Anda di halaman 1dari 5

Indonesia di Bawah Masa Kepemimpinan Soeharto

Oleh : Arnetta Qanitah Munandar


Arnettaqanitah94@gmail.com

Latar Belakang
Gerakan reformasi pada tahun 1998 telah menjadi bagian masa lalu, bagian dari perjalanan
Bangsa danNegara Republik Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi tahun
1945. Seperti pula momentum sebelumnya, reformasi adalah bagian sejarah dari
perjalanan panjang bangsa Indonesia. Sejumlah peristiwa seperti pendudukan gedung
DPR/MPR, insiden Trisakti, dan Semanggi, pengunduran diri Presiden Soeharto, aksi
penjarahan dan kerusuhan, pernyataan 14 menteri yang tidak bersedia lagi duduk dalam
Kabinet Reformasi dan sebagainya, adalah realitas sejarah.
Sejak awal, gerakan reformasi telah dimaknai berbedabeda antara lain mencakup desain
negara ideal, slogan klise ataupun sebatas ekspresi pikiran seseorang. Ada yang
berpendapat bahwa reformasi tidak identik dengan pergantian individu melainkan
berkaitan dengan sistem dan struktur.
Dari semua itu, masing-masing memberi tekanan pada aspek-aspek tertentu, sebagian
sama, tetapi sebagian yang lain saling bertolak belakang. Meskipun objek sosialnya sama
(reformasi), dalam kenyataannya terdapat perbedaan pemikiran yang kontradiktif.
Meminjam istilah George Herbert Mead, kapasitas itu disebut sebagai ”taking the role of the
other” (Turner, 1998:361). Meskipun, menurut Jakob Oetama (dalam Sulastomo, 2003),
semua yang muncul itu merupakan pemahaman yang kurang lengkap. Keadaan
”amburadul” yang menyertai Reformasi, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemahaman
parsial terhadap reformasi.
Seperti yang kita ketahui, reformasi sebagai gerakan politik telah membuat Soeharto
mundur dan sukses menempatkan Soeharto sebagai a device that unifies all those who
share the same enemy. Namun, banyak pihak yang menyatakannya sebagai gerakan yang
gagal membawa perubahan yang lebih baik sebagaimana dijanjikan.
Pada sisi lain, mereka juga dihadapkan bagaimana gerakan ini dapat disterilkan dari aktor-
aktor oportunis yang semata-mata hanya menginginkan posisi sebagai akibat perubahan
konfigurasi struktur sosial, ekonomi dan politik baik yang berasal dari aktor lama ataupun
yang amatiran yang akan memengaruhi corak jalannya reformasi itu sendiri.
Bahkan sejak awal, aktor-aktor yang dikenal sebagai tokoh reformis telah terfragmentasi
menjelang Pemilihan Umum tahun 1999. Masing-masing disibukkan dengan kegiatan
membangun popularitas guna memperoleh dukungan dan afialisasi kepentingan.
Pertarungan pernyataan dan aksi politik yang menunjukkan fragmentasi justru tampak
pada tahap yang sangat prematur. Pergeseran sikap juga terjadi pada eliteelite politik,
misalnya melunaknya sikap mereka terhadap pemerintahan transisi, yang tidak seperti
yang diperlihatkan ketika Presiden Soeharto masih berkuasa.
Setelah berlangsung lebih 10 tahun, reformasi masih menyisakan masalah-masalah krusial.
Ignas Kleden menyatakan bahwa politik Indonesia sesudah dan sebelum reformasi tidak
mengalami perubahan apa pun. Bahkan reformasi telah mandek secara prematur.
Masyarakat menjadi bingung dan tidak mampu lagi membedakan siapa tokoh reformis
sejati dan gadungan (Indrawati, 2000). Ditambah dengan pemberitaan-pemberitaan di
media massa yang menuliskan bahwa reformasi telah mati suri dan reformasi Indonesia
tanpa konsep.
Perjuangan reformasi itu sendiri sering dipahami dalam konstelasi kekuasaan yang
sentralistik, pengaruh kekuatan ekonomi global dan isu-isu hak asasi manusia (HAM),
pemerintahan yang bersih, masyarakat madani, persoalan korupsi, kolusi, nepotisme, dan
kroni. Reformasi sering dibicarakan dalam bingkai kehidupan politik dan social ekonomi
sebagai bentuk koreksi dan sekaligus perlawanan terhadap rezim Orde Baru.

Biografi Soeharto
Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta,
tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai
pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran
ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak
Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik
perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.
Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa
Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada
tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai
Mangkunegaran.
Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di
Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam
putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti
Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan
politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL,
kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan
batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta
dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima
Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian
Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai
Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima
Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan
ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku
Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat
enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
Setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, mantan
presiden Soeharto akhirnya meninggal dunia pada Minggu, 27 Januari 2006). Soeharto
meninggal pada pukul 13.10 siang dalam usia 87 tahun.

Sisi kelam masa pemerintahan soeharto


Dari sisi nilai tukar, pada masa pemerintahan Soeharto, dolar AS berada di kisaran Rp
2.000-Rp 2.500 karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Orde Baru
kala itu tidak mau tahu, dolar AS harus bertahan di level itu.
Namun karena kebijakan itu cadangan devisa Indonesia terus tergerus untuk menjaga kurs.
Akhirnya pemerintah membuka rupiah menjadi kurs mengambang. Akhirnya dolar AS
mulai merangkak naik ke Rp 4.000 di akhir 1997, lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998.
Pelemahan rupiah diperparah ketika kondisi keamanan dan politik Indonesia bergejolak.
Pada Mei 1998, kerusuhan terjadi di mana-mana menuntut Presiden Soeharto mundur dan
mulai dari situ krisis moneter Indonesia memuncak.
Sampai akhirnya rupiah jatuh tak berdaya saat dolar AS mencapai level Rp 16.650.
Perekonomian pun kacau balau. Ekonomi Indonesia tidak tumbuh bahkan -13,1%, harga-
harga pangan melambung tinggi, inflasi pun meroket hingga 82,4%. Depresiasi rupiah
mencapai 197%.
Pada saat itu krisis ekonomi yang terjadi menyebar hampir sebagian negara di dunia.
Pertama kali dimulai pada 2 Juli 1997 ketika Thailand mendeklarasikan ketidakmampuan
untuk membayar utang luar negerinya.
Peristiwa Tanjung Priuk yang di mana para demonstran yang kurang lebih 1500 orang
yang datang untuk menyampaikan aspirasinya di depan Polres Tanjung Priuk , akan tetapi
jawaban mereka adalah rentetan-rentetan peluru yang menghujani tubuh mereka, bahkan
dengan teganya mereka melindas para demonstran dengan truk-truk militer, padahal
mereka sudah tersungkur di atas tanah dengan ketidakberdayaan mereka. Lebih ironisnya
lagi setelah mendengar jawaban Presiden Soeharto atas peristiwa tersebut dengan rasa
tidak menyesal mengatakan “Siapapun yang melanggar hukum harus ditindak dengan
tegas. Seperti yang kita ketahui bersama peristiwa tersebut bukanlah peristiwa kecil yang
dapat dipandang dengan sebelah mata saja,Peristiwa tersebut kurang-lebih menelan 400
korban jiwa termasuk para ulama yang ikut dalam demonstrasi.
Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Peristiwa tersebut juga merupakan salah satu dari sekian
banyaknya rentetan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru.
Peristiwa tersebut bermula saat Indonesia mengalami krisis moneter dan juga terpilih
kembalinya Presiden Soeharto oleh MPR pada tanggal 11 maret 1998. Para Mahasiswa
Trisakti lah yang memulai demonstrasi tersebut dan tersebar ke seluruh Indonesia.
Tragedi berdarah yang menimpa Mahasiswa Trisakti sangatlah memilukan kita,banyak
sekali korban yang terluka bahkan sampai ada beberapa mahasiswa yang meninggal dunia,
seperti: Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Soeharto
pada saat kejadian tersebut sedang menghadiri KTT-G 15 yang diadakan di Mesir. Di sana,
Soeharto menyerukan aksi perdamaian dan melakukan kerja sama dengan beberapa
negara anggota G-15.
Peristiwa Semanggi pada 13 November 1998. Peristiwa tersebut berawal saat mahasiswa
melakukan aksi demonstrasi lanjutan dari aksi demonstrasi sebelumnya, yaitu Reformasi.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tingi yang berdemonstrasi memprotes Sidang
Istimewa DPR/MPR dan menolak dwifungsi ABRI di kawasan Semanggi. Mahasiswa yang
sedang berdemo ditembakki dari berbagai arah oleh para aparat-aparat menggunakan
senjata api, sampai-sampai mereka berlari ke dalam kampus Atma Jaya. Menurut data Tim
Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas mencapai 17 orang warga sipil terdiri
dari berbagai kalangan dan ratusan korban luka tembak ataupun terkena benda tumpul.
Empat orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menjadi korban tewas saat itu,
yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya Engkus Kusnadi, dan Bernardus Realino Norma Irawan
atau Wawan.
Kasus hilangnya Widji thukul. Beliau merupakan salah satu aktivis yang sangat aktif
semasa pemerintah orde baru. Ia sangat ditakuti oleh pemerintahan orde baru karena
keaktifannya dalam mengkritisi pemerintahan tersebut melalui karya-karya tulisnya yang
berupa puisi.19 tahun sudah setelah menghilangnya Widji Thukul dari dunia tanpa ada
yang mengetahui di mana dia dan bagaimana keadaanya sekarang. Kasus ini merupakan
salah satu kasus pelanggaran HAM yang masih belum terselesaikan sampai saat ini,
padahal sudah beberapa kali negara ini berganti alih kepemimpinan, tetapi tetap saja tidak
ada titik jelas dalam kasus kehilangan sang aktivis.
Selanjutnya kasus yang tidak kalah pentingnya, yaitu kasus meninggalnya Munir Said
seorang aktivis yang giat dalam mengkritisi pemerintahan orde baru dan memperjuangkan
HAM orang-orang yang menjadi korban dalam demonstrasi Reformasi. Munir meninggal di
dalam pesawat saat hendak bertolak ke Amsterdam, Belanda. Menurut hasil autopsi di
dalam tubuhnya terdapat arsenik yang meracuni tubuhnya. Sekali lagi kita kehilangan
orang baik yang memperjuangkan hak-hak kaum lemah, tetapi dibungkam selama-lamanya
oleh mereka yang berada di panggung teratas. Lagi dan lagi kasus ini tidak bisa terungkap
secara tuntas oleh para penegak hukum. Para penegak hukum hanya bisa menangkap sang
algojonya saja, tetapi sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas siapakah dalang
dibalik pembunuhan berencana atas Munir Said. Padahal sudah sangat jelas bahwa dalam
kematiannya ada suatu hal yang janggal, yaitu adanya kandungan arsenik di dalam
tubuhnya.
Daftar pustaka :
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5125015/krisis-ekonomi-1998-dan-
cerita-kejatuhan-soeharto?single=1
https://eprints.upnyk.ac.id/19312/1/FULL%20Buku%20Reformasi%20dan%20Jatuhnya
%20Suharto.pdf
https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/biography/?
box=detail&presiden_id=2&presiden=suharto
https://kema.unpad.ac.id/masa-kelam-negeriku-yang-tak-kunjung-usai/

Anda mungkin juga menyukai