaku kumpulan seperangkat peran, yang masing-masing peran dipegang oleh seseorang serta orang yang memberikan peran tersebut kepadanya. Konflik muncul tatkala pemegang peran menerima tuntutan peran yang dianggap bertentangan dengan peran yang sebelumnya ia perankan. Model ini juga menganggap pemegang peran selaku penerima pasif ketimbang partisipan aktif dalam hubungan. 2. Perceived Conflict Konflik pun kerap kali terjadi meski tidak satupun kondisi latent conflict dapat diidentifikasi. Kondisi latent conflict bisa terjadi tanpa satupun peserta konflik merasakan bahwa kondisi laten tersebut telah terjadi. Dalam kasus konflik tetap terjadi tatkala tidak satupun latent conflict ada, dijelaskan melalui Model Semantik Konflik. Menurut model ini, konflik merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain seputar posisi aktual. Dengan demikian, konflik bisa diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Model Semantik Konflik ini menjadi dasar bagi teknik-teknik manajemen yang luas dipakai dengan tujuan meningkatkan hubungan interpersonal. Namun, sejumlah latent conflict yang gagal dimasukkan ke dalam level kesadaran tiap-tiap entitas dalam organisasi juga patut diberi penjelasan. Dua mekanisme penting yang menyekat persepsi seputar konflik adalah Mekanisme Supresi dan Mekanisme Fokus Perhatian. Individu cenderung memblok konflik-konflik yang sedikit mengancam kesadarannya. Konflik baru menjadi ancaman besar, dan baru disadari, kala konflik- konflik tersebut bersangkutan dengan nilai inti yang dianut individu secara pribadi. Mekanisme Supresi bisa diterapkan pada konflik-konflik yang berhubungan dengan pribadi/personal tinimbang nilai-nilai keorganisasian. Mekanisme Fokus Perhatian, sebaliknya, berhubungan dengan perilaku keorganisasian tinimbang nilai-nilai pribadi. 3. Felt Conflict Terdapat perbedaan penting antara konflik yang dianggap ada (perceived conflict) dengan konflik yang dirasakan ada (felt conflict). Si A mungkin sadar bahwa B dan A berada dalam kondisi saling tidak setuju yang serius atas satu kebijakan yang sama, dan ini merupakan felt conflict. Namun, ketika felt conflict tersebut tidak membuat Si A tegang atau gelisah, dan kondisi ini tidak punya dampak seputar perasaan Si A terhadap Si B. Kondisi ini merupakan bentuk perceived conflict. Personalisasi konflik adalah mekanisme yang menyebabkan pemikir-pemikir organisasi menekankan pada sifat disfungsi konflik. Ada dua penjelasan umum bagi personalisasi konflik ini. a. Pertama, penjelasan bahwa tuntutan atas efisiensi organisasi dan perkembangan individu tidak konsisten dan menciptakan kegelisahan di dalam diri individu. Kegelisahan dihasilkan dari krisis identitas yang berasal dari lingkungan eksternalnya (organisasi). Individu butuh pelepasan kegelisahan ini dalam rangka memelihara kesimbangan internalnya sendiri. Ketiga jenis latent conflict menyediakan alasan pembenar guna menggantikan kegelisahan ini dan si individu mengarahkannya pada sasaran yang cocok. Dari titik ini berkembang Model Ketegangan (Tension Model). b. Kedua, pejelasan bahwa konflik menjadi bersifat pribadi kala seluruh kepribadian individu terlibat di dalam hubungan. Rasa permusuhan adalah umum dalam hubungan-hubungan yang intim (akrab) yang mencirikan lembaga-lembaga seperti gereja, perguruan tinggi, dan keluarga. Guna menghilangkan permusuhan yang terakumulasi, lembaga secara keseluruhan membutuhkan insitusi pengaman guna melepaskan ‘hawa permusuhan’ ini seperti kegiatan atletik hingga pemberian sanksi. 4. Manifest Conflict Model ini dimaksudkan guna menjelaskan bagi sejumlah perilaku konflik yang telah bersifat nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan terbuka, perkelahian, perang mulut, kendati kekerasan fisik dan verbal biasanya diharamkan oleh norma organisasi. Manifest conflict dalam bentuk penyerangan terbukan dan perkelahian umum terjadi dalam kerusuhan penjara, revolusi politik, atau kisruh buruh yang ekstrim, tetapi dalam konteks organisasi umum bentuk-bentuk ini adalah jarang. Dalam organisasi umum, motivasi untuk berbuat kekerasan tetap ada, tetapi cenderung diekspresikan dalam bentuk yang lebih halus. Suatu kajian berhasil mendokumentasikan upaya terselubung untuk mensabotase atau memblok rencara pihak lawan lewat koalisi-koalisi yang agresif dan defensif. Para montir di perusahaan otomotif menunjukkan taktik-taktik konflik yang digunakan oleh partisipan organisasi level rendahan, seperti apatisme guna melawan para supervisor mereka.