Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan semata-

mata bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Definisi kesehatan

semacam ini tidak memberikan kesempatan adanya variasi dalam tingkat

kesejahteraan atau penyakit. Disisi lain, konsep kontinuitas sehat-sakit

memberikan rentang yang lebih besar dalam menggambarkan status kesehatan

seseorang. Model kontinuitas sehat-sakit memungkinkan untuk melihat seseorang

yang secara simultan mempunyai tingkat baik sehat maupun sakit (Smeltzer:

2001).

Penyakit paru obstruksi kronik adalah istilah yang disadari kurang tepat

dan digunakan untuk mencirikan suatu proses yang ditandai oleh adanya bronkitis

kronik atau emfisema yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas.

PPOK mengenai lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat. Bronkitis kronik

adalah diagnosisnya pada sekitar 75% kasus dan emfisema pada sisanya. Insidens,

prevalensi, dan angka kematian PPOK meningkat seiring pertambahan usia dan

lebih tinggi pada pria, orang berkulit putih, dan golongan sosioekonomi lemah.

Merokok masih menjadi kausa utama penyakit yang hampir 90% pasien dengan

bronkitis kronik dan emfisema. Namun, hanya 10-15% perokok mengalami

PPOK. Penyebab perbedaan pada kerentanan penyakit ini belum diketahui tetapi

mungkin mencakup faktor genetik (McPhee: 2010).


WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat Dunia

yaitu akan menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%.

Selain itu WHO juga menyebutkan bahwa sekitar 80 juta orang akan menderita

PPOK dan 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005. WHO (2015)

meramalkan PPOK akan menjadi penyebab mortalitas ketiga di dunia pada tahun

2020.

Pada laporan tahunan GOLD (2015), penyakit paru obstruksi kronis

(PPOK) didefenisikan sebagai penyakit paru yang dicirikan adanya pembatasan

aliran udara yang progresif. Lesi patologis pada paru-paru penderita PPOK secara

garis besar terbagi menjadi yang mempengaruhi elastisitas paru (emfisema) dan

yang mempengaruhi pembatasan aliran pada saluran napas. Prevalensi PPOK

tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur 10,0%, diikuti Sulawesi Tengah 8,0%,

Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7%. Menurut karakteristik

prevalensi, PPOK meningkat seiring dengan peningkatan usia yakni usia 25-34

tahun 1,6%, usia 35-44 tahun 2,4%, usia 45-54 tahun 3,9%, usia 55-64 tahun

5,6%, usia 65-74 tahun 8,6%, dan usia lebih dari 75 tahun 9,4%. PPOK lebih

tinggi pada laki-laki (4,2%) dibandingkan pada perempuan (3,3%) (Riskesdas,

2015).

PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis

kronis, bronkietaksis, emfisema, dan asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel

yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan

keluar udara paru-paru. PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan

dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan

pemajanan ditempat kerja (terhadap batubara, kapas, padi-padian) merupakan


faktor-faktor risiko penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini.

Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun. PPOK

sering menjadi simtomatik selama tahun-tahun usia baya, tapi insidennya

meningkat sejalan dengan peningkatan usia (Smeltzer: 2001).

Bronkitis kronis ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan

dalam bronkus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk

sputum selama 3 bulan dalam setahun, minimal 2 tahun berturut-turut. Emfisema

ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolar dan destruksi dinding

alveolar. Sedangkan asma bronkhial merupakan suatu penyakit yang ditandai

dengan tanggapan reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronkus terhadap

berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang

disebabkan oleh penyempitan menyeluruh dari saluran pernapasan (Arif Muttaqin:

2008).

Perubahan dalam jalan napas mengharuskan pasien dipantau terhadap

dispnea dan hipoksia. Terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga

dapat dibuang. Bronkodilator yang dihirup sering ditambahkan ke dalam nebulizer

untuk memberikan aksi bronkodilator langsung pada jalan napas, dengan

demikian memperbaiki pertukaran gas. Setelah inhalasi bronkodilator nebulizer,

pasien disarankan untuk menghirup moisture untuk lebih mengencerkan sekresi.

Kemudian membatukkan dengan ekspulsi atau drainase postural akan membantu

dalam pengeluaran sekresi (Smeltzer :2001).

Studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Achmad Mochtar

tahun 2019 didapatkan data dari medikal record (MR) jumlah kunjungan penderita

PPOK pada tahun 2018 sebanyak 209 orang, dengan angka kunjungan rata-rata
perbulannya 17 orang. Angka kejadian ini lebih tinggi terjadi pada laki-laki

sebanyak 185 orang, sedangkan pada perempuan sebanyak 24 orang dengan

angka kematian sebanyak 20 orang. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan merokok

pada sebagian besar pasien PPOK. Berdasarkan survei awal pada tanggal 6 April

2019, peneliti melakukan wawancara dengan Kepala ruangan Poli Paru Rumah

Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa

pasien dengan PPOK adalah pasien yang mengalami gangguan pada bersihan

jalan nafas karena terjadinya peningkatan produksi sputum sehingga pasien

membutuhkan tindakan keperawatan agar bersihan jalan nafas kembali normal.

Banyak pasien PPOK mengatakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi, dia

mengatakan sudah banyak sabar dan pasrah terhadap penyakit yang dideritanya.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul

Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Poli paru RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukitinggi tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

dalam penelitian ini adalah Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Poli Paru

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi tahun 2019.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di

Puskesmas Gulai Bancah Kota Bukitinggi tahun 2019.


2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kualitas hidup pasien PPOK di ruang

Paru RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta pemahaman peneliti

tentang kualitas hidup pada pasien PPOK.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan masukan dalam bidang ilmu terkait khususnya dalam

ilmu riset keperawatan. Sebagai masukan bagi peserta didik untuk

mengetahui kualitas hidup pada pasien PPOK serta sebagai informasi terbaru

untuk dijadikan masukan tambahan dalam pendidikan.

3. Bagi Lahan

Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi perawat yang berada

diruangan untuk mengetahui kualitas hidup pasien PPOK.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Gambaran Kualitas Hidup

Pasien PPOK di Poli Paru RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi tahun 2019.

Dengan variabel independen yang akan diteliti yaitu kualitas hidup pasien dan

sebagai variabel dependen adalah kualitas hidup pada pasien PPOK. Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh penderita PPOK di Ruang Paru RS Achmad

Mochtar Bukittinggi. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei 2019 di ruang
paru RS Achmad Mochtar Bukittinggi. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif analitik dengan pendekatan corelation study, yang dilakukan di ruang

paru RS Achmad Mochtar Bukittinggi. Kemudian data akan di olah dengan

menggunakan chy square.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep PPOK

1. Definisi

Penyakit paru obstruksi kronis (chronic obstructive pulmonary

diseases-COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk

sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh

peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi

utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal

dengan COPD adalah bronkhitis kronis, emfisema paru-paru, dan asma

bronkial. Sering juga penyakit ini disebut dengan chronic airflow limitation

(CAL) dan chronic obstructive disease (COLD).

Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang

beragam bergantung pada penyakit. Pada bronkhitis kronis dan bronkhiolitis,

terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak sehingga

menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen

dan karbon dioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan

oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma, jalan napas bronkhial

menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru.

Protokol pengobatan tertentu digunakan dalam semua kelainan ini, meski

patofisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan

spesifik.
PPOM merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang

membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan (onset)

gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOM sering menjadi

simptomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat

sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu

seperti kapasitas vital (CV) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun

sejalan dengan peningkatan usia, PPOM dapat memperburuk perubahan

fisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan

napas misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya pengembangan

(elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu, terdapat

perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien lansia dengan

PPOM (Arif Muttaqin: 2008).

2. Klasifikasi PPOK

a. Asma

Adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri

bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas). Asma

merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor

biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan spikologi.

b. Bronkhitis kronis

Adalah radang pada bronkus yang biasanya mengenai trakhea dan

laring, sehingga sering dinamai juga dengan laringotracheobronkhitis.

Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan napas tersendiri atau

sebagai bagian dari penyakit sistemik misalnya pada morbili, pertusis,

difteri, dan tipus abdominalis.


c. Emfisema

Merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh

pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan.

Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak

termasuk emfisema jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang

udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruktif jaringan. Namun

keadaan tersebut hanya sebagai over inflamation (Somantri: 2008).

3. Etiologi

a. Asma

Faktor penyebab yang sering menimbulkan asma adalah:

1) Alergen utama: debu rumah, spora jamur, dan tepung sari

rerumputan

2) Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan

3) Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus

4) Perubahan cuaca yang ekstrim

5) Aktivitas fisik yang berlebihan

6) Lingkungan kerja

7) Obat-obatan

8) Emosi

9) Lain-lain: seperti refluks gastro esofagus (Somantri:2008).

b. Bronkhitis Kronis

Terdapat tiga jenis penyebab bronkitis akut, yaitu:

1) Infeksi

2) Alergi
3) Rangsangan lingkungan, misal: asap pabrik, asap mobil, asap

rokok, dll.

Bronkhitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik

pada beberapa alat tubuh, yaitu:

1) Penyakit jantung menahun, yang disebabkan oleh kelainan

patologik pada katup maupun miokardia. Kongesti menahun

pada dinding bronkus melemahkan daya tahan sehingga infeksi

bakteri mudah terjadi.

2) Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, area infeksi

merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding

bronkus.

3) Dilatasi bronkhus (bronkiektasi), menyebabkan gangguan

susunan dan fungsi dinding bronkhus sehingga infeksi bakteri

mudah terjadi

4) Rokok, dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput

lendir bronkhus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan

lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

bakteri (Somantri: 2008).

c. Emfisema

1) Merokok, merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat

hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume

ekspansi paksa (VEP).

2) Keturunan, belum diketahui jelas apakah faktor keturunan

berperan atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita


dengan enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan

enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan

dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu

kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.

3) Infeksi, menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga

gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran

penapasan atas pada seorang penderita bronkhitis kronis

hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah dan

menyebabkan kerusakan paru bertambah.

4) Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat

keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan

antoelastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan

keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan

pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan

timbullah emfisema (Arif Muttaqin: 2008 ).

4. Patofisiologi

Penyakit paru obstruksi menahun mencakup tiga penyakit kronik

(jangka panjang):asma, bronkitis kronik, dan emfisema. Pada asma, obstruksi

saluran pernapasan disebabkan oleh(1) kontriksi berlebihan saluran

pernapasan halus karena spasme otot di dinding saluran pernapasan yang di

induksi oleh alergi; (2) penyumbatan saluran pernapasan oleh sekresi

berlebihan mukus yang sangat kental; dan (3) penebalan dinding saluran

pernapasan akibat peradangan dan edema yang diinduksikan oleh histamin.


Bronkitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernapasan bagian

bawah, yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang ke asap rokok,

udara berpolusi, atau alergen. Sebagai respon terhadap iritasi kronik,

saluran pernapasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian

dalam saluran pernapasan, disertai produksi berlebihan mukus yang kental.

Walaupun pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat

sering tidak dapat seluruhnya dikeluarkan, terutama karena eskalatot mukus

sliaris lumpuh oleh iritan. Sering terjadi infeksi paru oleh bakteri, karena

mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan

bakteri.

Emfisema ditandai dengan kolapsnya saluran pernapasan halus dan

rusaknya dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua

cara. Yang tersering, emfisema timbul akibat pengeluaran enzim-enzim

destruktif, misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respon terhadap

pajanan berulang ke asam rokok atau iritan kimia inhalan lainnya. Paru dalam

keadaan normal terlindung dari kerusakan akibat enzim ini oleh antitripsin αı,

suatu protein yang menghambat tripsin. Namun, sekresi berlebihan enzim

destruktif tersebut sebagai respon terhadap iritasi kronik dapat mengalahkan

kemampuan proteksi antitripsin αı, sehingga enzim-enzim tersebut tidak saja

menghancurkan benda asing, tetapi juga jaringan paru. Hilangnya jaringan

paru menyebabkan dinding alveolus jebol dan saluran pernapasan halus

kolaps, yang merupakan ciri khas emfisema. Yang lebih jarang, emfisema

timbul akibat ketidakmampuan genetik membentuk antitripsin αı, sehingga

jaringan paru tidak terlindung dan secara gradual mengalami disintegrasi


akibat pengaruh enzim-enzim magrofag walaupun berjumlah sedikit dan tidak

terjadi pajanan kronik ke iritan-iritan inhalan.

Jika resistensi saluran pernapasan meningkat akibat penyakit paru

obstruksi menahun, ekspirasi akan lebih sulit dilakukan dari pada inspirasi.

Saluran pernapasan yang lebih kecil, karena tidak memiliki cincin tulang

rawan yang manahan saluran pernapasan besar terbuka, ditahan terbuka oleh

gradien tekanan transmural yang meregangkan alveolus. Ekspansi rongga

torak selama inspirasi secara tidak langsung mengembangkan saluran

penapasan melebihi ukuran selama ekspirasi, serupa dengan pengembangan

alveolus, sehingga resistensi saluran pernapasan lebih rendah selama inspirasi

dibandingkan dengan selama ekspirasi. Pada orang nornal, resistensi saluran

pernapasan selalu rendah, sehingga sedikit variasi yang terjadi selama

inspirasi dan ekspirasi tidak terasa. Namun apabila resistensi saluran

pernapasan meningkat secara bermakna, seperti selama serangan asma,

perbedaan antara inspirasi dan ekspirasi tidak terasa. Dengan demikian,

pengidap asma lebih mengalami kesulitan mengeluarkan napas daripada

menarik napas yang menimbulkan “mengi” (wheezing) khas pada saat udara

dipaksa keluar melalui saluran pernapasan yang sempit.

Pada orang normal, saluran pernapasan kecil kolaps dan aliran keluar

udara lebih lanjut terhenti hanya pada volume paru yang sangat rendah.

Karena kolapsnya saluran pernapasan ini, paru tidak pernah dapat

dikosongkan secara sempurna (Sherwood: 2001).


5. Manifestasi Klinis

a. Asma

Tanda dan kejala asma meliputi:

1) Dispnea mendadak, mengi dan berat pada dada

2) Batuk-btuk dengan sputum yang kental, jernih atau pun kuning

3) Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi

aksesorius

4) Denyut nadi yang cepat

5) Pengeluaran keringat (perspirasi) yang banyak

6) Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi

7) Bunyi napas yang berkurang (Kowalak : 2011).

b. Bronkhitis Kronis

1) Penampilan umum: cenderung overweight, sianosis akibat

pengaruh sekunder polisitemia, edema (akibat CHF kanan),

dan barrel chest.

2) Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dispnea dalam

beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, serta

sering infeksi pada sistem respirasi. Gejala biasanya timbul

pada waktu yang lama (Somantri: 2008).

Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda

dini bronkhitis kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca

yang dingin, lembab dan iritan paru. Pasien biasanya mempunyai

riwayat merokok dan sering mengalami infeksi pernapasan (Smeltzer:

2001).
c. Emfisema

Dispnea adalah gejala utama emfisema dan mempunyai awitan yang

membahayakan. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan

riwayat batuk kronis yang lama, mengi, serta peningkatan napas

pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala diperburuk oleh infeksi

pernapasan. Pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat

udara terperangkapnya, penipisan massa otot, dan pernapasan dengan

bibir dirapatkan. Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi

akibat pengumpulan sekresi. Setelah infeksi ini terjadi, pasien

mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia,

penurunan berat badan, dan kelemahan umum terjadi. Vena leher

mungkin mengalami distensi selama ekspirasi (Smelzer: 2001).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Chest X-ray: dapat menunjukkan hiperinflamasi paru-paru, diafragma

mendatar, meningkatkan ruang udara retroternal, penurunan tanda

vaskular/ bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskuler

(bronkitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma).

b. Pemeriksaan fungsi paru-paru: dilakukan untuk menentukan penyebab

dari dispnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi

atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan untuk

mengevaluasi efek dari terapi, misal: bronkodilator

c. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.


d. FEVı / FVC: untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspirasi (FEV)

terhadap tekanan kapasitas vital (FVC), rasio menjadi menurun pada

bronkitis dan asma.

e. Kimia darah: menganalisis keadaan alpha 1-antitrypsin yang

kemungkinannya berkurang pada emfisema primer.

f. Sputum kultur: untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi

patogen, dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit

keganasan atau alergi (Somantri: 2008).

7. Penatalaksanaan

Pengobatan untuk pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema

obstruktif berupa tindakan-tindakan untuk menghilangkan obstruksi saluran

napas kecil. Tindakan untuk mengurangi obstruksi saluran napas adalah

dengan memberikan hidrasi yang memadai untuk mengencerkan secret

bronkus, ekspektoran dan bronkodilator untuk meredakan spasme otot polos.

Biasanya diberikan obat-obatan simpatomimetik seperti albuterol, terbutalin,

dan xantin (seperti aminofilin). Ipratropium bromida (Atrovent), yaitu suatu

agen antikolinergik dalam inhalasi-dosis terukur, adalah bronkidilator yang

efektif untuk pasien dengan bronkitis kronik. Pengobatan tambahan yang

penting adalah pemberian suplemen oksigen kepada pasien COPD yang

mengalami hipoksia. Telah diketahui bahwa pemberian O2 sebagai

pengobatan secara terus-menerus lebih menguntungkan daripada bila O2

hanya diberikan selama 12 jam pada malam hari (sylvia anderson: 2005).

Masukan cairan yang banyak (6 sampai 8 gelas) sehari sangat

dianjurkan untuk mengencerkan sekresi. Alasan lain untuk memperbanyak


masukan cairan adalah kecendrungan pasien untuk bernafas melalui mulut,

yang meningkatkan kehilangan air. Menghirup air yang di uapkan juga

membantu karena uap ini dapat melembabkan percabangan bronkial,

menambahkan air ke dalam sputum dan menurunkan viskositasnya, sehingga

dapat lebih mudah untuk dibatukkan (Smeltzer: 2001).

B. Konsep Kualitas Hidup

1. Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah ukuran konseptual atau operasional yang sering

digunakan dalam situasi penyakit kronik sebagai cara untuk menilai dampak

terapi pada pasien (Brooker, 2009). Pengukuran konseptual mencakup

kesejahteraan, kualitas kelangsungan hidup, kemampuan seseorang untuk

secara mandiri melalukan kegiatan sehari-hari (Montazeri et al 1996 dalam

Brooker, 2009).

Menurut Centers for desease Control and Prevention kualitas hidup

adalah sebuah konsep multidimensi yang luas yang biasanya mencakup

evaluasi subjektif dari kedua aspek positif dan negatif dalam kehidupan

(Bayhakki, 2015: Smeltzer, 2010).

Kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit yang

dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosia maupun

spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagian

dirinya maupun orang lain (Siregar, 2014).

Menurut WHO pada tahun 2004 menyebutkan bahwa kualitas hidup

terdiri dari 4 dimensi. Keempat dimensi WHO meliputi:


a. Kesehatan fisik

Berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan, ketergantungan pada

perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat,

aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.

b. Kesehatan psikologis

Berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran

pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran tubuh dan

penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri.

c. Hubungan sosial

Terdiri dari hubungan personal, aktivitas seksual, dan hubungan

sosial.

d. Lingkungan

Terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik,

sumber penghasilan, kesempatan memperoleh informasi, keterampilan

baru, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas pada

waktu luang (Siregar, 2014).

Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)

kualitas hidup di definisikan sebagai persepsi individu terhadap posisinya,

dan berhubungan dengan tujuan, harapan, standar dan minat. Definisi ini

merupakan konsep yang sangat luas, menggabungkan kesehatan fisik

seseorang, status psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial,

kepercayaan personal dan hubungannya dengan lingkungan (WHO, 1998).

2. Klasifikasi Kualitas Hidup

Menurut Notoatmodjo (2007) kualitas hidup dibagi menjadi :


a. Kualitas hidup baik

Kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan seperti :

mengatur pola makna, gaya hidup yang baik, rutin memeriksa

kesehatan dan rajin mengikuti progam penyuluhan dan pemerintah.

b. Kualitas hidup buruk

Kualitas hidup yang dimiliki sesorang dengan kebiasaan yang dapat

meningkatkan resiko paparan penyakit.

3. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup

a. Karakteristik Responden

Karakter (watak) adalah keseluruhan atau totalitas

kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional seseorang yang

terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar,

keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar

(pendidikan dan pengalaman, serta faktor-aktor eksogen) (Siregar,

2014).

Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan

seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudut pandang

diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang,

disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya

sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas,

istirahat, ataupun secara psikologis. banyak orang yang beranggapan

bahwa orang terkena penyakit kronik akan mengalami penurunan

dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik


seseorang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang terutama

yang mengidap penyakit kronik (Siregar, 2014).

1) Usia

Usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan

atau diadakan). Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan

terhadap penyakit tertentu. Pada umumnya kualitas hidup menurun

dengan meningkatnya umur. Penderita penyakit kronik usia muda

akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karenamerasa

kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan yang berusia tua.

Pasien yang berusia lanjut lebih cenderung mempunyai kualitas

hidup yang lebih buruk dan cenderung lebih depresi (Meilani,

2015).

2) Jenis kelamin

Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-

laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat

perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan, dimana pasien

perempuan cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih

rendah dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki –laki

(Meilani, 2015).

3) Pendidikan

Yuliaw (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, pada

penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai

pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat

mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi,


mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, pasien berpendidikan

rendah juga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien yang

menjalani hemodialisis.

b. Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2010), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan

dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga juga

berfungsi sebagai sistem anggotanya dan anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap

memberi pertolongan dengan bantuan jika diperlukan.

1) Dukungan Informasional

Dukungan informasi keluarga merupakan suatu dukungan atau

bantuan yang diberikan keluarga berupa saran atau masukan,

nasehat atau arahan, dan memberikan informasi-informasi penting

yang dibutuhkan pasien gagal ginjal kronis dalam upaya

meningkatkan kualitas hidupnya. Pada dukungan informasi,

keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penguasaan

(penyebar informasi). Dukungan informasi yang diberikan

keluarga merupakan fungsi perawatan kesehatan keluarga terhadap

anggota keluarganya. Fungsi perawatan kesehatan keluarga

merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik

seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan kesehatan.

Keluarga juga memberikan promosi kesehatan dan perawatan

kesehatan preventif, serta berbagai perawatan bagi anggotanya

yang sakit (Friedman 2010).


2) Dukungan Penghargaan

Dukungan penghargaan merupakan suatu dukungan atau bantuan

dari keluarga dalam bentuk memberikan umpan balik dan

penghargaan kepada pasien gagal ginjal kronis dengan

22enguasaan22 respons positif, yaitu dorongan atau persetujuan

terhadap gagasan/idea tau perasaan seseorang (Friedman2010).

3) Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental keluarga merupakan suatu dukungan atau

bantuan penuh keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga,

dana, maupun menyedikan waktu untuk melayani dan

mendengarkan pasien gagal ginjal kronis dalam menyampaikan

perasaan. Dukungan instrumental termasuk ke dalam fungsi

perawatan kesehatan keluarga dan fungsi ekonomi yang diterapkan

terhadap anggota keluarga atau lansia. Bentuk dari fungsi

perawatan kesehatan berupa menyediakan makanan, pakaian,

tempat tinggal, perawatan kesehatan dan perlindungan terhadap

bahaya sedangkan bentuk fungsi ekonomi berupa penyediaan

sumber daya yang cukup seperti finansial (Friedman 2010).

4) Dukungan Emosional

Dukungan emosional merupakan bentuk dukungan atau bantuan

yang diberikan keluarga kepada pasien gagal ginjal kronis yang

berupa perhatian, kasih sayang, dan simpati. Dukungan emosional

yang diberikan keluarga berarti keluarga sebagai tempat yang aman


dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu

23enguasaan terhadap emosi (Friedman2010).

c. Tingkat pendidikan

Kualitas hidup (QOL) yang rendah juga signifikan berhubungan

dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kebiasaan aktifitas fisik

yang kurang baik (Gautama et al 2009 dalam Silaban, 2013). Menurut

Stipanovic (2002 dalam Silaban, 2013) menyatakan pendidikan

merupakan faktor yang penting pada pasien DM untuk dapat

memahami dan mengatur dirinya sendiri.

d. Status sosial ekonomi

Kualitas hidup yang rendah juga berhubungan dengan sosial ekonomi

yang rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Gautam et al 2009

dalam Silaban, 2013).

4. Dimensi Kualitas Hidup

Menrut power dalam lopes dan sbyder (2004) kualtas hidup terdori

dari 4 dimensi yaitu :

a. Dimensi kesehatan fisik

Kesehatan fisik merupakan kemapuan individu dalam melakukan

aktiitas. Aktiitas yang di lakukan individu akan memberika

pengalaman baru yag erupakan midal perkembangan ke tahap

selanjutnya. Kesehatan isik mencakup aktiitas sehari hari, yang

menggambarkan kesulitan kegiatan sehari hari. Energi dan

kekelahan yang menggambarkan tingkat kemampuan yang di

miliki oleh individu dalam menjalani aktiitas sehari hari. Mobilitas


yang mengambarkan tingkat perpindahan yang mamu di laukan

oleh individu dengan cepat dan tepat. Sakit dan ketidaknyamanan

menggambarkan sejauh mana perasaan keresahan yang i rasakan

individu terhadap hal hal yang menyebabbkan individu mmerasa

sakit. Istirahat dan tidur, sejauh mana kualitas tidur yang di rasakan

individu dalam pemenuhan kebutuhan tubuh terhadap istirahat.

b. Dimensi spikologi

Asek psikologi terkait dengan mental individu. Keadaan mental

mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri

terhadap tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuanny,

baik tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Aspek ini

juga terkait dengan aspek fisik, dimana individu dapat melakukan

sesuatu aktifitas jika individu itu sehat secara mental.

Kesejahteraan psikologi mencakup body image, dan aperence,

yang menggambarkan bagaimmana individu memnanga keadaan

tubuh dan penampilannya.

c. Dimensi sosial

Hubungan sosial yaitu hubungan antara 2 individu atau lebih itu

akan saling mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki tingkah

laku individu yang lainnya. Mengingat mansia adalah makhluk

sosial makadalam hubungan sosial manusia merialisasikan

kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya.

Hubungan sosial mencakup hubungan pribadi, menggambarkan

bagaimana hubungan indivu dengan orang lain. Dukungan sosial


menggambarkan adanya bantuan yang di dapatkan individu yang

berasal dari lingkungan sekiar.

d. Dimensi lingkungan

Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal indivisu termasuk di

dalammnya, keadaan, ketersediaan tempat tinggal serta saran dan

rasarana. Hubungan dal lingkungan mencakup sumber

financial,psikologi safety, dan security. Yaitu menggambrakn

tingkat keamanan individu yang dapat mempengaruhi kebebeasan

dirinya. Perawatan kesehatan da sosial care yaitu

menggambarkjan ketersediana pelayanan kesehatan dan

perlindungan sosial yang di dapatkan individu.

5. Instrumen Untuk Mengukur Kualitas Hidup

Instrumen yang biasa digunakan untuk mengukur kualitas hidup

pasien dengan penyakit kronik adalah berupa kuisioner Kidney Disease

Quality Of Life Short Form 36 (KDQOL SF 36), WHOQOL – BREF, dan

Quality Of Life Index (QLI) Ferrans & Power. Kuisioner yang paling banyak

digunakan adalah Kidney Disease Quality Of Life Short Form 36(KDQOL SF

36) (n=8).KDQOL SF-36 terdiri dari 36 pertanyaan yang akan mengukur

delapan dimensi yang terkait dengan kualitas hidup yaitu: fungsi fisik,

keterbatasan peran karena masalah fisik, keterbatasan peran karena masalah

emosional, fungsi sosial, kesehatan mental/psikologis, vitalitas, nyeri tubuh,

dan persepsi kesehatan secara umum, skor pengukuran kualitas hidup

menggunakan KDQOL SF-36 berkisar alam rengan nilai 0 – 100, kriteria


pengukuran kualitas hidup dikatakan baik jika skor 51 – 100 dan dikatakan

buruk jika skor 0 – 50 (Mailani 2015, : Pakpour 2010).


C. Kerangka Teori

Etiologi:

1) Alergen,
2) Asap rokok,
3) Polusi udara (Arif Muttaqin:
2008).

PPOK

Manifestasi klinis: Kualitas hidup

1) Penyempitan saluran napas


2) Produksi mukus yang
berlebihan (Sherwood: 2001) Baik Tidak baik

Batuk

Efektif Tidak efektif

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Modifikasi: Arif Muttaqin (2008), Sherwood (2001), smeltzer (2001), Herlina de

Guzman (2001), Tomey & Alligood (2010).


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kerangka Konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang

diberikan dan mempunyai landasan yang kuat terhadap judul yang dipilih sesuai

dengan identifikasi masalah (Nursalam,2011). Variabel yang digunakan adalah

variabel independen dan dependen.Variabel adalah Suatu yang digunakan sebagai

ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapat oleh satuan penelitian tentang

suatu konsep pengertian tertentu (Nursalam, 2011). Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui apakah ada Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Poli Paru

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi tahun 2019. Adapun variabel yang

dibahas pada kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Umur
Kualitas Hidup Pasien
Jenis Kelamin PPOK

Pendidikan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

B. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional adalah mendefenisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek dan

fenoma (Nursalam, 2011).


Tabel 3.1
Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Alat ukur Cara Skala Hasil ukur


Operasional ukur ukur
Dependen Kualitas hidup Kuesioner Wawancar ordinal Jika skor ≥ 60
Kualitas yang di rasakan yang di a maka kualitas
hidup pasien saat gunakan mengguna hidup baik
menjalani DQOL an
kepatuhan diet (diabetes instrumen Jika skor ≤ 60
quality of maka kualitas
life ) hidup buruk
(munoz &
thiagaraja
n , 1998)
(WHO-DQOL)

1=
kualitas
hidup
buruk
2=
kualitas
hidup baik

C. Hipotesis

Ho : tidak ada Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Poli Paru RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukitinggi tahun 2019.

Ha : ada Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Poli Paru RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukitinggi tahun 2019.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain Penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan untuk menjawab

pertanyaan penelitian dan mengidentifikasi berupa kesulitan yang mungkin timbul

selama proses penelitian (Nursalam, 2011). Penelitian ini menggunakan desain

deskiptif analitik dan metode corelatif study yaitu mengetahui Gambaran Kualitas

Hidup Pasien PPOK di Poli Paru RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi tahun

2019.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Polin paru RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi, karena angka kejadian PPOK cukup tinggi di RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi dan selama ini belum ada pengkajian kualitas hidup pasien

PPOK di Poli paru RSUD Dr. Achmad Mochtar. Penelitian ini direncanakan pada

bulan Mei 2019.

C. Populasi, Sampel dan Sampling

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien)

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011). Populasi

dalam penelitian ini adalah 69 orang pasien PPOK yang dirawat di ruang paru

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2019.


2. Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2011).

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Notoatmojo,

2005). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.

Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus

time series design :

Rumus : n= N.z² p.q.

d ( N-1) + z.p.q

Keterangan : n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

z = nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)

p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%

q = 1 – p (100% - p)

d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,01)

Jadi sampelnya adalah dari populasi 69 orang, tingkat signifikan 95%.

Rumus: n = N.z² p.q.


d ( N-1) + z².p.q

n = 69(1,96) ² . 0,5 . 0,5


(0,01) (69 – 1) + (1,96) ² . 0,5 . 0,5

= 69 (3,841) . 0,25
0,68 + (3,841) . 0,25
= 66,257
1,640
n = 40,40
n = 40 Responden
Maka besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 40 orang

responden.

3. Sampling

Sampling adalah proses penyeleksian porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam, 2011). Teknik sampling yang digunakan dalam

penelitian ini purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah sesuatu

teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi

sesuai dengan yang di kehendaki peneliti (Nursalam, 2011).

D. Pengumpulan Data

Pengertian metode angket menurut Arikunto (2006:151) “Angket adalah

pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden

dalam arti laporan tentang pribadi atau hal-hal yang ia ketahui”. Sedangkan

menurut Sugiyono (2008:199) “Angket atau kuesioner merupakan tehnik

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan

atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab”. Kuesioner atau angket

yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kuesioner atau angket langsung

yang tertutup karena responden hanya tinggal memberikan tanda pada salah satu

jawaban yang dianggap benar.


E. Cara Pengolahan dan Analisa Data

1. Cara Pengolahan Data

Data yang sudah dikumpulkan, kemudian diolah sehingga menjadi

informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.

Menurut Setiadi (2013) ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti

dalam pengolahan data dibagi menjadi 6, yaitu:

a. Editing (Memeriksa)

Kegiatan untuk melakukan pengecekkan terhadap isi dari lembar

observasi.

b. Coding (Memberi Tanda Kode)

Melakukan pengkodean terhadap data yang sudah diedit, sebagai

usaha menyederhanakan data, yaitu untuk katagori jenis kelamin

dengan memberikan tanda angka 1 dan angka 2 untuk kategori jenis

kelamin perempuan.

c. Tabulating (Pengelompokkan data)

Mengelompokkan data ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat

yang dimilikinya sesuai dengan tujuan penelitian.

d. Processing

Memproses data yang dilakukan dengan cara meng-entry data dari

hasil observasi menggunakan perangkat komputer.

e. Cleaning (Pembersihan Data)

Melakukan pengecekkan kembali data yang sudah di entry apakah ada

kesalahan atau tidak.


f. Mengeluarkan informasi

Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan, dalam

penelitian ini peneliti membuat table jawaban-jawaban yang telah

diberi kode kategori jawaban kemudian dimasukkan kedalam table

distribusi frekuensi.

2. Analisa Data

a. Analisa univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian, yang disajikan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi dan presentase ( Notoatmodjo, 2010).

Variable tersebut menggunakan rumus sebagai berikut :

f
P x 100%
n

Keterangan :

P = Nilai persentase responden

f = Frekuensi atau jumlah yang benar

n = Jumlah responden

F. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada responden untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Setelah

mendapatkan persetujuan barulah peneliti melakukan penelitian dengan

menegakkan masalah etika. Menurut (Hidayat, 2007).

1. InformedConcent

Informed consent adalah bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.Informed consent tersebut


diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar

persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar

subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika

subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan.Jika

responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien

(Hidayat, 2007).

2. Anonimity

Anomity adalah masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek

penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2007).

3. Confidentiality

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya sekelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset (Hidayat, 2007)


BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan pada responden sebanyak 45 orang

responden dengan judul Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas

Gulai Bancah Kota Bukitinggi tahun 2019. Penelitian ini telah dilakukan pada

tanggal 14 sampai 15 April 2019. Pada penelitian ini 30 orang dijadikan sebagai

subjek penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

membagikan kuesioner pada pasien PPOK Di Wilayah Kerja Gulai Bancah Kota

Bukittinggi tahun 2019. Sesuai dengan kondisi responden pada saat itu tanpa

pengaruh ataupun paksaan dari orang lain termasuk peneliti.

B. Analisa Univariat

Dari hasil penelitian yang peneliti dapat pada responden yang berjumlah

sebanyak 30 orang responden, maka peneliti mendapatkan hasil univariat tentang

Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas Gulai Bancah Kota

Bukitinggi tahun 2019, sebagai berikut pada tabel dibawah ini.


1. Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas Gulai Bancah Kota
Bukitinggi tahun 2019.

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas Gulai
Bancah Kota Bukitinggi tahun 2019

Kualitas Hidup Frekuensi (f) Persentase (%)

Kualitas Hidup Baik 28 93,3

Kualitas Hidup Buruk 2 6,7

Total 30 100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dijelaskan bahwa dari 30 orang responden

didapatkan lebih dari separoh 28 (93,3%) responden memiliki kualitas hidup

baik dan 2 (6,7%) responden memiliki kualitas buruk..


BAB VI

PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas Gulai Bancah Kota


Bukitinggi tahun 2019.

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dijelaskan bahwa dari 30 orang responden

didapatkan lebih dari separoh 28 (93,3%) responden memiliki kualitas hidup

baik dan 2 (6,7%) responden memiliki kualitas buruk..

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2015) dengan

judul Hubungan tingkat ketergantungan dalam pemenuhan aktivitas

kehidupan sehari-hari (AKS) dengan kualitas hidup pasien stroke. Didapatkan

hasil 57,3% responden mengalami kualitas hidup pasien baik, dan 32,7%

kualitas hidup buruk.

Kualitas hidup penderita pasca stroke dapat mengalami gangguan atau

hambatan karena adanya kecacatan fisik, kognisi, gangguan psikologis dan

sosial. Hasil penelitian Bays (2001) di Amerika Serikat menunjukkan adanya

penurunan kualitas hidup penderita pasca stroke yang meliputi aktivitas

sehari-hari, pola komunikasi, aktivitas sosial, pekerjaan,istirahat dan rekreasi.

Kualitas hidup yang menurun dapat mempengaruhi semangat hidup penderita

dan keluarga yang mengasuh. Oleh karena itu keluarga juga berperan dalam

meningkatkan kualitas hidup penderita.

Kualitas hidup adalah suatu konsep global yang menekankan pada

dimensi-dimensi status kesehatan termasuk keuangan, tempat tinggal dan

pekerjaan. Menurut Brown (1996) dengan konsep kualitas hidup sebagai


pusat promosi kesehatan, kualitas hidup berdasarkan pada tiga area kehidupan

manusia yang merupakan dimensi penting dalam pengalaman manusia yaitu:

Being, Belonging dan Becoming. Ketiga hal tersebut terjadi akibat interaksi

antara seseorang dan lingkungannya.

Menurut Centers for desease Control and Prevention kualitas hidup

adalah sebuah konsep multidimensi yang luas yang biasanya mencakup

evaluasi subjektif dari kedua aspek positif dan negatif dalam kehidupan

(Bayhakki, 2015: Smeltzer, 2010). Kualitas hidup adalah kondisi dimana

pasien kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara

fisik, psikologis, sosia maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan

hidupnya untuk kebahagian dirinya maupun orang lain (Siregar, 2014).

Menurut WHO pada tahun 2004 menyebutkan bahwa kualitas hidup

terdiri dari 4 dimensi. Keempat dimensi WHO meliputi: Kesehatan fisik,

Berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan, ketergantungan pada

perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat, aktifitas

kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja. Kesehatan psikologis,

Berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran

pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan,

serta penghargaan terhadap diri sendiri. Hubungan social, Terdiri dari

hubungan personal, aktivitas seksual, dan hubungan sosial. Lingkungan,

Terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik, sumber

penghasilan, kesempatan memperoleh informasi, keterampilan baru,

partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas pada waktu luang

(Siregar, 2014).
Penyakit paru obstruksi kronis (chronic obstructive pulmonary

diseases-COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk

sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh

peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi

utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal

dengan COPD adalah bronkhitis kronis, emfisema paru-paru, dan asma

bronkial. Sering juga penyakit ini disebut dengan chronic airflow limitation

(CAL) dan chronic obstructive disease (COLD).

Penyakit paru obstruksi menahun mencakup tiga penyakit kronik

(jangka panjang):asma, bronkitis kronik, dan emfisema. Pada asma, obstruksi

saluran pernapasan disebabkan oleh(1) kontriksi berlebihan saluran

pernapasan halus karena spasme otot di dinding saluran pernapasan yang di

induksi oleh alergi; (2) penyumbatan saluran pernapasan oleh sekresi

berlebihan mukus yang sangat kental; dan (3) penebalan dinding saluran

pernapasan akibat peradangan dan edema yang diinduksikan oleh histamin.

Bronkitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernapasan bagian

bawah, yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang ke asap rokok,

udara berpolusi, atau alergen. Sebagai respon terhadap iritasi kronik,

saluran pernapasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian

dalam saluran pernapasan, disertai produksi berlebihan mukus yang kental.

Walaupun pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat

sering tidak dapat seluruhnya dikeluarkan, terutama karena eskalatot mukus

sliaris lumpuh oleh iritan. Sering terjadi infeksi paru oleh bakteri, karena
mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan

bakteri.

Pengobatan untuk pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema

obstruktif berupa tindakan-tindakan untuk menghilangkan obstruksi saluran

napas kecil. Tindakan untuk mengurangi obstruksi saluran napas adalah

dengan memberikan hidrasi yang memadai untuk mengencerkan secret

bronkus, ekspektoran dan bronkodilator untuk meredakan spasme otot polos.

Biasanya diberikan obat-obatan simpatomimetik seperti albuterol, terbutalin,

dan xantin (seperti aminofilin). Ipratropium bromida (Atrovent), yaitu suatu

agen antikolinergik dalam inhalasi-dosis terukur, adalah bronkidilator yang

efektif untuk pasien dengan bronkitis kronik. Pengobatan tambahan yang

penting adalah pemberian suplemen oksigen kepada pasien COPD yang

mengalami hipoksia. Telah diketahui bahwa pemberian O2 sebagai

pengobatan secara terus-menerus lebih menguntungkan daripada bila O2

hanya diberikan selama 12 jam pada malam hari (sylvia anderson: 2005).

Menurut asumsi peneliti kualitas hidup responden PPOK memang

harus diperhatikan karena dengan diperhatikannya maka responden tersebut

merasa diperhatikan, merasa nyaman dengan keadaan, dan tidak merasa

tertekan dengan keadaan sekarang ini. Pada penelitian sebagian besar

responden memiliki kualitas hidup baik karena pasien PPOK menerima

keadaannya nya dan keluarga pun memiliki perhatian khusus terhadap

anggota keluarganya yang sakit sehingga pasien PPOK merasa dihargai,

disayangi dan merasa memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Pada

penelitian ini kualitas hidup baik dapat dilihat dari jawaban responden agak
terbatas dari kuesioner nomor 2 yaitu aktifitas sedang seperti memindahkan

barang, memasak, menyetrika, mencuci pakaian, dan berjalan cepat. Pada

penelitian ini kualitas hidup baik dapat dilihat dari jawaban responden

kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah dari kuesioner nomor 14 yaitu dalam

4 minggu terakhir, seberapa banyak waktu, seberapa sering masalah

kesehatan fisik dan perasaan emosi anda mempengaruhi aktifitas sosial anda

(seperti mengunjungi teman, keluarga, tetangga. Pada penelitian ini kualitas

hidup baik dapat dilihat dari jawaban responden agak terbatas dari kuesioner

nomor 4 yaitu berjalan sekitar 10 rumah (100). Pada penelitian ini kualitas

hidup baik dapat dilihat dari jawaban responden agak terbatas dari kuesioner

nomor 5 yaitu mandi berpakaian sendiri. Pada penelitian ini dikatakan

kualitas hidup pasien pasca stroke buruk dapat dilihat dari jawaban kuesioner

buruk dari kuesioner nomor 12 yaitu bagaimana menurut anda kondisi

kesehatan anda secara umum.


BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan tabel 5.1 dapat dijelaskan bahwa dari 30 orang responden

didapatkan lebih dari separoh 28 (93,3%) responden memiliki kualitas hidup

baik dan 2 (6,7%) responden memiliki kualitas buruk..

B. Saran
1. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu masukan bagi Puskesmas Gulai

Bancah Bukittinggi dalam memberikan konseling dan bimbingan bagi pasien

PPOK dalam rangka rehabilitasi fisik dan psikologis pasien PPOK.

2. Bagi Responden

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber bacaan bagi pasien

beserta keluarga pasien PPOK dan diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan responden tentang faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

pasien PPOK, khususnya kualitas hidup pasien PPOK.

3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi bagi penelitian lain

untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup pasien PPOK.


Lampiran 1

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth: Calon Responden Di Puskesmas Gulai Bancah

Bukittinggi

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu SI
Keperawatan STIKes Prima Nusantara:

Nama : TEJA LOVLY PERNANDO

Nim : 181012114201027

Akan mengadakan penelitian dengan judul “Gambaran Kualitas Hidup Pasien


PPOK di Puskesmas Gulai Bancah Kota Bukitinggi tahun 2019. Penelitian ini
tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi saudara sebagai responden.
Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan hanya digunakan
untuk kepentingan penelitian.

Apabila saudara menyetujui, maka dengan ini saya mohon kesediaan untuk
menandatangani lembar persetujuan (informed concent) dan melakukan tindakan
yang saya berikan.

Demikian atas perhatiannya dan kesediaan saudara sebagai responden saya


ucapkan terimakasih.

Peneliti

TEJA LOVLY PERNANDO


Lampiran 2

FORMAT PERSETUJUAN RESPONDEN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Setelah dijelaskan maksud dari peneliti, maka saya bersedia menjadi responden

yang dilakukan oleh saudara teja lovly pernando Program Studi SI Keperawatan

STIKes Prima Nusantara yang akan mengadakan penelitian dengan judul

“Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas Gulai Bancah Kota

Bukitinggi tahun 2019.

Demikian persetujuan ini saya tanda tangani dengan sesungguhnya sukarela tanpa

paksaan siapapun agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bukittinggi, April 2019

Responden

( )
Lampiran 3

No. Responden

KUESIONER PENELITIAN

Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK di Puskesmas Gulai Bancah Kota


Bukitinggi tahun 2019

Biodata Responden

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Pekerjaan :

Tinggal bersama siapa :

No Telepon/HP :

KUALITAS HIDUP

PETUNJUK : jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara memilih satu


jawaban yang Anda anggap benar sesuai kondisi yang anda rasakan.

1. Secara umum : apakah anda akan mengatakan bahwa kesehatan anda

sekarang :

A. Sangat baik
B. Baik sekali
C. Baik
D. Sedang
E. Kurang

2. Di bandingkan dengan keadaan setahun yang lau, bagimana rata rata


kesehatan anda secra umum sekarang ini ?
A. Sekarang jauh ebih baik daripada setahun yang lalu
B. Sekarang agak lebih baik daripada setahun yang lalu
C. Kira kira sama dengan keadaan setahun yang lalu
D. Sekarang agak lebih parah daripada setahun yang lalu
E. Jauh lebih parah di banding setahun yang lalu

Kategori berikut ini adalah tentang aktifitas yang mungkin anda kerjakan sehari
hari Apakah kesehatan anda membatasi aktifitas , jika iya seberapa jauh

Keterangan :

SM : sangat membatasi

AM : agak membatasi

TM : tidak membatasi sama sekali

no pernyataan SM SM TM
3 Aktiitas yang penuh semangat,
seperti lari, mengangkat benda
berat, akti dalam olahraga
4 Aktiitas sedang, seperti
menggeser meja, mendorong
mesin pembersih debu, main bola
gelinding, atau main gol
5 Mengangkat atau mebawa barang
belanjaan
6 Menaiki beberapa anak tangga
7 menaiki satu anak tangga
8 Melenurkan badan , berlutut,
membungkuk
9 Berjalan kaki sejauh 1 mil
10 Berjalan kaki sekitar perumahan
11 Berjalan kaki sejauh perumahan
12 Mandi atau berpakaian sendiri

Selama empat minggu terakhir, apakah anda mengalami masalah dengan


pekerjaan atau dengan aktifitas sehari hari sebagai dampak dari kesehatan fisik
anda ?
no pernyataan Ya tidak
13 Mengurangi julah waktu yang
anda pergunakan dalama
pekerjaan atau aktifitas lainnya
14 Melaksanakan kurang dari apa
yang anda inginkan
15 Terbtasnya aktifitas dalam
setiap jenis pekerjaan atau
dalam aktifitas lainnya
16 Kesulitan dalam mengerjakan
suatu pekerjaan (misalnya
memerlukan tenaga ekstra)

Selama empat minggu terakhir, apakah anda mengakami masalah dengan


pekejaan sebagai dampak dari emosional (Seperti tertekan atau rasa cemas )

no Pernyataan ya tidak
17 Mengurangi jumlah waktu yang
anda pergunakan dalam
pekerjaan
18 Melaksanakan apa yang kurang
anda inginkan
19 Melakukan pekerjaan seperi
biasanya

20.Selama empat minggu terakhir, sejauh mana kesehatan fisik anda ataupun
masalah emosional, mengganggu keluarga, teman , tetangga ataupun kelompok
masyarakat

A. tidak sama sekali

B. Agak menggangu

C. sedang

D. sedikit mengganggu

E. terlalu menggangu
21. Sejauh mana anda meraskan rasa sakit secara fisik selam empat minggu
terakhir ?

A. tidak sama sekali

B. sangat ringan

C. ringan

D. sedang

E. sangat

22. selama empat minggu terakhir, seberapa jauh rasa sakit yang menggangu
pekerjaan

rutin anda

A. Tidak sama sekali


B. Sedikit
C. Sedang
D. Sedikit sekali
E. Terlalu menggangu

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah tentang bagaimana anda merasa dan bagaimana


segala sesuatunya berkaitan dengan anda selama empat minggu terakhir. Untuk
setiap pertanyaan, berikan sebuah jawaban yang paling dekat dengan cara anda
merasakannya. Seberapa sering selama empat minggu terakhir.

Keterangan

A : Setiap Saat

B : Hampir Setiap Saat

C : Sering

D : Kadang Kadang

E : Sekali Sekali

F : Tidak Pernah
No pernyataan A B C D E F
23 Apakah anda merasa semangat
24 Apakah anda pernah
merasakan menjadi seorang
yang mudah gugup
25 Apakah anda pernah
merasakan terpuruk hingga
tidak ada yang bisa
mengembirakan hati anda
26 Apakah anda pernah mersakan
ketengan atau kedamaian
27 Apakah anda memiliki banyak
energi
28 Apakah anda pernah
merasakan sedih atau
bermurung
29 Apakah anda merasa keletian
30 Apakah anda pernah
merasakan menjadi seorang
yang berbahagia
31 Apakah anda merasa letih

32. dalam empat minggu terakhir, seberapa sering kesehatan fisik anda
mengganggu aktifitas sosial anda,(seperti mengunjungi teman, sanak keluarga dan
lain lain )

A. setiap saat

B. hampir setiap saat

C. kadang kadang

E. sekali kali

F. tidak pernah

Seberapa jauh BENAR atau SALAH menurut anda setiap pernyataan berikut ini :

Keterangan :

BS : Benar Sekali

HSB : Hampir Semuanya Benar

TT : Tidak Tahu
HSS : Hapir Semuanya Salah

SS : Salah Sekali

No pernyataan BS HSB TT HSS SS


33 Saya nampaknya mudah
sekali jatuh sakitjika di
bandingkan dengan orang lain
34 Saya sama sehatnya dengan
orang yang saya kenal
35 Saya menharapkan kesehatan
Saya sangat buruk
36 Kesehatan saya baik sekali

Anda mungkin juga menyukai