LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP KLIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE
DENGAN HEMODIALISA RS K.R.M.T WONGSONEGORO-SEMARANG
NIM : G3A016239
Saran Pembimbing :
1. Pengertian CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah hilangnya fungsi ginjal normal pada
kedua ginjal yang mengakibatkan tubuh tidak mampu mempertahankan
hemeostatis cairan, elektrolit, dan asam basa. CKD bersifat kronik dan ireversibel
yang mungkin tidak memerlukan penggantian ginjal disertai terapi dialysis, tetapi
pada CKD stage akhir, kegagalan menggantikan fungsi ginjal mengakibatkan
kematian ( Brooker, 2008).
CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan uremia (Mansjoer, dkk,
2000; Smeltzer & Bare, 2002; Corwin, 2009). Graber, Toth, dan Herting (2006)
menjelaskan bahwa sindrom klinis gangguan CKD digolongkan dalam tiga
kelompok utama, yaitu:
a. Cadangan ginjal yang tidak mencukupi ditandai dengan ketidakmampuan
mengkompensasi pembebanan atau kehilangan cairan atau zat terlarut
yang ekstrim;
b. Insufisiensi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar BUN dan
berkurangnya kemampuan mengatasi fluktuasi zat terlarut dan air tetapi
dapat mempertahankan homeostasis;
c. CKD ditandai dengan peningkatan progresif BUN sampai menyebabkan
uremia serta ketidakseimabangan cairan dan elektrolit (GFR
<6mg/men/m2).
CKD adalah ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal.
Sedangkan gagal ginjal kronik adalah perkembangan gagal ginjal yang progesif
dan lambat pada setiap nefron (biasanya berlangsung beberapa tahun dan tidak
reversible) (Price and Wlison, 2006 dalam Nurarif 2015).
2. Etiologi /Predisposisi CKD
CKD dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati
refluks, ginjal polikistik, nefropati diabetik, penyebab lain seperti hipertensi,
obstruksi, gout, dan tidak diketahui (Mansjoer, dkk, 2000). Baradero, Dayrit, dan
Siswadi (2009) menyatakan bahwa penyebab utama gagal ginjal kronik adalah
diabetes melitus (32%), hipertensi (28%), dan glomerulonefritis (45%).
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan penyebab CKD yaitu:
a) penyakit infeksi tubulointerstitial: pielonefritis kronik atau refluks
nefropati;
b) penyakit peradangan: glomerulonefritis;
c) penyakit vaskular hipertensif: nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis;
d) gangguan jaringan ikat: lupus erimatosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif;
e) gangguan kongenital dan herediter: penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal;
f) penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis;
g) nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah;
h) nefropati obstruktif: traktus urinarius bagian atas, batu (batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra).
3. Patofisiologi CKD
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal
masih belum jelas, akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu
diantaranya jejas karena hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik
atau hipertensi intrarenal, deposisi kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas
karena hiperfiltrasi diperkirakan sebagai cara yang umum dari kerusakan
glomerular, tidak tergantung dari penyebab awal kerusakkan ginjal. Nefron yang
rusak akan mengakibatkan nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara
struktural dan secara fungsional mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai
dengan peningkatan aliran darah glomerular.
Cameron & Davison (2003); Henry (2003); Avner & Harmon (2004);
Behrman, Kliegman, dan Jenson, (2004) menyatakan secara umum terdapat tiga
mekanisme patogenesis terjadinya Chronic Kidney Disease (CKD) yaitu
glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.
a. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-
glomerular dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular
dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel
epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag).
1. Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga
integritas jaringan vaskular atau vascular bed termasuk glomeruli.
Di dalam kapiler glomerular, sel endotel dapat mengalami
kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress), atau
gangguan metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut
berhubungan dengan reduksi atau kehilangan fungsi anti inflamasi
dan anti koagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi
trombosit serta pembentukan mikro trombus pada kapiler
glomerulus. Hal ini juga menyebabkan mikro inflamasi yang
menarik sel-sel inflamasi (terutama monosit) sehingga berinteraksi
dengan sel mesangium dan akhirnya terjadi aktivasi, proliferasi,
serta produksi matriks ekstraselular atau extracellular matrix
(ECM).
2. Peran sel mesangium
Kerusakan sel mesangium primer ataupun sekunder dapat
menyebabkan glomerulosklerosis misalnya setelah terjadi mikro
inflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium melalui
pelepasan mitogen (seperti platelet derived growth factor atau
PDGF). Hiperselularitas sel mesangium tersebut mendahului
terjadinya sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari growth
factor seperti TGF-β1, sel mesangium yang mengalami proliferasi
dapat mejadi sel miofibroblas yang mensintesis komponen ECM
termasuk kolagen interstisial tipe III yang bukan merupakan
komponen normal ECM glomerulus. Resolusi sklerosis mesangial
dan glomerular tergantung pada keseimbangan antara sintesis
ECM yang meningkat dengan pemecahan oleh glomerular
kolagenase atau metaloproteinase.
3. Peran sel epitel
Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas
dapat menyebabkan stretching di sepanjang membran basalis
glomerulus atau glomerular basement membrane (GBM) sehingga
area tersebut menarik sel-sel inflamasi dan sel-sel tersebut
berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan formasi adesi
kapsular dan glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi
material amorf di celah paraglomerular, kerusakan glomerular-
tubular junction, dan pada akhirnya terjadi atrofi tubular serta
fibrosis interstisial.
4. Peran trombosit dan koagulasi
Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam
glomerulus yang mengalami nefropati. Stimulasi kaskade
koagulasi mengaktifkan sel mesangium dan menginduksi sklerosis.
Trombin mestimulasi produk di TGF-β1 yang menyebabkan
produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase.
Glomerulosklerosis tergantung pada keseimbangan aktivitas
trombus/antiproteolitik dengan antikoagulan/proteolitik yang
diatur oleh sistem regulasi plasminogen.
5. Peran limfosit dan monosit/makrofag
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag
terdapat dalam glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel
limfosit Th-1 yang bersifat inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat
antiinflamasi diduga berperan penting dalam resolusi atau bahkan
progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau
makrofag memiliki efek proteksi karena sel-sel tersebut dapat
memproduksi sitokin dan growth factor yang mengakibatkan
glomerulosklerosis.
b. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi
dengan fungsi ginjal dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini
termasuk inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM
yang berlebih. Sel tubular yang mengalami kerusakan berperan sebagai
antigen presenting cell yang mengekspresikan cell adhesion molecules dan
melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan growth
factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi ruang
periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung pada
dua jalur yaitu aktivasi matriks metaloproteinase dan aktivasi enzim
proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat
gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut sehingga terjadi gangguan
keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan
fibrosis yang irreversibel.
c. Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh
berbagai sebab (misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis)
akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis.
Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel tubulus dan fibroblas untuk
memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler
peritubular yang rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan
mengekspresikan trombospondin yang bersifat antiangiogenik sehingga
terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal
kronik yaitu adanya penurunan fungsi renal menyebabkan produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urine)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
a) Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurunnya filtrasi glomerulus menyebabkan klirens kreatinin
akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat serta
kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein
dalam diet, katabolisme, dan medikasi seperti steroid.
b) Retensi cairan dan natrium
Ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urine secara normal pada penyakit ginjal tahap
akhir. Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering
menahan natrium dan cairan sehingga meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien
lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam sehingga
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang semakin
memperburuk status uremik.
c) Asidosis
Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolik sehingga ginjal tidak mampu mengekskresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Penurunan ekskresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyekresi amonia
(NH3-) dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
d) Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, emmendeknya usia sel darah merah, defisiensi
nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat
ststus uremik pasien terutama dari saluran gastrointestinal.
Eritropoetin adalah substansi normal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat
terjadi disertai keletihan, angina, dan sesak nafas.
e) Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas utama lain pada gagal ginjal kronik adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium
dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat maka yang lain akan turun. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar kalsium
serum. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathohormon dari kelenjar paratiroid. Pada gagal ginjal, tubuh
tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathohormon sehingga kalsium di tulang menurun yang
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain
itu, metabolit aktiv vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal
menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.
f) Penyakit tulang uremik atau ostoeodistrofi renal
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan
keseimbangan parathohormon. Laju penurunan fungsi gagal ginjal
dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan
yang mendasari, ekskresi protein dalam urine, dan adanya
hipertensi.
5. Penatalaksanaan CKD
Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008); Baughman & Hackley (2000);
Mansjoer, dkk (2000) menyatakan bahwa langkah-langkah penatalaksanaan
umum CKD meliputi:
a. pengobatan penyakit dasar atas diagnosis yang ada;
b. pengobatan terhadap penyakit penyerta;
c. penghambatan progresivitas penurunan fungsi ginjal;
d. pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit kardiovaskuler;
e. pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi;
f. persiapan dan pemilihan terapi pengganti ginjal, khususnya apabila sudah
didapatkan gejala dan tanda-tanda uremia.
Terapi non farmakologis terdiri dari:
a. pengaturan asupan protein:
pasien nondialisis 0,6-0,75 g/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan
toleransi pasien;
pasien hemodialisis 1-1,2 g/kgBB ideal/hari;
pasien peritoneal dialisis 1,3 g/kgBB/hari;
batasi urea, kreatinin, asam urat, asam organik, dan makanan yang
diperbolehkan seperti susu, telur, dan daging.
b.pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari;
c. pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh;
d.pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total;
e. pengaturan asupan garam dan mineral:
garam (NaCl): 2-3 g/hari;
kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari;
fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari, pasien HD 17 mg/hari;
kalsium: 1400-1600 mg/hari;
besi: 10-18 mg/hari;
magnesium: 200-300 mg/hari.
f. asam folat pasien hemodialisa: 5 mg;
g.air: jumlah urine 24 jam + 500 ml (IWL);
h.prinsip pola makan yaitu rendah protein, rendah garam, rendah kalium, rendah
fosfor, rendah purin, dan batasi asupan cairan;
i. amati tanda dini abnormalitas neurologis seperti berkedut, sakit kepala,
delirium, atau kejang;
j. lindungi terhadap cedera dengan memberikan bantalan pada pagar tempat
tidur.
b) Terapi farmakologis terdiri dari:
a. kontrol tekanan darah:
penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II dengan
mengevaluasi kreatinin dan kalium serum, bila kreatinin >35%
atau timbul hiperkalemi maka hentikan terapi ini;
penghambat kalsium;
diuretik.
b. pada pasien DM, gula darah dikontrol, hindari memakai methformin
dan obat-obatan sulfonilurea dengan masa kerja yang panjang, target
HbA1C untuk DM tipe I yaitu 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk
DM tipe II adalah 6%;
c. koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl;
d. kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat (500-3000 mg) atau kalsium
asetat atau alumunium hidroksida (300-1800 mg);
e. kontrol osteodistrol renal: kalsitriol;
f. koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l;
g. koreksi hiperkalemia;
h. kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl, dianjurkan
golongan statin;
i. berikan diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) untuk
mengontrol kejang;
j. furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop
(bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan
cairan;
k. banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena
metabolitnya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal misalnya digoksin,
aminoglikosid, analgesik opiat, amfoterisin, alopurinol juga obat-
obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah misalnya
tetrasiklin, kortikosteroid, sitostatik;
l. terapi ginjal pengganti.
6. Konsep Teori tentang Dialisis
A. Pengertian
Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif
melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair lainnya.
Hemodialisis adalah suatu mesin ginjal buatan (atau alat hemodialisis)
terutama terdiri dari membran semipermeabel dengan darah di satu sisi dan
cairan dialisis di sisi lain. (Price, 2005).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat.
Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.
Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan
tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ; Nursalam, 2006).
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka
pendek(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan
terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
B. Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan
HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007) :
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane
dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialysis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan
muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
F. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita CKD stadium V.
Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,
namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani
HD adalah gangguan hemodinamik.
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau
penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita
yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (HID)(Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).
Komplikasi Akut :
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:
hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007;
Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi
adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat
HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom
disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
Komplikasi Kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat
dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
7. Konsep Askep CKD dengan Dialisis
a. Pengkajian Fokus
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan melalui
wawancara, observasi langsung, dan melihat catatan medis. Adapun data
yang diperlukan pada klien Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sebagai
berikut.
1. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
alamat, pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa, tanggal masuk rumah
sakit tanggal pengkajian, sumber informasi, dan diagnosa medis.
Price & Wilson (2006) menyatakan bahwa insidensi gagal ginjal kronik
lebih besar pada laki-laki (56,3%) daripada perempuan (43,7%).
Peningkatan prevalens penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8% pada
populasi dewasa dilaporkan oleh US Renal Data System tahun 2007,
sedangkan pada populasi anak kejadian CKD < 2% dari populasi dewasa
(Menon, dkk, 2009).
2. Riwayat kesehatan
a. Diagnosa medik: Chronic Kidney Disease (CKD).
b. Keluhan utama: bergantung masing-masing pasien.
c. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi perjalanan penyakitnya, awal dari gejala yang dirasakan
klien, keluhan timbul secara mendadak atau bertahap, faktor pencetus,
upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
d. Riwayat kesehatan terdahulu
Meliputi penyakit yang pernah dialami dan berhubungan dengan
penyakit sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat dirumah sakit,
adanya alergi, riwayat imunisasi yang pernah dilakukan, pola hidup
yang berhubungan dengan penyakit, obat-obatan yang pernah
digunakan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Meliputi penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit pasien saat
ini dan identik dengan penyakit keturunan seperti hipertensi dan DM.
f. Genogram
Meliputi gambar garis keturunan minimal 3 garis keturunan dengan
menambahkan keterangan yang menunjang.
3. Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan merujuk pada data pengkajian pasien dalam
Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000) meliputi:
a. Aktivitas dan latihan
Gejala: kelemahan ekstrem, kelemahan malaise.
Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
b. Tidur dan istirahat
Gejala: gangguan tidur/ insomnia/gelisah/somnolen.
c. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi (nyeri
dada/angina).
Tanda: hipertensi (DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting
pada kaki, telapak, tangan), disritmia jantung, nadi lemah halus,
hipotensi ortostatik, hipovolemia, friction rub perikardial, pucat, kulit
kehijauan atau kuning, kecenderungan perdarahan.
d. Intergritas ego
Gejala: perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
e. Eliminasi
Gejala: penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen
kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda: perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat, berawan),
oliguria, anuria.
f. Nutrisi/metabolik
Gejala: peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak
sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunaan diuretik.
Tanda: distensi abdomen/asites, pembesaran hati, perubahan turgor
kulit/kelembaban, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah,
penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
g. Neurosensori
Gejala: sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom
“kaki gelisah”, kebas rasa terbakar pada telapak kaki, kebas/kesemutan
dan kelemahan khususnya ekstremitas bawah
Tanda: gangguan status mental (penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma), penurunan DTR, tanda
chvostek dan trousseau positif, kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki.
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
i. Pernafasan
Gejala: nafas pendek, dipsnea nokturnal paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
Tanda: takipnea, dipsnea, peningkatan frekuensi/kedalaman
(pernafasan kussmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda
encer (edema paru).
j. Keamanan
Gejala: kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), normoteria, petekie, area
ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit,
jaringan lunak, sendi, keterbatasan gerak sendi.
k. Seksualitas dan reproduksi
Gejala: penurunan libido, amenorea, infertilitas.
l. Interaksi sosial
Gejala: kesulitan menentukan kondisi (tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi dan peran dalam keluarga)
m. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat DM keluarga, penyakit polikistik, nefritis herediter,
kalkulus urinaria, malignansi, riwayat terpajan pada toksin,
penggunaan antibiotik nefrotik
b. Pathways Keperawatan
c. Diagnose Keperawatan
Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000); Smeltzer & Bare (2002)
menyatakan bahwa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
dengan CKD yaitu:
a. kelebihan volume cairan berhubungan dengan toleransi mekanisme
regulator;
b. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan;
c. kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan, salah interpretasi informasi;
d. intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
oksigen;
e. penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload;
f. resiko tinggi terhadap cedera dengan faktor resiko internal: profil darah
abnormal (trombositopenia);
g. resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko
perubahan turgor kulit;
h. fatigue berhubungan dengan faktor fisiologis: anemia;
i. nausea berhubungan dengan gangguang biokimia (uremia);
j. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal.
d. Focus Intervensi (dengan rasionalnya)
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1 Kelebihan volume Tujuan : NIC:
cairan Setelah dilakukan tindakan keperwatan Electrolite management
berhubungan selama 2 x 24 jam volume cairan pada 1. Monitor adanya elektrolit serum 1. Memantau kondisi elektrolit
dengan toleransi pasien berkurang atau tidak berlebih yang abnormal serum
mekanisme 2. Monitor adanya manifestasi 2. Memantau keseimbangan
regulator NOC: ketidakseimbangan elektrolit elektrolit
Fluid balance 3. Monitor kehilangan elektrolit 3. Memantau keseimbangan
Fluid Overload Severity yang dialami oleh pasien elektrolit
Kidney function 4. Catat dengan akurat intake dan 4. Memantau keseimbangan
output pasien cairan pasien
Kriteria hasil 5. Anjurkan diet bagi pasien untuk 5. Menjaga keseimbangan
a. Mampu menyeimbangkan cairan menjaga keseimbangan elektrolit elektrolit
dengan indikator: (makanan tinggi kalium, rendah
1) edema perifer dalam rentang cukup natrium, rendah karbohidrat)
2) elektrolit serum dalam rentang
cukup Fluid management 1. Menjadi data dasar pasien
3) berat jenis urine dalam rentang 1. Monitor tanda vital pasien 2. Memantau adanya perubahan
cukup 2. Monitor status hemodinamik status hemodinamik
b. Mampu mengkompensasi tingkat yang terdiri dari CVP, MAP, 3. Memantau keseimbangan
keperahan kelebihan cairan dengan PAP, PCWP cairan pada pasien
indikator: 3. Monitor hasil lab yang 4. Memantau adanya penurunan
1) penurunan output urine dalam berhubungan dengan retensi atau peningkatan BB
rentang cukup cairan 5. Mencegah kelebihan cairan
2) edema kaki dalam rentang cukup 4. Monitor berat badan setiap hari
3) edema tangan dalam rentang cukup 5. Berikan cairan sesuai kebutuhan
pasien
c. Mampu mengembalikan fungsi ginjal 1. Mengantisipasi munculnya
dengan indikator: Fluid monitoring faktor resiko
1) urea nitrogen dalam darah cukup 1. Tentukan faktor resiko dari ketidakseimbangan cairan
ditoleransi adanya ketidakseimbangan cairan 2. Memantau kadar albumin
2) kreatinin serum cukup ditoleransi 2. Monitor albumin dan protein dan protein
3) elektrolit serum cukup ditoleransi 3. Monitor serum dan osmolalitas 3. Memantau osmolalitas urine
urine
4. Atur kebutuhan cairan pasien 4. Mencegah adanya kelebihan
cairan
5. Anjurkan untuk dialisis bila perlu 5. Dialisis membantu menjaga
keseimbangan cairan
Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of Volume
Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 3355–61.
Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort to
Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in
Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60.
Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and
Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure
Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 1364–72.
Aziz, M. F., Witjaksono, J., dan Rasjidi, I. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.
Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Menon, S., dkk. 2009. Effectiveness of A Multidisciplinary Clinic in Managing
Children with Chronic Kidney Disease. [on line].
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19478098. [diakses 04 Oktober 2014].
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition.
United States of America: Mosby Elsevier.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universtas
Indonesia.