Disusun oleh:
Kelompok 1
1. Diah Riska NL (132210101119)
2. Thoyibatul Munadhiroh (152210101057)
3. Ziyan Nihlatul Millah (162210101039)
4. Desak Ayu Lestarini Dewi (162210101044)
5. Dayu Lantika (162210101049)
6. Afrian Rosyadi (162210101053)
7. Nadifa Nada (162210101126)
8. Indri Firma Wati (162210101131)
9. Muhammad Azzam Farisi Razak (162210101137)
10. Tiara Sagita Putri Aditama (162210101142)
11. Dimas Wakhid Setiawan (162210101147)
12. Novia Andriyani (162210101153)
13. Putri Robiatul Khasanah (162210101158)
Dosen Pengampu:
Indah Yulia Ningsih, S. Farm.,M.Farm., Apt.
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis mengucapkan
syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik
maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas mata kuliah Fitoterapi mengenai Pemilihan Terapi Berbasis Tanaman untuk
Gangguan Saluran Pencernaan.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk makalah ini. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Ibu
Indah Yulia Ningsih, S. Farm.,M.Farm., Apt. selaku dosen pengampu mata kuliah Fitoterapi
yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.6.2. Glycyrrhizae glabrae (Akar Manis Cina) ........................................................... 24
2.6.3. Curcuma longa (Kunyit)..................................................................................... 27
2.7 Tinjauan Tentang Wasir ............................................................................................. 28
2.7.1. Klasifikasi ........................................................................................................... 29
2.7.2. Patofisiologi dan Etiologi ................................................................................... 29
2.7.3. Faktor Resiko ...................................................................................................... 30
2.8 Pilihan Fitoterapi Wasir ............................................................................................. 31
2.8.1. Graptophyllum pictum (L) Griff ......................................................................... 31
2.8.2. Curcuma longa (L) ............................................................................................. 32
2.8.3. Aloe vera (L) ....................................................................................................... 33
2.8.4. Carica papaya (L) .............................................................................................. 34
2.9 Tinjauan Tentang GERD ........................................................................................... 34
2.9.1. Patofisilogi .......................................................................................................... 35
2.9.2. Etiologi ............................................................................................................... 36
2.9.3. Diagnosis dan Komplikasi GERD ...................................................................... 37
2.10 Pilihan Fitoterapi GERD ............................................................................................ 38
2.10.1. Phyllanthus emblica L. ....................................................................................... 38
2.10.2. Myrtus communis L. ........................................................................................... 39
2.10.3. Curcuma longa L. ............................................................................................... 41
BAB 3 PENUTUP .................................................................................................................... 43
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 43
3.2 Saran .......................................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 44
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tinjauan mengenai gangguan saluran pencernaan seperti diare, konstipasi,
maag, wasir, dan gerd baik dari segi definisi, patofisiologi, etiologi, faktor resiko.
2. Mengetahui pemilihan fitoterapi untuk beberapa gangguan saluran pencernaan (diare,
konstipasi, maag, wasir, dan gerd).
2
BAB 2 PEMBAHASAN
3
2.1.2. Faktor Resiko
1. Usia. Diare banyak terjadi pada tahun pertama kehidupan atara usia 6-11
bulan pada masa diberikan makanan pendamping selain asi. Hal ini karena
belum terbentuknya kekebalan alami dari anak pada usia dibawah 24 bulan.
2. Jenis kelamin. Resiko diare pada perempuan lebih rendah dibandingkan pada
laki-laki karena ktivitas pada laki-laki dengan lingkungan lebih tinggi.
3. Status gizi. Pada anak yang kekurangan gizi (misal: makanan) dapat
menyebabkan diare akut lebih besar hingga terjadi diare persisten dan disertai
disentri berat. Pada anak-anak resiko kematian akibat diare persisten lebih
besar.
4. Lingkungan. Daerah kumuh yang padat penduduk, kurang air bersih dengan
sanitasi yang jelek menyebabkan penyakit mudah menular. Pada beberapa
tempat shigellosis yang salah satu penyebab diare dapat menyebabkan
penyakit infeksi endemik yang berlangsung sepanjang tahun terutama pada
bayi dan anak-anak dengan usi antara 6 bulan sampai 3 tahun.
5. Status sosial ekonomi. Status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi
status gizi anggota keluarga. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan ekonomi
keluar untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga terutama pada anak balita
dan cenderung memiliki status gizi yang kurang, sehingga memudahkan
seseorang terkna diare.
6. Musim. Musim didaerah tropik memperlihatkan bahwa diare terjadi
sepanjang tahun. Terutama pada peralihan musim kemarau ke musm
penghujan menyebabkan frekuensi tengserang diare lebih besar
2.1.3. Gejala
Gejalan dari diare meliputi mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, demam, dan
anoreksia.
2.1.4. Etiologi
Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme atau toksin
melalui mulut. Kuman tersebuta dpat melalui air, makanan atau minumam yang
terkontaminasi kotoran manusia atau hewan. Kontaminasi tersebut dapat melalui tangan
penderita yang telah terkontaminasi (Suzanna, 1993). Mikroorganisme penyebab diare
akut :
4
Tabel 1 Kuman penyebab diare akut karena infeksi
Sumber : Mandal et al., 2004
Penyebab diare tidak hanya kare infeksi saja tetapi dapat disebabkan oleh
faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi karbohidrat, disakarida (inteloransi laktosa,
maltosa, dan sukrosa), monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa).
Selain itu bisa disebabkan oleh faktor makanan basi, beracun, alergi karena makan dan
faktor psikologis (rasa takut dan cemas) (vila J et al, 2000).
5
2.2.1.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Lansium
Spesies : Lansium domesticum Jack
2.2.1.2. Kandungan senyawa
Ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi diklorometana, dan fraksi
etilasetat.
2.2.1.3. Mekanisme Senyawa
Fraksi diklorometana mempunyai aktivitas yang paling kuat terhadap
bakteri E. coli dengan nilai KHM 0.3125 mg/ml. Nilai KHM fraksi dilkorometana
terhadap S.flexneri dan S.thypi adalah 0,625 dan 0,625 mg/ml. Fraksi
diklorometana mempunyai aktivitais yang paling kuat, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat dalam biji duku bersifat semipolar
sehingga waktu difraksinasi senyawa aktif terdapat dalam fraksi diklorometana.
2.2.1.4. Preparasi
1. Ekstraksi dan Fraksinasi
Biji duku dikeringkan dan dihancurkan sampai halus, sebanyak 1 kg
simplisia dilarutkan dalam 4 liter etanol selama 24 jam, ekstrak etanol cair
yang didapatkan diuapkan dengan vacuum putar sehingga didapat ekstrak
etanol kental, kemudian dikeringkan dalam eksikator sampai didapat
ekstrak etanol kering.
Ekstrak etanol difraksinasi secara cair-cair berdasarkan sistem
kepolarannya (non polar, semi polar, dan polar) dengan pelarut n-heksana,
etil asetat, diklorometana, dan metanol.
6
Kemudian fraksi-fraksi tersebut diuji aktivitas mikrobanya dengan metode
difusi agar, ditentukan nilai KHM dan aktivitasnya dibanding antibiotik
standar (tetrasiklin).
2. Aktivitas Antimikroba
Digunakan metode difusi agar untuk penentuan aktivitas antimikroba biji
duku,
Mikroba uji yang digunakan terdiri dari tiga bakteri penyebab diare yaitu
E.coli, S.thypi, Shigella flexneri. Bakterinya diinokulasikan kedalam
media NB (Nutrient Brouth), diinkubasi 24 jam pada 37˚C. Transmittan
25% pada panjang gelombang 580 nm diatur dengan penambahan bakteri
atau medium cair.
Suspensi bakteri T 25% dimasukkan kedalam cawan petri 0,1 ml.
kemudian ditambahkan medium NA (nutrient agar) 10 ml yang belum
beku, digoyang-goyang sampai membeku.
Dimasukkan kertas cakram 6 mm dan ditetesi dengan larutan ekstarak 10
(1 dengan konsentrasi 1 % (10 mg/ml). Setelah disimpan selama 24 jam
pada suhu 37˚C diukur diameter hambatan yang terbentuk.
2.2.1.5. Uji in vitro
1. Uji Aktivitas Antimikroba
Hasil pengujian aktivitas antimikroba penyebab diare dari ekstrak etanol, fraksi
n-heksana, fraksi diklorometana, fraksi etilasetat, dan fraksi air dari biji duku
menunjukkan bahwa senyawa-senyawa tersebut aktif terhadap mikroba uji kecuali
fraksi air tidak aktif terhadap mikroba uji
Tabel 3 Kesetaraan 1 mg/ml ekstrak dan I mg/ml fraksi degan tetrasiklin anhidrat
8
2.2.2.1. Klasifikasi
Kerajaan : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Agaricomycetes
Ordo : Polyporales
Famili : Ganodermataceae
Genus : Ganoderma
Spesies : Ganoderma lucidum
2.2.2.2. Kandungan Senyawa : Fenol dan saponin
2.2.2.3. Mekanisme Senyawa
Senyawa antibakteri fenol dan saponin berdasarkan daya kerjanya
bersifat bakteriostatik yaitu dengan menghambat pertumbuhan bakteri. Kedua
senyawa tersebut dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara merusak
struktur dinding sel setelah terbentuk atau mengubahnya setelah terbentuk, dan
permeabilitas sel bakterinya dirusak. Maka terjadi kebocoran nutrisi di dalam sel
sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel.
2.2.2.4. Preparasi
1. Pembuatan Ekstrak Jamur Lingzhi Menggunakan Pelarut Air Destilasi.
Jamur lingzhi segar dipotong kecil-kecil kemudian digiling hingga menjadi
serbuk.
Serbuk jamur lingzhi dengan bobot 10 gram, diekstraksi dengan 100 ml
aquadest menggunakan metode soxhlet selama 10 jam, hasilnya
dikentalkan dengan evaporator.
Ekstrak kental diencerkan pada beberapa konsentrasi yaitu 20µg/ml,
40µg/ml, 60µg/ml, 80µg/ml, 100µg/ml.
2. Uji Aktivitas Antibakteri
Alat yang digunakan untuk membuat ekstrak jamur lingzhi yaitu alat
soxhlet dan botol vial steril. Bahan yang digunakan yaitu 10 gram serbuk
jamur lingzhi dan 100 ml air destilasi.
Sampel yang diekstraksi sebanyak 10 gram jamur lingzhi dengan air
destilasi sebanyak 100 ml, pelarut dipanaskan untuk mendapat uap yang
akan dialirkan pada serbuk jamur lingzhi. Akan terjadi proses kondensasi
dari fase gas ke cair.
9
Hasil ekstraksi ditampung dalam botol vial steril. Hasil soxhletasi (ekstrak)
dikentalkan menggunakan alat evaporator untuk menghilangkan sisa
pelarut dalam ekstrak jamur lingzhi.
Ekstrak kental dimasukkan kedalam botol vial steril dan disimpan pada
LAF. Pembuatan suspensi bakteri Escherichia coli. Bahan yang digunakan
yaitu media NB steril dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 9 ml,
biakan bakteri Escherichia coli diambil dengan menggunakan kawat ose 1
goresan kemudian disuspensikan dengan NB steril dan di inkubasi pada
suhu 33°C selama 24 jam.
Pembuatan Media Nutrien Agar steril digunakan sebagai tempat
pembiakan bakteri Escherichia coli yang sudah dihomogenkan dalam NB
dipipet 100 µl.
bakteri kemudian ratakan didalam cawan petri dengan cara spreadplate.
Inkubasi selama 24 jam pada inkubator dengan suhu 33˚C.
Pembuatan konsentrasi ekstrak jamur lingzhi yang digunakan yaitu
sampel ekstrak jamur lingzhi sebanyak 50 mg dan air destilasi sebanyak
100 ml.
Kemudian dilakukan pembuat pengenceran ekstrak dengan konsentrasi
20µg/ml, 40µg/ml, 60µg/ml, 80µg/ml, 100µg/ml. Pengujian aktivitas
antibakteri dengan meletakkan 6 kertas cakram dengan diameter 6 mm
pada media agar.
Tetesi kertas cakram dengan masing-masing konsentrasi ekstrak jamur
lingzhi. Kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam dengan suhu
33˚C. Zona hambat yang terbentuk diamati menggunakan jangka sorong.
2.2.2.5. Dosis
Ekstrak jamur lingzhi dengan pelarut air destilasi berpengaruh terhadap
zona hambat bakteri Escherichia coli dengan kategori menghasilkan zona hambat
yang berbeda pada masing – masing konsentrasi yaitu 20µg/ml; 40µg/ml dengan
kategori tidak aktif, 60µg/ml; 80µg/ml dengan kategori tidak aktif, 100µg/ml
dengan kategori aktif.
10
2.2.2.6. Uji praklinis
11
2.2.3. Padina australis (Alga Coklat)
2.2.3.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Phaeophyta
Class : Phaeophyceae
Ordo : Dictyotales
Famili : Dictyotaceae
Genus : Padina
Spesies : Padina australis
2.2.3.2. Kandungan senyawa
Hasil uji aktivitas GC-MS terhadap ekstrak Padina australis menghasilkan
15 senyawa yang positif memiliki aktivitas sebagai anatibakteri yaitu golongan
terpenoid, steroid, alkaloid dan fenolik.Hasil ini sesuai dengan pernyataan
(Grayson, 2000; Liem et al, 2006) bahwa dalam alga coklat terkandung senyawa
fenolik dan senyawa golongan terpenoid yang memiliki aktivitas sebagai
antibakteri, yaitu monoterpenoid, diterpenoid, triterpenoid, dan senyawa
phytol.Berdasarkan hasil uji fitokimia diperoleh senyawa golongan triterpenoid,
saponin, tannin, dan senyawa fenolik.Demikian pula dari hasil uji GC-MS
menunjukkan adanya kelimpahan golongan triterpenoid yaitu senyawa phytol
yang diduga mempunyai aktivitas sebagai antibakteri.Hal ini sesuai dengan
pernyataan Bhattacharya (2013), bahwa phytol merupakan golongan senyawa
diterpenoid dan triterpenoid yang umumnya dijumpai dalam rumput laut dan
mempunyai aktivitas.
12
2.2.3.3. Mekanisme Senyawa
Senyawa tanin yang terkandung dalam rumput laut dapat menyebabkan
denaturasi dan koagulasi protein sel bakteri, sehingga akan menyebabkan
kematian sel bakteri.
2.2.3.4. Preparasi
Ekstraksi Padina australis
Sampel P. australis dicuci hingga bersih, kemudian dipotong-potong ukuran ±
1 cm,dan dikeringkan dalam oven pada suhu 500C sampai berat kering konstan.
Setelah kering, sampel digrinder sehingga diperoleh bubuk kering. Sampel
sebanyak 100 gram dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak
1000 ml selama 3x24 jam agar massa bioaktif dapat keluar dari thallusnya yang
padat. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring Whattmann 42 dan
bantuan vacuum flask, filtrat ditampung dalam erlenmeyer. Ekstrak dievaporasi
menggunakan evaporator pada suhu 50˚C sampai tidak terjadi lagi pengembunan
pelarut pada kondensor. Persiapan Inokulum Bakteri E. coli Inokulum E. coli
dibuat dengan populasi 105 - 106 cfu/ml. Stok kultur E.coli murni di erichment
dengan menggunakan 2 ml TSB, dan diinkubasi selama 120 menit dalam
inkubator suhu 30 - 35˚C. Kemudian dilakukan dekantasi/ pencucian dengan
menggunakan larutan BPS pH 7.2 terhadap bakteri tersebut (dengan deret tabung),
sampai di dapat kekeruhannya setara dengan kekeruhan Mac Farland III (deret
109). Hasil dari kesetaraan dengan standar Mac Farland tersebut dipipet 1 ml dan
dimasukkan ke dalam 9 ml BPS pH 7.2 (sebagai deret 108 ), kemudian lakukan
deret selanjutnya sampai didapat populasi 106 atau 105 cfu/ml.
2.2.3.5. Hasil Uji Praklinis
13
Tabel 8 Hasil identifikasi ekstrak etanol 96% ekstrak Padina australis
15
Jenis kelamin. Konstipasi lebih sering dialami oleh perempuan daripada pria,
terutama pada masa sebelum menstruasi dan masa kehamilan.
Usia. Konstipasi juga lebih sering dialami oleh lansia.
Makan makanan yang rendah serat.
Jarang atau tidak berolahraga sama sekali.
Minum obat-obatan tertentu, termasuk obat penenang, antidepresan, atau obat
untuk tekanan darah tinggi.
Memiliki kondisi kesehatan mental, seperti depresi.
2.4.1.1. Klasifikasi
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Bangsa : Detarieae
Genus : Tamarindus
Spesies : Tamarindus indica
2.4.1.2. Kandungan Kimia
Sitexin, isovitexin, orientin, isoorientin dan L-malic acid.
2.4.1.3. Dosis
Dari hasil percobaan Sundari, dkk dapat disimpulkan bahwa jus daun asam
jawa bersifat laksatif. Dosis 40% mempunyai efek laksatif yang lebih besar
dibandingkan 60% dan 20% namun masih lebih kecil jika dibandingkan dulcolax.
16
2.4.1.4. Mekanisme Aksi
Daun ini dapat mempengaruhi usus besar dengan jalan memperkuat
pristaltiknya yang dapat memperlunak tinja/ feses.
2.4.2.1. Klasifikasi
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Family : Asphodelaceae
Genus : Aloe
Spesies : Aloe vera L
2.4.2.2. Kandungan Kimia
1,8 dihidroksiantrasen glukosida, aloin A dan B (barbaloin). Setelah
penggunaan aloin A dan B secara oral maka akan menghasilkan aloe-emodin9-
antron (antrakinon) sebagai metabolit aktif.
2.4.2.3. Dosis
Mula kerja lidah buaya (Aloe vera) sama dengan laksansia golongan
laksatif yaitu 6-12 jam setelah pemberian. Pada mencit yang diberikan daging
lidah buaya (Aloe vera) dengan dosis 3 g/kgBB memiliki rata-rata frekuensi
defekasi dan berat feses yang lebih tinggi dibandingkan dengan mencit yang
diberikan obat laksansia sehingga efektivitas daging daun lidah buaya (Aloe vera)
juga lebih tinggi dibandingkan obat laksansia.
17
2.4.2.4. Mekanisme Aksi
Antrakinon pada saluran penceranaan memiliki fungsi sebagai stimulan
dan mengiritasi saluran pencernaan sehingga menimbulkan efek pencahar.
2.4.3. Daun Ceremai (Phyllanthus acidus L) : (Tita N & Nurlaili DH: 2014)
2.4.3.1. Klasifikasi
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Family : Phyllanthaceae
Genus : Phyllanthus
Spesies : Phullantus acidus
2.4.3.2. Kandungan Kimia
Saponin, polifenol dan flavonoid.
2.4.3.3. Dosis
Daun ceremai dosis 0,0039 gram/ 20 gram bb mencit dan dosis 0.0156
gram/20 gram bb mencit mempunyai aktivitas laksatif.
2.4.3.4. Mekanisme Aksi
Pengaruh terhadap kecepatan motilitas usus yang diukur sebagai rasio jarak
usus yang ditempuh oleh norit dalam jangka waktu tertentu terhadap panjang usus
dari pylorus sampai dengan rektum.
18
2.5 Tinjauan Tentang Maag
Maag atau dyspepsia merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan yang menyebabkan
perasaan tidak nyaman pada perut bagian atas yang disebabkan karena adanya gangguan asam
lambung. Dispepsia ditandai dengan adanya nyeri epigastrik, rasa terbakar pada epigastrik,
postpandial fullness dan rasa kenyang dini. Nyeri epigastreal adalah gejala khas yang
menyerupai tukak lambung. Kriteria Rome III menandai gejala nyeri epigastrik sebagai
epigastric pain syndrome (EPS). Dyspepsia dan GERD memiliki pengertian yang cukup
dekat, namun dyspepsia disebabkan akibat kepenuhan postpandial dan ketidakmampuan
dalam mencerna makanan menunjukkan dismotilitas gastroduodenal dan dikenal sebagai
postprandial distress syndrome (PDS).
Penelitian yang dilakukan di Jerman menunjukkan 18 hingga 20% orang Jerman
mengeluhkan adanya perut kembung, mulas dan diare. Dalam survey yang dilakukan oleh
Domestik Internasional Gastro Enterology Surveillance Study (DIGEST) sebanyak lebih dari
5500 orang menunjukkan sepertiga diantaranya mengeluhkan adanya gejala dyspepsia,
termasuk dyspepsia akut sebanyak 6,5% dan dyspepsia kronis sebanyak 22,5%.
2.5.1. Patofisiologi
Penyebab dyspepsia fungsional adalah adanya gangguan mortilitas, disfungsi
sensorimotor yang terhubung dengan hipersensitivitas terhadap rangsangan mekanik dan
kimia, aktivasi system kekebalan, peningkatan permeabilitas mukosa di usus kecil
proksimal dan adanya gangguan system saraf otonom dan enteric. Penyebab adanya
dyspepsia meliputi:
Penundaan pengosongan lambung
Penundaan pengosongan lambung merupakan salah satu patofisiologi
penyebab fungsional dyspepsia. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi
penundaan pengosongan lambung sebesar 20-50% terjadi pada penderita dyspepsia.
Secara keseluruhan, pengosongan lambung padatan adalah 1,5 kali lebih lambat.
Hubungan antara penunadaan pengosongan lambung dan gejala fungsional dyspepsia
belum dilaporkan secara jelas, namun dapat dikaitkan dengan peningkatan mortilitas
utus dan berkorelasi dengan keparahan gejala.
Gangguan Gastric accomodation
Gastric accommodation dimediasi oleh reflex vasovagal yang diprakarsai oleh
makanan dan dihasilkan melalui aktivasi saraf nitregik yang dapat merelaksasi
fundus dan perut bagian atas. Reflex antrofundik dan relaksasi fundus adalah respon
19
terhadap distensi antral yang berfungsi sebagai akomodasi. Gangguan pada gastric
accommodation pada 40% pasien dyspepsia dapat menyebabkan rasa kenyang dini.
Hipersensitivitas lambung
Studi barostat lambung menunjukkan pasien dengan fungsional dyspepsia
memiliki ambang batas yang lebih rendah untuk gejala ketidaknyamanan dan rasa
sakit selama distensi proksimal. Hipersensitivitas terhadap distensi lambung telah
ditemukan pada 34% pasien fungsional dyspepsia
Hipersensitivitas duodenal terhadap asam
Duodenum mungkin berperan dalam genesis gejala FD. Penelitian yang
dilakukan pertama kali menunjukkan bahwa 59% pasien FD mengalami mual selama
perfusi asam. Selanjutnya, pasien FD menunjukkan respon motoric duodenum yang
terganggu terhadap perfusi asam menghasilkan pengurangan clearance asam.
Paparan asam tinggi pada duodenum menunjukkan hubungan antara
ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan dengan nilai pH duodenum yang lebih
rendah.
Sensitivitas duodenal terhadap lipid
Gejala dyspepsia biasanya diinduksi oleh makanan berlemak. Pada FD, infus
lipid intraduodenal menyebabkan perut menjadi peka terhadap distensi dan
menyebabkan gejala rasa kenyang yang tidak nyaman dan mual.
Postinfectious Functional Dyspepsia
Beberapa penelitian dengan IBS pasca infesksi (PI_IBS) beberapa penelitian
mengidentifikasikan perkembangan FD setelah adanya infeksi enteric. Dalam 1
survey yang dilakukan, sebanyak 17% pasien dengan FD mengira gejala yang timbul
adalah PI. Orang-orang ini memiliki gejala umum seperti rasa kenyang dini, mual
dan penurunan berat badan. Gejala dikaitkan dengan adanya disfungsi neuron
nitrergik lambung yang berfungsi sebagai akomodasi.
Peradangan dan aktivasi imun
Beberapa penilian telah dilakukan dengan adanya inflamasi pada FD. Pasien
dengan PI-FD menunjukkan focus agregat [ada sel T dan CD8 dalam duodenum.
Jumlah sel CD4þ cells per crypt berkurang.dalam sebuah peneilitian terjait histologis
duodenitis ditemukan pada pasien PI-FD ditandai oleh sel inflamasi dan makrofag.
Peradangan mungkin tidak terbatas pada PI-FD, namun jumlah sel enterochromaffin
meningkat secara signifikan pada pasien PI-FD dibandingkan dengan pasien FD.
20
Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan sensitivitas pada mucosal lambung
sehingga mudah teriritasi.
Duodenal Eosinofilia
Penelitian keberadaan Eosinophilia Duodenal diamati dalam pasien PI-FD dan
pasien FD. Kehadiran Eosinophilia Duodenal dikaitkan dengan timbulnya reaksi
alergi yang menunjukkan bahwa hipersensitivitas terhadap luminal mungkun terjadi.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa Eosinophilia Duodenal menyebabkan
rasa kenyang dini dan kepenuhan posprandial.
Infeksi Helicobacter pylori
Infeksi yang disebabkan oleh H. pylori telah lama diasumsikan sebagai
penyebab dyspepsia melalui berbagai gangguan dalam sekresi asam, mortilitas dan
persignalan neuroendokrin. Sehubungan dengan motilitas, infeksi H. pylori dikaitkan
dalam peningkatan ekspresi glucagon-like-peptide-1 dan percepatan transit
gastrointestinal pada model penelitian menggunakan hewan. Meskipun H. pylori
tidak mempengaruhi tingkat pengosongan lambung, namun keterlibatannya dapat
memicu visceral dan hipersensitivitas kambung.
Faktor fisiologis
Faktor fisiologis banyak dikaitkan dengan komorbiditas psikologis seperti
cemas dan depresi. Gangguan psikologis dapat menyebabkan interaksi antara otak-
usus dan menghasilkan respon yang berkaitan dengan gejala dyspepsia.
2.5.2. Gejala
Dyspepsia fungsional ditandai dengan gejala seperti :
nyeri epigastrik dan rasa terbakar
perut kembung
rasa kenyang dini
mual
muntah
2.5.3. Diagnosis
Diagnosis dyspepsia fungsional didasarkan pada:
Gejala khas dan riwayat penyakit pasien (kecuali penyakit lain yang
disebabkan akibat dari dyspepsia)
Pemeriksaan instrumental
21
Gejala yang menyertai non gastrointestinal adalah gejala vegetative umum seperti
peningkatan sekresi keringat, sakit kepala, gangguan tidur, otot tegang, gejala jantung
fungsional dan nyeri riwayat keluhan biasanya telah dirasakan sejak lama dan tidak ada
perkembangan/perbaikan gejala.
Pemeriksaan diagnostik instrumental yang dapat dilakukan adalah
esophagogastroduodenoscopy termasuk untuk mendeteksi keberadaan H. pylori yang
mungkin menginfeksi dan ultrasonografi perut yang disertai gejala tambahan IBS dengan
pemeriksaan endoskopi usus besar. Selain itu, pasien yang gagal menanggapi pengobatan
dilakukan diagnostic khusus. Pasien dengan gejala refluks dilakukan pemantauan pH
esofagus selama 24 jam. Tes napas dan skinrigrafi pengosongan lambung dapat
mendeteksi gangguan pengosongan lambung atau gastroparesis. Pada pasien dengan perut
kembung yang parah, tes napas dilakukan untuk mendeteksi intoleransi karbohidrat dan
kolonisasi bakteri abnormal.
2.6.1.1. Klasifikasi
Kindom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Apiales
Family : Apiaceae
Genus : Foeniculum
Spesies : Foeniculi vulgaris
22
2.6.1.2. Simplisia
Buah berbentuk memanjang, ujung pipih, gundul, bau khas, rasa agak
manis dan khas, warna cokelat kehijauan atau cokelat kekuningan hingga cokelat,
panjang sampai 10 mm, lebar sampai 4 mm. Bagian luar buah mempunyai 5 rusuk
primer, menonjol, warna kekuningan.
2.6.1.3. Kandungan Kimia
Konstituen utama buah adas adalah minyak esensial: transanetol, (+)-
fenkon, estragol (metilkavikol), limonen, p- anisaldehid, α-pinen dan α-felandren.
2.6.1.4. Efek Farmakologi
Etanol adalah agen ulcerogenik yang umum digunakan dan ketika
diberikan oleh gavage kepada tikus, etanol menghasilkan lesi hemoragik lambung
yang parah. Mekanisme lesi lambung yang diinduksi etanol bervariasi, termasuk
penipisan kandungan lendir lambung, kerusakan aliran darah mukosa dan cedera
sel mukosa. Selain itu, kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol dikaitkan
dengan kelebihan radikal bebas, yang mengarah pada peningkatan peroksidasi
lipid . Peningkatan kadar peroksida lipid dan radikal bebas yang berasal dari
oksigen menghasilkan perubahan yang nyata pada tingkat sel dan menyebabkan
kerusakan membran, kematian sel, pengelupasan kulit dan erosi epitel. Akumulasi
neutrofil teraktivasi di mukosa lambung dapat menjadi sumber radikal bebas.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa beberapa obat antioksidan seperti
melatonin dan dantrolene memiliki efek perlindungan terhadap cedera lambung
akut yang diinduksi etanol pada tikus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa semua dosis buah adas mencegah kerusakan jaringan lambung terhadap
stres yang diinduksi etanol, hanya secara signifikan pada kelompok dosis tertinggi.
Selanjutnya, buah adas menurunkan peroksidasi lipid dan meningkatkan
antioksidan non-enzimatik. Sifat antioksidan dapat, setidaknya sebagian, menjadi
salah satu mekanisme yang memungkinkan buah adas memperbaiki lesi lambung
yang diinduksi etanol.
Uji anti tukak ekstrakair buah adas pada tikus galur Sprague- Dawley dosis
75, 150 dan 300 mg/kgBB signifikan menunjukkan efek protektif dalam mencegah
terjadinya tukak lambung akibat induksi 1 mL etanol 80% 1 jam setelah
perlakuan. Presentase inhibisi tukak lambung pada dosis tersebut berturut- turut
sebesar 37,8; 27,9; dan 68,2% dibandingkan kontrol negatif. Sebagai kontrol
23
positif Selain pengukuran nilai indeks tukak dan persentase inhibisi, diukur pula
kadar malondialdehid darah (MDA), glutation (GSH), nitrat serum dan nitrit
sebagai indikator peroksidasi lipid; asam askorbat, retinol dan β- karoten untuk
mengetahui khasiat antioksidan ekstrak. Hasilnya menunjukkan terjadinya
penurunan signifikan kadar MDA dan peningkatan kadar GSH pada kelompok
perlakuan dosis 150 dan 300 mg/kgBB, peningkatan signifikan kadar nitrit dan
nitrat pada dosis 75 dan 150mg/kgBB, serta peningkatan kadar GSH. Kadar asam
askorbat meningkat pada semua dosis perlakuan ekstrak, paling signifikan pada
dosis 300 mg/kgBB. Begitu pula dengan β- karoten dan retinol, peningkatan
signifikan hanya terjadi pada dosis 150 mg/kgBB.
2.6.1.5. Indikasi : membantu atasi tukak lambung.
2.6.1.6. Kontraindikasi
Penderita kanker karena estrogen dependent dan radang ginjal.
2.6.1.7. Interaksi obat
Pemberian adas bersamaan dengan siprofloksasin dapat mempengaruhi
absorbsi, distribusi, eliminasi, serta mengurangi efek sipro.
2.6.1.8. Toksisitas
LD 50 minyak esensial adas: 4500mL/kg peroral pada tikus.
2.6.1.9. Dosis : secara tradisional:5- 7 g buah kering/hari.
2.6.1.10. KIE
Informasi terkait konsumsi sediaan dengan seprofloksasin perlu di
tekankan.
25
2.6.2.5. Uji Klinik
Pemberian secara oral kepada 15 orang pasien tukak lambung dapat
mengurangi gejala tukak dan mempercepat penyembuhan sebesar 75%. Asam
gliseritinat (enoxolone), merupakan komponen aktif yang berperan dalam efek
antitukak dengan cara menghambat enzim 15- hidroksiprostaglandin
dehidrogenase dan delta- prostaglandin reduktase. Hambatan pada pencernaan
yang berfungsi untuk kedua enzim ini dapat menstimulasi dan meningkatkan
konsentrasi prostaglandin E dan E2α pada saluran pencernaan yang berfungsi
untuk meningkatkan proses penyembuhan tukak lambung.
2.6.2.6. Indikasi: Membantu memelihara kesehatan pencernaan.
2.6.2.7. Kontraindikasi
Hepatitis kronik, gangguan kolestasis hati, sirosis hepatis, insufiensi
ginjal, diabetes, aritmia, hipertensi, hipokalemi, hipertonia, dan kehamilan.
2.6.2.8. Interaksi
Interaksi dengan obat lain disebabkan oleh adanya peningkatan
kehilangan kalium sehingga tidak diberikan untuk penggunaan jangka lama
dengan glikosida atau diuretik tiazida, digitalis glikosida, obat- obat aritmia
seperti kuinidin, serta kortikosteroid. Keefektifan obat yang digunakan pada
perawatan hipertansi mungkin akan berkurang karena adanya penurunan ekskresi
natrium dan air seni sehingga seharusnya tidak diberikan bersamaan denagn
spironolakton atau amilorid.
2.6.2.9. Toksisitas : Tidak boleh diminum lebih dari 6 minggu berturut turut.
2.6.2.10. Penyiapan dan Dosis
Untuk tukak lambung: dosis 200- 600 mg secara oral dan dikonsumsi
tidak lebih dari 4- 6 minggu.
2.6.2.11. KIE
Diperhatikan apakah pasien mengkonsumsi obat lain dan riwayat
pengobatan dari pasien.
26
2.6.3. Curcuma longa (Kunyit)
2.6.3.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliopsida
Kelas : Liliopsida
Sub kelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa
2.6.3.2. Simplisia
Rimpang berwarna kuning kemerahan sampai kuning kecoklatan.
2.6.3.3. Kandungan Kimia
Antara lain kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin,
minyak atsiri dan oleoresin.
2.6.3.4. Efek Farmakologi
Curcumin Berefek anti inflamasi (ekstrak etanol kunyit dalam berbagai
tingkatan dosis) Menghambat sekresi asam lambung Mencegah pertumbuhan H.
Pylori secara in vitro dan memblokade aktivitas NF-kB Pemberian obat secara
oral untuk 116 pasien dengan asam dispepsia, kembung dispepsia, dispepsia atau
lemah dalam penelitian, secara acak, double-blind mengakibatkan respon statistik
27
signifikan pada pasien yang menerima obat. Para pasien menerima 500mg bubuk
obat empat kali sehari selama 7 hari. Dua uji klinis lain yang mengukur efek obat
pada tukak lambung menunjukkan bahwa pemberian obat maag secara oral
memperbaiki penyembuhan dan mengurangi sakit perut yang timbul. Dua studi
klinis telah menunjukkan bahwa kurkumin merupakan obat antiperadangan yang
efektif.
2.6.3.5. Kontraindikasi
Obstruksi saluran empedu. Dalam kasus batu empedu, gunakan hanya
setelah berkonsultasi dengan dokter. Hipersensitivitas terhadap obat tersebut.
2.6.3.6. Toksisitas
Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan pada mencit yang menerima dosis
oral ekstrak etanol 0,5; 1 atau 3 g/ kg berat badan. Atau juga dengan bubuk
turmeric dosis 2,5 g/kg. Pada tikus, guinea pig dan monyet dengan dosis 300
mg/kg. Ditemukan nilai LD50 dari ekstrak turmeric fraksi petroleum eter, alcohol
dan air akibat pemberian intraperitonial pada mencit, yaitu ditentukan pada dosis
0,525; 3,980; 0,43o dan 1,5 kg/bb.
2.6.3.7. Dosis
Tanaman bahan mentah, 3-9g sehari; bahan tanaman bubuk, 1,5-3,0 g
sehari; infus oral, 0,5-1g tiga kali per hari; tingtur (1: 10) 0.5-1ml tigakali per hari.
Dosis Dewasa dosis harian : 1,5 – 3 g atau 50 mg/kgBB.
2.6.3.8. Contoh Sediaan : Kurkuminoid 100mg
29
hemoroid adalah dalam debat; beberapa ahli bedah menganggap entitas ini sebagai
patologi yang sama sekali berbeda; yang lain menganggap bahwa prolaps mukosa adalah
bagian integral dari penyakit hemoroid
Selama evakuasi, kontraksi sphincter sukarela mengembalikan sisa kotoran dari
anus ke rektum sebagai bagian dari fisiologi evakuasi normal. Berusaha keras untuk
mendapatkan evakuasi total hanya berfungsi untuk memenuhi bantal pembuluh darah.
Jadi, asupan serat yang tidak mencukupi, duduk di toilet yang lama, sembelit, diare, dan
kondisi seperti kehamilan, asites, dan ruang panggul yang menempati lesi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdominal telah diduga berkontribusi
terhadap perkembangan penyakit. Riwayat keluarga dengan penyakit hemoroid juga telah
disarankan untuk berkontribusi pada perkembangan penyakit, meskipun tidak ada bukti
kecenderungan keturunan; juga, kebiasaan makan dan buang air besar sering terkait
dengan kebiasaan dan lingkungan.
Wasir sering dianggap sebagai varises internal atau eksternal. Istilah ini
menyesatkan, karena istilah varises (varises) digunakan untuk menggambarkan
pemanjangan berliku dan dilatasi pembuluh darah superfisial (biasanya di ekstremitas
bawah). Pasien dengan hipertensi portal mungkin memiliki varises rektal, sirkulasi
kolateral, di mana darah dari sistem portal masuk ke sirkulasi sistemik melalui vena
hemoroid tengah dan inferior. Tetapi varian wasir dan dubur adalah dua entitas yang
berbeda, dan banyak penelitian gagal menunjukkan peningkatan insiden penyakit wasir
pada pasien dengan hipertensi portal.
2.7.3. Faktor Resiko
Wasir simtomatik disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdomen seperti
yang terjadi pada tegangnya pergerakan usus, sembelit atau diare, posisi duduk yang
tahan lama, dan berbagai kondisi seperti kehamilan, penyakit hati kronis dengan asites,
atau massa perut (Schubert et al. 2009). Ada juga bukti tekanan sfingter istirahat tinggi
pada pasien dengan penyakit wasir, yang dapat mempengaruhi drainase vena dari struktur
pembuluh darah. Sejumlah faktor lain diyakini memainkan peran penting: asupan rendah
serat, kurang olahraga, penuaan, obesitas. Tidak ada bukti yang jelas tentang
kecenderungan turun-temurun, tetapi patogenesis tampaknya terkait dengan perubahan
degeneratif dalam struktur kolagen pembuluh atau stroma pendukung, ciri-ciri yang dapat
memiliki substrat pewarisan genetik.
30
2.8 Pilihan Fitoterapi Wasir
2.8.1. Graptophyllum pictum (L) Griff
2.8.1.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Scrophulariales
Famili : Acanthaceae
Genus : Graptophylum
Spesies : Graptophylum pictum Griff
2.8.1.2. Senyawa kimia : steroid, alkaloid, tannin, glikosida, saponin
2.8.1.3. Indikasi
Memiliki efek anti hemoroid, efek antiinflamasi, meningkatkan elastisitas
pembuluh darah sehingga dapat mengurangi pendarahan
2.8.1.4. Uji toksisitas
Pemberian infusa daun ungu hingga dosis 800 mg/ g bb tidak
menimbulkan kelainan organ
2.8.1.5. Dosis
Infusa daun ungu hingga dosis 800 mg/g bb , rebusan daun wungu dapat
menghilangkan gejala hemoroid ektsernum derajat II. Sebanyak 9-10 gram daun
ungu segar kemudian direbus dalam 2 gelas air (600 cc) sampai menjadi 1 gelas
31
rebusan dan diminum tiap hari 1 kali. Lima hari kemudian, efek yang ditimbulkan
oleh gejala hemorroid seperti nyeri, pendarahan, dan panas hilang tak berbekas.
2.8.2.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridiplantae
Infra Kingdom : Streptophyta
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Super Ordo : Lilianae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa L.
2.8.2.2. Golongan senyawa : monoterpen, sesquiterpen
2.8.2.3. Indikasi : memiliki efek antiinflamasi dan aktivitas analgesik
2.8.2.4. Uji toksisitas
Tidak ditemukan adanya tanda toksisitas pada pemberian dosis tunggal
rute oral. Ekstrak etanol rimpang kunyit pada dosis 0.5, 1, 3 g/ kg bb pada mencit
atau serbuk kunyit pada 2.5 g/ kg bb atau ekstrak etanol pada dosis 300 mg/kg bb
pada 45 tikus, marmot, dan monyet tidak menimbulkan efek toksik
2.8.2.5. Dosis : esktrak etanol rimpang kunyit pada dosis 1-5 g/ kg bb per oral
32
2.8.3. Aloe vera (L)
2.8.3.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliopsida
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Genus : Aloe
Spesiaes : Aloe vera L
2.8.3.2. Kandungan Senyawa : karbohidrat, lipid, asam amino, sterol, tanin
2.8.3.3. Indikasi
Efek antimikroba, efek penyembuhan luka, meningkatkan absorpsi usus
2.8.3.4. Uji toksisitas
Tidak ada kejadian yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung.
Penggunaan lidah buaya pada manusia dapat ditoleransi.
2.8.3.5. Dosis
Daun lidah buaya ½ batang, dihilangkan durinya, dicuci bersih lalu
diparut, diberi air masak ½ cangkir dan madu 2 sendok makan, diperas dan
disaring lalu diminum (3 x sehari).
33
2.8.4. Carica papaya (L)
2.8.4.1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Violales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L
2.8.4.2. senyawa : fenol, alkaloid, terpenoid, saponin
2.8.4.3. Indikasi
Efek antimikroba, efek penyembuhan luka, efek antiinflamasi
2.8.4.4. Uji toksisitas
Pada studi toksisitas akut, ekstrak daun papaya 2000 mg/kg bb secara
oral pada tikus tidak didapatkan kematian atau kejadian tidak diinginkan akut.
34
menimbulkan perubahan-perubahan fisis yang merugikan seperti pertambahan berat badan
yang buruk, ulserasi mukosa, atau simtom respiratorik kronik tidak disebabkan kausa yang
diketahui, usofagitis, hematemesis, striktur, anemia sideropenik, episode apnea yang
mengancam jiwa, ataupun sindrom kematian mendadak-bayi.
Prevalensi GER pada penderita asma lebih besar dari populasi umum, yaitu berkisar
antara 50- 60% pada populasi anak dan pada populasi dewasa diperkirakan mencapai 60-80%.
GER merupakan penyebab ke-3 tersering timbulnya batuk, setelah asma dan sindroma
sinobronkial. Rata-rata kejadian GER pada asma anak mencapai 56% dan ini hampir sama
dengan kejadian di asma dewasa. Gejala pernapasan seperti batuk, sesak, mengi yang
berkaitan dengan gastrousofageal refluk dinamakan RARS (reflux-assosiated respiratory
síndrome). Gastroesofageal refluks (GER) merupakan faktor yang sering terlupakan dalam
etiopatogenesis asma. Asma dan GER dapat terjadi bersamaan pada seorang penderita tanpa
saling berhubungan atau keduanya saling memberatkan, yaitu efek fisiologik obstruksi jalan
nafas pada asma memperburuk GER atau GER memicu terjadinya bronkokonstriksi pada
asma.
2.9.1. Patofisilogi
Kerusakan Lower Esophageal Spincther
LES mencegah refluks bahan lambung dari perut. Saat menelan untuk
memungkinkan bagian bebas dari makanan masuk ke perut. Mekanisme dimana
tekanan LES yang rusak dapat menyebabkan gastroesophageal reflux ada tiga
kemunkinan. Pertama, dan mungkin sebagian besar yang penting, refluks dapat terjadi
setelah LES transien spontan relaksasi yang tidak berhubungan dengan menelan. 6
Terserang distensi, muntah, bersendawa, dan muntah dapat menyebabkan relaksasi
LES. Penurunan transien pada tekanan sfingter bertanggung jawab atas sekitar 40%
episode refluks pada pasien dengan GERD. Kedua, refluks dapat terjadi setelah
peningkatan sementara dalam tekanan intraabdomen (stres refluks) seperti yang
terjadi selama mengedan, membungkuk.Ketiga, LES mungkin atonic, sehingga
memungkinkan refluks bebas. Meskipun relaksasi sementara lebih mungkin terjadi
ketika ada tekanan LES normal, dua mekanisme terakhir adalah lebih mungkin ketika
tekanan LES berkurang oleh faktor-faktor tersebut sebagai distensi lambung atau
merokok. Makanan dan obat-obatan tertentu dapat memperburuk refluks esofagus
dengan mengurangi tekanan LES atau oleh mengiritasi mukosa esofagus.
35
Resistensi mukosa
Mukosa esofagus dan submukosa mengandung sekresi lendir kelenjar yang
melepaskan bikarbonat, yang dapat menetralkan asam refluks di esofagus. Penurunan
pertahanan normal ini mekanisme dapat menyebabkan erosi kerongkongan.
Pengosongan Lambung dan Peningkatan Tekanan Perut
Volume lambung terkait dengan jumlah bahan yang dicerna,tingkat sekresi dan
pengosongan lambung, dan jumlah / frekuensirefluks duodenum ke dalam lambung.
Pengosongan lambung tertunda dapat menyebabkan peningkatan volume lambung
dan berkontribusi terhadap refluks dengan meningkatkan tekanan intragastrik. Faktor
yang meningkatkan lambung volume dan / atau kurangi pengosongan lambung,
seperti merokok dan makanan tinggi lemak, sering dikaitkan dengan refluks
gastroesofagus. Obesitas adalah faktor risiko independen untuk peningkatan GERD
gejala dan komplikasi. Obesitas telah dikaitkan dengan GERD karena peningkatan
tekanan perut. Bahkan menambah berat badan pasien dengan indeks massa tubuh
normal dapat menyebabkan onset baru Gejala GERD. Pasien obesitas yang tidak
sehat juga mungkin menderita lebih santai sementara LES, LES tidak kompeten, dan
terganggu motilitas esofagus.
Komposisi refluks
Komposisi, pH, dan volume refluks lain faktor yang terkait dengan refluks
gastroesofagus. Duodenogastrikrefluks esofagitis, atau "esofagitis alkali," mengacu
pada esofagitis yang disebabkan oleh refluks cairan bilious dan pankreas.
2.9.2. Etiologi
Beberapa etiologi baik berupa mengiritasi langsung terhadap mukosa maupun
yang dapat menurunkan tekanan LES disebutkan pada tabel berikut :
Makanan berlemak
Obat-Obatan Barbiturat
Benzodiazepin
36
Minuman Berkarbonasi
Besi
37
2.10 Pilihan Fitoterapi GERD
2.10.1. Phyllanthus emblica L.
40
2.10.3. Curcuma longa L.
3.1 Kesimpulan
Gangguan pada saluran pencernaan dapat terjadi karena adanya kerusakan pada bagian
saluran pencernaan dimana bagian tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. hingga
akhirnya dapat menimbulkan berbagai kondisi gangguan seperti diare, konstipasi, maag,
wasir, dam GERD. Pada beberapa kasus, gangguan pencernaan bisa terjadi karena kurangnya
kontrol terhadap makanan atau minuman yang masuk ke tubuh, makan tergesa-gesa, makan
terlalu banyak, memakan banyak makanan tinggi lemak, ataupun makan selama kondisi
stress.
Tumbuhan dan turunannya dapat digunakan sebagai terapi alternatif dalam pengobatan
gangguan saluran percernaan. Faktanya, produk herbal lebih banyak dipilih oleh masyarakat
untuk pengobatan konstipasi, diare, perut kembung dan lain-lain. Pengobatan dengan produk
herbal lebih dipilih karena harganya yang lebih murah, efek sampingnya jauh lebih rendah
serta memiliki khasiat yang tidak jauh beda dengan obat sintetik. Beberapa contoh tanaman
yang dapat digunakan sebagai pilihan fitoterapi untuk gangguan saluran pencernaan yaitu
rimpang kunyit, lidah buaya, buah pepaya, buah amla, buah murad, buah adas, akar manis
cina, asam jawa, daun ceremai, daun ungu, biji duku langsat, dan jamur lingzhi.
3.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap aktivitas tanaman-tanaman obat yang
berpotensi sebagai pilihan fitoterapi untuk pengobatan gangguan saluran pencernaan karena
dapat dijadikan sebagai alternatif terapi yang yang lebih murah, aman (efek samping lebih
rendah), tidak kalah efektif.
43
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.A., 1990. Flavonoid dan Phytonedica, Kegunaan, dan Prospek. Yayasan
Pengembangan Obat Alam Hyitomedika, Jakarta.
Anonim. 1999. WHO Monographs On Selected Medicinal Plants. Volume .World Health
Organization. Geneva
Aslam, B., T. Awan, I. Javed, T. Khaliq, J. A. Khan, dan A. Raza. 2015. Gastroprotective and
antioxidant potential of glycyrrhiza glabra on experimentally induced gastric ulcers
in albino mice. 4(2):451–460.
Astana, P. R. W. dan U. Nisa. 2018. Analisis ramuan obat tradisional untuk wasir di pulau
jawa; studi etnofarmakologi ristoja 2015. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia.
16(2):115.
Badan POM RI. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume 1. Jakarta
Bansal, V.,K.,et all.Vijay. Herbal Approach to Peptic Ulcer Disease- Review. J Biosci Tech,
Vol 1 (1),2009, 52-58.
Becheanu, G. 2017. Pathology of the Gastrointestinal Tract : Hemorrhoids. Encyclopedia of
Pathology. Page 341-344.
Chatterjee, A. et all. 2012. H. Pylori- induced Gastric Ulcer: Pathophysiology and Herbal
Remedy. Int J Biol Med Res. 3(1): 1461-1465
Dipiro, JT. 2008. Pharmacoterapy Handbook 7th edition. Mc Graw Hill. New York.
DiPiro J.T., Schwinghamer T.L., Wells B.G., DiPiro C.V., 2015. Pharmacotherapy Handbook
Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill Education Companies
DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. McGraw-Hill Medical.
Elina Rahma dan Oktafany. 2018. Efektivitas Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Konstipasi.
J.Agromedicine Volume 5 Nomer 1 hal 427
Handrianto, P. (2016). Uji Aktifitas Ekstrak Jamur Lingzhi (Ganoderma Lucidum)
Menggunakan Pelarut Air Destilasi Terhadap Zona Hambat Escherichia coli. Journal
of Pharmacy and Science, 1(1), 34-38.
Haryani, T. S., Sari, B. L., & Triastinurmiatiningsih, T. (2015).EFEKTIVITAS EKSTRAK
Padina australis SEBAGAI ANTIBAKTERI Escherichia coli PENYEBAB
DIARE. FITOFARMAKA| Jurnal Ilmiah Farmasi, 4(2), 1-9.
44
Hunt, Richard H, M B Frcp, Frcpc Facg, Carlo Fallone Frcpc, Sander Veldhuyzen, Van
Zanten Mph, and others, ‘Etiology of Dyspepsia : Implications for Empirical
Therapy’, 16 (2002), 635–41
Idris, N. Ibrahim, dan A. W. Nugrahaani. 2018. Studi tanaman berkhasiat obat suku mori
kecamatan petasia, petasia barat, dan petasia timur kabupaten morowali utara
sulawesi tengah. 12:23–31.
ITIS. Phyllanthus emblica L. Taxonomic Serial No.: 504352. Online. Diakses dari
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=
504352#null pada hari sabtu tanggal 26 Oktober 2019 pukul 19.00.
ITIS. Myrtus communis L. Taxonomic Serial No: 506164 . Online. Diakses dari
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=
506164#null pada hari sabtu tanggal 26 Oktober 2019 pukul 19.35.
ITIS. Curcuma longa L. Taxonomic Serial No.: 42394 . Online. Diakses dari
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=
42394#null pada hari sabtu tanggal 26 Oktober 2019 pukul 20.05.
Jalilzadeh-Amin, G., V. Najarnezhad, E. Anassori, M. Mostafavi, dan H. Keshipour. 2015.
Antiulcer properties of glycyrrhiza glabra l. extract on experimental models of
gastric ulcer in mice. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. 14(4):1163–
1170.
Kaidar-person, O., B. Person, S. D. Wexner, dan F. Ed. 2007. Hemorrhoidal disease : a
comprehensive review. 102–117.
Karkon, S., F. Hashem-dabaghian, G. Amin, dan M. Bozorgi. 2018. Efficacy and safety of
amla ( phyllanthus emblica l .) in non-erosive reflux disease : a double-blind ,
randomized , placebo-controlled clinical trial. Journal of Integrative Medicine.
16(2):126–131.
Koduru, Pramoda, Malcolm Irani, and Eamonn M M Quigley, ‘That Cursed Dyspepsia’,
2018, 467–79 <https://doi.org/10.1016/j.cgh.2017.09.002>
Loekitowati, P., & Hermansyah, H. (2017). Studi Pemanfaatan Biji Duku (Lansium
Domesticum. Jack.) Untuk Obat Diare Secara In Vitro. Jurnal Penelitian Sains, (7).
Lutfi Suhendra, I. W. A. 2009. POTENSI aktivitas antioksidan biji adas (foeniculum vulgare
mill) sebagai penangkap radikal bebas. 15(2):66–71.
45
Madisch, Ahmed, Viola Andresen, Paul Enck, Joachim Labenz, Thomas Frieling, and
Michael Schemann, ‘The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia’, 2018, 222–
33 <https://doi.org/10.3238/arztebl.2018.0222>
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). 2015. Constipation in Children
and Young People. 2015. Royal Pharmaceutical Society, British National Formulary,
vol. 70, London: Pharmaceutical Press.
Park, C. H. dan S. K. Lee. 2019. Gastroesophageal reflux disease. The Korean Journal of
Gastroenterology = Taehan Sohwagi Hakhoe Chi. 73(2):70–76.
Purwaningsih, D. 2016. Makalah lidah buaya materi pkm. 1–7.
Rafatullah, S., M. Tariq, M. Al-Yahya, J. Mossa, dan A. Ageel. 1990. Evaluation of turmeric
and duodenal antiulcer. Journal of ethnopharmacology. 29:25–34.
Salehi, M., H. Karegar-borzi, M. Karimi, dan R. Rahimi. 2016. Medicinal plants for
management of gastroesophageal reflux disease : a review of animal and human
studies. X(X):1–14.
Sidomuncul. Online. Diakses dari https://www.sidomunculstore.com/products/sari-kunyit
pada hari sabtu tanggal 26 Oktober 2019 pukul 21.35.
Sundari, Dian dan M.Wien Winarno. 2010. Laxative Effect of Leaf Tamarind Juice
(Tamarindus indica Linn) on White Rats Induced with Gambier. Media Litbang
Kesehatan Volume XX. Halamana 100-103
Suzanna 1. Park and Ralph A. Giannela Approach to the adult patient with acute diarrhoea In:
Gastroenerology Clinics of North America. XXII (3). Philadelphia. WB Saunders.
1993.
Thavorn, K., M. M. Mamdani, dan S. E. Straus. 2014. Efficacy of turmeric in the treatment of
digestive disorders : a systematic review and meta-analysis protocol. 1–6.
Tita N dan Nurlaili DH. 2014. Aktivitas Laksatif Infusa Daun Ceremai (Phyllanthus acidus L)
Pada Mencit. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada Volume 11 Nomer 1
Vila J, Vargas M, Ruiz J, Corachan M, De Anta MTJ, Gascon J: Quinolon Resisten in
Enterotoxigenic E.colli causing Diarrhea in Travelers to India in Comparison with
other Geographycal Areas. Antimicrobial Agents and Chemotherapy June 2000.
Zohalinezhad, M. E., M. K. Hosseini-asl, R. Akrami, M. Nimrouzi, dan A. Salehi. 2016.
Myrtus communis l . freeze-dried aqueous extract versus omeprazol in
gastrointestinal reflux disease : a double-blind randomized controlled clinical trial.
21(1):23–29.
46