Anda di halaman 1dari 31

2.

3 Terapi Farmakologi Epilepsi


Sasaran terapi pengobatan epilepsy yakni untuk mengontrol dan
meminimalisasi frekuensi dan keparahan kejang serta efek samping obat
antiepilepsi sehingga pasien dapat kembali menjalani kehidupan normal seperti
biasanya (Dipiro edisi 9). Dalam pemilihan terapi untuk epilepsi terdapat beberapa
prinsip umum, diantaranya yaitu terapi epilepsi bersifat individual, monoterapi
(untuk mengurangi potensi adverse effect dan meningkatkan kepatuhan pasien),
pemberian terapi disesuaikan dengan jenis epilepsy, mempertimbangkan risk-
benefit ratio terapi, memulai obat dengan dosis terkecil kemudian dapat
ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien, penggunaan obat harus sehemat
mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka waktu pendek dan apabila gagal
mencapai goal terapi yang diharapkan maka terapi dihentikan pelan-pelan
(tapering off) dan diganti dengan obat lain atau dikombinasi dengan obat lain
yang memiliki mekanisme berbeda. Berikut adalah beberapa obat antiepilepsi
(Dipiro edisi 10):
1. Carbamazepine
a. Mekanisme aksi : meningkatkan inaktivasi secara cepat kanal Na+.
b. Efek samping : umumnya dapat menimbulkan neurosensorik (35%-50%)
terutama selama memulai terapi dan dapat menghilang dengan perawatan
lanjutan, penyesuaian dosis atau penggunaan formulasi controlled-release
atau sustained-release. Dapat menimbulkan efek mual ketika diminum
bersamaan dengan makanan. Penggunaan perlu dihentikan apabila mual
berasal dari efek samping apapun pada batang otak. Carbamazepine dapat
menyebabkan hiponatremia terutama pada orang tua dan dianjurkan
dilakukan monitoring kadar natrium serum. Dapat menyebabkan
leukopenia (10%) tetapi biasanya bersifat sementara. Pada sekitar 2%
pasien, leukopenia adalah bersifat persisten, tetapi terapi umumnya
dilanjutkan kecuali jumlah WBC turun menjadi kurang dari 2,5×109/L)
dan jumlah neutrofil kurang dari 1×109/L.
c. Interaksi obat : Carbamazepine dapat menginduksi metabolisme obat lain.
Selain itu, inhibitor CYP3A4 berpotensi meningkatkan konsentrasi serum
carbamazepine.
d. Dosis dan Administrasi : Selama inisiasi, klirens Carbamazepine
meningkat seiring waktu. Dosis awal orang dewasa adalah 400 mg/hari
dan dapat ditingkatkan 200 mg setiap minggu. Bagi pasien yang perlu
mencapai tingkat terapeutik lebih cepat, dosisnya dapat ditingkatkan 200
mg setiap beberapa hari. Namun, peningkatan dosis yang cepat dapat
meningkatkan risiko ruam dan harus dimonitoring. Formulasi extended-
release dapat diberikan dalam dosis dua kali sehari sedangkan formulasi
immediate-release diberikan dalam dosis empat kali sehari.
e. Kelebihan : Dibandingkan dengan obat antiepilepsi generasi pertama
lainnya, carbamazepine menyebabkan gangguan kognitif minimal.
f. Kekurangan : Carbamazepine memiliki banyak interaksi obat termasuk
interaksi yang dapat meningkatkan metabolit aktifnya sehingga
meningkatkan toksisitas. Carbamazepine dapat menyebabkan
teratogenisitas dan penggunaan jangka panjang dapat menurunkan
kepadatan mineral tulang dan 25-hidroksy (OH) vitamin D.
g. Tingkatan Terapi : Carbamazepine adalah OAE yang umum digunakan
dan dianggap sebagai lini pertama pada banyak jenis kejang serta telah
disetujui FDA untuk digunakan pada pasien dengan kejang onset focal,
kejang GTC (Generalized Tonic-Clonic) dan tipe kejang campuran.

2. Clobazam
a. Mekanisme aksi : mempotensiasi efek GABA pada subunit reseptor
GABAA dan meningkatkan arus klorida dengan meningkatkan pembukaan
kanal klorida.
b. Efek samping : Efek SSP adalah efek samping yang paling umum.
Penghentian tiba-tiba dapat menyebabkan sindrom penarikan yang terdiri
dari kejang, psikosis, halusinasi, gangguan perilaku, tremor, dan
kecemasan; gejala yang lebih ringan dapat muncul seperti disforia,
kecemasan, dan insomnia.
c. Interaksi obat : Clobazam menghambat CYP2D6 dan mempengaruhi
metabolisme obat lain di jalur ini dan menginduksi secara lemah CYP3A4
dan menurunkan kadar serum beberapa OC.
d. Dosis dan Administrasi : Pasien dengan BB ≤30 kg mulai dari 5 mg/hari
dan ditingkatkan perlahan hingga 20 mg/hari, sementara pasien dengan BB
>30 kg mulai dari 10 mg/hari dan ditingkatkan secara perlahan hingga 40
mg/hari; dosis yang lebih besar dari 5 mg harus diberikan dalam dua dosis
terbagi. Dosis pada pasien geriatri dimulai seperti pada pasien dengan BB
≤30 kg, tetapi meningkat hingga 40 mg tergantung pada berat pasien.
Pasien dengan metabolisme CYP2C19 yang buruk diberi dosis seperti
pasien geriatric.
e. Kelebihan : Clobazam lebih manjur daripada clonazepam dalam
pengobatan LGS dan dapat digunakan selama bertahun-tahun.
f. Kekurangan : Penghentian Clobazam harus hati-hati untuk menghindari
gejala penarikan yang signifikan. Clobazam jauh lebih efektif daripada
clonazepam dalam pengobatan kejang myoclonic dan absence attacks.
g. Tingkatan Terapi : Clobazam disetujui FDA sebagai terapi tambahan
kejang terkait dengan LGS. Selain itu, mungkin juga memiliki peran
dalam epilepsi onset focal dan epilepsi onset umum (generalized) lainnya
setelah kegagalan agen lain.

3. Eslicarbazepine
a. Mekanisme aksi : memperpanjang fase inaktivasi kanal Na+.
b. Efek sam[ing : yang paling umum yaitu pusing dan mengantuk. Selain itu
juga sering dolaporkan efek samping mual, sakit kepala, diplopia, muntah,
kelelahan, vertigo, ataksia, penglihatan kabur, dan tremor. Hiponatremia
dapat terjadi tapi lebih jarang daripada penggunaan carbamazepine atau
oxcarbazepine. Eslicarbazepine dapat meningkatkan interval PR pada
EKG.
c. Interaksi obat : Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, dan primidon dapat
menginduksi enzim yang memetabolisme eslicarbazepine. Eslicarbazepine
menghambat CYP2C19 sehingga memengaruhi konsentrasi plasma obat
yang dimetabolisme oleh isoenzyme ini.
d. Dosis dan Administrasi : dimulai dengan dosis awal 400 mg sebagai dosis
harian tunggal kemudian dapat ditingkatkan 400 mg/hari setiap minggu
hingga mencapai dosis maksimum 1.200 mg/hari.
e. Kelebihan : dosisnya hanya sekali sehari dan lebih jarang menyebabkan
hiponatremia daripada oxcarbazepine serta memiliki potensi efek samping
SSP yang lebih sedikit daripada oxcarbazepine.
f. Kekurangan : Eslicarbazepine merupakan obat baru dan data lebih lanjut
tentang efektivitasnya masih diperlukan.
g. Tingkatan Terapi : disetujui oleh FDA sebagai monoterapi atau
pengobatan tambahan untuk kejang onset focal.

4. Ethosuximide
a. Mekanisme aksi : menghambat kanal Ca2+ tipe T.
b. Efek samping : Mual dan muntah dilaporkan hingga 40% dari pasien,
dapat dikurangi dengan pemberian dosis yang lebih kecil dan lebih sering.
c. Interaksi obat : Asam valproik dapat menghambat metabolisme
ethosuximide, tetapi hanya jika metabolisme ethosuximide mendekati
saturasi.
d. Dosis dan Administrasi : pemberian lebih dari 1 hingga 2 minggu dengan
dosis pemeliharaan 20 mg/kgBB/hari biasanya menghasilkan konsentrasi
terapeutik. Terapi sekali sehari berkhasiat; namun untuk mencegah efek
samping pada saluran GI dapat diatasi dengan total dosis harian biasanya
dibagi menjadi dua dosis yang sama.
e. Kelebihan : Ethosuximide sangat efektif dalam pengobatan CAE dan dapat
ditoleransi dengan baik.
f. Kekurangan : memiliki spektrum aktivitas yang sangat sempit.
g. Tingkatan Terapi : Ethosuximide adalah pengobatan lini pertama untuk
absence attacks.

5. Ezogabine
a. Mekanisme aksi : membuka alosterik positif selektif dari kanal KCNQ2-5
yang menstabilkan tegangan membran istirahat dan mengurangi
rangsangan otak.
b. Efek samping : dapat menyebabkan kelainan retina biasanya setelah
penggunaan jangka panjang (misalnya 4 tahun) yang menyebabkan
kehilangan penglihatan. Dapat menyebabkan retensi urin, biasanya dalam
6 bulan pertama, dan hati-hati penggunaan pada pasien dengan hipertrofi
prostat jinak, pengguna antikolinergik, atau pasien yang tidak dapat
mengomunikasikan gejala klinis. Ezogabine juga dapat menyebabkan
perpanjangan QT, biasanya dalam 3 jam pemberian, dan harus hati-hati
ketika menggunakan bersamaan dengan obatyang memperpanjang QT
lainnya serta pada orang dengan gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel, hipokalemia, atau hipomagnesemia. Dapat menyebabkan
perubahan warna kulit biru atau abu-abu terutama di sekitar bibir atau di
kuku jari tangan dan kaki dan kadang-kadang juga wajah, kaki, langit-
langit mulut, sklera, dan konjungtiva biasanya terjadi 2 tahun atau lebih
setelah perawatan dengan dosis 900 mg atau lebih besar. Jika hal tersebut
sudah terjadi maka penggunaan harus dihentikan.
c. Interaksi obat : Ezogabine dapat meningkatkan klirens lamotrigin sebesar
22% dan menurunkan AUC sebesar 18%. Kadar serum Ezogabine dapat
dikurangi 35% oleh fenitoin dan 31% oleh carbamazepine. Alkohol dapat
meningkatkan paparan sistemik, Cmax dan AUC, dari ezogabine, sehingga
meningkatkan toksisitas Ezogabine.
d. Dosis dan Administrasi : dimulai dengan dosis 300 mg/hari tiga kali
sehari, dengan peningkatan dosis 150 mg setiap minggu sampai tercapai
target dosis 600 hingga 1.200 mg/hari.
e. Kelebihan : Ezogabine bekerja dengan mekanisme yang berbeda dengan
obat antikejang lain sehingga dapat ditambahkan ke obat antikejang lain
sebagai terapi tambahan.
f. Kekurangan : dapat mengganggu tes laboratorium urin dan serum bilirubin
yang menyebabkan pembacaan yang salah, dosisnya tiga kali sehari, serta
berpotensi dapat menyebabkan kehilangan penglihatan, retensi urin,
perubahan warna kulit, dan perpanjangan QT.
g. Tingkatan Terapi : Ezogabine disetujui sebagai terapi tambahan untuk
kejang onset focal. Karena potensi kehilangan penglihatan, ezogabine
direkomendasikan hanya setelah beberapa alternatif telah dicoba.

6. Felbamate
a. Mekanisme aksi : menghambat reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)
glutamat dan memodulasi reseptor GABAA. Pada dosis yang lebih tinggi
dapat memodulasi kanal Na+ dan menghambat kanal Ca2+.
b. Efek samping : Felbamate dikaitkan dengan reaksi idiosinkratik yang
berpotensi fatal termasuk anemia aplastik (1 dari 3.000 pasien) dan gagal
hati akut (1 dalam 10.000 pasien) dengan onset dilaporkan antara 68 dan
354 hari terapi. Risiko anemia aplastik dapat meningkat pada pasien
wanita, pasien dengan riwayat sitopenia, alergi ASD atau toksisitas yang
signifikan, infeksi virus, dan / atau masalah imunologis. Efek samping
yang paling umum adalah insomnia, mual, dan sakit kepala (kadang-
kadang parah). Anoreksia dan penurunan berat badan juga sering terjadi
dan mungkin terutama bermasalah pada anak-anak dan pada pasien yang
kekurangan asupan kalori.
c. Interaksi obat : Felbamate dapat menginduksi atau menghambat
metabolisme OAE generasi yang lebih awal serta telah dilaporkan
interaksi dengan warfarin.
d. Dosis dan Administrasi : dimulai dengan dosis 1.200 mg/hari dalam 3-4
dosis terbagi dan dapat ditingkatkan pada interval 1-2 minggu menjadi
2.400 mg/hari dan kemudian menjadi 3.600 mg/hari.
e. Kelebihan : Felbamate memiliki mekanisme aksi yang unik dan spektrum
aktivitas yang luas (misalnya, berguna dalam kejang atonic LGS dan
kejang focal).
f. Kekurangan : Penggunaan dibatasi karena adanya risiko anemia aplastik
yang fatal dan hepatotoksisitas.
g. Tingkatan Terapi : Felbamate disetujui sebagai monoterapi atau terapi
tambahan pada pasien dengan kejang onset focal dengan atau tanpa
generalisasi, dan untuk pengobatan kejang yang terkait dengan LGS pada
anak-anak. Penggunaannya dicadangkan untuk pasien yang gagal terapi
dengan obat antikejang lainnya.

7. Gabapentin
a. Mekanisme aksi : meningkatkan kadar GABA otak manusia, mungkin
melalui perubahan dalam sintesis GABA atau pembalikan transporter
GABA neuronal, menghasilkan pelepasan GABA nonvesikuler.
Gabapentin berikatan dengan protein pembawa asam amino dan bertindak
pada reseptor unik. Gabapentin berikatan dengan subunit α2δ saluran Ca2+
yang diyakini mendasari efek antinosiseptifnya.
b. Efek samping : Efek pada SSP dan penambahan berat badan merupakan
efek samping yang paling umum. Perilaku agresif telah dilaporkan pada
anak-anak yang diberi gabapentin. Reaksi penarikan yang ditandai oleh
kecemasan, insomnia, mual, berkeringat, dan peningkatan nyeri juga telah
dilaporkan dengan penghentian mendadak pada pasien yang memakai
gabapentin untuk rasa sakit.
c. Interaksi obat : terdapat pengurangan 10% dalam pengurangan gabapentin
pada pasien yang menggunakan simetidin dan pengurangan 20% dalam
ketersediaan hayati jika antasid aluminium digunakan bersamaan dengan
gabapentin, meskipun ini mungkin tidak signifikan secara klinis.
d. Dosis dan Administrasi : Dosis awal khusus gabapentin adalah 300 mg
pada waktu tidur pada hari pertama, meningkat menjadi 900 mg/hari
selama 3 hari selanjutnya. Disarankan gabapentin harus diberikan
setidaknya empat kali sehari ketika total dosis harian adalah 3.600 mg atau
lebih besar. Pasien yang menjalani hemodialisis harus menerima dosis
awal 300-400 mg dengan 200-300 mg diberikan setiap 4 jam setelah
hemodialisis.
e. Kelebihan : Gabapentin memiliki indeks terapi yang luas dengan efek
samping SSP minimal dan hanya beberapa interaksi obat. Dosis dapat
ditingkatkan dengan cepat dan tersedia dalam bentuk sediaan cair.
f. Kekurangan : Seringkali dianggap kurang manjur. Namun, dapat
ditoleransi dengan baik, dan penelitian pada pasien usia lanjut
menunjukkan bahwa gabapenti mungkin sama manjurnya dengan
lamotrigin dalam populasi ini.
g. Tingkatan Terapi : Gabapentin disetujui FDA untuk pasien dengan kejang
onset focal dengan atau tanpa generalisasi sekunder pada pasien 3 tahun ke
atas. Gabapentin dianggap sebagai lini kedua untuk pasien dengan kejang
focal yang gagal dalam pengobatan awal. Gabapentin mungkin paling
berguna dalam mengobati epilepsi dengan kondisi komorbiditas seperti
nyeri neuropatik.

8. Lacosamide
a. Mekanisme aksi : meningkatkan inaktivasi secara lambat kanal Na+,
menstabilkan membran neuron hiperekskable dan menghambat kejang
neuronal berulang. Lacosamide dapat berikatan dengan protein mediator
respons kolapsin (CRMP-2 yang terlibat dalam diferensiasi neuron dan
pertumbuhan aksonal), meskipun signifikansi klinis dari hal ini tidak jelas.
b. Efek samping : Efek CNS dan GI seperti pusing, mual, diplopia, dan
ataksia, adalah efek samping yang paling umum. Efek ini terkait dosis dan
dapat terjadi lebih umum pada pasien yang menerima pengobatan
bersamaan dengan penghambat kanal Na+ lainnya. Obat ini juga dapat
menyebabkan peningkatan kecil dalam interval PR median pada EKG.
c. Interaksi obat : Kadar Lacosamide dalam darah menurun sekitar 15%-20%
oleh obat antikejang yang diinduksi oleh enzim.
d. Dosis dan Administrasi : Dosis awal adalah 100 mg/hari diberikan dalam
dua dosis terbagi. Dosis ditingkatkan 100 mg/hari setiap minggu sampai
dosis harian 200-400 mg telah tercapai.
e. Kelebihan : Bentuk iv lacosamide tersedia untuk penggantian jangka
pendek yang tampaknya aman, dapat ditoleransi dengan baik, dan mudah
diberikan serta memiliki mekanisme aksi yang baru.
f. Kekurangan : Lacosamide adalah zat yang dikontrol kelas V.
g. Tingkatan Terapi : Lacosamide disetujui sebagai monoterapi atau
pengobatan tambahan untuk kejang onset focal. Karena kemudahan
penggunaan, termasuk ketersediaan pembebanan intravena dan kurangnya
interaksi obat, obat ini telah menjadi agen lini pertama di antara banyak
penyedia, walaupun tidak ada bukti kuat untuk mendukung hal ini.

9. Lamotrigin
a. Mekanisme aksi : menghambat kanal Na+, memodulasi kanal Ca2+,
memodulasi kanal kation teraktivasi hiperpolarisasi (HCN), dan
melemahkan pelepasan glutamat dan pada tingkat yang lebih rendah,
GABA dan dopamin.
b. Efek samping : dapat menyebabkan ruam, yang biasanya muncul dalam 3-
4 minggu pertama terapi dan lebih mungkin terjadi jika pasien memiliki
ruam sebelumnya. Faktor risiko untuk munculnya ruam yang lebih serius
tampaknya bersamaan dengan penggunaan asam valproik dan situasi di
mana dosis awal yang tinggi atau peningkatan dosis yang cepat.
Insidensinya lebih tinggi pada anak-anak daripada pada orang dewasa. Jika
tidak, efek samping yang paling umum terkait dengan SSP.
c. Interaksi obat : Asam valproat secara substansial menghambat
metabolisme lamotrigin. Interaksi farmakodinamik dapat terjadi dengan
terapi carbamazepine bersamaan, menyebabkan peningkatan efek samping
SSP. Telah dilaporkan bahwa lamotrigin dapat mengurangi ketersediaan
hayati komponen progesteron (levonorgestrel) dari kombinasi OC sebesar
19%. Pengobatan bersamaan dengan kontrasepsi oral dapat menyebabkan
pengurangan konsentrasi serum lamotrigin karena dari induksi
glukuronidasi lamotrigin oleh etinil estradiol.
d. Dosis dan Administrasi : Pada pasien yang menggunakan obat yang
menginduksi enzim, lamotrigin dapat dimulai lebih cepat daripada pasien
yang menerima asam valproik. Dosis pemeliharaan juga berbeda. Untuk
pasien yang menjalani monoterapi, lamotrigin harus dimulai pada 25 mg
setiap hari selama 2 minggu, meningkat menjadi 25 mg dua kali sehari
selama 2 minggu, dan kemudian meningkat sebesar 50 mg/hari setiap 2
minggu sampai dosis tujuan 200-400 mg/hari tercapai. Untuk pasien yang
juga konsumsi asam valproik bersamaan, lamotrigin harus dimulai dengan
dosis 25 mg setiap hari selama 2 minggu, kemudian 25 mg setiap hari
selama 2 minggu, dan kemudian meningkat sebesar 25 mg/hari setiap 2
minggu sampai dosis tujuan 100 dan 200 mg/hari tercapai.
e. Kelebihan : Lamotrigine memiliki spektrum luas dan manjur untuk terapi
kejang onset focal dan beberapa jenis kejang umum. Bentuk sediaan
pediatrik tersedia sebagai tablet dispersibel kunyah dan tablet disintegrasi
oral, dan juga tersedia dalam bentuk extended release untuk dosis sekali
sehari. Selain ruam, umumnya ditoleransi dengan baik pada anak-anak,
orang dewasa, dan pasien lansia.
f. Kekurangan : adanya efek samping ruam, dosis awal harus rendah
(terutama jika pasien menggunakan asam valproik) dan meningkat
perlahan untuk memaksimalkan keamanan. Bukan agen yang baik untuk
pasien yang perlu mencapai tingkat terapeutik obat antikejang dengan
cepat.
g. Tingkatan Terapi : disetujui sebagai pengobatan monoterapi dan tambahan
pada pasien dengan kejang onset focal dan dapat dianggap sebagai terapi
lini pertama atau kedua. Hal ini juga disetujui untuk kejang GTC primer
dan untuk kejang umum umum LGS.

10. Levetiracetam
a. Mekanisme aksi : berikatan dengan protein vesikel sinaptik SV2A di
terminal presinaptik dan mencegah pelepasan neurotransmitter.
b. Efek samping : levetiracetam dapat ditoleransi dengan sangat baik. Efek
SSP adalah efek samping yang paling umum dan biasanya ringan. Pada
anak-anak dan dewasa muda biasanya terjadi agitasi, lekas marah, atau
mengantuk/lesu.
c. Interaksi obat : tidak berinteraksi secara signifikan dengan OAE lain,
warfarin, digoxin, atau OC.
d. Dosis dan Administrasi : Biasanya dosis awal adalah 500 mg diberikan
dua kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan 500-1.000 mg setiap 1-2 minggu.
Dosis di atas maksimum yang disetujui FDA adalah 3.000 mg/hari. Untuk
meminimalkan efek samping SSP, dosis dapat diberikan 250 mg dua kali
sehari, terutama pada manula.
e. Kelebihan : memiliki mekanisme aksi baru, dapat ditoleransi dengan baik,
tidak memiliki interaksi obat yang signifikan dan dapat dimuat ketika level
terapeutik perlu dicapai dengan cepat.
f. Kekurangan : Masalah perilaku dapat membatasi terapi pada beberapa
pasien.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA sebagai terapi tambahan dalam
pengobatan kejang onset focal pada pasien yang berusia 12 tahun atau
lebih, meskipun secara rutin digunakan sebagai monoterapi lini pertama
serta disetujui untuk pengobatan tambahan kejang mioklonik pada pasien
dengan JME dan sebagai pengobatan tambahan untuk kejang umum pada
pasien dengan IGE (misalnya, epilepsi umum genetika).

11. Oxcarbazepine
a. Mekanisme aksi : memblokir kanal Na+ dan juga memodulasi arus Ca2+
dan K+, memodulasi kanal N- dan Ca 2+ tipe P.
b. Efek samping : Efek CNS adalah efek samping yang paling umum
terutama pada dosis lebih besar dari 1.200 mg/hari dan pada orang tua.
Hiponatremia telah dilaporkan pada 25% pasien dan lebih sering terjadi
pada pasien usia lanjut dan pada pasien yang menerima obat penurun
natrium secara bersamaan. Sekitar 25%-30% pasien yang mengalami ruam
dengan carbamazepine akan mengalami reaksi yang sama dengan
oxcarbazepine.
c. Interaksi obat : Oxcarbazepine mengurangi ketersediaan hayati etinil
estradiol dan levonorgestrel dan dapat menyebabkan kegagalan
kontrasepsi. Oxcarbazepine yang diberi dosis lebih besar dari 1.200 mg
dapat menyebabkan peningkatan 40% konsentrasi fenitoin, konsisten
dengan penghambatan CYP 2C19. Pengobatan Oxcarbazepine juga dapat
secara sederhana mengurangi konsentrasi serum lamotrigin, menunjukkan
induksi isozim UGT. Penggantian carbamazepine dengan oxcarbazepine
dapat mengakibatkan interaksi obat karena obat penginduksi enzim sedang
dihilangkan.
d. Dosis dan Administrasi : Dosis pada orang dewasa dapat dimulai pada
300-600 mg/hari dalam dua dosis terbagi dan meningkat 300 mg/hari
setiap 3 hari atau setiap minggu ke dosis yang direkomendasikan 1.200
mg/hari. Pada anak-anak usia 4 tahun ke atas dosis dapat dimulai pada 8-
10 mg/kgBB/hari dan meningkat sebesar 5 mg/kg setiap 3 hari hingga 60
mg/kgBB/hari. Dosis hingga 60 mg/kgBB/hari juga telah digunakan pada
bayi dan anak-anak di bawah 4 tahun.
e. Kelebihan : Ada bukti kuat untuk efektivitasnya dalam gangguan kejang.
Oxcarbazepine efektif pada pasien yang tidak menunjukkan respons
terhadap carbamazepine. Oxcarbazepine juga ditoleransi lebih baik
daripada fenitoin sebagai monoterapi
f. Kekurangan : Ada lebih banyak laporan tentang hiponatremia dengan
oxcarbazepine. Sekitar 30% pasien yang mengalami ruam yang diinduksi
carbamazepine juga akan mengalami ruam dengan oxcarbazepine.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA sebagai monoterapi atau terapi tambahan
dalam pengobatan kejang focal pada orang dewasa dan anak-anak usia 4
tahun dan dapat dianggap sebagai lini pertama.
12. Perampanel
a. Mekanisme aksi : antagonis reseptor glutamat tipe AMPA nonkompetitif
yang sangat selektif.
b. Efek samping : Efek samping yang paling umum termasuk pusing,
mengantuk, sakit kepala, dan ataksia. FDA membuat peringatan untuk
pemantauan psikiatrik, perilaku, suasana hati, atau perubahan kepribadian
yang mungkin mengancam jiwa pada penggunaan perampanel.
c. Interaksi obat : Kadar perampanel dalam serum dikurangi dengan obat
antikejang yang menginduksi enzim. Perampanel menginduksi enzim
sendiri pada kisaran dosis tinggi (12 mg/hari).
d. Dosis dan Administrasi : Perampanel dimulai dengan dosis awal 2 mg/hari
dan dititrasi 2 mg/hari setiap minggu hingga dosis maksimum 12 mg/hari.
Jika pasien menggunakan obat antikejang yang menginduksi enzim, dosis
harus dimulai pada 4 mg/hari. Pada pasien gagal hati, dosis harus
ditingkatkan setiap 2 minggu, dan dosis target diturunkan menjadi 4-6
mg/hari.
e. Kelebihan : memiliki mekanisme aksi yang baru dan dapat digunakan
sekali sehari.
f. Kekurangan : Ada pengalaman terbatas dengan perampanel.
g. Tingkatan Terapi : disetujui untuk kejang onset focal dengan atau tanpa
generalisasi sekunder pada pasien dengan epilepsi usia 12 tahun ke atas.
Juga disetujui untuk kejang GTC primer pada pasien berusia 12 tahun ke
atas. Perampanel adalah obat baru dan harus dicadangkan untuk digunakan
setelah kegagalan obat antikejang lainnya.

13. Fenobarbital
a. Mekanisme aksi : mempotensiasi aksi GABA pada reseptor GABAA
dengan memperpanjang pembukaan kompleks ionofor reseptor-klorida
GABA. Fenobarbital juga menghambat pelepasan glutamat melalui efek
pada kanal Ca2+ tipe P/Q dan memblokir reseptor AMPA/Kainate.
b. Efek samping : Efek samping yang paling umum adalah mengantuk,
pusing, penurunan koordinasi, gangguan kognisi, kebingungan mental,
efek depresi, dan masalah perilaku yang terlihat pada anak-anak.
Penggunaan jangka panjang dapat meyebabkan osteomalacia, anemia
megaloblastik, dan defisiensi folat. Efek samping yang serius yakni
hepatotoksisitas, dan efek dermatologis yang serius seperti SJS dan TEN.
c. Interaksi obat : Fenobarbital meningkatkan metabolisme clobazam,
midazolam, dan lamotrigin dan menurunkan kadar serumnya tetapi dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar serum fenitoin. Felbamate,
oxcarbazepine, phenytoin, dan valproate dapat menghambat metabolisme
fenobarbital, sehingga meningkatkan kadar serum fenobarbital.
d. Dosis dan Administrasi : Dosis awal fenobarbital pada orang dewasa
adalah 60 mg/hari dan dapat ditingkatkan hingga dosis target 100-300
mg/hari selama beberapa minggu.
e. Kelebihan : efektif sebagai obat antikejang dan telah digunakan untuk
periode waktu paling lama dan sudah tersedia di seluruh dunia.
f. Kekurangan : Fenobarbital menyebabkan banyak sedasi.
g. Tingkatan Terapi : fenobarbital digunakan sebagai lini kedua dalam kejang
onset focal dan kejang umum.

14. Fenitoin
a. Mekanisme aksi : menghambat kanal Na+.
b. Efek samping : Efek SSP adalah efek samping yang paling umum.
Sebagian besar efek ini biasanya bersifat sementara dan dapat
diminimalkan dengan peningkatan dosis lambat. Pada konsentrasi yang
sangat tinggi fenitoin dapat memperburuk kejang. Penggunaan jangka
panjang fenitoin dapat menyebabkan hiperplasia gingival, defisiensi
vitamin D, osteomalacia, intoleransi karbohidrat, gangguan imunologis,
hipotiroidisme, dan neuropati perifer. Juga dilaporkan reaksi
hipersensitivitas dan idiosinkratik yang jarang terjadi pada penggunaan
fenitoin.
c. Interaksi obat : Fenitoin memiliki banyak interaksi obat. Penyerapan
fenitoin dapat ditingkatkan atau dikurangi dengan pemberian makanan
tergantung pada komposisi makanan. Fenitoin menurunkan penyerapan
asam folat. Penggantian asam folat dapat mengurangi konsentrasi fenitoin
dan mengakibatkan hilangnya kemanjuran.
d. Dosis dan Administrasi : Kapsul immediate-release dan bentuk sediaan
cair tersedia, meskipun kapsul extended-release paling sering digunakan.
Hanya kapsul extended-release yang diberikan sekali sehari. Dosis
pemuatan oral harus dibagi menjadi 3 hingga 4 dosis dan diberikan pada
interval 4 hingga 6 jam untuk tingkat terapi antara 10 dan 20 mcg/mL.
Dosis pemeliharaan umum adalah 300 mg/hari. Fosphenytoin adalah
prodrug fenitoin, memiliki lebih sedikit efek samping, dan tersedia bentuk
i.v.
e. Kelebihan : tersedia dalam bentul cairan i.v untuk situasi darurat.
f. Kekurangan : Fenitoin memiliki banyak efek samping jika digunakan
jangka panjang. Memiliki indeks terapi relatif sempit dan memiliki banyak
interaksi obat yang terkait dengan metabolisme dan pengikatan proteinnya.
Fenitoin bisa terdapat dalam ASI dan melewati plasenta.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA untuk kejang onset focal dan kejang
GTC. Fenitoin dapat memperburuk kejang pada epilepsi umum dan harus
dihindari pada epilepsi tersebut. Telah diketahui kemanjurannya dan telah
lama digunakan sebagai obat antikejang lini pertama untuk banyak jenis
kejang.

15. Pregabalin
a. Mekanisme aksi : Pregabalin secara struktural terkait dengan gabapentin
dan berikatan dengan subunit α2δ dari kanal Ca2+ yang menurunkan
pelepasan neurotransmitter rangsang glutamat, noradrenalin, substansi P,
dan peptida yang berhubungan dengan gen kalsitonin.
b. Efek smping : Efek SSP dan penambahan berat badan adalah efek samping
yang paling umum. Efek dari penghentian obat secara tiba-tiba ditandai
dengan kecemasan, gugup, dan iritabilitas.
c. Interaksi obat : Interaksi obat tidak mungkin terjadi.
d. Dosis dan Administrasi : dimulai dengan dosis 150 mg/hari dibagi menjadi
interval dua kali atau tiga kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan 50-100
mg/hari setiap 1-2 minggu. Direkomendasikan pada pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir yang dirawat dengan hemodialisis diberi 25-
75 mg dosis harian diberikan setelah setiap 4 jam hemodialisis.
e. Kelebihan : Pregabalin agak lebih kuat daripada gabapentin tanpa sifat
penyerapan GI yang membatasi dosis dan efek samping SSP minimal dan
tidak ada interaksi obat.
f. Kekurangan : dapat menyebabkan penambahan berat badan dan edema
perifer, terutama karena dosisnya ditingkatkan.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA untuk kejang onset focal pada orang
dewasa. Pregabalin telah digunakan sebagai monoterapi, meskipun
umumnya dicadangkan untuk pasien yang gagal dalam pengobatan awal
dengan obat antikejang lain atau untuk pasien yang juga memiliki nyeri
neuropatik kronis atau gangguan kecemasan umum.

16. Rufinamide
a. Mekanisme aksi : menekan hipereksitabilitas neuron melalui perpanjangan
fase inaktivasi kanal Na+.
b. Efek samping : Efek SSP adalah efek samping yang paling umum dan
tergantung dosis. Rufinamide dapat meningkatkan kejadian kejang pada
beberapa pasien, dan dapat mengendapkan SE. Hipersensitivitas
multiorgan telah terjadi dalam waktu 4 minggu setelah memulai
pengobatan pada pasien yang berusia kurang dari 12 tahun.
c. Interaksi obat : Rufinamide adalah inhibitor lemah CYP2E1 dan
penginduksi lemah CYP3A4. Rufinamide dapat meningkatkan klirens
karbamazepin, lamotrigin, fenobarbital, dan fenitoin. Efek ini mungkin
lebih besar pada anak-anak daripada orang dewasa. Demikian pula,
karbamazepin, fenitoin, primidon, dan fenobarbital secara signifikan
meningkatkan klirens rufinamide. Asam valproat secara signifikan
mengurangi klirens rufinamide dan meningkatkan kadar serum hingga
70% .
d. Dosis dan Administrasi : Dosis awal rufinamide adalah 400-800 mg/hari
diberikan dalam dosis terbagi dengan peningkatan dosis setiap hari sampai
dosis maksimum yaitu 45 mg/kgBB/hari atau 3.200 mg/hari.
e. Kelebihan : efektif untuk kejang yang terkait dengan LGS tanpa
menyebabkan efek samping kognitif dan psikiatrik. Dosis dapat
ditingkatkan dengan cepat.
f. Kekurangan : dalam bernteraksi dengan banyak obat sedangkan pasien
dengan LGS biasanya menggunakan banyak obat. Obat ini telah
menyebabkan kejang dan status epileptikus pada beberapa pasien.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA sebagai agen tambahan untuk kejang
pada LGS dan berkhasiat dalam pengobatan kejang tonik-atonik serta
dapat digunakan setelah pasien gagal terapi dengan obat antikejang
lainnya.

17. Tiagabine
a. Mekanisme aksi : menginhibisi transporter GABA tipe 1 (GAT1) dan
meningkatkan GABA dengan mengurangi pemindahannya dari ruang
sinaptik dan memperpanjang potensi postsinaptik penghambatan.
b. Efek samping : dapat meningkatkan kejadian status epileptikus
nonconvulsive pada pasien dengan epilepsi parsial refrakter kronik. Efek
SSP, GI ringan dan transien adalah efek yang paling sering terjadi.
c. Interaksi obat : Tiagabine dipindahkan dari protein oleh naproxen, salisilat,
dan valproat tetapi tidak dengan sendirinya menggantikan fenitoin, asam
valproat, amitriptyline, tolbutamide, atau warfarin.
d. Dosis dan Administrasi : Dosis awal 7,5-15 mg/hari diberikan dalam dosis
terbagi dan ditingkatkan 5-10 mg/hari setiap minggu hingga dosis efektif
minimum 30 mg/hari, walaupun individu yang menggunakan obat
penginduksi enzim mungkin memerlukan dosis 50-60 mg/hari.
e. Kelebihan : memiliki mekanisme aksi yang unik dengan sedikit interaksi
obat.
f. Kekurangan : dapat meningkatkan frekuensi kejang dan status epileptikus.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA sebagai terapi tambahan untuk pasien
dengan kejang focal dengan atau tanpa generalisasi. Tiagabine digunakan
sebagai alternative untuk pasien yang telah gagal dengan terapi OAE lain
karena efek sampingnya menyebabkan kejang dan status epileptikus pada
beberapa pasien.

18. Topiramate
a. Mekanisme aksi : menghambat karbonik anhidrase, yang mungkin
memiliki beberapa efek antiseizure tetapi kemungkinan bukan mekanisme
kerja utama.
b. Efek samping : Efek SSP sering dilaporkan dan masalah dengan kognisi,
terjadi lebih sering selama peningkatan dosis cepat dan pada dosis yang
lebih tinggi. Batu ginjal terjadi pada 1,5% pasien dan dapat menyebabkan
asidosis metabolik pada dosis 50 mg/hari, terutama pada pasien dengan
penyakit ginjal, gangguan pernapasan berat, diare, pembedahan, dan
pasien yang menjalani diet ketogenik.
c. Interaksi obat : Topiramate dapat meningkatkan konsentrasi serum fenitoin
pada beberapa pasien karena menurunnya metabolisme CYP2C19.
Topiramate dapat meningkatkan klirens asam valproik dan meningkatkan
pembentukan metabolit toksik serta meningkatkan klirens etinil estradiol
tergantung pada dosis. Topiramate juga sedikit meningkatkan klirens
digoxin.
d. Dosis dan Administrasi : Topiramate harus ditingkatkan secara perlahan
untuk menghindari efek samping. Dosis dapat dimulai pada 25 mg/hari
dan ditingkatkan 25-50 mg/hari setiap 1-2 minggu. Untuk pasien yang
menggunakan obat antikejang lain, dosis yang lebih besar dari 400 mg/hari
tidak mengarah pada peningkatan kemanjuran dan dapat menyebabkan
peningkatan efek samping.
e. Kelebihan : memiliki banyak mekanisme aksi dan memiliki spektrum luas.
Eliminasi topiramate terutama pada ginjal, meskipun metabolisme hati
terjadi pada dosis yang lebih tinggi.
f. Kekurangan : Dengan peningkatan dosis cepat, topiramate dapat
membahayakan fungsi kognitif dan gangguan memori jangka pendek.
Karena itu, dosis awal harus rendah, dan peningkatan dosis harus secara
perlahan. Batu ginjal dan penurunan berat badan telah dikaitkan dengan
penggunaan topiramate.
g. Tingkatan Terapi : disetujui FDA sebagai monoterapi atau terapi tambahan
untuk kejang onset focal pada pasien usia 2 tahun ke atas. Topiramate juga
disetujui untuk pengobatan kejang tonik-klonik pada epilepsi umum
primer dan kejang umum pada pasien dengan LGS. Topiramate dapat
dianggap sebagai terapi lini pertama atau kedua tetapi penggunaannya
dibatasi oleh efek SSP dan peningkatan dosis lambat. Ini memiliki manfaat
pada pasien dengan migrain komorbiditas atau obesitas.

19. Asam Valproat / Divalproex Sodium


a. Mekanisme aksi : mempotensiasi respons GABA pasca sinaptik, dapat
memiliki efek penstabil membran langsung, dan dapat memengaruhi kanal
Na+ dan K+.
b. Efek samping : Efek samping GI termasuk mual, muntah, anoreksia, dan
penambahan berat badan paling sering dilaporkan (20%). Pankreatitis
jarang terjadi. Keluhan GI dapat diminimalkan dengan makanan atau
dengan memberikan formulasi enterikcoated. Alopecia dan perubahan
rambut bersifat sementara, dan pertumbuhan rambut kembali bahkan
dengan dosis lanjutan. Pertambahan berat badan dapat menjadi signifikan
bagi banyak pasien dan dikaitkan dengan peningkatan kadar insulin dan
leptin serum puasa. Hepatotoksisitas serius dapat terjadi dan menyebabkan
kematian pada pasien yang berusia >2 tahun, terjadi pada awal terapi, pada
anak-anak dengan keterbelakangan mental dan pasien yang menerima
beberapa obat antikejang. Trombositopenia juga umum terjadi terutama
pada konsentrasi yang lebih besar dari 100 mcg/mL dan lebih sering
terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa.
c. Interaksi obat : Obat yang terikat protein (misalnya, asam lemak bebas dan
aspirin) dapat menggantikan asam valproat. Asam valproat dapat
menghambat isozim CYP450 secara spesifik, epoksida hidrolase, dan
isozim UGT. Asam valproat mengurangi klirens fenobarbital dan
lamotrigin sebesar 30%-50% dan dapat menyebabkan toksisitas
fenobarbital dan lamotrigin.
d. Dosis dan Administrasi : Asam valproat tersedia dalam bentuk kapsul
gelatin lunak, tablet salut enterik, sirup, “sprinkle capsule” formulasi
extended release dibuat untuk dosis sekali sehari, dan formulasi i.v.
Formulasi parenteral ini tidak boleh diberikan secara i.m karena dapat
menyebabkan nekrosis jaringan. Sprinkle capsule dirancang untuk dibuka
dan dicampur dengan makanan, memiliki tingkat penyerapan yang lebih
lambat, yang menghasilkan lebih sedikit fluktuasi pada rasio peak-to-
trough. Sirup diserap lebih cepat daripada bentuk sediaan padat apa pun.
Dapat dimulai dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari dan meningkat 5-10
mg/kg setiap minggu. Valproate dapat diberikan secara i.v dengan dosis
15-20 mg/kg.
e. Kelebihan : tersedia dalam berbagai bentuk formulasi dosis, memiliki
indeks terapeutik luas dan dianggap sebagai obat antikejang dengan
spektrum luas. Asam valproat digunakan dalam gangguan neurologis atau
kejiwaan lainnya (misalnya, sakit kepala migrain dan gangguan bipolar).
f. Kekurangan : menyebabkan penambahan berat badan yang signifikan dan
memiliki efek samping lain, seperti alopesia, tremor, pankreatitis, PCOS,
dan trombositopenia, dan bersifat teratogenik.
g. Tingkatan Terapi : Asam valproik adalah terapi lini pertama untuk kejang
umum, termasuk kejang mioklonik, atonik, dan absence attack. Asam
valproat dapat digunakan sebagai monoterapi dan terapi tambahan untuk
kejang onset focal dan sangat berguna pada pasien dengan gangguan
kejang campuran.

20. Vigabatrin
a. Mekanisme aksi : merupakan analog struktural GABA dan merupakan
penghambat selektif, ireversibel GABA-transaminase, enzim yang
mendegradasi GABA, sehingga meningkatkan kadar GABA di CNS.
b. Efek samping : Vigabatrin dapat memperburuk kejang, terutama absence
attack dan kejang mioklonik pada pasien dengan epilepsi umum. Pasien
dengan riwayat depresi, psikosis, atau gangguan perilaku mungkin
berisiko lebih besar untuk mengalami efek psikiatrik. Vigabatrin dikaitkan
dengan kenaikan berat badan dan edema, neuropati perifer, mengantuk,
dan kelelahan.
c. Interaksi obat : Vigabatrin menginduksi CYP2C9 sehingga dapat
menurunkan kadar plasma fenitoin sekitar 20% dan kemungkinan
meningkatkan serum karbamazepin sebesar 10%.
d. Dosis dan Administrasi : Dosis awal adalah 1.000 mg/hari diberikan dalam
dua dosis terbagi. Dosis ditingkatkan 500 mg/hari setiap minggu hingga
mencapai 3.000 mg/hari. Dosis pada bayi dan anak-anak untuk kejang
infantil adalah 50 mg/kgBB/hari diberikan dalam dua dosis terbagi dengan
peningkatan sebesar 25-50 mg/kgBB/hari setiap 3 hari hingga dosis
maksimum 150 mg/kgBB/hari.
e. Kelebihan : Vigabatrin adalah lini pertama untuk kejang infantil dan telah
dipelajari secara luas.
f. Kekurangan : memiliki efek buruk yang signifikan dan hanya tersedia
melalui program distribusi terbatas (program SHARE). Visi harus
diperiksa pada awal dan setiap 3-6 bulan setelah penghentian obat.
g. Tingkatan Terapi : merupakan lini pertama untuk kejang infantil, terutama
pasien yang menderita sklerosis tuberous sebagai penyebabnya. Vigabatrin
adalah agen tambahan lini ketiga untuk epilepsi onset focal refrakter.
21. Zonisamide
a. Mekanisme aksi : menghambat kanal Na+ secara lambat dan kanal Ca2+
tipe T, serta menghambat pelepasan glutamat. Zonisamide juga memiliki
efek penghambatan karbonat anhidrase yang lemah.
b. Efek samping : Efek SSP yang umum termasuk sedasi dan efek pada
kognisi terutama dengan peningkatan dosis cepat. Parestesi, penurunan
berat badan sedang, oligohidrosis dengan efek pada kontrol suhu tubuh
juga dilaporkan. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi (0,02% dari pasien),
dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan alergi
sulfonamide. 2,6% kejadian batu ginjal simptomatik telah dilaporkan.
c. Interaksi obat : Zonisamide tidak menghambat atau menginduksi sistem
CYP450.
d. Dosis dan Administrasi : Zonisamide diberikan sekali atau dua kali sehari.
Dosis sekali sehari menyebabkan fluktuasi yang lebih besar dalam
konsentrasi serum dan mungkin lebih banyak efek samping, dan oleh
karena itu dosis harus dua kali sehari dengan dosis lebih dari 400 mg/hari.
Dapat dimulai pada 100 mg sekali sehari dan dosis harus ditingkatkan
sebesar 100 mg/hari setiap 1-2 minggu untuk respons.
e. Kelebihan : Zonisamide memiliki banyak mekanisme aksi dan merupakan
obat antikejang dengan spektrum luas dengan interaksi obat minimal dan
dapat diberikan sekali sehari.
f. Kekurangan : Gangguan kognitif dapat membatasi penggunaannya,
terutama dengan peningkatan dosis cepat. Zonisamide harus dihindari pada
pasien yang alergi terhadap "obat sulfa". Pembentukan batu ginjal dapat
membatasi penggunaannya.
g. Tingkatan Terapi : disetujui untuk terapi tambahan kejang onset focal dan
dapat dianggap sebagai lini pertama. Namun mungkin berpotensi efektif
dalam tipe kejang onset umum.

2.4 Keamanan Obat-Obat Antiepilepsi pada Ibu Hamil


PEREMPUAN ISU DI EPILEPSI
Meskipun epilepsi mempengaruhi pria dan wanita secara merata, banyak
masalah kesehatan memiliki kepentingan khusus bagi wanita, seperti interaksi
kontrasepsi dengan AED, teratogenisitas, perubahan farmakokinetik selama
kehamilan, menyusui, pengaruh siklus menstruasi pada aktivitas kejang (epilepsi
katamenial), dampak AED pada tulang, dan disfungsi seksual.208 Ada kebutuhan
besar untuk mendidik profesional kesehatan dan pasien tentang banyak masalah
kompleks yang dihadapi wanita dengan epilepsi.
Untuk wanita yang berpotensi mengandung anak, perencanaan dan
konseling sebelum hamil penting, karena paparan AED yang signifikan pada janin
sering terjadi pada saat kehamilan dikonfirmasi. Ini sangat penting karena potensi
kehamilan yang tidak direncanakan dari interaksi obat kontrasepsi AED.
Konseling sebelum hamil juga harus mencakup pentingnya suplementasi asam
folat dan kepatuhan minum obat. Pasien harus diberi tahu tentang risiko
teratogenisitas dan pentingnya perawatan prenatal.
Meskipun kontrol kejang yang lengkap diperlukan untuk semua pasien
dengan epilepsi, itu sangat menguntungkan bagi wanita kejang untuk dikontrol
dengan baik sebelum konsepsi. Monoterapi lebih disukai jika memungkinkan,
karena risiko relatif cacat lahir meningkat secara dramatis dengan politerapi AED.
Monoterapi juga meningkatkan kepatuhan pasien. AED harus diberikan dengan
dosis efektif terendah untuk mengurangi kemungkinan cacat lahir. Penghentian
AED bertahap dapat dipertimbangkan jika awoman telah bebas kejang selama 2
tahun atau lebih.

Anak-anak P.Z memiliki risiko malformasi kongenital yang relatif tinggi


karena pajanan terhadap beberapa obat yang berpotensi teratogenik: kontrasepsi
oral kombinasi estrogen-progestin, valproat dan fenitoin (juga lihat Bab 46, Terapi
Obat Obstetrik).
Banyak AED memiliki efek teratogenik. 21 Data hewan mengenai potensi
teratogenik lamotrigin, felbamate, gabapentin, topiramate, tiagabine,
levetiracetam, oxcarbazepine, pregabalin, dan zonisamide memberi harapan, tetapi
kesimpulan mengenai potensi teratogenik yang baru-baru ini dipasarkan tidak
dapat dibuat karena AED pengalaman terbatas pada wanita hamil. Kontroversi
telah berkurang secara signifikan mengenai kontribusi relatif dari epilepsi orang
tua itu sendiri, pengaruh genetik, dan terapi obat sejak data terakhir menunjukkan
bahwa bayi dari wanita yang tidak diobati dengan epilepsi memiliki lebih sedikit
kelainan dibandingkan dengan mereka yang lahir dari wanita dengan epilepsi
yang menggunakan AED.222 Risiko malformasi kongenital mayor (misalnya,
sumbing wajah, defek septum jantung) pada anak-anak yang terpajan AED in
utero mungkin setinggi dua hingga tiga kali lipat risiko awal pada populasi
umum.223 Selain itu, epilepsi ibu meningkatkan risiko komplikasi kehamilan,
kematian bayi prenatal atau postnatal, kelahiran prematur, dan berat bayi lahir
rendah.
Sebagian besar AED, dengan pengecualian valproate, diyakini
mengerahkan efek teratogeniknya (dan mungkin efek samping lainnya seperti
hepatotoksisitas) sebagian melalui metabolit epoksida reaktif.223 Peningkatan
pembentukan metabolit ini melalui induksi enzim hati (misalnya, oleh
karbamazepin atau fenobarbital) atau penghambatan kerusakannya (mis. melalui
penghambatan epoksida hidrolase oleh valproat) akan meningkatkan risiko
teratogenisitas. Pemberian gabungan dari penginduksi enzim dan valproate
(khususnya kombinasi carbamazepine, phenobarbital, dan valproate dengan atau
tanpa fenitoin) dikaitkan dengan risiko teratogenisitas yang sangat tinggi.224
Selain itu, masing-masing AED utama saat ini telah dikaitkan dengan malformasi
kongenital ketika dikelola sendiri. Meador et al.225 baru-baru ini memberikan
data dari 333 kehamilan pada wanita dengan epilepsi yang mengambil AED
dalam monoterapi dan terdaftar dalam studi Neurodevelopmental Effects of
Antiepileptic Drugs (NEAD). Hasil buruk yang serius (malformasi mayor dan
kematian janin) secara signifikan lebih mungkin terjadi dengan pajanan valproate
(20,3%), dibandingkan dengan carbamazepine (8,2%), fenitoin (10,7%), atau
lamotrigin (1%).
Studi NEAD termasuk satu AED generasi kedua, lamotrigin. Registry
Kehamilan AED Amerika Utara baru-baru ini melaporkan bahwa risiko
malformasi besar setelah paparan monoterapi trimester pertama terhadap
lamotrigin tidak meningkat dibandingkan dengan risiko untuk populasi kontrol
yang tidak terpajan. Risiko bibir sumbing atau langit-langit nonsyndromic
meningkat pada bayi yang terpajan lamotrigin, 226 walaupun hal ini belum
teridentifikasi pada pendaftar lain.227 Alasan ketidaksesuaian ini tidak diketahui.
Selain malformasi, paparan AED dalam rahim dapat memiliki efek pada
perkembangan saraf. Sebuah analisis sementara dari studi NEAD mengangkat
kekhawatiran tentang efek dari paparan dalam rahim terhadap valproate pada
perkembangan saraf.228 Ditemukan bahwa anak-anak yang terpajan valproate
memiliki skor rendah (rata-rata = 85) pada Indeks Perkembangan Mental Anak
(MDI), bahkan setelah mengendalikan untuk IQ dan tipe kejang ibu. Skor MDI
secara signifikan lebih rendah untuk anak-anak yang terpapar dalam utero untuk
valproate dibandingkan dengan skor anak-anak yang terpapar carbamazepine
(rata-rata, 94), fenitoin (rata-rata, 90), dan monoterapi lamotrigin (rata-rata, 97).
Beberapa strategi dapat digunakan untuk mengurangi potensi efek
samping AED pada hasil kehamilan.228,229 Jika memungkinkan, sebelum
konsepsi, kontrol kejang harus dioptimalkan menggunakan AED pilihan pertama
untuk tipe kejang calon ibu atau sindrom epilepsi. Monoterapi dengan dosis
efektif terendah adalah tujuannya. Pemeliharaan simpanan asam folat yang
memadai sebelum pembuahan dan selama organogenesis janin juga penting.
Suplemen asam folat dapat mengurangi risiko malformasi tabung saraf bawaan
pada bayi berisiko yang dilahirkan oleh wanita tanpa epilepsi, tetapi suplementasi
folat tidak dapat dipercaya mengurangi efek teratogenik dari AED. Namun
demikian, suplementasi asam folat (dan memastikan kadar folat yang memadai)
direkomendasikan. Karena sekitar setengah dari kehamilan tidak direncanakan
dan tidak terbukti sampai minggu setelah konsepsi, suplementasi folat harus
secara rutin diberikan kepada wanita usia subur dengan epilepsi. Belum ada
penelitian yang dilakukan untuk menentukan dosis optimal suplementasi asam
folat pada pasien yang memakai AED. Dokter terlibat dalam banyak diskusi
tentang topik ini, tetapi praktik saat ini tidak berdasarkan bukti. Meskipun
demikian, P.Z. harus mulai mengonsumsi 4 mg suplementasi asam folat setiap
hari.
Perubahan fisiologis pada wanita hamil dapat mempengaruhi
farmakokinetik AED.206 Penyerapan dapat dipengaruhi oleh mual dan muntah.
Metabolisme hati dan fungsi ginjal keduanya meningkat selama kehamilan.
Kapasitas pengikatan albumin menurun selama kehamilan, menghasilkan
penurunan pengikatan protein untuk obat yang sangat terikat. Fraksi yang tidak
terikat dari fenobarbital, fenitoin, dan valproat meningkat dengan penurunan
konsentrasi albumin.229−231 Untuk obat-obatan yang sebagian besar
dimetabolisme oleh hati dengan izin restriktif (misalnya, karbamazepin dan
valproat), penurunan ikatan protein tanpa perubahan dalam izin intrinsik harus
menghasilkan penurunan konsentrasi total obat; konsentrasi obat yang tidak
terikat harus tetap tidak berubah. Untuk obat dengan peningkatan metabolisme
hati dan penurunan ikatan protein (mis., Fenitoin dan fenobarbital), konsentrasi
total dan plasma yang tidak terikat menurun, tetapi tidak selalu proporsional.
Pembersihan lamotrigin meningkat saat kehamilan berlangsung, mungkin
terkait dengan dampak estrogen pada metabolisme lamotrigin seperti yang
disebutkan di atas. Perubahan perubahan klirens ini segera berubah segera setelah
melahirkan. Data awal menunjukkan bahwa konsentrasi oxcarbazepine juga dapat
menurun seiring kehamilan.
Efek dari perubahan fungsi ginjal selama kehamilan pada konsentrasi AED
tidak diketahui.232 Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat
selama kehamilan. Dengan demikian, farmakokinetik obat yang sebagian besar
diekskresikan melalui ginjal, seperti gabapentin, levetiracetam, dan pregabalin,
dapat berubah selama kehamilan.
Selama kehamilan, kadar serum AED (termasuk kadar serum gratis untuk
obat yang sangat protein) dapat dimonitor. Penyesuaian dosis dapat membantu
mencegah peningkatan frekuensi kejang yang terlihat pada sekitar 25% wanita
hamil dengan epilepsi. Karena jatuh dan anoksia yang terkait dengan kejang yang
tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko pada bayi yang belum lahir, P.Z. harus
dididik tentang nilai kepatuhan terhadap rejimen AED-nya.
Untuk P.Z., dapat dianggap bahwa paparan signifikan janin terhadap
pengaruh teratogenik APA telah terjadi. Optimalisasi kontrol kejang menjadi
perhatian utama wanita ini. Setiap perubahan besar dalam rejimen AED P.Z harus
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari serangan kejang. Selain itu, dia
harus diinstruksikan untuk menghubungi pendaftaran kehamilan AED di Rumah
Sakit Umum Massachusetts (1-888-233-2334). Informasi yang diberikan ke
registri akan membantu dalam pemantauan berkelanjutan hasil bayi yang lahir
dari ibu yang memakai AED. Laporan dari registri ini telah memberikan informasi
risiko pada dua AED yang lebih lama (fenobarbital dan valproate). Paparan dalam
rahim terhadap salah satu dari AED ini dalam monoterapi menyebabkan
peningkatan insiden cacat lahir yang signifikan dibandingkan dengan kontrol.

Suplemen Vitamin K
Bayi yang lahir dari wanita dengan epilepsi yang menggunakan AED yang
menginduksi enzim beresiko pendarahan karena penurunan faktor pembekuan
yang tergantung vitamin K. Meskipun beberapa orang mempertanyakan buktinya,
wanita yang mengonsumsi carbamazepine, phenobarbital, primidone, atau
phenytoin harus menerima vitamin K 10 mg per hari setiap hari sejak usia
kehamilan 36 minggu hingga kelahiran, dan bayi juga harus menerima vitamin K
1 mg IM saat lahir.233
Menyusui
Pada wanita menyusui yang sedang minum obat, risiko pajanan obat pada
bayi perlu ditimbang dengan manfaat menyusui.234 Semua obat ditransfer ke
dalam susu sampai batas tertentu. Tingkat pengikatan protein obat adalah
prediktor yang paling penting dari masuknya obat ke dalam susu.235.236 Untuk
AED, variabilitas intersubject besar dalam susu: rasio plasma (M: P) terlihat,
mungkin karena perbedaan dalam volume dan komposisi susu. Dengan demikian,
rasio M: P tidak berguna untuk memprediksi paparan bayi dengan AED. Dua
ulasan terbaru tentang AED dan menyusui tersedia.237.238 Untuk sebagian besar
generasi pertama AED (carbamazepine, fenitoin, asam valproat), pemberian ASI
menghasilkan konsentrasi plasma AED yang dapat diabaikan pada bayi. Untuk
AED generasi kedua, menyusui harus dilakukan dengan hati-hati dan bayi harus
dimonitor untuk kelebihan konsentrasi dan toksisitas plasma AED, jika
memungkinkan. Informasi ini harus disampaikan kepada P.Z. dengan cara yang
tepat. Setelah ia melahirkan bayinya, evaluasi ulang dan optimalisasi terapi AED
P.Z harus dilakukan.
Pertimbangan Terapi untuk Kehamilan dan Menyusui
Kehamilan dan epilepsi adalah topik yang sangat kompleks. Tujuan
pengobatan pada wanita hamil dengan epilepsi adalah untuk mencapai kontrol
kejang terbaik dengan efek samping minimal untuk ibu dan anak. Komplikasi
terkait epilepsi selama kehamilan meliputi kemungkinan perubahan frekuensi
kejang, fluktuasi kadar ASD plasma, dan kemungkinan efek teratogenik ASD.
Meskipun terdapat banyak laporan tentang peningkatan dan penurunan
frekuensi kejang selama kehamilan, pembaruan parameter praktik terbaru yang
dikeluarkan oleh AAN menemukan bahwa ada bukti yang tidak meyakinkan
untuk menyimpulkan bahwa perubahan dalam frekuensi kejang terjadi selama
kehamilan.77 Namun yang disimpulkan, adalah bahwa wanita dengan epilepsi
yang bebas kejang selama setidaknya 9 bulan hingga 1 tahun sebelum kehamilan,
memiliki probabilitas yang sangat tinggi (84% -92%) untuk bebas kejang selama
kehamilan.77 Namun, perlu dicatat bahwa jika kejang meningkat selama
kehamilan , alasan yang sering diabaikan untuk peningkatan ini adalah
ketidakpatuhan pada pasien yang biasanya patuh, karena kekhawatiran tentang
potensi efek samping obat pada janin yang sedang berkembang.
Fluktuasi konsentrasi ASD dapat disebabkan oleh perubahan fisiologis
yang terjadi selama kehamilan termasuk penurunan motilitas lambung, mual dan
muntah, peningkatan distribusi obat, peningkatan eliminasi ginjal, perubahan
aktivitas enzim hati serta perubahan pengikatan protein selama kehamilan.76
Perubahan fisiologis, seperti sebagai perubahan dalam pengikatan protein, dapat
dimulai sedini 10 minggu pertama kehamilan, dan mungkin memerlukan hingga 4
minggu postpartum untuk dinormalisasi (misalnya, pengikatan protein dalam
carbamazepine, fenobarbital, dan fenitoin). Fluktuasi konsentrasi plasma ASD
karena peningkatan izin ASD telah terbukti benar untuk lamotrigin,
karbamazepin, fenitoin, oxcarbazepine, levetiracetam.78 Konsekuensi klinis dari
fluktuasi ASD adalah variabel dan beberapa wanita tidak akan mengalami
peningkatan frekuensi kejang meskipun tingkat berfluktuasi. Namun wanita yang
menggunakan lamotrigin diketahui mengalami penurunan 40% dalam rasio
konsentrasi lamotrigin plasma terhadap dosis, yang mengakibatkan penurunan
kontrol kejang pada sekitar 75% pasien hamil.76 Oleh karena itu
direkomendasikan bahwa tingkat ASD, terutama kadar lamotrigin, dipantau secara
ketat selama kehamilan, dan untuk meningkatkan dosis jika diperlukan selama
kehamilan dengan penurunan cepat pada periode postpartum. Dari catatan,
fluktuasi juga telah dilaporkan untuk fenobarbital, asam valproat, primidon, dan
ethosuximide, meskipun bukti kuat untuk ini masih kurang.
Hasil kehamilan yang merugikan terkait dengan penggunaan ASD
termasuk peningkatan risiko malformasi kongenital mayor (MCM) dibandingkan
dengan wanita nonepilepsi.79 Risiko ini diyakini karena pajanan ASD dan bukan
kejang ibu, karena bayi yang dilahirkan oleh wanita dengan epilepsi yang tidak
mengambil ASD memiliki risiko cacat lahir yang sama dengan bayi yang
dilahirkan oleh wanita yang bebas kejang (2% -3%) .80 Efek yang paling
mengkhawatirkan ditemukan dengan penggunaan asam valproik yang dikaitkan
dengan risiko MCM yaitu 3,5 hingga 4 kali dari keturunan dari wanita
nonepileptik, terutama jika diambil selama trimester pertama kehamilan.79 Selain
itu ada peningkatan risiko defisit perkembangan saraf, termasuk efek pada kognisi
pada anak-anak yang terpapar asam valproik pada utero.79 Efek ini tergantung
dosis, dan risiko malformasi kongenital utama meningkat secara signifikan pada
600 mg / hari, dengan risiko terbesar diamati pada dosis yang melebihi 1.000 mg /
hari.66 Namun, kerentanan individu secara genetik menurun. dihentikan, dan
teratogenisitas dapat terjadi pada dosis yang jauh lebih rendah pada beberapa
orang. Karena temuan ini, direkomendasikan bahwa valproate sebaiknya tidak
digunakan dalam epilepsi dan bahwa penarikan valproate atau beralih ke
pengobatan alternatif harus dipertimbangkan pada pasien ini. Ketika valproate
digunakan, dosis tidak boleh melebihi 500 hingga 600 mg / hari.
Data risiko teratogenik dengan agen yang lebih baru terbatas, meskipun
topiramate baru-baru ini direklasifikasi dari kategori kehamilan C ke D karena
peningkatan hubungan dengan langit-langit mulut sumbing (mungkin juga
memiliki efek negatif pada berat lahir dan menyebabkan peningkatan hipospadia).
66,81 Secara umum, dosis ASD yang lebih tinggi, konsentrasi serum ASD yang
lebih tinggi, politerapi (terutama politerapi dengan valproat), dan riwayat keluarga
dengan cacat lahir tampaknya meningkatkan risiko teratogenik ASD.79 Dengan
demikian, risiko cacat lahir diyakini. telah turun dengan mengurangi dosis dan
mengurangi penggunaan politerapi. Memutuskan pengobatan dengan obat tunggal
yang paling efektif sebelum konsepsi adalah sangat penting. Efek teratogenik
ASD harus selalu dipertimbangkan ketika memilih ASD untuk wanita usia
reproduksi, bahkan ketika mereka tidak berencana untuk hamil, karena banyak
kehamilan yang tidak direncanakan terjadi dan MCM umumnya terjadi pada awal
kehamilan sebelum wanita tahu bahwa mereka hamil. Dengan konseling dan
manajemen yang tepat, lebih dari 90% kehamilan ini masih memiliki hasil yang
memuaskan. Parameter praktik yang diperbarui tersedia untuk membantu dalam
konseling dan manajemen wanita hamil dengan epilepsi.
Efek teratogenik mungkin dapat dicegah dengan asupan folat yang
memadai, meskipun data yang kuat kurang.81 Namun, karena risiko MCM
mungkin berkurang dengan suplementasi asam folat, vitamin prenatal dengan
asam folat (0,4-5 mg / hari) direkomendasikan untuk wanita dari potensi
mengandung anak yang menggunakan ASD.81 Dosis folat yang lebih tinggi harus
digunakan pada wanita dengan riwayat kehamilan sebelumnya dengan defek
tabung saraf atau mengonsumsi asam valproat. Selain itu, beberapa ASD dapat
menyebabkan gangguan hemoragik neonatal. Ada kekurangan bukti kuat untuk
menentukan apakah suplementasi vitamin K pralahir dapat mengurangi
komplikasi ini. Namun, vitamin K 10 mg / hari sering diberikan secara oral
kepada ibu selama bulan terakhir kehamilan dan / atau diberikan secara parenteral
kepada bayi baru lahir saat persalinan.
Beberapa ASD masuk ke dalam ASI. ASD dengan ikatan protein lebih
sedikit akan menumpuk lebih banyak di ASI. Pengobatan dengan ASD tidak
selalu menjadi alasan untuk mencegah menyusui, meskipun konsentrasi ASD
dapat diukur pada bayi yang menyusui. Bahkan, argumen dapat dibuat bahwa
karena ASD harus jarang dihentikan secara tiba-tiba, menyusui memungkinkan
titrasi obat yang diturunkan oleh bayi selama 9 bulan terakhir. Bayi yang
dilahirkan oleh wanita yang menggunakan ASD (terutama barbiturat atau
benzodiazepin) harus diamati dengan cermat untuk tanda-tanda sedasi berlebih,
mudah marah, atau makan yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai