Anda di halaman 1dari 5

PAPER PENERAPAN ENERGI ALTERNATIF DI INDONESIA

Oleh : Elok Putri Rachmawati (Paralel C/1631010090)

Sumber energi gas dan bumi yang dimiliki Indonesia saat ini adalah sumber energi yang
sifatnya tidak ekonomis, tidak renewable (tidak dapat diperbaharui). Tidak ekonomis karena
harus melakukan explorasi untuk mendapatkan sumber energi mentah (crude oil) dan
mengolahnya menjadi bahan bakar seperti bensin, gas dengan biaya yang besar sekali karena
Pertamina sedang dalam proses perogram peningkatan kaapsitas kilang baru karena dimasa
lalu sulit diwujudkan. sendiri. Tidak renewable karena semua bahan energi yang dari fosil itu
setelah digali dan digunakan oleh kita, tidak mungkin diperbaharui lagi, sekali pakai habis
tanpa pembaharuan.

Jika kita hanya mengharapkan dari kekayaan sumber energi kita hanya dari minyak bumi ,
bensin, maka sumber mineral gas buminya itu akan habis hanya dalam yang telah ditentukan.
Ini disebabkan karena hasil explorasi dan kebutuhannya tidak lagi memadai. Kebutuhan
minyak bumi di dalam negeri saat ini mencapai 23 Juta kL bensin . Sedangkan kita hanya dapat
memasok minyak bumi sebesar 16 kl bensin. Apalagi kebutuhan masyarakat terhadap bensin
ini terus meningkat 10% tiap tahun.

Explorasi dari minyak bumi ini jika dilakukan secara terus menerus, maka cadangan minyak
bumi kita akan habis hanya dalam waktu 15 tahun. Akibatnya, Pemerintah kewalahan
memenuhi kebutuhan bensin dalam negeri. Selain itu, semakin menipisnya persediaan bahan
bakar fosil dan emisi karbon juga menjadi salah satu pendorong utama.
1. Biofuel

Masalah energi alternatif saat ini sedang menjadi perbincangan yang ramai di masyarakat.
Krisis bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah menggugah masyarakat bahwa Indonesia
sangat bergantung pada minyak bumi. Dilihat dari luas daratan serta tanahnya yang relatif
subur, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan bahan bakar dari tumbuhan atau
biofuel. Energi alternatif biofuel yang dapat diperbarui dapat memperkuat ketersediaan
bahan bakar. Selain itu biofuel juga ramah lingkungan sehingga bisa meningkatkan kualitas
udara di beberapa kota besar di Indonesia.

Sejumlah penelitian yang dilakukan sudah berhasil membuktikan energi yang dihasilkan
oleh teknologi ini lebih efesien dari minyak bumi dan relatif lebih ramah lingkungan.
Biofuel ini dinilai sangat efesien karena menggunakan bahan-bahan yang melimpah di
Indonesia dan dapat diperbaruai. Ketersediaan cadangan bahan bakar ini bisa diatur sesuai
dengan kebutuhan sehingga menjamin kestabilan neraca minyak dan energi nasional. Dua
jenis biofuel yang dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan bioethanol dengan
produknya gasohol E-10, dan biodiesel dengan produknya B-10.

Pengadaan ethanol dapat dilakukan dari saripati singkong yang dapat ditanam di seluruh
wilayah Indonesia, sedangkan untuk pengadaan minyak diesel dapat dilakukan dari
pengadaan minyak sawit, minyak buah jarak dan minyak kelapa. Analisa yang dilakukan
BPPT menyebutkan bahwa harga biodiesel B-10 di masyarakat sekitar Rp 2.930 per
liternya, atau lebih tinggi Rp 160 dari harga bensin yang disubsidi pemerintah.
Keuntungannya adalah pemerintah bisa mengurangi jumlah subsidi yang diberikan atau
bahkan menghilangkan sama sekali, karena penambahan Rp 160 dinilai masih bisa diterima
oleh masyarakat. Hal yang sama juga berlaku pada gasohol E-10 yang bisa dijual pada
masyarakat dengan harga Rp 2.560. Harga ini pun masih lebih tinggi Rp 160 dari harga
premium bersubsidi, tetapi keuntungannya adalah E-10 memiliki angka oktan 91 yang lebih
baik dari premium, dan dapat mengurangi karbonmonoksida dengan signifikan
(Anonymous, 2005).

Selain itu keuntungan penggunaan biofuel ini dapat mengatasi pengangguran dan
peningkatan kesejahteraan petani. Untuk memproduksi E-10 sebanyak 420.000 kiloliter per
tahun diperlukan singkong sekitar 2,5 juta metrik ton. Jumlah ini dapat disediakan dengan
penanaman singkong pada lahan seluas 91.000 hektare (ibid). Jumlah lahan ini masih dapat
disediakan tanpa harus membuka hutan-hutan seperti dalam pengadaan batu bara dan
minyak bumi, karena masih banyak lahan tidur yang tidak terpakai. Hal yang sama pun
bisa dilakukan untuk pengadaan minyak sawit, kelapa, dan jarak.

Sebagai bahan bakar cair, biodiesel sangat mudah digunakan dan dapat langsung
dimasukkan ke dalam mesin diesel tanpa perlu memodifikasi mesin. Selain itu, dapat
dicampur dengan solar untuk menghasilkan campuran biodiesel yang ber-cetane lebih
tinggi. Menggunakan biodiesel dapat menjadi solusi bagi Indonesia untuk mengurangi
ketergantungan pada impor bahan bakar solar.Biodiesel pun sudah terbukti ramah
lingkungan karena tidak mengandung sulfur (Anonymous,2008)

Penelitian tentang bahan bakar alternatif sudah dilakukan di banyak negara, seperti Austria,
Jerman, Prancis, dan AS. Negara ini mengembangkan teknologi biodiesel dengan
memanfaatkan tanaman yang berbeda-beda. Negara Jerman memakai minyak dari
tumbuhan rapeseed, AS menggunakan tanaman kedelai, sedangkan untuk Indonesia
tanaman yang paling potensial adalah kelapa sawit (Akhairuddin, 2006: 42)

Di beberapa negara lain, untuk mendukung pemakaian biodiesel dan bioethanol,


pemerintahnya mengeluarkan kebijakan pemberian insentif. Pemerintah Austria dan
Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan untuk membangun pabrik biofuel , sehingga
pengusaha pun tertarik untuk membangun industri bahan bakar alternatif. Bahkan di
Swedia, harga bioethanol BE-85 (85% ethanol dan 15% bensin) dipatok lebih murah 25%
daripada bahan bakar konvensional (Akhairuddin, 2006: 55).

Indonesia bisa belajar dari Brasil yang secara serius mengembangkan teknologi bahan
bakar biofuel. Bahkan pabrikan mobil pun sangat antusias untuk mengembangkan
teknologi pendukungnya. Contohnya Toyota mulai mengalihkan perhatiannya pada pasar
mobil berbahan bakar bensin gasohol untuk Brasil.

2. Energi Surya

Energi surya adalah energi yang berupa panas dan cahaya yang dipancarkan matahari.
Energi surya (matahari) merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang paling
penting. Indonesia mempunyai potensi energi surya yang melimpah. Namun melimpahnya
sumber energi surya di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal.

Matahari adalah sumber energi yang memancarkan energi sangat besarnya ke permukaan
bumi. Permeter persegi permukaan bumi menerima hingga 1000 watt energi matahari.
Sekitar 30% energi tersebut dipantulkan kembali luar angkasa, dan sisanya diserap oleh
awan, lautan, dan daratan. Jumlah energi yang diserap oleh atmosfer, lautan, dan daratan
bumi sekitar 3.850.000 eksajoule (EJ) per tahun. Untuk melukiskan besarnya potensi energi
surya, energi surya yang diterima bumi dalam waktu satu jam saja setara dengan jumlah
energi yang digunakan dunia selama satu tahun lebih.

Berbagai sumber energi terbarukan lainnya, semisal energi angin, biofuel, air, dan
biomassa, berasal dari energi surya. Bahkan sumber energi fosil pun terbentuk lewat
bantuan energi matahari. Hanya energi panas bumi dan pasang surut saja yang relatif tidak
memperoleh energi dari matahari.

Salah satu cara untuk memanen radiasi panas dan cahaya yang dipancarkan matahari menjadi
listrik adalah dengan memanfaatkan teknologi termal dan teknologi sel surya atau
sel photovoltaic. Teknologi termal biasanya digunakan untuk mengeringkan hasil pertanian
dan perikanan, memasak (kompor surya), dan memanaskan air. Sedangkan sel surya
merupakan alat untuk mengonversi cahaya matahari menjadi energi listrik menggunakan
efek fotoelektrik. Dengan teknologi sel surya (photovoltaic) energi surya diubah menjadi energi
listrik yang bisa digunakan untuk berbagai hal.

Dengan potensinya yang sangat besar tersebut, energi surya diyakini menjadi sumber energi
utama di masa depan. Apalagi dengan beberapa keunggulan energi surya seperti energi surya
merupakan sumber yang hampir tak terbatas dan ramah lingkungan. Yang hingga kini masih
menjadi kendala adalah teknologi sel surya dan media penyimpanan yang masih sangat mahal
dan memiliki kemampuan yang terbatas.

Sebagai negara yang berada di kawasan khatulistiwa, potensi energi surya di Indonesia sangat
besar. Indonesia memiliki sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp energi surya.
Sayangnya, seperti berbagai energi terbarukan lainnya, energi surya ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Dari total potensi energi surya tersebut, Indonesia baru memanfaatkan sekitar
10 MWp.

Bagi Indonesia, energi surya menjadi salah satu alternatif energi terbaik. Dengan potensinya
yang besar akan mampu melepaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap sumber energi
konvensional. Energi surya pun cocok diterapkan pada daerah-daerah terpencil maupun pulau-
pulau kecil di Indonesia. Pemanfaatan energi surya menjadi salah satu sumber energi alternatif
ini bisa dilakukan dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
maupun Solar Home System (SHS), yaitu pemanfaatan skala rumahan.

Beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia antara lain :

 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kabupaten Karangasem dan Bangli, Bali dengan
kapasitas masing-masing 1 MW
 PLTS di pulau-pulau Nusa Tenggara Barat yang meliputi Pulau Gili Trawangan berkapasitas
600 kWp, Pulau Gili Air (160 kWp), serta Pulau Gili Meno (60 kWp), dan di Pulau Medang,
Sekotok, Moyo, Bajo Pulo, Maringkik, dan Lantung dengan total kapasitas 900 kWp.
 PLTS di Nusa Tenggara Timur yang meliputi PLTS Raijua (Kabupaten Sabu Raijua)
berkapasitas 150 kilo kWp, PLTS Nule (Kab. Alor) berkapasitas 250 kWp, PLTS Pura (Kab.
Alor) berkapasitas 175 kWp, dan PLTS Solor Barat (Kab. Flores Timur) berkapasitas 275
kWp.

Dengan krisis energi dan listrik serta masih bergantungnya pada sumber energi konvensional,
padahal sumber bahan bakar fosil semakin habis, Indonesia seharusnya mulai serius
memanfaatkan energi surya. Mendorong penelitian-penelitian untuk meningkatkan teknologi
Pembangkit Listrik Tenaga Surya sehingga potensi 112.000 GWp energi surya yang dimiliki
oleh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Memanen energi
surya menjadi energi terbarukan yang murah, ramah lingkungan, dan menjangkau seluruh
pelosok negeri.

Anda mungkin juga menyukai