Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KDRT

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Jiwa 2

Dosen pembimbing : Wildan Akasyah, S.Kep., Ns., M.Kep

Anggota Kelompok 3 :

1. Delina Kartika Murti Rahma (10217010)


2. Devi Eriana Putri (10217012)
3. Elvita Ratna Kusuma Dewi (10217020)
4. Firman Teguh Wijayanto (10217027)
5. Hanan Agustin (10217033)
6. Ilham Dading Mahandi (10217034)
7. Sisilia Pusdikta Darma M (10217055)
8. Timing Dwi Noer Setyo (10217060)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “KDRT” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliahkeperawatanAnak
I. Selain itu,makalah ini disusununtukmemperluas ilmu tentang “KDRT”
Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini
karena pengalaman dan pengetahuan yang kami milikimasihkurang. Oleh karena
itu, kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam rangka
menambah pengetahuan juga wawasan tentang KDRT.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan ................................................................................................. 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
2.1 Definisi................................................................................................................ 3
2.2 Etiologi................................................................................................................ 4
2.3 Faktor Predisposisi .............................................................................................. 5
2.4 Faktor Presipitasi ................................................................................................ 7
2.5 Penilaian Terhadap Stressor ................................................................................ 9
2.6 Sumber Koping .....................................................................................................
2.7 Mekanisme Koping ...............................................................................................
BAB III .............................................................................. Error! Bookmark not defined.
ASUHAN KEPERAWATAN............................................ Error! Bookmark not defined.
3.1 Pengkajian ................................................................ Error! Bookmark not defined.
3.2 Analisa data........................................................ Error! Bookmark not defined.
3.2 Diagnosa ............................................................ Error! Bookmark not defined.
3.3Intervensi................................................................... Error! Bookmark not defined.
3.4 Implementasi ...................................................... Error! Bookmark not defined.
3.5 Evaluasi .............................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB IV .............................................................................. Error! Bookmark not defined.
PENUTUP ......................................................................... Error! Bookmark not defined.
4.1 Kesimpulan` ........................................................... Error! Bookmark not defined.
4.2 Saran ..................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ Error! Bookmark not defined.

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini, kasus kekerasan (termasuk pembunuhan)
dalam rumah tangga di Indonesia cenderung meningkat. Di dalam
rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang
biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti:
menampar, menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya,
ini adalah hal yang tidak biasa. Hal itulah yang sering disebut
dengan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) dlm UU N0. 23/2004 pasal 1
adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikologis,
penelantaran rumah tangga, ancaman, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga.
Pada tanggal 14 September 2004 telah disahkan Undang-
Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56
pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum
bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari
segala tindak kekerasan. Dengan menimbang :
Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman
dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi
yang harus di hapus.
Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang
kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari
negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari

1
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau per lakuan
yang meren dahkan derajat dan mar tabat kemanusiaan.
Bahwa dalam kenyataannya kasus ke keras an dalam rumah
tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia
belum menjamin perlin dungan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Peng ha pus an Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah definisi dari KDRT?
2. Apakah etiologi KDRT ?
3. Bagaimana factor predisposisi KDRT?
4. Bagaiamana factor presipitasi KDRT ?
5. Bagaimana penilaian terhadap stressor KDRT ?
6. Bagaimana sumber koping KDRT ?
7. Bagimana mekanisme koping KDRT?
8. Bagiamana asuhan keperawatan pada pasien dengan KDRT?

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari KDRT
2. Untuk mengetahui etiologi KDRT.
3. Untuk mengetahui factor predisposisi KDRT
4. Untuk mengetahui factor presipitasi KDRT
5. Untuk mengetahui penilaian terhadap stressor KDRT
6. Untuk mengetahui sumber koping KDRT.
7. Untuk mengetahui mekanisme koping KDRT.
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan
KDRT.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan
atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap
sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang
terkait dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009).
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga (Pasal 1 ayat 1).
Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri
sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma,
kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
hak.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan
verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan
pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa,
yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau
perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan
(Citra Dewi Saputra, 2009).
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana
tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan
Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap

3
tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi
(Citra Dewi Saputra, 2009).

2.2 Etiologi
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbanga ntara suami dan
istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur
masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungane konomi
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia
merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan
kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikananak-
anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-
wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik
Faktor ini merupakan factor dominan ketiga dari kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan
perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan
rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut.

4
Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Di sisilain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami
sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di
mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya
dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa
di satusisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak
mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya
menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan-
pasangan seperti dibawah ini :
6. Belum siap kawin
Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Serba terbatas dalam kebebasan
karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
7. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban
suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada
aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan criminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya
KUHP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai
korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi
korban. Dalam proses siding pengadilan, sangat minim kesempatan
istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.3 Faktor Predisposisi


Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bermula dari adanya
relasi kekuasaan yang timpang antara laki-laki (suami) dengan perempuan
(istri). Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindak kekerasan oleh

5
suami kepada istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan
otoritas yang dimilikinya sebagai kepala keluarga. Justifikasi atas otoritas
itu bisa lahir didukung oleh perangkat UU Negara atau persepsi-persepsi
sosial dalam mitos-mitos superioritas seorang laki-laki yang dipercayai
oleh masyarakat tertentu. Dengan menggunakan alur fikir semacam ini,
maka kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga merupakan jenis
kekerasan yang berbasis gender. Artinya, kekerasan itu lahir disebabkan
oleh perbedaan peran-peran gender yang dikonstruksi secara sosial dimana
salah satu pihak menjadi subordinat dari pihak lain. (Ridwan, 2006).
Menurut Ridwan (2006) ada beberapa alasan mengapa bisa terjadi
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu pertama, di masyarakat lembaga
perkawinan sebagai suatu yang bersifat urusan pribadi sehingga orang lain
tidak boleh ikut campur dalam persoalan rumah tangga. Hal tersebut
menimbulkan persepsi bahwa apapun yang terjadi dalam suatu rumah
tangga termasuk didalamnya tindakan kekerasan terhadap anggota
keluarganya, orang lain tidak boleh ikut campur. Kedua, suami sebagai
kepala keluarga menganggap mempunyai kekuasaan dalam suatu keluarga
sehingga berhak mengatur secara penuh anggota keluarganya. Ketiga,
adanya budaya patriarkhi, yang menganggap posisi perempuan lebih
rendah dari pada laki-laki, sehingga bisa diperlakukan dengan cara apapun
atau semena-mena
Secara khusus, Poerwandari (2000) berpendapat bahwa ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan ditinjau dari aspek biologis, sosio-kultural, ekonomis,
psikologis dan politis, diantaranya secara biologis laki-laki memiliki
agresivitas yang tinggi dan secara fisik lebih kuat dibanding perempuan.
Selain itu, dalam kehidupan di masyarakat ada tradisi mengenai laki-laki
mendominasi perempuan dan mentoleransi penggunaan kekuatan oleh
laki-laki. Realitas ekonomi juga memaksa perempuan untuk menerima
penganiayaan dari orang pada siapa ia bergantung. Faktor lainnya adalah
karakteristik pelaku kekerasan, misalnya pelaku dalam kondisi tertekan,
memiliki banyak masalah (konflik) atau terganggu jiwanya. Kekerasan
juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi korban kekerasan yang

6
mengundang seperti penuntut, histerik, masokistik dan lain-lain.
(Jabodetabek & Octavia, 2008).

2.4 Faktor Presipitasi


Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama
yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori
frustasi- agresi, dan teori kontrol. Pertama, teori biologis menjelaskan
bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang
sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia
mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-
manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain
dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia
memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering
mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah
sangat berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih
cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia atau
hewan yang kurang sagresif memungkinkan untuk mati satu demi satu.
Agresi pada hakekatnya membantu untuk menegakkan suatu sistem
dominan, dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk
kelompok.
Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon sek pria
menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar
verteori bahwa perbedaann perilaku agresif terutama disebabkan oleh
perbedaan sosialisasi terhadap pria dan wanita.
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai
suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi.
Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang
yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi
sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke
orang lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager) yang diejek oleh orang
lain mungkin membalas dendam, sama halnya seekor binatang kesayangan
yang digoda. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan
pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.

7
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak
menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan
pada sejumlah orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar
tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi.
Misalnya, seorang pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi
untuk melakukan penyerangan.
Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh
para spikolog, beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu
kelompok besar. Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor
di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka
kekerasan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa kemiskinan,
kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat
membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan semua
banda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak
yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi
dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang
masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk
minoritas.
Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang
hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah
mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk
berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini
berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang
lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol
dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu
temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku
agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan
orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan mengalami jumlah
yang lebih tinggi di antara para eks narapidana dan orang-orang lain yang
terasingkan dari teman- teman dan keluarganya daripada orang-orang
Amerika pada umumnya. Setelah memperhatikan ketiga teori tersebut,
kiranya variasi kekerasan di masyarakat untuk sementara ini disebabkan
oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana dengan penyebab munculnya KDRT,

8
lebih khususnya di Indonesia. Menurut hemat saya, KDRT di Indonesia
ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut acapkali
terjadi karena:
a. Kurang komunikasi
b. Ketidakharmonisan
c. Alasan
d. Ekonomi
e. Ketidakmampuan mengendalikan emosi
f. Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun
g. Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
(Psikologis, n.d.)

2.5 Penilaian Terhadap Stresor


Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan arti dan pemahaman
terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stres bagi individu.
Penilaian terhadap stresor ini meliputi respons kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku, dan respons sosial. Penilaian adalah dihubungkan dengan
evaluasi terhadap penting nya suatu kejadian yang berhubungan dengan
kondisi sehat.

1. Respons kognitif merupakan bagian kritis dari model ini. Faktor


kognitif memainkan peran sentral dalam adaptasi. Faktor kognitif
mencatat kejadian yang menekan, memilih pola koping yang
digunakan, serta emosional, fisiologis, perilaku, dan reaksi sosial
seseorang. Penilaian kognitif merupakan jembatan psikologis
antara seseorang dengan lingkungannya dalam menghadapi
kerusakan dan potensial kerusakan. Terdapat tiga tipe penilaian
stresor primer dari stres yaitu kehilangan, ancaman, dan tantangan.
2. Respons efektif adalah membangun perasaan. Dalam penilaian
terhadap stresor respons efektif utama adalah reaksi tidak spesifik
atau umumnya merupakan reaksi kecemasan, yang hal ini
diekpresikan dalam bentuk emosi. Respons efektif meliputi sedih,
takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, atau kaget.

9
Emosi juga menggambarkan tipe, durasi, dan karakter yang
berubah sebagai hasil dari suatu kejadian.
3. Respons fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin
yang meliputi hormon, prolaktin, hormon adrenokortikotropik
(ACTH), vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin morepineprin,
dan neurotransmiter lain di otak. Respons fisiologis melawan atau
menghindar (the fight-or-fligh) menstimulasi divisi simpatik dari
sistem sarafautonomi dan meningkatkan aktivitas kelenjar adrenal.
Sebagai tambahan, stres dapat memengaruhi sistem imun dan
memengaruhi kemampuan seseorang untuk melawan penyakit.

2.6 Sumber Koping


Sumber Koping adalah penerimaan menerima kenyataan bahwa
kehamilannya berbeda dengan kehamilan wanita lain, mencari bantuan
fokus memelihara kehamilannya, berdoa untuk keselamatan diri dan janin
serta harapan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Hal ini sesuai
dengan penelitian hakimi dkk (2001), yang menyatakan bahwa responden
yg hidup dengan kekerasan cenderung menceritakan kekerasan yang di
alaminya pada orang tua, tetangga, saudara kandung, ipar serta tokoh
masyarakat setempat dan rumah sakit. Selain itu hakimi dkk (2001)
menyatakan bahwa alasan para responden tidak pernah meninggalkan
rumah karena KDRT sebab telah memaafkan seaminya atau berfikir
bahwa kelak suami akan berubah, perasaan bahwa perkawinan adalah
sakral dan demi anak-anak.

2.7 Mekanisme Koping


Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta
respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Sedangkan
menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif dan perilaku
secara konstan dalam upaya mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal
khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.

10
2.8 WOC

Stress Cemas Marah

Kemarahan Kecemasan

Perasaan tidak senang Eksternal Internal


dan terancam

Perilaku kekerasan Perilaku Depresi,


kekerasan penyakit fisik

11
DAFTAR PUSTAKA

Jabodetabek, D. I., & Octavia, L. I. A. (2008). Respon dan koping ibu hamil…,
Lia Octavia, FIK-UI, 2008.
Psikologis, P. (n.d.). KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA :, 1–17.

12

Anda mungkin juga menyukai