Anda di halaman 1dari 34

\

LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP KLIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE
DENGAN HEMODIALISA RS K.R.M.T WONGSONEGORO-SEMARANG

Persiapan Praktik Ruang : Ruang Hemodialisa

Tanggal Praktek : 04/05/2017

Nama Mahasiswa : Megasari

NIM : G3A016239

Nama Pembimbing : Imam Hadi

Saran Pembimbing :

Tanda Tangan Pembimbing :

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. Pengertian CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah hilangnya fungsi ginjal normal pada
kedua ginjal yang mengakibatkan tubuh tidak mampu mempertahankan
hemeostatis cairan, elektrolit, dan asam basa. CKD bersifat kronik dan ireversibel
yang mungkin tidak memerlukan penggantian ginjal disertai terapi dialysis, tetapi
pada CKD stage akhir, kegagalan menggantikan fungsi ginjal mengakibatkan
kematian ( Brooker, 2008).
CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan uremia (Mansjoer, dkk,
2000; Smeltzer & Bare, 2002; Corwin, 2009). Graber, Toth, dan Herting (2006)
menjelaskan bahwa sindrom klinis gangguan CKD digolongkan dalam tiga
kelompok utama, yaitu:
a. Cadangan ginjal yang tidak mencukupi ditandai dengan ketidakmampuan
mengkompensasi pembebanan atau kehilangan cairan atau zat terlarut
yang ekstrim;
b. Insufisiensi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar BUN dan
berkurangnya kemampuan mengatasi fluktuasi zat terlarut dan air tetapi
dapat mempertahankan homeostasis;
c. CKD ditandai dengan peningkatan progresif BUN sampai menyebabkan
uremia serta ketidakseimabangan cairan dan elektrolit (GFR
<6mg/men/m2).
CKD adalah ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal.
Sedangkan gagal ginjal kronik adalah perkembangan gagal ginjal yang progesif
dan lambat pada setiap nefron (biasanya berlangsung beberapa tahun dan tidak
reversible) (Price and Wlison, 2006 dalam Nurarif 2015).
2. Etiologi /Predisposisi CKD
CKD dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati
refluks, ginjal polikistik, nefropati diabetik, penyebab lain seperti hipertensi,
obstruksi, gout, dan tidak diketahui (Mansjoer, dkk, 2000). Baradero, Dayrit, dan
Siswadi (2009) menyatakan bahwa penyebab utama gagal ginjal kronik adalah
diabetes melitus (32%), hipertensi (28%), dan glomerulonefritis (45%).
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan penyebab CKD yaitu:
a) penyakit infeksi tubulointerstitial: pielonefritis kronik atau refluks
nefropati;
b) penyakit peradangan: glomerulonefritis;
c) penyakit vaskular hipertensif: nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis;
d) gangguan jaringan ikat: lupus erimatosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif;
e) gangguan kongenital dan herediter: penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal;
f) penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis;
g) nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah;
h) nefropati obstruktif: traktus urinarius bagian atas, batu (batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra).

3. Patofisiologi CKD
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal
masih belum jelas, akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu
diantaranya jejas karena hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik
atau hipertensi intrarenal, deposisi kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas
karena hiperfiltrasi diperkirakan sebagai cara yang umum dari kerusakan
glomerular, tidak tergantung dari penyebab awal kerusakkan ginjal. Nefron yang
rusak akan mengakibatkan nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara
struktural dan secara fungsional mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai
dengan peningkatan aliran darah glomerular.
Cameron & Davison (2003); Henry (2003); Avner & Harmon (2004);
Behrman, Kliegman, dan Jenson, (2004) menyatakan secara umum terdapat tiga
mekanisme patogenesis terjadinya Chronic Kidney Disease (CKD) yaitu
glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.
a. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-
glomerular dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular
dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel
epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag).
1. Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga
integritas jaringan vaskular atau vascular bed termasuk glomeruli.
Di dalam kapiler glomerular, sel endotel dapat mengalami
kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress), atau
gangguan metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut
berhubungan dengan reduksi atau kehilangan fungsi anti inflamasi
dan anti koagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi
trombosit serta pembentukan mikro trombus pada kapiler
glomerulus. Hal ini juga menyebabkan mikro inflamasi yang
menarik sel-sel inflamasi (terutama monosit) sehingga berinteraksi
dengan sel mesangium dan akhirnya terjadi aktivasi, proliferasi,
serta produksi matriks ekstraselular atau extracellular matrix
(ECM).
2. Peran sel mesangium
Kerusakan sel mesangium primer ataupun sekunder dapat
menyebabkan glomerulosklerosis misalnya setelah terjadi mikro
inflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium melalui
pelepasan mitogen (seperti platelet derived growth factor atau
PDGF). Hiperselularitas sel mesangium tersebut mendahului
terjadinya sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari growth
factor seperti TGF-β1, sel mesangium yang mengalami proliferasi
dapat mejadi sel miofibroblas yang mensintesis komponen ECM
termasuk kolagen interstisial tipe III yang bukan merupakan
komponen normal ECM glomerulus. Resolusi sklerosis mesangial
dan glomerular tergantung pada keseimbangan antara sintesis
ECM yang meningkat dengan pemecahan oleh glomerular
kolagenase atau metaloproteinase.
3. Peran sel epitel
Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas
dapat menyebabkan stretching di sepanjang membran basalis
glomerulus atau glomerular basement membrane (GBM) sehingga
area tersebut menarik sel-sel inflamasi dan sel-sel tersebut
berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan formasi adesi
kapsular dan glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi
material amorf di celah paraglomerular, kerusakan glomerular-
tubular junction, dan pada akhirnya terjadi atrofi tubular serta
fibrosis interstisial.
4. Peran trombosit dan koagulasi
Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam
glomerulus yang mengalami nefropati. Stimulasi kaskade
koagulasi mengaktifkan sel mesangium dan menginduksi sklerosis.
Trombin mestimulasi produk di TGF-β1 yang menyebabkan
produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase.
Glomerulosklerosis tergantung pada keseimbangan aktivitas
trombus/antiproteolitik dengan antikoagulan/proteolitik yang
diatur oleh sistem regulasi plasminogen.
5. Peran limfosit dan monosit/makrofag
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag
terdapat dalam glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel
limfosit Th-1 yang bersifat inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat
antiinflamasi diduga berperan penting dalam resolusi atau bahkan
progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau
makrofag memiliki efek proteksi karena sel-sel tersebut dapat
memproduksi sitokin dan growth factor yang mengakibatkan
glomerulosklerosis.
b. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi
dengan fungsi ginjal dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini
termasuk inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM
yang berlebih. Sel tubular yang mengalami kerusakan berperan sebagai
antigen presenting cell yang mengekspresikan cell adhesion molecules dan
melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan growth
factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi ruang
periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung pada
dua jalur yaitu aktivasi matriks metaloproteinase dan aktivasi enzim
proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat
gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut sehingga terjadi gangguan
keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan
fibrosis yang irreversibel.
c. Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh
berbagai sebab (misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis)
akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis.
Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel tubulus dan fibroblas untuk
memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler
peritubular yang rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan
mengekspresikan trombospondin yang bersifat antiangiogenik sehingga
terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal
kronik yaitu adanya penurunan fungsi renal menyebabkan produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urine)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
a) Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurunnya filtrasi glomerulus menyebabkan klirens kreatinin
akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat serta
kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein
dalam diet, katabolisme, dan medikasi seperti steroid.
b) Retensi cairan dan natrium
Ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urine secara normal pada penyakit ginjal tahap
akhir. Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering
menahan natrium dan cairan sehingga meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien
lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam sehingga
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang semakin
memperburuk status uremik.
c) Asidosis
Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolik sehingga ginjal tidak mampu mengekskresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Penurunan ekskresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyekresi amonia
(NH3-) dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
d) Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, emmendeknya usia sel darah merah, defisiensi
nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat
ststus uremik pasien terutama dari saluran gastrointestinal.
Eritropoetin adalah substansi normal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat
terjadi disertai keletihan, angina, dan sesak nafas.
e) Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas utama lain pada gagal ginjal kronik adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium
dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat maka yang lain akan turun. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar kalsium
serum. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathohormon dari kelenjar paratiroid. Pada gagal ginjal, tubuh
tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathohormon sehingga kalsium di tulang menurun yang
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain
itu, metabolit aktiv vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal
menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.
f) Penyakit tulang uremik atau ostoeodistrofi renal
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan
keseimbangan parathohormon. Laju penurunan fungsi gagal ginjal
dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan
yang mendasari, ekskresi protein dalam urine, dan adanya
hipertensi.

Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menjelaskan tahap perkembangan CKD


yaitu:
a) Penurunan cadangan ginjal:
1. sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi;
2. laju filtrasi glomerulus 40-50% normal;
3. BUN dan kreatinin serum masi normal;
4. pasien asimtomatik.
b) Gagal ginjal:
1. 75-80% nefron tidak berfungsi;
2. laju filtrasi glomerulus 20-40% normal;
3. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat;
4. anemia ringan dan azotemia ringan;
5. nokturia dan poliuria.
c) CKD
1. lebih dari 85% nefron tidak berfungsi;
2. laju firltasi glomerulus kurang dari 10% normal;
3. BUN dan kreatinin tinggi;
4. anemia, azotemia, asidosis metabolik;
5. berat jenis urine tetap 1,010;
6. oliguria;
7. gejala gagal ginjal.

Tabel 1. Batasan dan stadium penyakit ginjal kronis


Stadium GFR Fungsi Keterangan
(ml/menit/1, ginjal
73m2)
Stadium 1 ≥90 ≥90% Kerusakan minimal dengan GFR normal
Stadium 2 60-89 60-89% Kerusakan ringan dengan penurunan GFR,
belum mengganggu
Stadium 3 30-59 30-59% Kerusakan sedang, masih bisa
dipertahankan
Stadium 4 15-29 15-29% Kerusakan berat, membahayakan
Stadium 5 ≤15 ≤15% Kerusakan sangat berat, perlu dialisis
Sumber: Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008.
Sudoyo, dkk (2009) menjelaskan cara menghitung GFR menggunakan rumus
Cockroft- Gault:
LFG (ml/menit/1,73 m2) = (140-umur) x BB *
72 kreatinin plasma (mg/dL)
* Pada perempuan dikalikan 0,85

4. Manifestasi Klinis CKD


Gambaran klinis yang mungkin terjadi pada klien CKD menurut Corwin
(2009) adalah pada saat stadium I tidak akan tampak gejala-gejala klinis namun
seiring dengan perburukan penyakit terjadi penurunan pembentukan eritropoietin
yang menyebabkan keletihan dan tanda awal hipoksia jaringan dan gangguan
kardiovaskuler. Pada tahapan lebih lanjut, poliuria timbul karena ginjal tidak
mampu memekatkan urin seiring dengan perburukan penyakit namun pada
stadium akhir pengeluaran urin justru menurun akibat GFR rendah.
Gambaran klinis lainnya yang dikemukakan oleh Baradero (2008) yang
mungkin akan terjadi pada sistem tubuh klien yang mengalami gangguan ginjal
kronik adalah :
a. Sistem hematopoietik : anemia, cepat lelah, trombositopenia, ekimosis,
dan perdarahan.
b. Sistem kardiovaskuler : hipervolemia, hipertensi, takikardia, disritmia,
gagal jantung kongestif dan perikarditis.
c. Sistem pernapasan : takipnia, pernapasan kussmaul, halitosis uremia atau
fetor, sputum yang lengket, batuk disertai nyeri, suhu tubuh meningkat,
hilar pneumonitis, pleural friction rub, dan edema paru.
d. Sistem gastroinstestinal : anoreksia, mual dan muntah, perdarahan
gastroinstestinal, distensi abdomen, diare dan konstipasi.
e. Sistem neurologi : perubahan tingkat kesadaran, kejang, tidur tertanggu,
asteriksis.
f. Sistem skeletal : osteodistrofi ginjal, rickets ginjal, nyeri sendi, dan
pertumbuhan lambat pada anak.
g. Kulit: pucat, pigmentasi, pruritus, ekimosis, lecet, dan uremic frosts.
h. Sistem perkemihan : haluaran urin berkurang, berat jenis urin menurun,
proteinuria, fragmen dan sel dalam urin, natrium dalam urin berkurang.
i. Sistem reproduksi : infitilitas, libido menurun, disfungsi ereksi, amenorea,
dan lambat pubertas.

5. Penatalaksanaan CKD
Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008); Baughman & Hackley (2000);
Mansjoer, dkk (2000) menyatakan bahwa langkah-langkah penatalaksanaan
umum CKD meliputi:
a. pengobatan penyakit dasar atas diagnosis yang ada;
b. pengobatan terhadap penyakit penyerta;
c. penghambatan progresivitas penurunan fungsi ginjal;
d. pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit kardiovaskuler;
e. pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi;
f. persiapan dan pemilihan terapi pengganti ginjal, khususnya apabila sudah
didapatkan gejala dan tanda-tanda uremia.
Terapi non farmakologis terdiri dari:
a. pengaturan asupan protein:
 pasien nondialisis 0,6-0,75 g/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan
toleransi pasien;
 pasien hemodialisis 1-1,2 g/kgBB ideal/hari;
 pasien peritoneal dialisis 1,3 g/kgBB/hari;
 batasi urea, kreatinin, asam urat, asam organik, dan makanan yang
diperbolehkan seperti susu, telur, dan daging.
b.pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari;
c. pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh;
d.pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total;
e. pengaturan asupan garam dan mineral:
 garam (NaCl): 2-3 g/hari;
 kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari;
 fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari, pasien HD 17 mg/hari;
 kalsium: 1400-1600 mg/hari;
 besi: 10-18 mg/hari;
 magnesium: 200-300 mg/hari.
f. asam folat pasien hemodialisa: 5 mg;
g.air: jumlah urine 24 jam + 500 ml (IWL);
h.prinsip pola makan yaitu rendah protein, rendah garam, rendah kalium, rendah
fosfor, rendah purin, dan batasi asupan cairan;
i. amati tanda dini abnormalitas neurologis seperti berkedut, sakit kepala,
delirium, atau kejang;
j. lindungi terhadap cedera dengan memberikan bantalan pada pagar tempat
tidur.
b) Terapi farmakologis terdiri dari:
a. kontrol tekanan darah:
 penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II dengan
mengevaluasi kreatinin dan kalium serum, bila kreatinin >35%
atau timbul hiperkalemi maka hentikan terapi ini;
 penghambat kalsium;
 diuretik.
b. pada pasien DM, gula darah dikontrol, hindari memakai methformin
dan obat-obatan sulfonilurea dengan masa kerja yang panjang, target
HbA1C untuk DM tipe I yaitu 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk
DM tipe II adalah 6%;
c. koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl;
d. kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat (500-3000 mg) atau kalsium
asetat atau alumunium hidroksida (300-1800 mg);
e. kontrol osteodistrol renal: kalsitriol;
f. koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l;
g. koreksi hiperkalemia;
h. kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl, dianjurkan
golongan statin;
i. berikan diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) untuk
mengontrol kejang;
j. furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop
(bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan
cairan;
k. banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena
metabolitnya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal misalnya digoksin,
aminoglikosid, analgesik opiat, amfoterisin, alopurinol juga obat-
obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah misalnya
tetrasiklin, kortikosteroid, sitostatik;
l. terapi ginjal pengganti.
6. Konsep Teori tentang Dialisis
A. Pengertian
Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif
melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair lainnya.
Hemodialisis adalah suatu mesin ginjal buatan (atau alat hemodialisis)
terutama terdiri dari membran semipermeabel dengan darah di satu sisi dan
cairan dialisis di sisi lain. (Price, 2005).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat.
Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.
Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan
tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ; Nursalam, 2006).
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka
pendek(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan
terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

B. Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan
HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007) :
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane
dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialysis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan
muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

C. Prinsip dan cara kerja Hemodialisa


Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah
nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut
dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar
dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang
berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran
semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan
dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam
cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus
(Brunner & Suddarth, 2006).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan
dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi
ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih
tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient
ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal
sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat
ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran
air (Elizabeth, et all, 2011).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu,
kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik,
selanjutnya beredar di 13 dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah
terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut)
suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan
larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran
semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut
sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF.
Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara
acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya
solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas
bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan
oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane
pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan
(Daurgirdas et al., 2007).
Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et
al., 2007).
D. Akses sirkulasi darah pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan
femoralis, fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada
hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk
pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara (Barnett &
Pinikaha, 2007).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau 19
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side
(dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut
membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap
digunakan (Brruner & Suddart, 2011).
Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih
dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima
jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam
pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui
dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus)
darah yang sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007). Tandur dapat dibuat
dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau vena dari materia
gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai tempat penusukan
jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok
untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008).

E. Penatalakasanaan pasien yang menjalani hemodialisis


Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai
upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat
menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat
meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita,
2012).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar
tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang 20 penting
untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein
diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein
dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari.
Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium
seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi.
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah
insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40- 120 mEq.hari guna
mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan
menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan
terjadi kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui
ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung,
antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

F. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita CKD stadium V.
Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,
namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani
HD adalah gangguan hemodinamik.
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau
penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita
yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (HID)(Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).
 Komplikasi Akut :
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:
hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007;
Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi
adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat
HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom
disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).


 Komplikasi Kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat
dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
7. Konsep Askep CKD dengan Dialisis
a. Pengkajian Fokus
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan melalui
wawancara, observasi langsung, dan melihat catatan medis. Adapun data
yang diperlukan pada klien Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sebagai
berikut.
1. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
alamat, pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa, tanggal masuk rumah
sakit tanggal pengkajian, sumber informasi, dan diagnosa medis.
Price & Wilson (2006) menyatakan bahwa insidensi gagal ginjal kronik
lebih besar pada laki-laki (56,3%) daripada perempuan (43,7%).
Peningkatan prevalens penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8% pada
populasi dewasa dilaporkan oleh US Renal Data System tahun 2007,
sedangkan pada populasi anak kejadian CKD < 2% dari populasi dewasa
(Menon, dkk, 2009).
2. Riwayat kesehatan
a. Diagnosa medik: Chronic Kidney Disease (CKD).
b. Keluhan utama: bergantung masing-masing pasien.
c. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi perjalanan penyakitnya, awal dari gejala yang dirasakan
klien, keluhan timbul secara mendadak atau bertahap, faktor pencetus,
upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
d. Riwayat kesehatan terdahulu
Meliputi penyakit yang pernah dialami dan berhubungan dengan
penyakit sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat dirumah sakit,
adanya alergi, riwayat imunisasi yang pernah dilakukan, pola hidup
yang berhubungan dengan penyakit, obat-obatan yang pernah
digunakan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Meliputi penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit pasien saat
ini dan identik dengan penyakit keturunan seperti hipertensi dan DM.
f. Genogram
Meliputi gambar garis keturunan minimal 3 garis keturunan dengan
menambahkan keterangan yang menunjang.
3. Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan merujuk pada data pengkajian pasien dalam
Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000) meliputi:
a. Aktivitas dan latihan
Gejala: kelemahan ekstrem, kelemahan malaise.
Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
b. Tidur dan istirahat
Gejala: gangguan tidur/ insomnia/gelisah/somnolen.
c. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi (nyeri
dada/angina).
Tanda: hipertensi (DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting
pada kaki, telapak, tangan), disritmia jantung, nadi lemah halus,
hipotensi ortostatik, hipovolemia, friction rub perikardial, pucat, kulit
kehijauan atau kuning, kecenderungan perdarahan.
d. Intergritas ego
Gejala: perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
e. Eliminasi
Gejala: penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen
kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda: perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat, berawan),
oliguria, anuria.
f. Nutrisi/metabolik
Gejala: peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak
sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunaan diuretik.
Tanda: distensi abdomen/asites, pembesaran hati, perubahan turgor
kulit/kelembaban, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah,
penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
g. Neurosensori
Gejala: sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom
“kaki gelisah”, kebas rasa terbakar pada telapak kaki, kebas/kesemutan
dan kelemahan khususnya ekstremitas bawah
Tanda: gangguan status mental (penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma), penurunan DTR, tanda
chvostek dan trousseau positif, kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki.
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
i. Pernafasan
Gejala: nafas pendek, dipsnea nokturnal paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
Tanda: takipnea, dipsnea, peningkatan frekuensi/kedalaman
(pernafasan kussmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda
encer (edema paru).
j. Keamanan
Gejala: kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), normoteria, petekie, area
ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit,
jaringan lunak, sendi, keterbatasan gerak sendi.
k. Seksualitas dan reproduksi
Gejala: penurunan libido, amenorea, infertilitas.
l. Interaksi sosial
Gejala: kesulitan menentukan kondisi (tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi dan peran dalam keluarga)
m. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat DM keluarga, penyakit polikistik, nefritis herediter,
kalkulus urinaria, malignansi, riwayat terpajan pada toksin,
penggunaan antibiotik nefrotik
b. Pathways Keperawatan
c. Diagnose Keperawatan
Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000); Smeltzer & Bare (2002)
menyatakan bahwa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
dengan CKD yaitu:
a. kelebihan volume cairan berhubungan dengan toleransi mekanisme
regulator;
b. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan;
c. kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan, salah interpretasi informasi;
d. intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
oksigen;
e. penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload;
f. resiko tinggi terhadap cedera dengan faktor resiko internal: profil darah
abnormal (trombositopenia);
g. resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko
perubahan turgor kulit;
h. fatigue berhubungan dengan faktor fisiologis: anemia;
i. nausea berhubungan dengan gangguang biokimia (uremia);
j. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal.
d. Focus Intervensi (dengan rasionalnya)
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1 Kelebihan volume Tujuan : NIC:
cairan Setelah dilakukan tindakan keperwatan Electrolite management
berhubungan selama 2 x 24 jam volume cairan pada 1. Monitor adanya elektrolit serum 1. Memantau kondisi elektrolit
dengan toleransi pasien berkurang atau tidak berlebih yang abnormal serum
mekanisme 2. Monitor adanya manifestasi 2. Memantau keseimbangan
regulator NOC: ketidakseimbangan elektrolit elektrolit
 Fluid balance 3. Monitor kehilangan elektrolit 3. Memantau keseimbangan
 Fluid Overload Severity yang dialami oleh pasien elektrolit
 Kidney function 4. Catat dengan akurat intake dan 4. Memantau keseimbangan
output pasien cairan pasien
Kriteria hasil 5. Anjurkan diet bagi pasien untuk 5. Menjaga keseimbangan
a. Mampu menyeimbangkan cairan menjaga keseimbangan elektrolit elektrolit
dengan indikator: (makanan tinggi kalium, rendah
1) edema perifer dalam rentang cukup natrium, rendah karbohidrat)
2) elektrolit serum dalam rentang
cukup Fluid management 1. Menjadi data dasar pasien
3) berat jenis urine dalam rentang 1. Monitor tanda vital pasien 2. Memantau adanya perubahan
cukup 2. Monitor status hemodinamik status hemodinamik
b. Mampu mengkompensasi tingkat yang terdiri dari CVP, MAP, 3. Memantau keseimbangan
keperahan kelebihan cairan dengan PAP, PCWP cairan pada pasien
indikator: 3. Monitor hasil lab yang 4. Memantau adanya penurunan
1) penurunan output urine dalam berhubungan dengan retensi atau peningkatan BB
rentang cukup cairan 5. Mencegah kelebihan cairan
2) edema kaki dalam rentang cukup 4. Monitor berat badan setiap hari
3) edema tangan dalam rentang cukup 5. Berikan cairan sesuai kebutuhan
pasien
c. Mampu mengembalikan fungsi ginjal 1. Mengantisipasi munculnya
dengan indikator: Fluid monitoring faktor resiko
1) urea nitrogen dalam darah cukup 1. Tentukan faktor resiko dari ketidakseimbangan cairan
ditoleransi adanya ketidakseimbangan cairan 2. Memantau kadar albumin
2) kreatinin serum cukup ditoleransi 2. Monitor albumin dan protein dan protein
3) elektrolit serum cukup ditoleransi 3. Monitor serum dan osmolalitas 3. Memantau osmolalitas urine
urine
4. Atur kebutuhan cairan pasien 4. Mencegah adanya kelebihan
cairan
5. Anjurkan untuk dialisis bila perlu 5. Dialisis membantu menjaga
keseimbangan cairan

2 Ketidakseimbang Tujuan : Setelah dilakukan tindakan N I C :


an nutrisi: kurang keperawatan selama 3 x 24 jam nutrisi Nutrition management
dari kebutuhan pada pasien dapat bertambah atau 1. Kaji status nutrisi pasien 1. Menjadi data dasar pasien
tubuh terpenuhi 2. Identifikasi alergi makanan bagi 2. Mencegah pasien mengalami
berhubungan pasien alergi makanan
dengan NOC: 3. Identifikasi jumlah kebutuhan 3. Menyesuaikan kebutuhan
ketidakmampuan  Nutritional status kalori pasien dengan masukan kalori
mencerna  Nutritional status: food and fluid pasien
makanan intake 4. Instruksikan kebutuhan diet bagi 4. Menjaga status nutrisi pada
 Nutritional status: nutrient intake pasien pasien
5. Instruksikan pasien untuk 5. Membantu memandirikan
Kriteria hasil : memonitor kalori dan diet pasien
a. Mampu mencapai status nutrisi yang Nutritional counseling
baik dengan indikator: 1. Kaji masukan makanan dan 1. Mengetahui jumlah makanan
1) masukan nutrisi dalam rentang kebisaan makan pasien yang dikonsumsi pasien
cukup 2. Diskusikan makanan yang 2. Memfasilitasi makanan yang
2) masukan makanan dalam rentang disuka dan tidak disuka pasien disuka pasien
cukup 3. Diskusikan manfaat makan 3. Membuat pasien sadar
3) masukan cairan dalam rentang teratur bagi pasien tentang manfaat makan
cukup 4. Bantu pasien untuk menjadwal 4. Membuat pasien lebih
b. Mampu mencapai status nutrisi baik asupan makanan dalam sehari terjadwal waktu makannya
dalam masukan makanan dan 5. Diskusikan kebiasaan membeli 5. Mengurangi kebiasaan yang
cairandengan indikator: makanan dan dana yang banyak menghabiskan dana
1) masukan makanan secara oral dibutuhkan bagi pasien
cukup adekuat Nutritional monitoring
2) masukan cairan secara oral cukup 1. Monitor pertumbuhan dan 1. Menjadi data dasar bagi
adekuat perkembangan pasien pasien
3) masukan cairan secara intravena 2. Monitor turgor kulit dan 2. Memantau keadaan kulit
cukup adekuat mobilitas pasien
c. Mampu mencapai status nutrisi baik 3. Monitor abnormalitas kulit 3. Dapat segera melakukan
dalam masukan nutrisi dengan tindakan ketika ditemukan
indikator: abnormalitas
1) masukan vitamin cukup adekuat 4. Identifikasi adanya abnormalitas 4. Dapat segera melakukan
2) masukan mineral cukup adekuat kuku tindakan ketika ditemukan
3) masukan kalsium cukup adekuat abnormalitas
5. Monitor adanya mual dan 5. Mual dan muntah akan
muntah menyebabkan pasien tidak
nafsu makan
3 Kurang Tujuan: NIC:
pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Teaching: prescribed diet
berhubungan selama 1 x 24 jam pasien mengalami 1. Kaji pengetahuan pasien tentang 1. Mengetahui batasan
dengan peningkatan pengetahuan penentuan diet pengetahuan pasien
keterbatasan NOC: 2. Kaji sumber dana yang dimiliki 2. Memilih jenis diet makanan
kognitif, kurang Knowledge: diet pasien untuk melakukan diet yang tepat sesuai
terpajan, salah Knowledge:disease process keterbatasan dana pasien
interpretasi Knowledge:medication 3. Informasikan pada pasien lama 3. Mengantisipasi kejenuhan
informasi diet yang dilakukan yang mungkiin dialami
Kriteria hasil : pasien selama diet
a. Mampu mengerti diet yang 4. Informasikan interaksi obat dan 4. Mencegah adanya interaksi
direkomendasikan dengan indikator: makanan yang mungkin muncul yang tidak diinginkan selama
1) tahu diet yang direkomendasikan selama diet dilakukan diet
2) tahu alasan diet dilakukan 5. Observasi makanan yang dipilih 5. Memandirikan pasien untuk
3) tahu keuntungan dari diet yang pasien untuk penentuan dietnya memilih sendiri makannya
dilakukan
b. Mampu mengerti proses penyakit yang Teaching: disease process 1. Mengetahui batasan
dialami dengan indikator: 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien pengetahuan pasien
1) tahu proses penyakit secara spesifik tentang penyakit 2. Mencegah kesalahan pasien
2) tahu efek dari penyakit yang 2. Jelaskan patofisiologi penyakit dalam interpretasi penyakit
dialami dan kaitanya dengan pengobatan 3. Apabila tanda dan gejala
3) tahu tanda dan gejala dari penyakit 3. Gambarkan tanda dan gejala yang timbul pasien segera
yang dialami mungkin timbul menginformasikan
c. Mampu mengerti pengobatan yang 4. Pencegahan segera
dianjurkan dengan indikator: 4. Diskusikan perubahan gaya hidup komplikasi lebih lanjut
1) tahu efek terapeutik dari yang diperlukan untuk mencegah
pengobatan komplikasi 5. Memandirikan pasien
2) tahu efek samping pengobatan 5. Dukung pasien dalam melakukan
3) tahu strategi untuk mendapatkan pemilihan pengobatanya
pengobatan yang dibutuhkan Teaching: prescribed medication 1. Meningkatkan pengetahuan
1. Jelaskan tujuan dari masing- pasien
masing pengobatan 2. Mencegah kecemasan yang
2. Jelaskan dosis, rute, dan durasi mungkin timbul pada pasien
pengobatan 3. Mengetahui batasan
3. Periksa kembali pengetahuan pengetahuan pasien
pasien tentang pengobatan 4. Mencegah kecemasan yang
4. Jelaskan efek samping dari setiap mungkin timbul pada pasien
pengobatan 5. Mencegah kecemasan yang
5. Jelaskan tanda dan gejala dari mungkin timbul pada pasien
overdosis atau kekurangan dosis
pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of Volume
Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 3355–61.

Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort to
Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in
Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60.

Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and
Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure
Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 1364–72.

Aziz, M. F., Witjaksono, J., dan Rasjidi, I. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.

Barnett (2008) Fluid Complience Among Patient Having Hemodialisis : Educational


Program Make a Difference Journal : Of Advance Nursing Of Ford : Vol 61,
1553
Barnett, Pinikaha, Y.T. (2007) . Fluid Complience Among Patient Having
Haemodialisis: Can an Education Programme Make A Difference Journal Of
Advanced Nursing, bi (3), 300 – 306
Baughman, D. C. & Hackley, J. C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the
Kidney. 9th edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473-505.

Brooker, Cris. (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC

Brunner, Suddarth, Smelzer, Bare. (2008) . Textbook of medical Surgical Nursing.


Edition Philadelphia Lippincot
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition.
United States of America: Elsevier Mosby.
Corwin, E. J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., dan Geissler, A. C. 2000. Rencana Asuhan


Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Menon, S., dkk. 2009. Effectiveness of A Multidisciplinary Clinic in Managing
Children with Chronic Kidney Disease. [on line].
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19478098. [diakses 04 Oktober 2014].

Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition.
United States of America: Mosby Elsevier.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universtas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai