Anda di halaman 1dari 2

Nama : Shela Nor Fansyah

Kelas/No : XOB/30

Wiranto adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terakhir. Di masanya, tahun
1999, TNI dipisahkan dari polisi sehingga yang ada adalah nomenklatur Panglima TNI.
Ketika Reformasi bergulir, Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto mendapuk Wiranto
sekaligus sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Di masa-masa krusial ini, Wiranto
mengaku memiliki mandat yang mirip seperti diperoleh Soeharto saat mendapat Surat Perintah 11
Maret (Supersemar).
"Saya selaku panglima ABRI, justru memiliki wewenang itu. Mengapa tidak mengkudeta? Karena
saya tidak ingin mengkhianati negeri ini," kata Wiranto.
Setelah pensiun dari militer, Wiranto mencoba berkarier ke dunia politik. Di awal-awal tahun
Reformasi,pada 2004, Wiranto melaju sebagai kandidat presiden dari Partai Golkar berpasangan dengan
Salahudin Wahid. Wiranto maju capres setelah memenangkan konvensi capres yang digelar Partai
Golkar. Namun pasangan ini kalah dalam Pemilihan Presiden yang dimenangi pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Kegagalan dalam Pilpres 2004 tidak membuat patah semangat Wiranto, tetapi justru menjadi
pemicu naluriWiranto untuk terjun ke dunia politik. Dia pun kemudian mendirikan partai politik
bernama Hanura. Pada pilpres 2009, dia kembali ikut bertarung, tapi sebagai calon wakil presiden
berpasangan dengan calon presiden Jusuf Kalla. Hasilnya tetap belum memuaskan.
Meski demikian, Wiranto tidak gentar dan fokus membesarkan partai politiknya. Pada Pilpres
2014, dia kembali menjadi bakal calon presiden berpasangan dengan bos MNC Group Harry Tanoe.
Sayang, kedua pasangan ini berpisah sebelum Pilpres digelar.
Pada Pilpres 2014 ini, Wiranto dan partainya hanya menjadi pengusung calon lain yakni Joko
Widodo. Dukungannya membuahkan hasil. Wiranto pun diminta untuk menyodorkan kader-kadernya
untuk dipilih Presiden Joko Widodo untuk menjadi menteri di Kabinet Kerja periode 2014-2019. Ketika
reshuffle kabinet dilakukan Jokowi, Wiranto kembali diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik,
Hukum dan Keamanan, jabatan yang pernah diembannya di masa Presiden BJ Habibie.
Wiranto lahir di Yogyakarta, 4 April 1947. Ia anak keenam dari sembilan bersaudara. Ayahnya
bernama RS. Wirowijoto adalah seorang guru sekolah dasar dan ibunya bernama Suwarsijah sebagai ibu
rumah tangga. Wiranto menikah dengan Hj. Rugaiya Usman dan dikaruniai 3 orang anak.
Saat usia baru satu bulan, Wiranto harus pindah bersama kedua orangtuanya ke Surakarta
karena agresi Belanda yang menyerang Kota Yogyakarta. Di Surakarta, Wiranto menamatkan pendidikan
sekolah dasarnya hingga sekolah menengah. Ia tamat dari SMA Negeri 4 Surakarta pada usia 17 tahun.
Selanjutnya ia melanjutkan di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang dan lulus pada tahun 1968.
Usai lulus dari AMN, Wiranto memulai karier militernya di korps infantri. Namanya mulai
diperhitungkan saat menjadi ajudan Presiden Soeharto selama empat tahun antara 1989-1993.
Setelah itu, karier militernya mulai meningkat. Mulai dari kepala staf kodam Jaya, Pangdam Jaya,
Pangkostrad, hingga KASAD. Pada tahun 1998, Wiranto ditunjuk oleh Presiden Soeharto menjadi
Panglima ABRI (Pangab), kini berubah nama menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga
era Presiden B.J Habibie.
Peranan Wiranto dalam Reformasi
Menghadapi Gelombang Reformasi Kacaunya ekonomi menimbulkan kegelisahan masyarakat.
Muncul pula tuntutan mundurnya Soeharto. Kemudian muncul berita-berita soal penculikan
aktivis anti-Soeharto yang mulai terjadi di masa awal Wiranto menjabat Panglima ABRI. Terkait
penculikan itu, Wiranto mengaku memerintahkan kepada jajaran ABRI untuk menemukan
korban penculikan dan menindak pelakunya. Tak lupa Wiranto minta penjelasan kepada mantan
Komandan Jenderal Kopassus, yang jadi Panglima Kostrad, Letnan Jenderal Prabowo Subianto,
terkait isu keterlibatan personil Kopassus. Prabowo mengakui memang ada penculikan. Wiranto
merasa heran karena petinggi ABRI tidak diberitahu soal penculikan itu. Sepeti dicatat Wiranto,
Prabowo memberi penjelasan bahwa aksi intelijen yang berbuntut penculikan itu, “memang
sengaja tidak dilaporkan kepada pimpinan ABRI maupun staf agar tidak merepotkan dan
melibatkan Mabes ABRI.” Wiranto bertindak bak pahlawan dengan memerintahkan, “bebaskan
mereka segera!” Dari hasil pendalaman dilaporkan bahwa “memang benar Danjen Prabowo
memerintahkan Mayor Bambang Kristiono beserta tim yang beranggotakan sepuluh orang—
yang disebut tim mawar—untuk melakukan upaya pengungkapan mengenai ancaman terhadap
stabilitas keamanan nasional,” sebut Wiranto dalam autobiografinya Prabowo pun
direkomendasikan untuk diberhentikan. Ketika itu Jakarta makin rusuh. Pada 12 Mei 1998,
pecah tragedi Trisakti, di mana beberapa mahasiswa mati tertembak. Jakarta semakin panas. Di
hari-hari panas itu, terbit kesalahan terbesar Wiranto di mata musuhnya, yakni perjalanannya ke
Malang pada 14 Mei 1998. Alasan Wiranto adalah “menghadiri serah-terima Komando
Pengendalian (Kodal) Pasukan Pengendali Reaksi Cepat (PPRC).” Dia mengaku Prabowo lah
yang memintanya memimpin serah terima itu. Sewaktu jadi Panglima ABRI pula, seminggu
setelah serah-terima PPRC di Malang dan Soeharto sudah digantikan B.J. Habibie sebagai
presiden, Wiranto berurusan lagi dengan Prabowo. Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan
(2006) menceritakannya. Pada pagi 22 Mei 1998, Wiranto melaporkan adanya pasukan Kostrad
yang bergerak menuju Jakarta, juga adanya konsentrasi pasukan di sekitar kediaman Habibie di
Kuningan dan di Istana Merdeka. Habibie pun berkesimpulan, “Pangkostrad [Prabowo]
bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab”

Anda mungkin juga menyukai