Anda di halaman 1dari 4

Journal Psikiatri dan Gangguan Kejiwaan

GANGGUAN SIKAP MENENTANG : SEBUAH LAPORAN KASUS

Benjamin M Blumberg*
6 Horizon Rd. Apt 1708, Fort Lee, NJ 07024, United States
*Corresponding Author: Benjamin M Blumberg, PhD. Departments of Neurology, Microbiology &
Immunology,University of Rochester Medical School, Rochester, USA, Retired. Present Address: 6 Horizon Rd.
Apt 1708, Fort Lee, NJ 07024. Tel: (201) 282-4044; Res: (201) 753-8635; E-mail: bbrl@aol.com
Received: 10 June 2017; Accepted: 19 June 2017; Published: 03 July 2017

Gangguan sikap menentang [DSM-4, © 1994; DSM-4-TR, © 2000; DSM-5, © 2013; 313,81
(F91.3)] adalah sebuah diagnosis psikiatrik yang mana kriteria untuk diagnosis ini mencakup pola
marah atau suasana hati yang mudah tersinggung, argumentative atau perilaku menantang dan
balas dendam yang berlangsung setidaknya 6 bulan. Selain itu individu sering menyalahkan orang
lain yang mana hal itu sebenarnya adalah kesalahan atau kenakalannya. Awalnya diagnosis ini
dianggap merupakan sebuah gangguan perilaku anak yang berinteraksi dengan orangtua dan figure
otoritas orang dewasa lainnya. Disini saya akan menjelaskan sebuah kasus seorang pasien
perempuan berinisial JL dimana gangguan ini tetap bertahan sampai ia dewasa dan didiagnosis
oleh seorang yang masih amatir. Setelah menjelaskan kepada pasienn tentang diagnosis yang
dialaminya lalu pasienpun meresapi makna nya ke dalam hati dan perasaannya, lalu kemudian
perilaku sikap menentang pun hilang, dan pasien mampu mencapai hidup yang jauh lebih baik dan
bahagia serta kehidupan yang normal.

Menurut ibu pasien yang berinisial RL, perilaku menentang dimulai pada usia 3 atau 4 tahun yang
mana awalnya pasien mencoba untuk meniru ibunya. Menurut ibunya, JL biasanya akan meniru
merapihkan barang-barang rumah tangga seperti kursi dan meja sesuka hati nya saja, hal ini
dianggap oleh ibunya sebagai cara untuk menarik perhatian. Perilaku anaknya ini memicu
kekesalan sang ibu dan menegur putrinya itu lalu ternyata secara tidak sengaja hal tersebut memicu
perilaku menentang pada anaknya. Saya hanya bisa berspekulasi bahwa apa yang akan terjadi jika
seandainya ibu anak ini memuji JL dan mengatur ulang barang-barang tersebut sesuai dengan
keinginan selera orang dewasa saat itu.

Penemuan berikutnya bahwa ibu dari anak ini telah bercerai dengan suaminya karena merasa
pernikahannya tidak cocok dan mempunyai 4 anak yang agresif. Saat ibunya bercerai JL ikut
tinggal bersama ayahnya. Perilaku sikap menentang ini bertahan sebagai mekanisme pertahanan
dan penanganan utama JL dan akhirnya ia menjadi kesulitan sekolah, kursus dengan guru dan tidak
mudah membentuk persahabatan. Saya melihat foto ketika JL berusia remaja akhir, sebagai mitra
RL, dan sebagai akademisi saya terkejut oleh tingkat kesulitan yang dimiliki JL dalam melanjutkan
pendidikannya, dan juga tertarik pada pria yang cocok meskipun JL seorang wanita yang
penampilan fisiknya baik dan menarik.
Tiga contoh yang akan menggambarkan bagaimana perilaku gangguan sikap menentang JL yang
mempengaruhi hidupnya. Pertama, ketika saya masih di Fakultas Rochester, dia datang untuk
tinggal bersama kami sebagai seorang anak yang telah menjadi remaja. Dia pergi ke Community
College atau kursus lokal untuk belajar keperawatan, tetapi ia mengalami kesulitan besar dengan
kursus tersebut dan mengeluh bahwa gurunya tidak memperhatikannya. Dia juga bertemu dengan
beberapa pria muda, termasuk yang sangat cocok, tetapi tidak ada hubungan yang bertahan lama.
Kedua, ketika JL berusia sekitar 21 tahun, kami mengirimnya ke Seville, Spanyol untuk kursus
musim panas belajar bahasa Spanyol dan mengenal tentang Eropa, seperti yang telah saya lakukan
sekitar 30 tahun sebelumnya (di Berlin Barat, untuk belajar bahasa Jerman). Di Seville, JL
berjuang untuk mempelajari bahasa itu, berteman hanya dengan satu orang, tidak banyak
bepergian dan menolak menjalin hubungan dengan seorang polisi muda Spanyol. Ketiga, beberapa
tahun kemudian kami membiayai dia untuk belajar lagi tentang Keperawatan di sebuah Universitas
di Virginia, tetapi sekali lagi dia mengalami kesulitan besar dengan hal tersebut dan mengeluh
bahwa gurunya tidak cukup memperhatikannya atau tidak memberikan bimbingan yang cukup.
Selama mengikuti pendidikan ini, ternyata ia menerima nilai yang buruk dalam tugasnya tanpa
memberi tahu kami sampai jadinya ia terlambat untuk memperbaiki kedudukan akademisnya, dan
kemudian anak itu datang sambil berlinang air mata kepada kami lalu ia menyalahkan kami atas
kesulitan yang dialaminya di perguruan tinggi.

Baik di Rochester maupun di Virginia, JL berkonsultasi dengan psikolog profesional, dan


didiagnosis dengan Co-dependency dan depresi. Sebagai seorang sarjana, saya telah melakukan
beberapa pekerjaan sukarela dengan teman sekelas di Rumah Sakit Negara Metropolitan, sebuah
"rumah sakit jiwa" kuno yang sekarang ditinggalkan, jadi saya memperoleh pengetahuan tentang
psikologi dan terminologinya dan dengan perilaku individu dengan penyakit mental yang serius.
Tidak ada keraguan bahwa JL merasa tertekan tentang kondisinya yang eksistensial, tetapi dia
tentu saja bukan orang yang depresi, dan saya tidak pernah menemukan tanda-tana depresi tersebut
pada anak ini. Kemudian suatu hari saya sedang menonton program di TV di mana frasa tentang
Oppositional Defiant Disorder (ODD) atau gangguan sikap menentang disebutkan, dan saya
segera mengenali ini sebagai deskripsi yang sesuai dengan perilaku JL. Jadi saya mencari ODD di
DSM-4-TR (DSM-5 belum dirilis pada waktu itu) dan mencetak definisinya.

Pada kunjungan berikutnya, saat sarapan, saya menunjukkan kepada JL cetakannya, dan berusaha
menjelaskan bagaimana saya pikir itu berlaku untuknya. Dia kesal, tetapi terus membaca cetakan
tersebut dan memaknai tentang diagnosis tersebut sampai ke dalam hati dan perasaannya. Karena
selama beberapa bulan berikutnya hidupnya membaik secara dramatis. Suasana hatinya
meningkat, dan alih-alih harus menolak pria kasar yang menambah depresinya, dia akhirnya
bertemu dengan orang yang tepat untuknya; mereka sampai saat masih bersama dan bahagia.

Tidak ada perawatan khusus untuk ODD yang ditawarkan di DSM-5. Namun, adalah sebuah hal
luar biasa bahwa hanya karena menempatkan sebuah cetakan definisi dan karakteristik gangguan
ODD di tangan JL, seseorang yang jelas-jelas menerapkannya, mampu membawa penyembuhan
diri dari tersebut yang telah ada selama 40 tahun. Saya pikir nama Oposisi Defiant Disorder
memiliki kekuatan kuratif dalam kasus ini karena, tidak seperti depresi yang mengarah pada
perasaan tidak berdaya dan pasif, dan tidak seperti Co-dependency yang tidak masuk akal di mana
individu tidak memiliki siapa pun untuk diandalkan, definisi ODD didasarkan pada kemarahan,
dan suasana hati yang kurang baik dan mudah tersinggung, dengan pembangkangan sebagai alat
respons utama, yang semuanya mudah dikenali dalam perilaku seseorang dan dapat dikontrol
sendiri setelah dikenali. Secara khusus, kriteria "sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau
kelakuannya" begitu mudah dikenali sehingga cenderung mengkonfirmasi masalah amarah dan
suasana hati, dan memberi orang lebih banyak alasan dan kekuatan untuk mengendalikan diri
sendiri terhadap masalah amarah atau suasana hatinya.
Para Editor dan Staf DSM-4 dan DSM-5 pantas mendapatkan banyak pujian karena memasukkan
kategori diagnostik ODD, yang pada awalnya dianggap kontroversial. Tidak seperti autisme, yang
pada dasarnya merupakan penyakit menular (1-3), atau skizofrenia yang mungkin merupakan
kelainan gizi, sirkuit otak salah arah atau penyakit menular (4 - 6), atau Parkinson yang disebabkan
oleh kematian neuron dopaminergik, atau Penyakit Alzheimer, yang penyebab infeksi dan fisiknya
masih dicari (7 - 9), ODD tampaknya merupakan kondisi kejiwaan murni, yang sekarang telah
terbukti dapat disembuhkan hanya oleh individu yang terkena untuk mendapatkan wawasan yang
cukup tentang cakupan emosionalnya.

Referensi
1.Blumberg BM, Mock DJ, Powers JM, et al. The HHV-6 Paradox: ubiquitous commensal or
insidiouspathogen? A two-step PCR approach. J. Clin. Virol 16 (2000): 159-178.
2.Nicholson GL. Evidence for Mycoplasma spp, Chlamydia pneumoniae, and human herpesvirus-
6 co-infections in the blood of patients with autistic spectrum disorders. J. Neurosci. Res 85 (2007):
1143-1148
3.Henderson TA. Is valacyclovir a mood stabilizer? Autism Open Access 3 (2014): 118.
4.Brown AS, Susser ES. Prenatal nutritional deficiency and risk of adult schizophrenia. Schizophr.
Bull 34(2008): 1054-1063.
5.Fellerhoff B. High risk of schizophrenia and other mental disorders associated with chlamydial
infections:hypothesis to combine drug treatment and adoptive immunotherapy. Med. Hypotheses
65 (2005): 243-252.
6.Dalman C et al. Infections in the CNS during childhood and the risk of subsequent psychotic
illness: acohort study of more than one million Swedish subjects. Am. J. Psychiatry 165 (2008):
59-65.
7.Itzhaki RF, Wozniak MS. Herpes simplex virus type 1, apolipoprotein E, and cholesterol: a
dangerousliason in Alzheimer’s disease and other disorders. Prog. Lipid Res 45 (2006): 73-90.
8.Wozniak MA, Mee AP, Itzhake RF. Herpes simplex virus type 1 DNA is located within
Alzheimer’sdisease amyloid plaques. J. Pathol 217 (2009): 131-138.
9.Carter CJ. Alzheimer’s disease plaques and tangles: cemeteries of a pyrrhic victory of the
immune defensenetwork against herpes simplex infection at the expense of complement and
inflammation-mediatedneuronal destruction. Neurochem. Int 58 (2011): 301-320.

Anda mungkin juga menyukai