Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan penyebab utama kematian dan
kecacatan di seluruh dunia prevalensi globalnya adalah sekitar 8 % pada tahun
2011 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 10 % pada tahun 2030. Hampir 80
% dari penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah
seperti Asia dan Pasifik timur. Tahun 2011, Cina merupakan negara dengan jumlah
penderita DM terbesar yaitu 90,0 juta ( 9 % dari populasi ), diikuti oleh India 61,3
juta (8 % dari populasi ) dan Bangladesh 8,4 juta (10 % dari populasi (Akter, S,
2014).
Prevalensi penyakit diabetes terus meningkat di seluruh dunia.WHO
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar
untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan
jumlah pasien dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada
tahun 2030 (Handayani, 2012).
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
diabetes melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care,
2004). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, diperoleh bahwa
proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Angka kejadian DM terjadi
peningkatan dari 1,1% di tahun 2007 meningkat menjadi 2,1% di tahun 2013 dari
keseluruhan penduduk sebanyak 250 juta jiwa. Prevalensi DM lebih banyak pada
daerah perkotaan (2,5%) dari pada pedesaan (1,7%) (Balitbangkes, 2013). Disini
terlihat perbedaan antara urban dan rural yang menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian penyakit DM.
Melihat terbatasnya anggaran kesehatan, besarnya biaya yang dikeluarkan
untuk penanganan diabetes, dan banyaknya masalah kesehatan yang diakibatkan
oleh diabetes, efisiensi anggaran menjadi pilihan agar program kesehatan tepat
sasaran. Untuk menanggulangi diabetes dengan efektif dan efisien, kita perlu
melakukan program pencegahan dan penanggulangan dengan tepat sasaran.

1
Caranya adalah dengan mengetahui karakteristik individu yang beresiko untuk
menderita diabetes mellitus.
Data dari Riskesdas dalam angka Provinsi Sumatera Utara tahun 2013
prevalensi DM pada umur ≥15 tahun di Sumatera Utara yang terdiagnosis sebesar
1,8%. Prevalensi yang tertinggi terdapat di Kabupaten Deli Serdang (2,9%) dan
diikuti oleh Kota Medan (2,7%), Kota Pematang Siantar (2,2%), Kabupaten Asahan
(2,1%) serta Kota Gunungsitoli (2,1%). Prevalensi terendah terdapat di Kabupaten
Mandailing Natal (0,3%). (Riskesdas,2013)
Diabetes mellitus selain dikenal sebagai penyakit, juga merupakan faktor
risiko berbagai penyakit penting seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung
dan stroke. Komplikasi DM dapat berupa akut yaitu hipoglikemia dan kronis seperti
penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal, gangguan penglihatan (mata),
impotensi, ulkus kaki dan gangren. Menurut ADA (2014) penderita DM memiliki
risiko 40% menderita glaukoma dan 60% berisiko terjadinya katarak pada mata
dibanding dengan bukan penderita DM. Orang dengan DM memiliki risiko 1,5 kali
terkena stroke. Risiko kematian pasien stroke dengan DM 2,8 kali lebih tinggi
dibandingkan yang tidak engalami DM. Menurut IDF (2014) orang dengan diabetes
mellitus berisiko 25 kali untuk diamputasi dibanding dengan bukan penderita DM.
Pemahaman faktor risiko diabetes melitus sangat penting diketahui dan
dimengerti. Tujuan program pengendalian DM di Indonesia adalah
terselenggaranya pengendalian faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian yang disebabkan diabetes melitus (Kemenkes, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013) didapati bahwa
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe-2 adalah
umur, riwayat DM, aktifitas fisik, indeks massa tubuh, tekanan darah, stres dan
kadar kolesterol.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat DM terhadap kualitas
sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan di masyarakat, maka
peneliti ingin mengetahui bagaimana “ Gambaran Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Tipe 2 wilayah kerja UPT Puskesmas Terjun Medan Marelan Tahun 2019”.

2
1.2. Rumusan Masalah
Uraian ringkas dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu “Bagaimana Gambaran
Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di wilayah kerja UPT Puskesmas
Terjun Medan Marelan Tahun 2019”.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran faktor resiko Diabetes Melitus Tipe 2 di
wilayah kerja UPT Puskesmas Terjun Medan Marelan Tahun 2019.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan hubungan riwayat keluarga.
2. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan usia.
3. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan jenis kelamin.
4. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan altivitas fisik.
5. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan status gizi.
6. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan riwayat konsumsi alkohol.
7. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan riwayat merokok.
8. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan riwayat hipertensi.
9. Untuk mengetahui distribusi penderita diabetes melitus tipe 2
berdasarkan kadar kolestrol total.

3
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran sehingga menambah
pemahaman dan wawasan dalam melakukan penelitian di bidang kesehatan dan
mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam praktik keseharian.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran
faktor resiko diabetes melitus tipe 2 sehingga mampu mencegah faktor resiko
terjadinya diabetes melitus yang dapat dimodifikasi.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran
faktor resiko diabetes melitus tipe 2 sehingga dapat dijadikan bahan referensi
mahasiswa untuk melanjutkan penelitian tentang faktor resiko pada diabetes
melitus.
1.4.4 Bagi Puskesmas Terjun
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai gambaran faktor
resiko diabetes melitus tipe 2 pada masyarakat sehingga dapat digunakan dalam
menentukan kebijakan program yang terkait karakteristik usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, dan jumlah pendapatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya (Purnamasari, 2009).

2.2 Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di
seluruh dunia prevalensi globalnya adalah sekitar 8 % pada tahun 2011 dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 10 % pada tahun 2030. Hampir 80 % dari
penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti
Asia dan Pasifik timur (WHO, 2014).
Tahun 2011, Cina merupakan negara dengan jumlah penderita DM terbesar
yaitu 90,0 juta ( 9 % dari populasi ), diikuti oleh India 61,3 juta (8 % dari populasi
) dan Bangladesh 8,4 juta (10 % dari populasi ). Namun, sebagian besar pemerintah
dan perencana kesehatan masyarakat tidak menyadari prevalensi diabetes dan
pradiabetes saat ini, potensi kenaikan prevalensi di masa depan dan komplikasi
serius yang berhubungan dengan DM. Akibatnya, pengetahuan tentang prevalensi
diabetes dan pradiabetes dan faktor risiko terkait dapat meningkatkan kesadaran
penyakit dan menyebabkan kebijakan dan strategi baru untuk pencegahan dan
manajemen.(WHO, 2014 )
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab
kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan
menduduki ranking ke2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking
ke-6 yaitu 5,8% (Depkes, 2013).
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional DM berdasarkan
pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%.

5
Prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk usia ≥ 15 tahun sebesar 10.3%
dan sebanyak 12 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional
obesitas sentral pada penduduk usia ≥ 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak 17
provinsi memiliki prevalensi diatas nasional. Sedangkan prevalensi TGT (toleransi
glukosa terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2% dan
sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Prevalensi
kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik
pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula bahwa prevalensi
merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% dan prevalensi minum
beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6% % (Depkes, 2013).

2.3 Faktor Risiko


1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
a. Ras dan etnik
b. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
c. Umur risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM.
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan
berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
2. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:
a. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
b. Kurangnya aktivitas isik.
c. Hipertensi (> 140/90 mmHg).
d. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
e. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa
dan DM tipe 2.
f. Merokok

6
3. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
a. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
b. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular seperti stroke,
PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). (Perkeni,2015)

2.3.1 Hubungan riwayat keluarga


Seseorang yang memiliki riwayat keluarga penderita diabetes di anggap
sebagai salah satu faktor risiko yang penting dari penyakit diabetes mellitus.
Riwayat penyakit keluarga menggambarkan informasi genetik karena
menggambarkan interaksi antara lingkungan, perilaku dan faktor genetik (Annis et
al., 2005).
Prevalensi penyakit diabetes pada individu yang memiliki anggota keluarga
derajat pertama ( orang tua dan atau saudara kandung ) sebesar 14,3% , sedangkan
individu yang tidak memiliki riwayat keluarga penderita diabetes sebesar 3,2%.
Prevalensi pada individu dengan ibu penderita diabetes sebesar 16,5% , sedangkan
pada individu dengan ayah penderita diabetes sebesar 12,4% (Annis et al., 2005).
Risiko seseorang untuk menderita diabetes lima kali lebih tinggi pada orang
yang memiliki riwayat keluarga daripada orang yang tidak memiliki riwayat
keluarga penderita diabetes (Kekenusa et al., 2013).
Riwayat keluarga yang menderita diabetes mellitus dapat ditinjau dari pertanyaan
1. Apakah ada anggota keluarga yang pernah di beritahukan oleh tenaga
kesehatan jika mereka menderita penyakit diabetes mellitus?
2. Jika jawaban dari pertanyaan pertama adalah ya, lalu tanyakan anggota
keluarga yang mana yang menderita penyakit tersebut?
Risiko menderita diabetes pada seseorang dapat terbagi menjadi (Valdez R, 2009)
1. Risiko tinggi

7
Bila seseorang memiliki dua anggota keluarga derajat pertama atau satu
anggota keluarga pertama dan dua anggota keluarga derajat kedua ( contoh
kakek, nenek, paman, bibi ) yang menderita penyakit diabetes mellitus.
2. Risiko sedang
Bila seseorang memiliki satu anggota keluarga derajat pertama atau
setidaknya dua anggota keluarga derajat dua yang menderita penyakit
diabetes mellitus.
3. Risiko rendah
Bila seseorang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit
diabetes mellitus.
Riwayat keluarga adalah faktor risiko yang kuat dan independen untuk
penyakit diabetes mellitus. Akan tetapi, riwayat keluarga harus dievaluasi secara
keseluruhan pada individu yang memiliki faktor risiko lain atau faktor risiko yang
dicurigai ( Hariri et al., 2006).

2.3.2 Usia
Umur merupakan salah satu faktor yang sangat penting terhadap prevalensi
terjadinya diabetes mellitus. Resiko terjadinya diabetes naik bersama bertambahnya
umur. WHO menyebutkan bahwa ketika seseorang mencapai umur 30 tahun, maka
konsentrasi glukosa darah akan naik 1-2 mg % / tahun pada saat puasa dan akan
naik sekitar 5,6- 13 mg % /tahun pada 2 jam setelah makan.Berdasarkan hal tersebut
umur merupakan factor terjadinya prevalensi terjadinya diabetes (Rochmah, 2009).
Populasi di Asia diabetes berkembang pada usia yang lebih muda dari
populasi Barat. Pada populasi India Asia, prevalensi diabetes banyak dijumpai 60-
69 tahun, sedangkan pada penduduk Cina pada 79-89 tahun (Ramachandran et al.,
2012)
Di Nigeria, risiko untuk terjadinya diabetes meningkat 3-4 kali setelah usia
44 tahun. Secara global diabetes terjadi pada umur antara 40-59 tahun. Semakin
memburuknya resisten insulin dengan pertambahan umur dan menurunnya aktivitas
menyebabkan meningkatnya prevalensi diabetes mellitus tipe 2 yang berhubungan
dengan umur ( Ekpenyong et al., 2012).

8
Penelitian antara umur dengan kejadian diabetes mellitus menunjukan
adanya hubungan yang signifikan. Kelompok umur < 45 tahun merupakan
kelompok yang kurang berisiko menderita DM Tipe 2, risiko pada kelompok ini 72
persen lebih rendah dibanding kelompok umur ≥45 tahun. Selain itu, studi yang
dilakukan Sunjaya (2009) juga menemukan bahwa kelompok umur yang paling
banyak menderita diabetes mellitus adalah kelompok umur 45-52 (47,5%).
Peningkatan risiko diabetes terjadi seiring dengan bertambahnya umur, khususnya
pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi
peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan
berkurangnya kemampuan sel β pancreas dalam memproduksi insulin. Selain itu
pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di
sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di
otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati & Setyorogo,
2013).
Pada Umur diatas 60 tahun berkaitan dengan terjadinya diabetes karena
pada usia tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena terjadi penurunan
sekresi atau resistensi insulin ( Jelantik & Haryat, 2014).
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan beberapa faktor
perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih
banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor
insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak
makan karbohidrat, sehingga terjadi perubahan neurohormonal(terutama insulin-
like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga
terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin
dan aksi insulin (kurniawan, 2010).

2.3.3 Jenis Kelamin


Menurut CDC 2014 dari tahun 1977 sampai 2011 di Asia prevalensi
meningkat menjadi 81% pada laki-laki dan 49% pada perempuan yang menderita
Diabetes tipe 2. Sedangkan di antara ras kaukasian dan negroid, yang menderita

9
diabetes ada 160% laki-laki kaukasian dan 108% perempuan Kaukasian, 148%
laki-laki negroid dan 84% perempuan negroid.
Setengah abad yang lalu populasi wanitalah yang lebih tinggi mengidap
diabetes dibandingkan laki-laki, namun sekarang sudah berubah, laki-laki lebih
banyak didagnosa diabetes dibanding perempuan ini dikarenakan perubahan gaya
hidup pada laki-laki cenderung ke arah obesitas. Dan berdasarkan distribusi lemak,
obesitas sebagai salah satu faktor resiko diabetes tipe-2 terutama abdominal
visceral fat hal ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan pada perempuan lebih
banyak distribusi lemak dibawah kulit. Pada laki-laki lebih rentan mengalami
resistensi insulin daripada perempuan, karena tingginya visceral dan hepatic fat
yang cenderung berkaitan dengan resistensi insulin (Faerch, 2014)
Pada wanita dapat terjadi diabetes mellitus gestasional terjadinya intoleransi
glukosa selama kehamilan. Hal ini terjadi Karena peningkatan hormone dari
plasenta yang menyebabkan terganggunya intoleransi glukosa sehingga insulin
lebih banyak diproduksi, hingga pancreas tidak dapat memproduksi insulin yang
cukup selama kehamilan, kadar gula darah akan naik mengakibatkan Diabetes
Melitus Gestasional. Hal ini dapat mengakibatkan komplikasi jangka panjang pada
ibu dan anak menjadi intoleransi glukosa, diabetes melitus dan obesitas (American
Diabetes Association, 2011).
Walaupun prevalensi diabetes lebih tinggi pada laki-laki, namun didalam
Gender Differences in Living with Diabetes Mellitus Siddiqui, 2013 harapan hidup
penderita lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Hal ini mungkin
disebabkan pada perempuan selain harus menanggulangi penyakitnya sendiri ia
tetap harus mengurusi kebutuhan keluarga dan rumah tangganya. Sedangkan pada
laki-laki yang mengidap diabetes memiliki kehidupan yang lebih efektif, tingkat
depresi cemas yang lebih rendah dan pemikiran positif yang lebih tinggi.

2.3.4 Aktivitas Fisik


Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh
otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko utama keempat kematian untuk dunia

10
menyebabkan sekitar 3,2 juta kematian secara global, termasuk diabetes melitus.
Selain itu, aktivitas fisik diperkirakan menjadi penyebab utama untuk sekitar 21-
25% dari kanker payudara dan usus, 27% dari diabetes dan sekitar 30% dari
penyakit jantung koroner (WHO, 2015). Sebaliknya kurangnya aktifitas fisik
(physical inactivity) dapat digambarkan sebagai keadaan di mana tubuh melakukan
gerakan minimal dan pengeluaran energi mendekati tingkat metabolisme istirahat
(basal metabolic rate) (Miles, 2007).
Istilah aktivitas fisik (physical activity) harus dapat dibedakan dengan istilah
latihan jasmani (exercise). Latihan jasmani (exercise) adalah subkategori dari
aktivitas fisik yang dirancanakan, terstruktur, berulang-ulang dan bertujuan untuk
memperbaiki atau mempertahankan satu atau lebih dari komponen kebugaran fisik
(physical fitness), yakni kekuatan (strength), daya tahan (endurance), daya otot
(muscular power), kecepatan (speed), daya lentur (flexibility), kelincahan (agility),
koordinasi (coordination), keseimbangan (balance), ketepatan (accuracy) dan
reaksi (reaction) (WHO, 2015).
Aktifitas fisik lebih lanjut dikategorikan berdasarkan frekuensi, durasi, dan
intensitas. Frekuensi dan durasi menunjukkan seberapa sering dan seberapa lama
aktivitas fisik dikerjakan. Sedangkan intensitas mengacu pada sebagaimana keras
seseorang bekerja atau tingkat pengeluaran energi (energy expenditure) yang
dibutuhkan dalam aktivitas tersebut (Miles, 2007).
Berdasarkan intensitasnya, aktivitas fisik dibagi menjadi tiga bagian, yakni:
1.)Intensitas ringan (light intensity) : orang yang aktif di tingkat intensitas ringan
harus mampu menyanyi atau melakukan percakapan normal saat melakukan
aktivitas. Contoh aktivitas ringan adalah seseorang akan mudah berjalan atau
membersihkan. 2.) Intensitas sedang (moderate intensity) : seseorang yang aktif
pada tingkat intensitas sedang harus mampu melakukan percakapan, namun
menemukan beberapa kesulitan saat melakukan aktivitas. Sebuah contoh aktivitas
sedang adalah berjalan cepat, bersepeda, atau menari. 3.) Intensitas berat (vigorous
intensity) : Jika seseorang menjadi sangat mudah untu menemukan kesulitan saat
melakukan percakapan saat melakukan aktivitasnya, hal ini dikatakan aktivitas ini

11
adalah aktivitas berat. Contoh aktivitas berat akan mencakup jogging atau berjalan
dan olahraga berat seperti basket, renang, bola tangan, dll (Aznar et.al., 2010).

Activity Intensity Intensit Energy expenditure


y (kcal equivalent, for a person
(METS of 30kg doing the activity for
) 30 mins)
Ironing Light 2.3 35
Cleaning & dusting Light 2.5 37
Walking – stroling 3-4 Light 2.5 37
km/h
Painting/ decorating Moderat 3.0 45
e
Walking – 4-6 km/h Moderat 3.3 50
e
Hoovering Moderat 3.5 53
e
Golf – walking, pulling Moderat 4.3 65
clubs e
Badminton – social Moderat 4.5 68
e
Tennis – doubles Moderat 5.0 75
e
Walking – brisk, >6km/h Moderat 5.0 75
e
Mowing lawn – walking, Moderat 5.5 83
using power mower e
Cycling – 16-19 km/h Moderat 6.0 90
e
Aerobic dancing Vigorous 6.5 93
Cycling – 19-22 km/h Vigorous 8.0 120
Swimming – slow crawl, Vigorous 8.0 120
45 m per minute
Tennis – singles Vigorous 8.0 120
Running – 9-10 km/h Vigorous 10.0 150
Running – 10-12 km/h Vigorous 11.5 173
Running – 12-14 km/h Vigorous 13.5 203
Tabel 2.1 Intensitas dan Tingkat Pengeluaran Energi dari Suatu Aktivitas Fisik
Sumber : Aznar et.al., 2010

Aktifitas fisik dan latihan jasmani berperan dalam pengaturan kadar gula
darah pada pasien dengan diabetes metilus tipe-2. Aktivitas fisik dapat mengontrol
gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik.

12
Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula
dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan
yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai
lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi
energi maka akan timbul DM (Trisnawati, 2013).
Setiap orang dewasa yang menderita diabetes dianjurkan untuk melakukan
paling tidak 150 menit/ minggu aktifitas fisik aerobik dari suatu aktivitas sedang
(dengan 50-70% maksimum denyut jantung). Melakukan aktivitas fisik paling tidak
3 kali dalam seminggu dengan tidak lebih dari 2 hari konsekutif tanpa aktifitas fisik.
Melakukan latihan jasmani secara teratur akan memperbaiki pengaturan kadar gula
darah , menurunkan faktor resiko terjadinya diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskular dan membantu menurunkan berat badan (ADA, 2015).
Penyerapan glukosa pada otot membutuhkan tiga tahapan langkah. Pertama,
penghantaran glukosa dari darah kedalam otot, kedua perpindahan glukosa
melewati membran otot, dan ketiga fosforilasi glukosa kedalam otot. Latihan
jasmani atau aktivitas fisik akan meningkatkan transportasi glukosa melalui
stimulasi translokasi GLUT4 (Glucose transporter type 4) ke permukaan sel-sel
otot. Mekanisme lainnya adalah dengan peningkatan AMP (Adenosine
Monophosphate) otot yang akan menstimulasi AMP kinase menyebabkan sejumlah
perubahan metabolik, termasuk meningkatkan transportasi glukosa (Sigal et.al.,
2004).
Masuknya glukosa kedalam sel otot dikendalikan oleh sinyal yang tidak
bergantung dengan insulin (insulin-independent) yang dipicu oleh otot yang
bekerja, namun dapat dimodifikasi oleh insulin yang beredar disirkulasi. Aktivitas
fisik dapat meningkatkan baik ambilan glukosa yang tidak bergantung insulin
(insulin-independent) maupun sensitivitas insulin (Sigal et.al., 2004).
Menurut Balkau et.al, 2008, aktivitas fisik dapat memengaruhi sensitivitas
insulin dalam banyak cara, termasuk 1) meningkatkan transpor glukosa baik
GLUT4-dependent dan transpor glukosa hypoxia- dependent di otot rangka 2)
meningkatkan vaskularisasi otot rangka, neobiogenesis mitokondria, dan jaringan

13
3) partisi ulang lemak intraseluler, sehingga meningkatkan pemanfaatannya dan 4)
kehilangan massa lemak.
Selain meningkatkan sensitivitas insulin, melakukan aktivitas fisik dan
latihan jasmani (exercise) yang terstruktur secara regular selama paling tidak 8
minggu akan menurunkan A1C sekitar 0,66% pada penderita diabetes mellitus tipe
2, walaupun tidak ada perubahan signifikan dari indeks massa tubuh (ADA, 2015).

2.3.5 Status Gizi


Kegemukan merupakan faktor risiko yang paling penting untuk
dikendalikan sebab meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus tipe 2 sangat
terkait dengan obesitas. Hasil penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2014
menunjukkan dibandingkan orang dengan indeks massa tubuh yang normal, orang
yang memiliki berat badan berlebih dan obes menurut statistik secara signifikan
berhubungan dengan risiko terkena dibetes mellitus tipe 2. Risiko untuk terkena
diabetes mellitus tipe 2 pada orang yang memiliki berat badan berlebih ataupun
obes 1,5-5 kali lebih besar dibandingkan dengan individu dengan indeks massa
tubuh yang normal. Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami
hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi
pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada
penderita obesitas yang mencukupi energi sel yang terlalu banyak (Riyadi dan
Sukarmin,2008).Menurut defenisi obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak
20% dari berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2
(Ganz et al, 2014).
Menurut Schienkiewitz et al, peningkatan berat badan pada pria dan wanita
dewasa muda (25-40 tahun) sangat berhubungan dengan risiko terkena diabetes
tipe-2. Berdasarkan penelitian The Health Professional Follow-Up, peningkatan
berat badan sebanyak 1 kg sejak usia 21 tahun meningkatkan 7,3% risiko untuk
terkena diabetes. Sedangkan peningkatan berat badan pada usia antara 25-40 tahun
akan mempercepat onset timbulnya diabetes tipe 2 (Schienkiewitz, 2006).

14
Sedangkan hasil penelitian di DKI Jakarta menunjukkan bahwa sampel
yang berstatus gizi obes berisiko terkena diabetes melitus 2.93 kali lebih besar
dibandingkan status gizi normal (Nuryati et al, 2009).
Hal ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi
karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan factor risiko dari obesitas. Hal
tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau Free Fatty Acid (FFA)
dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa
ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan
otot dan adipose (Trisnawati, 2013).

2.3.6 Alkohol
Pada peminum alkohol ada tiga mekanisme yang dapat menjadi faktor
penyebab diabetes, peminum alkohol berat dapat menurunkan sensitifitas insulin
yang mana akan memicu terjadinya diabetes tipe 2, diabetes merupakan salah satu
efek samping dari pankreatitis kronik yang biasanya disebabkan oleh peminum
alkohol berat, alkohol mengandung kalori tinggi satu gelas kecil sama dengan kalori
satu potong pizza sehingga mengkonsumsi alkohol meningkatkan terjadinya
obesitas yang merupakan resiko tinggi diabetes tipe 2 (Drinkaware, 2014).
Untuk pasien diabetes, pengaruh alkohol terhadap kadar gula darah dapat
menyebabkan keadaan hiperglikemia dan hipoglikemia. Alkohol yang
dimetabolisme di hati mengakibatkan inhibisi glukoneogenesis di hati. Namun hal
ini dapat dikompensasi dengan menurunkan penggunaan glukosa di otot. Jika hal
ini terus berlanjut dapat mengakibatkan gangguan sekresi insulin maupun kerja
insulin (Ward, 2009)
Selain itu efek alkohol terhadap diabetes, alkohol dapat menstimulasi nafsu
makan yang menjurus ke arah gangguan kontrol gula darah, alkohol juga dapat
mengakibatkan reaksi positif terhadap insulin maupun insulin sekretagog yang
dapat mengakibatkan hipoglikemia, alkohol dapat meningkatkan trigliserida,
alkohol dapat meningkatkan tekanan darah (Baliunas, 2009)
Bagi penderita diabetes harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter
dalam mengkonsumsi alkohol, pengguna Insulin, atau Insulin Sekretagog harus

15
diedukasi bahwa dapat terjadi hipoglikemia dalam 24 jam pertama apabila
mengkonsumsi alkohol saat itu, penggunaan alkohol harus dibatasi minimal 2 buah
gelas/hari atau kurang 10 gelas/ minggu bagi perempuan dan 3 gelas/ hari atau 15
gelas/minggu bagi laki-laki (Canadian Diabetes Association, 2013).
Dalam Dansinger 2013, peminum alkohol berat, peminum alkohol dalam
jangka waktu lama, dan peminum yang suka mabuk-mabukan di pesta juga
meningkatkan resiko terjadinya diabetes. Sehingga yang ingin mengkonsumsi
alkohol harus mengikuti beberapa aturan seperti, jangan mengkonsumsi alkohol
lebih dari satu jenis dalam sehari, minumlah alkohol bersama dengan makanan,
minumlah perlahan, hindari pemanis yang dicampur kedalam minuman alkohol,
campurkan air, soda atau soft drink kedalam minuman alkohol.

2.3.7 Merokok
Merokok umumnya di sebagai penyebab tersering penyakit jantung koroner
dan stroke. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik merokok menyebabkan
terjadinya diabetes tapi sering dihubungkan antara merokok dengan diabetes
dengan hubungan nya dengan resistensi insulin dan nephropathy (Chang, 2012).
Pada penelitian Wang di sampaikan bahaw di temukan lebih dari 90% orang
yang merokok lebih dari 25 rokok per tahun pada perokok aktif dan sekitar 16%
pada perokok pasif. Dikatakan bahwa nikotin yang terdapat pada rokok dapat
menyebabkan resistensi insulin dan mempengaruhi efek insulin. Pada studi hewan
coba, nikotin yang dipaparkan pada prenatal atau neonatal dapat menyebabkan sel
-Pancreas menghilang (Wang et al., 2013).
Proses merokok mengakibatkan perubahan lemak di dalam tubuh yang
menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan efek toksik ke jaringan pankreas.
Meskipun seseorang telah berhenti merokok, efek yang ada di dalam tubuh terus
bergerak sehingga tidak akan jauh berbeda (Wannamethee et al., 2001).
Merokok meningkatkan resiko penderita DM ke arah komplikasi seperti
retinopaty, neuropaty dan nephropathy. Merokok akan menyebabkan perubahan
awal dari komplikasi microvascular tersebut. Penghambat kecanduan merokok
seperti NRT dan Bupropion sangat membantu (Selby, 2008).

16
Seseorang yang mengurangi merokok berhubungan dengan diabetes dan
gangguan glukosa puasa. Peningkatan berat badan dilaporkan terjadi pada diabetes
melitus dan gangguan glukosa puasa. Sehingga insidensi orang yang berhenti
merokok tidak akan memengaruhi lebih lanjut terjadinya diabetes (Stein et al.,
2014).

2.3.8 Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan darah diastolik secara konsisten ≥90 mmHg
atau tekanan sistolik ≥140 mmHg. Klasifikasi hipertensi adalah sebagai berikut
(Lily, 2011) :

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi


Kategori Tekanan sistolik Tekanan Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 And <80
Prehipertensi 120-139 Or 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 Or 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 Or ≥100
Diabetes dan hipertensi sering terjadi bersamaan. Terdapat substansial yang
tumpang tindih antara diabetes mellitus dan hipertensi baik pada mekanisme
penyakit dan etiologinya. Di Hongkong, badan penelitian prevalensi faktor resiko
kardiovaskular menyatakan hanya 42% penderita diabetes yang memiliki tekanan
darah normal dan 56% penderita hipertensi memiliki toleransi glukosa yang normal
(Cheung dan Li, 2012). Pasien dengan hipertensi lebih beresiko terkena diabetes
dalam interval waktu 5 tahun (Felastein, 2002).

Angka prevalensi hipertensi pada penderita diabetes 2x lipat dibandingkan


dengan subjek yang tidak menderita diabetes. Pasien hipertensi memiliki prevalensi
diabetes mellitus yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang normotensi.
Walaupun asosiasi hipertensi dan intoleransi glukosa diduga berkaitan dengan
faktor peningkatan obesitas dan usia. Tetapi asosiasi ini tetap terjadi ketika kedua
faktor ini (obesitas dan usia) dihilangkan (Diabetes UK, 2008).

17
Diabetes mellitus dan hipertensi memiliki pathway yang sama, seperti SNS,
RAAS, stres oksidatif, adipokin, resistensi insulin, dan PPARS. Pathway ini
berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan lain dan dapat menyebabkan siklus
berulang yang buruk (Cheung & Li, 2012).

Selain itu penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa insiden diabetes


yang lebih tinggi terjadi pada pasien hipertensi yang mengonsumsi thiazida
dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Risiko peningkatan insidens
diabetes pada pasien hipertensi diperberat oleh penggunaan obat penurun tekanan
darah seperti thiazida dan beta bloker, terlebih jika kedua agen ini dikombinasi
(Williams, 2013). Efek yang memperburuk toleransi glukosa meningkat bersamaan
dengan bertambahnya epidemik diabetes dan obesitas, sehingga penggunaan
thiazida diberhentikan meskipun efektif, murah, dan manfaat kardiovaskular yang
tinggi (Agarwal, 2008).

Gambar 2.1 Hipertensi-Hipokalemia-Diabetes Melitus : Hubungan 3


arah. Hipertensi diobati dengan thizida, khususnya pada dosis tinggi, dan
menyebabkan hipokalemia. Hipokalemia, dapat memperberat hipertensi
dan juga memicu diabetes mellitus. Yang dapat mengakibatkan hipertensi,
dan pasien hipertensi cenderung lebih mudah menderita diabetes mellitus.
Memperbaiki cadangan potassium. Berguna baik untuk diabetes mellitus
dan hipertensi.

18
Pada sebuah meta analisis ditemukan bahwa hubungan terbalik yang kuat
antara gula dan potassium dengan penggunaan thiazida, yang mana juga konsisten
dengan gagasan bahwa total simpanan potassium tubuh dapat memediasi
sensitivitas insulin. Peningkatan insiden diabetes yang absolut menurun ketika
konsentrasi potassium menurun dari 5,0 sampai 4,5 mEq/L tetapi lebih tinggi ketika
serum potassium menurun dari 4,0 sampai 3,5 mEq/L. Pencegahan dan pengobatan
hipokalemia dapat mencegah peningkatan angka diabetes. Pada faktanya, pada
percobaan Helderman mengevaluasi efek dari suplemen potassium pada toleransi
glukosa 7 orang sukarelawan sehat yang mengonsumsi hydrochlorothizida dosis
tinggi- 100 mg untuk 10 hari. Investigator menyimpulkan bahwa dengan hilangnya
potassium dicegah, thiazida tidak menginduksi toleransi glukosa, sensitivitas sel
beta terhadap glukosa atau sensitivitas jaringan terhadap insulin (Agarwal, 2008).

2.3.9 Hiperlipidemia

Hiperlipidemia beresiko terhadap penyakit DM Tipe 2. Kadar kolestrol


tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas (free fatty acid) sehingga
terjadi lipotoksisitas. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta yang
akhirnya mengakibatkan DM tipe 2. Kadar kolestrol total beresiko untuk diabetes
jika hasilnya >200 mg/dl sedangkan normal <200 mg/dl. Sedangkan penelitian
dilakukan di rumah sakit umum dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan anatara tingginya kolestrol total
dengan diabetes melitus tipe 2. Individu dengan kadar kolestrol yang tinggi
memiliki resiko 13,45 kali untuk menderita diabetes melitus dibanding dengan
kadar kolestrol yang normal. (Fitriyani,2012)

19
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA, 2009)
I Diabetes Melitus tipe 1 (IDDM)
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
melalui proses imunolgi atau secara idiopatik.
II Diabetes Melitus tipe 2 (NIDDM)
Predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
Predominan gangguan sekresi insulin bersama resistesi insulin
III Diabetes tipe lain
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pakreas
4. Karena obat/ zat kimia
5. Infeksi
6. Sebab imunologi yang jarang : antibodi insulin
7. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM (Klinefelter, sindrom
Turner)
IV Diabetes Kehamilan
Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama dan
gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan.
Tabel 2.3 Klasfikasi Diabetes (PERKENI, 2011)
2.5 Diagnosis

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik


DM, antara lain (PERKENI, 2011) :
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.

Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan


pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler (Purnamasari, 2009).

20
Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus (PERKENI, 2011)
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu > 200mg/dL
2. Gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa > 126 mg/dL
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200
mg/dL menggunakan beban glukosa 75 g anhidrus yang dilarutkan
dalam air
Tabel 2.4 Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus

Bukan DM Belum pasti DM


DM
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-199 ≥200
darah sewaktu Darah kapiler <90 90-199 ≥200
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-125 ≥126
darah puasa Darah kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dl)
Tabel 2.5 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM (PERKENI, 2011)

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Non Farmakologis

Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2011) adalah


meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes. Penatalaksanaan dikenal dengan
empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus, yang meliputi : edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani dan pengelolaan farmakologis. Pengelolaan DM dimulai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin.

Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan

21
kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

a. Edukasi

Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku.
Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara
individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan
inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama
dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan,
implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2011).

b. Terapi Gizi Medis

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang


dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut (PERKENI, 2011):

• Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi


• Protein : 10 – 20% total asupan energi
• Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres


akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal
dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg
BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk
aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi
stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada
diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi

22
kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk
mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2011).

c. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan ( Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup
yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

2.6.2 Farmakologis

Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat


Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2009) :

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin


oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,

23
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,


dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada


Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan

24
D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,


sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Fre
Dosis Lama
Nama Dagang k/
Golongan Generik mg / tab Harian Kerja Waktu
(mg) (jam) ha
ri
Condiabet 5
Glidanil 5
Harmida 2,5-5
Glibenclamide
Renabetic 5 2,5-20 12-24 1-2
Daonil 5
Gluconic 5
Padonil 5
Glipizide Glucotrol-XL 5-10 5-20 12-16 1
Diamicron
30-60 30-120 24 1
MR
Diamicron
Glucored
Gliclazide Linodiab
Pedab 80 40-320 10-20 1-2
Glikamel
Glukolos
Meltika Sebelum
Sulphonylrea
Glicab makan
Gliquidone Glurenorm 30 15-120 6-8 1-3
Actaryl 1-2-3-4
Amaryl 1-2-3-4
Diaglime 1-2-3-4
Gluvas 1-2-3-4
Metrix 1-2-3-4
Pimaryl 2-3
Simryl 2-3
Glimepiride Versibet 1-2-3 1-8 24 1
Amadiab 1-2-3-4
Anpiride 1-2-3-4
Glimetic 2
Mapryl 1-2
Paride 1-2
Relide 2-4
Velacom 2
2-3
/Velacom 3
Repaglinide Dexanorm 0,5-1-2 1-16 4 2-4
Glinide
Nateglinide Starlix 60-120 180-360 4 3
Actos 15-30 Tidak
Gliabetes 30 ber-
Thiazolidinedi one
Pioglitazone Prabetic 15-30 15-45 24 1 gantung
Deculin 15-30 jadwal
Pionix 15-30 makan
Acrios
Penghambat Bersama
Glubose
Alfa- Acarbose 50-100 100-300 3 suapan
Glukosidase Eclid pertama
Glucobay
Adecco 500
Efomet 500-850
Formell 500-850 Bersama
Biguanide Metformin Gludepatic 500 500-3000 6-8 1-3 /sesudah
Gradiab 500-850 makan
Metphar 500
Zendiab 500

Tabel 2.6 Dosis Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

25
2.7 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :

1. Komplikasi akut
- Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal
(< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1
yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga
tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
-Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat
secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non
Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi Kronis
- Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
- Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1
seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan gangren
diabetik. (Perkeni,2015)

26
KERANGKA TEORI

Sosiodemografi
 Jenis kelamin Riwayat Kesehatan
 Umur  Riwayat Keluarga dengan
 Pendidikan DM
 Pekerjaan

Diabetes Melitus Tipe 2

Kondisi Klinis Pola Hidup


 Tekanan darah  Merokok
 Kadar kolestrol  Aktivitas fisik
 Indeks masa tubuh  Konsumsi alkohol

Gambar 2.2 Kerangka teori faktor resiko diabetes mellitus.

27
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka yang menggambarkan


dan mengarahkan asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan
tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep
dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

VARIABEL
INDEPENDEN

Faktor resiko :
o Riwayat keluarga diabetes VARIABEL
mellitus DEPENDEN
o Usia
o Jenis Kelamin
o Tingkat Pendidikan
o Jumlah Pendapatan Diabetes Mellitus
o Aktivitas
o Status Gizi
o Alkohol
o Merokok
o Hipertensi
o Kadar Kolestrol

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Faktor Resiko Diabetes Mellitus

28
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan
cross-sectional (studi potong lintang), dimana penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran faktor resiko penderita diabetes melitus tipe 2 di wilayah
kerja UPT Puskesmas Terjun Medan Marelan Tahun 2019. Pada penelitian ini
pendekatan atau pengumpulan data dilakukan secara simultan atau dalam waktu
yang bersamaan (point time approach).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Desember 2019. Pemilihan waktu penelitian dengan mempertimbangkan waktu dan
sumber daya.

3.2.2 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas Terjun Medan
Marelan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan
kuesioner.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target dari penelitian ini adalah masyarakat yang menderita
diabetes mellitus tipe-2 di wilayah kerja UPT Puskesmas Terjun Medan Marelan.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah masyarakat yang menderita diabetes mellitus tipe-
2 di wilayah kerja UPT Puskesmas Terjun Medan Marelan.

29
3.3.3 Perhitungan Besar Sampel
Sampel adalah objek yang dipilih dan dianggap mewakili semua populasi.
Sampel diambil menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan
sampel dilakukan hanya atas dasar pertimbangan penelitinya saja yang menganggap
unsur-unsur yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil
(Notoatmodjo, 2010).
Penentuan jumlah sampel dapat dilakukan dengan cara perhitungan statistik
yaitu dengan menggunakan Rumus Slovin. Rumus tersebut digunakan untuk
menentukan ukuran sampel dari populasi yang telah diketahui jumlahnya yaitu
sebanyak 144 penderita diabetes mellitus tipe-2, sebagai berikut :
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁. 𝑒 2
144
n=
1+N.e2
144
n=
1+ 144 (5%)2
144
n=
1+ 144 (0,05)2

144
n=
1+ 144 0.0025

144
n=
1+0.675
144
n=
1.675

n=85,970 dibulatkan 86 penderita

Keterangan :
N = Populasi penderita diabetes mellitus tipe-2 di wilayah kerja UPT Puskesmas
Terjun Medan Marelan.
n = Jumlah Sampel
d = Derajat ketepatan yang direfleksikan oleh kesalahan yang dapat ditolerir (5%)
Setelah dilakukan perhitungan sampel dengan rumus di atas, maka dari 144
populasi di dapat 85,970 penderita diabetes melitus atau dibulatkan menjadi 86
penderita diabetes melitus tipe 2 sebagai sampel.

30
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Masyarakat yang terdiagnosa diabetes mellitus tipe-2.
2. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerja UPT Puskesmas
Terjun Medan Marelan.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Masyarakat yang tidak setuju dilakukan pemeriksaan.

3.5 Definisi Operasional

Skala
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Metode Ukur Hasil Ukur
Ukur
Kadar gula darah sewaktu
Diabetes responden, dikategorikan menjadi 2 0 : DM Tipe 2
Glukometer Pengambilan
1. Melitus berdasarkan Depkes RI, 2013 yaitu: Nominal 1 : Tidak DM
kapiler darah
Tipe 2 Hiperglikemia : jika ≥ 200 mg/dl Tipe 2

Normal : jika < 200 mg/dl


0:mempunyai
riwayat
Riwayat Ayah atau ibu atau saudara kandung
2. Kuesioner Wawancara Nominal 1: tidak
keluarga terkena penyakit diabetes mellitus
mempunyai
riwyat

Jenis Keadaan biologis yang membedakan 0 : Perempuan


3. Kuesioner Wawancara Nominal
Kelamin individu. 1 : Laki-laki
Lama waktu hidup responden dihitung
dalam tahun sejak lahir sampai ulang
0: > 45tahun
4. Umur tahun teakhir pada saat penelitian Kuesioner Wawancara Nominal
1: ≤ 45 tahun
berlangsung. Umur dikelompokan
menjadi 2 kategori.
Tingkat pendidikan formal terakhir
yang ditamatkan responden. Tingkat
pendidikan diketegorikan menjadi : 0 : Rendah
5. Pendidikan Kuesioner Wawancara Nominal
- Rendah : tidak sekolah atau 1 : Tinggi
tidak tamat SD atau tamat SD
atau Tamat SLTP

31
- Tinggi : tamat SMA atau Tamat
Diploma atau Tamat
perguruan tinggi
- Berat badan
kurang: <18,5
kg/m2
- Berat badan
Keadaan tubuh seseorang sebagai
normal: 18,5-
manifestasi dan asupan zat gizi
22,9 kg/m2
Mengumpulkan data dari pemeriksaan
Timbangan - Berat badan
berat badan dan tinggi badan, lalu Pengukuran
6 Status gizi Ordinal
dan meteran IMT berlebih: 23.0-
diaplikasikan dengan rumus IMT:
24.9 kg/m2
Berat badan(dalam kg)/tinggi
- Obese I: 25.0-
badan(dalam meter)2
29.9 kg/m2
- Obese II
:≥30.0 kg/m2

Hasil pengkuran tekanan darah arteri


brachialis di lengan atas. 0:Hipertensi gr
Dikelompokan menjadi 2 kategori 2
1:Hipertensi gr
yaitu hipertensi jika sistolik ≥140
Tekanan Sphygmoman Pengukuran 1
7. Ordinal
Darah mmHg atau diastolik ≥91 mmHg. ometer tekanan darah 2: Pre
Kategori tidak hipertensi jika di hipertensi,
3: Normal
bawah kategori tersebut
(Perkeni dalam Kemenkes, 2015).
Kadar kolesterol total responden yang
Pengukuran
dikelompokkan menjadi 2 0:Hiperglikemi
kadar a
8 Kolesterol berdasarkan Kemenkes, 2015 yaitu: Analyzer Ordinal
kolesterol 1: Normal
 Normal: jika < 190 mg/dL 2:Hipoglikemia
 Kolesterol tinggi : jika ≥ 190 mg/dL total

Aktivitas fisik adalah setiap


gerakan tubuh dengn tujuan 0: Ringan
Aktivitas
9. Kuesioner Wawancara Nominal 1: Sedang &
Fisik meningkatkan dan mengeluarkan
Berat
tenaga dan energi. Dalam

32
kuesioner, ada tiga kategori
aktivitas fisik yaitu:
 Ringan : menonton TV, berjalan
membaca, memancing, main cartur,
mencuci dengan mesin, menyetir
mobil, menyetrika, dan memasak.
 Sedang : menyapu halaman,
mengepel, mencuci baju, menimba
air, bercocok tanam, berolahraga
seperti tenis ganda, bulutangkis
ganda, senam aerobic, renang,
basket, bola voli, jogging, dan sepak
bola.
 Berat : mengangkut/memikul (kayu,
beras, batu, pasir), mencangkul,
mengayuh becak, berolah raga
seperti bersepeda cepat, angkat besi,
tenis tunggal, bulutangkis tunggal,
lari cepat, marathon, dan mendaki
gunung.
Sedangkan dalam penelitian ini,
aktivitas fisik dikelompokkan
menjadi 2 yaitu:
 Ringan: jika masuk kategori
Ringan
Sedang & Berat : jika masuk Sedang
dan Berat
0:ada riwayat
meminum
alkohol
Alkohol Minuman yang mengandung etanol 1:tidak ada
10. Kuesioner Wawancara Nominal riwayat
meminum
alkohol

33
Membakar tembakau yang kemudian
0: Merokok
11. Merokok dihisap asapnya, baik menggunakan Kuesioner Wawancara Nominal 1:Tidak
rokok maupun pipa Merokok

Tabel 3.1 Definisi Operasional

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, penimbangan BB,
pengukuran TB, dan pengukuran Tekanan Darah dan kadar gula darah serta
kolestrol total pada penderita diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja UPT
Puskesmas Terjun Medan Marelan Tahun 2019.

3.6 Pengolahan dan Analisa Data


3.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menghasilkan distribusi dan persentase
dari tiap variabel. Analisis ini dilakukan untuk melihat gambaran karakteristik
responden dan faktor risiko DM Tipe 2. Penyajian analisis univariat dibuat dalam
bentuk tabel atau grafik
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan diolah dengan menggunakan
komputer. Data yang diperoleh, berupa faktor resiko diabetes melitus tipe-2 di
masyarakat dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang ditampilkan
dalam tabel distribusi frekuensi.

34
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal R., 2008. Hypertension, Hypokalemia, and Thiazide Induced Diabetes.


India: American Heart Association.
Akter, S. Rahman , MM. Abe, SK. dan Sultana, P. 2014. Prevalence of diabetes
and prediabetes and their risk factors among Bangladeshi adults: a
nationwide survey. Bulletin of the World Health Organization 2014;
American Diabetes Association. 2011. Standart of Medical Care In Diabetes.
Diabetes Care Volume 34 Supplement 1.
American Diabetes Association – Standart of Medical Care in Diabetes 2015.
Foundations of Care: Education, Nutrition, Physical Activity, Smoking
Cessation,Psychosocial Care, and Immunization. Diabetes Care: The
Journal of Clinical and Applied Research and Education, vol. 38 supplement
1, page 520-530.
Anderson, J.W., Baird, P., Davis, R.H., Ferrer, S., Knudtson, M., et al. 2009. Health
Benefits of Dietary Fiber. Nutritional Review. 67(4), 188-205.
Annis A M, Caulder M S, Cook M L, Duquette D. 2005. Family History, Diabetes,
and Other Demographic and Risk Factors Among Participants of the
National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2002. Preventing
Chronic Disease Volume 2 No.2
Aznar-Lain, S. & Webster, Tony, 2010. Physical Activity and Health in Children
and Adolescents: A Guide for all Adults Involved in Educating Young
People. Spanyol: Kementrian Kesehatan dan Konsumen.
Badan Penyelenggara Jaminan Nasional .2014 Panduan Praktis PROLANIS
(Program Pengelolaan Penyakit Kronis). Jakarta.
Baliunas. D.U. et al. 2009. Alcohol as a Risk Factor for Type 2 Diabetes. A systemic
Review and Meta-Analysis. Diabetes Care Volume 32 Number 11.
Balkau, B., et.al. 2008. Physical Activity and Insulin Sensitivity. Diabetes. Vol. 57,
page 2613-2618.
Canadian Diabetes Association. 2013. Alcohol and Diabetes. Canadian Diabetes
Association Clinical Practice Guideline. Banting.

35
Chang, S. A. 2012. Smoking and Type 2 Diabetes Mellitus. The Catholic
University of Korea College of Medicine. Korean Diabetes Association.
Diabetes Metab J. Vol36. Pp 399-403.
Cheung B.M.Y., Li C., 2012. Diabetes and Hypertension: Is There a Common
Metabolic Pathway? . Hongkong: Spinger.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS 2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Diabetes UK, 2008. Hypertension and Diabetes. London: Diabetes UK.
Drinkware. 2014. The Fact About Alcohol and Diabetes. Drinkaware.co.uk
Ekpenyong et al, 2011.Gender and Age Specific Prevalence and Associatiated Risk
Factors of Type 2 Diabetes Mellitus in Uyo Metropolis,south the Eastern
Nigeria in Department of Physiology, College of Health
Sciences,University of Uyo, Akwa Ibom State, Nigeria
Willer K. 2015. Gender and T2DM. The Living Textbook of Diabetes.
Fatmawati, Ari. 2010. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Pasien
Rawat Jalan. Skripsi Universitas Negeri Semarang
Fuji, H., Iwase, M., Ohkuma, T., Kaizu, S.O., Ide, H., Kikuchi, Y., et al. 2013.
Impact of Dietary Fiber Intake on Glycemic Control, Cardiovascular Risk
Factor, and Chronic Kidney Disease in Japanese Patients With Type 2
Diabetes Mellitus: the Fukuoka Diabetes Registry. Nutritional Journal. 12,
159.
Ganz M.L. et al. 2014. The Association of Body Mass Index with the Risk of Type 2
Diabetes: A Case-Control Study Nested in an Electronic Health Records
System in the United States. Diabetology & Metabolic Syndrome.
Harding, A.H. Day, N.E. et al. 2004. Dietary Fat and the Risk of Clinical Type 2
Diabetes. American Journal of Epidemiology. Available from :
http://aje.oxfordjournals.org/content/159/1/73.long [Accessed on July, 13th
2015]

36
Hariri S, Yoon P W, Qureshi N, Valdez R. 2006. Family history of type 2 diabetes
: A population-based screening tool for prevention? . Genet Med Volume 8
No. 2.
Jelantik dan haryati. 2014. Hubungan Faktor Risiko Umur , Jenis kelamin ,
Kegemukan dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di
Wilayah kerja Puskesmas Mataram.
Diaccesed:.http://www.lpsdimataram.com
Lily L.S., 2011. Pathophysiology of Heart Disease. Philadephia: Lippincott
Williams & Willkins, Hal: 302-303.
Kekenusa J S. 2013. Analisis Hubungan Antara Umur dan Riwayat Keluarga
Menderita DM Dengan Kejadian Penyakit DM Tipe 2 Pada Pasien Rawat
Jalan di Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado. Manado :Universitas Sam Ratulangi.
Kementerian kesehatan, 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus di
Indonesia Mencapai 21,3 juta orang. Jakarta
Kurniawan, I. 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia
Marshall, J.A. Bessesen, A.H. 2002. Dietary Fat and the Development of Type 2
Diabetes. American Diabetes Association. Available from :
http://care.diabetesjournals.org/content/25/3/620.full [Accessed on July,
13th 2015]
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tenrang Angka Kecukupan Gizi
yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta.
Miles, L. 2007. Physical activity and health. Journal Compilation British Nutrition
Foundation Nutrition Bulletin, London, UK: vol. 32, page 314–363
Misner, S., Whitmer, E., Florian, T.A. 2006. Dietary Fiber. Arizona: College of
Agriculture and Life Science University of Arizona.
Naing, L., Winn, T., & Rusli, B. N. (2006). Practical Issue in Calculating the
Sample Size for Prevalence Studies. Archives of Orofacial Sciences , 9-14.

37
Nuryati et al. 2009. Gaya Hidup dan Status Gizi serta Hubungannya dengan
Diabetes Melitus pada Wanita Dewasa di DKI Jakarta. Departemen Gizi
Masyarakat IPB.
Purnamasari D. 2013. Diagnosis dan Klasifikasi Diabete Melitus. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Lima. Interna Publishing. Jakarta. 1880-83.
Ramachandran. A et al, 2012Trends in prevalence of diabetes in Asian countries.
World journal of Diabetes
Schienkiewitz et al. 2006. Body mass index history and risk of type 2 diabetes:
results from the European Prospective Investigation into Cancer and
Nutrition (EPIC)–Potsdam Study. USA : American Society for Nutrition.
Selby, P. 2008. Smoking Cessation And Diabetes. Endocrinology Rounds. St.
Michael’s Hospital. Toronto. Vol.8.Issue 3
Sigal, R., Kenny, G., Wasserman, D., & Castaneda, C.2004. Physical
Activity/Exercise and Type 2 Diabetes. Diabetes Care, vol.27, no.10, page
2518-2539.
Stein, J. H., Asthana, A. Et al. 2014. Smoking Cessation and the Risk of Diabetes
Mellitus and Impaired Fasting Glucose : Three-Year Outcomes after a Quit
Attempt. PLOS ONE. University of Winsconsin. Madion. United States of
America. Vol.9. Isuue 6. Pp1-9.
Steyn, N.P. Mann, J. et al. 2004. Diet, nutrition and the prevention of type 2
diabetes. Public Health Nutrition. Available from :
http://www.who.int/nutrition/publications/public_health_nut4.pdf
[Accessed on July, 13th 2015]
Sugiani P.P.S. 2011. Status Gizi dan Status Metabolik Pasien Diabetes Melitus
Rawat Jalan di RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal ilmu Gizi.
Thanopoulou, A.C. Karamanos, B.G. et al. 2003. Dietary Fat Intake as Risk Factor
for the Development of Diabetes. Diabetes Journals. Available from :
http://care.diabetesjournals.org/content/26/2/302.full.pdf [Accessed on
July, 13th 2015]

38
Trisnawati, S K dan Setyorogo. S .2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1); Jan 2013
Valdez R, Yoon P W, Liu T, Khoury M. 2007. Family history and Prevalence of
Diabetes in the U.S. Population. Diabetes Care Volume 30 , Number 10.
Valdez Rodolfo. 2009. Detecting Undiagnosed Type 2 Diabetes Family History as
a Risk Factor and Screening Tool. Journal of Diabetes Science and
Technology Volume 3, Issue 4.
Wang, Y., Ji, J. Et al. 2013. Passive Smoking and Risk of Type 2 Diabetes : A
Meta-Analysis of Prospective Cohort Studies. PLOS ONE. School of
Public Health. Wuhan University. China. Vol(8). Issue 7. Pp1-6
Wannamethee, S. G., Shaper, A. G., Perry, I. J. 2001. Smoking as a Modifiable
Risk Factor for Type 2 Diabetes in Middle-Aged Men. Diabetes Care. Vol
(24). Pp1590-95.
Ward. A., Kerr. D. 2009. Diabetes, Alcohol and Hypoglycemia. Diabetes and
Endocrine Royal Bouremouth Hospital. Helath Administrator Vol XXII
Number 1&2.
Waspadji, Sarwono. 2009. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
World Health Organization, 2015. Physical Activity in Global Strategy on Diet,
Physical Activity and Health. World Health Organization

39

Anda mungkin juga menyukai