Anggota Kelompok 3 :
PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019/2020
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “KDRT” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliahkeperawatanAnak
I. Selain itu,makalah ini disusununtukmemperluas ilmu tentang “KDRT”
Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini
karena pengalaman dan pengetahuan yang kami milikimasihkurang. Oleh karena
itu, kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam rangka
menambah pengetahuan juga wawasan tentang KDRT.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau per lakuan
yang meren dahkan derajat dan mar tabat kemanusiaan.
Bahwa dalam kenyataannya kasus ke keras an dalam rumah
tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia
belum menjamin perlin dungan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Peng ha pus an Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah definisi dari KDRT?
2. Apakah etiologi KDRT ?
3. Bagaimana factor predisposisi KDRT?
4. Bagaiamana factor presipitasi KDRT ?
5. Bagaimana penilaian terhadap stressor KDRT ?
6. Bagaimana sumber koping KDRT ?
7. Bagimana mekanisme koping KDRT?
8. Bagiamana asuhan keperawatan pada pasien dengan KDRT?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan
atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap
sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang
terkait dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009).
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga (Pasal 1 ayat 1).
Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri
sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma,
kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
hak.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan
verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan
pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa,
yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau
perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan
(Citra Dewi Saputra, 2009).
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana
tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan
Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap
3
tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi
(Citra Dewi Saputra, 2009).
2.2 Etiologi
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbanga ntara suami dan
istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur
masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungane konomi
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia
merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan
kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikananak-
anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-
wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik
Faktor ini merupakan factor dominan ketiga dari kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan
perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan
rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut.
4
Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Di sisilain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami
sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di
mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya
dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa
di satusisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak
mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya
menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan-
pasangan seperti dibawah ini :
6. Belum siap kawin
Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Serba terbatas dalam kebebasan
karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
7. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban
suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada
aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan criminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya
KUHP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai
korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi
korban. Dalam proses siding pengadilan, sangat minim kesempatan
istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
5
suami kepada istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan
otoritas yang dimilikinya sebagai kepala keluarga. Justifikasi atas otoritas
itu bisa lahir didukung oleh perangkat UU Negara atau persepsi-persepsi
sosial dalam mitos-mitos superioritas seorang laki-laki yang dipercayai
oleh masyarakat tertentu. Dengan menggunakan alur fikir semacam ini,
maka kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga merupakan jenis
kekerasan yang berbasis gender. Artinya, kekerasan itu lahir disebabkan
oleh perbedaan peran-peran gender yang dikonstruksi secara sosial dimana
salah satu pihak menjadi subordinat dari pihak lain. (Ridwan, 2006).
Menurut Ridwan (2006) ada beberapa alasan mengapa bisa terjadi
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu pertama, di masyarakat lembaga
perkawinan sebagai suatu yang bersifat urusan pribadi sehingga orang lain
tidak boleh ikut campur dalam persoalan rumah tangga. Hal tersebut
menimbulkan persepsi bahwa apapun yang terjadi dalam suatu rumah
tangga termasuk didalamnya tindakan kekerasan terhadap anggota
keluarganya, orang lain tidak boleh ikut campur. Kedua, suami sebagai
kepala keluarga menganggap mempunyai kekuasaan dalam suatu keluarga
sehingga berhak mengatur secara penuh anggota keluarganya. Ketiga,
adanya budaya patriarkhi, yang menganggap posisi perempuan lebih
rendah dari pada laki-laki, sehingga bisa diperlakukan dengan cara apapun
atau semena-mena
Secara khusus, Poerwandari (2000) berpendapat bahwa ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan ditinjau dari aspek biologis, sosio-kultural, ekonomis,
psikologis dan politis, diantaranya secara biologis laki-laki memiliki
agresivitas yang tinggi dan secara fisik lebih kuat dibanding perempuan.
Selain itu, dalam kehidupan di masyarakat ada tradisi mengenai laki-laki
mendominasi perempuan dan mentoleransi penggunaan kekuatan oleh
laki-laki. Realitas ekonomi juga memaksa perempuan untuk menerima
penganiayaan dari orang pada siapa ia bergantung. Faktor lainnya adalah
karakteristik pelaku kekerasan, misalnya pelaku dalam kondisi tertekan,
memiliki banyak masalah (konflik) atau terganggu jiwanya. Kekerasan
juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi korban kekerasan yang
6
mengundang seperti penuntut, histerik, masokistik dan lain-lain.
(Jabodetabek & Octavia, 2008).
7
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak
menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan
pada sejumlah orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar
tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi.
Misalnya, seorang pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi
untuk melakukan penyerangan.
Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh
para spikolog, beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu
kelompok besar. Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor
di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka
kekerasan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa kemiskinan,
kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat
membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan semua
banda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak
yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi
dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang
masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk
minoritas.
Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang
hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah
mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk
berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini
berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang
lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol
dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu
temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku
agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan
orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan mengalami jumlah
yang lebih tinggi di antara para eks narapidana dan orang-orang lain yang
terasingkan dari teman- teman dan keluarganya daripada orang-orang
Amerika pada umumnya. Setelah memperhatikan ketiga teori tersebut,
kiranya variasi kekerasan di masyarakat untuk sementara ini disebabkan
oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana dengan penyebab munculnya KDRT,
8
lebih khususnya di Indonesia. Menurut hemat saya, KDRT di Indonesia
ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut acapkali
terjadi karena:
a. Kurang komunikasi
b. Ketidakharmonisan
c. Alasan
d. Ekonomi
e. Ketidakmampuan mengendalikan emosi
f. Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun
g. Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
(Psikologis, n.d.)
9
Emosi juga menggambarkan tipe, durasi, dan karakter yang
berubah sebagai hasil dari suatu kejadian.
3. Respons fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin
yang meliputi hormon, prolaktin, hormon adrenokortikotropik
(ACTH), vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin morepineprin,
dan neurotransmiter lain di otak. Respons fisiologis melawan atau
menghindar (the fight-or-fligh) menstimulasi divisi simpatik dari
sistem sarafautonomi dan meningkatkan aktivitas kelenjar adrenal.
Sebagai tambahan, stres dapat memengaruhi sistem imun dan
memengaruhi kemampuan seseorang untuk melawan penyakit.
10
2.8 WOC
Kemarahan Kecemasan
11
DAFTAR PUSTAKA
Jabodetabek, D. I., & Octavia, L. I. A. (2008). Respon dan koping ibu hamil…,
Lia Octavia, FIK-UI, 2008.
Psikologis, P. (n.d.). KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA :, 1–17.
12