Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRESENTASI KASUS

BATU URETRA ANTERIOR


TUGAS PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP PERIODE 2019/2020
RSUD AJIBARANG BANYUMAS

Pembimbing:
dr. Priyo Prasetyo Sp.U

Pendamping Internsip:
dr. Okto Prihermes, SpKJ
dr. Riski Oktarifa

Oleh:
dr. Ika Tyas Agus Prastiwi

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS


RSUD AJIBARANG
2019
I. PENDAHULUAN

Batu saluran kemih (BSK) merupakan penyakit yang sering di Indonesia. BSK
adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat
dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi
daya larut substansi. BSK dapat menyebabkan gejala nyeri, perdarahan, penyumbatan
aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di
dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut
urolitiasis, dan dapat terbentuk pada ginjal (nefrolithiasis), ureter (ureterolithiasis),
vesica urinaria (vesicolithiasis), dan uretra (urethrolithiasis) (Basuki, 2009).

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya


batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang
berasal dari lingkungan di sekitarnya (Effendi & Markum,2010; Hall, 2009).

Batu saluran kemih merupakan penyakit tersering di bidang urologi. Di negara


berkembang seperti Indonesia, angka BSK terus meningkat. Kebanyakan pasien
memiliki batu saluran kemih bagian atas, sehingga penanganan batu saluran kemih
bagian bawah seperti batu uretra sering terlupakan. Keluhan utama nyeri pada retensi
urin akut yang disebabkan oleh batu uretra membutuhkan tindakan segera. Terbatasnya
fasilitas endoskopi menambah pentingnya penanganan akut kasus batu uretra di Unit
Gawat Darurat.
II. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn UD
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kracak RT 2 RW 1
No.Rekam Medis : 256738
Tanggal Masuk RS : 10-12- 2019
Bangsal : Kepodang Bawah

B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pasien pada hari Rabu
tanggal 11 Desember 2019 pukul 10.00 WIB di Ruang Kepodang bawah RSUD
Ajibarang
a. Keluhan Utama
Tidak bisa buang air kecil
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ajibarang mengeluhkan tidak bisa buang
air kecil sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut disertai
dengan rasa tidak nyaman di perut bagian bawah, nyeri saat buang air kecil dan
badan terasa demam. Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa
sebelumnya. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan rasa
tidak nyaman di bagian penis pasien terutama saat buang air kecil. Enam bulan
sebelum masuk rumah sakit pasien merasa ada batu di saluran kemih bagian
penis pasien namun pasien tidak pernah memeriksakannya karena merasa tidak
ada keluhan. Pasien menyangkal adanya riwayat nyeri pinggang ataupun BAK
berdarah. Pada tanggal 10/12 dilakukan pungsi suprapubic pada pasien dan
keluar urin sebanyak 500cc.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


1) Belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
2) Pasien pernah menderita batu saluran kemih +- 8tahun yang lalu.
3) Riwayat penyakit asma disangkal.
4) Riwayat penyakit jantung disangkal.
5) Riwayat penyakit ginjal disangkal.
6) Riwayat penyakit hipertensi disangkal.
7) Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal.
8) Riwayat alergi disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


1) Tidak ada yang sakit seperti ini sebelumnya.
2) Tidak ada riwayat penyakit asma, jantung, ginjal, hipertensi, diabetes
mellitus, dan alergi pada keluarga.

e. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal dalam satu rumah dengan istri dan anak pasien. Pasien adalah
tukang ojek. Pasien jarang minum air putih dan sering mengkonsumsi teh, kopi
dan minuman bersoda.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 11 Desember di Ruang Kepodang bawah RSUD Ajibarang.
Berat badan 76 kg. tinggi badan 170 cm.
a. Keadaan umum : sadar
b. Tanda Vital :
Nadi : 82x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 20x/menit
Temperatur : 37,5 0C (Axiller)
TD : 130/80 mmHg

Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : normocephal
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, ikterik -/-
Hidung : nafas cuping -/-, sekret -/-
Telinga : discharge -/-
Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (-),sianosis (-)
Tenggorokan : faring & tonsil hiperemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
b. Dada
Paru anterior
Inspeksi : simetris, retraksi (-)
Palpasi : sela iga melebar (-), fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi :
Suara dasar : vesikuler +/ + di seluruh lapang paru
Suara tambahan: ronkhi -/-, wheezing -/-
Paru posterior
Inspeksi : simetris, retraksi (-)
Palpasi : sela iga melebar (-), fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi :
Suara dasar : vesikuler +/+ diseluruh lapang paru
Suara tambahan: ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung ;
Inspeksi : ictus cordis Nampak di SIC V LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 1 cm LMCS
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Frekuensi : 82 x/menit
c. Abdomen
Inspeksi : datar, supel
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
Regio flank : nyeri ketok costovertebral angle (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
d. Extremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capp.refill <2" <2"
Kesan : normal
e. Genitalia
Penis:
-Meatus uretra externa: stenosis
-Teraba batu
Skrotum: dbn

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Polos Abdomen AP
Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Tanggal 10 Desember 2019 di RSUD Ajibarang

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hb 16.4 14-18 g/dL
Leukosit 14.03 4.8-10.8 x103/μl

Hematokrit 49.2 37-47 %

Eritrosit 5.70 4.2-5.4 x 106/μl

Trombosit 180 150-450 x 103/μl

MCV 86.3 79.0-99.0 fL

MCH 28.8 27.0-31.0 pg

MCHC 33.3 33.0-37.0 g/dL


RDW 13.7 11.5-14.5 %

MPV 12.8 7.2-11.1 fL


Hitung Jenis
Basofil 0 0.0-1.0
Eosinofil 1 2.0-4.0
Batang 0.0 2.00-5.00
Segmen 87.9 40.0-70.0
Limfosit 7 25.0-40.0
Monosit 4 2.0-8.0
SGOT 19 U/L <34 U/L
SGPT 28 U/L <35 U/L
Ureum 31 mg/Dl 12-50 mg/dL
Creatinin 1.73 H mg/dL 0.60-1.10 mg/dL

GDS 86 mg/dL <160

E. Diagnosis Banding
1. Batu uretra anterior
2. Striktur uretra
3. Batu uretra posterior

F. Masalah
1. Retensi urin
2. Leukositosis

G. Diagnosis Kerja
1. Batu uretra anterior
2. Striktur uretra

H. Initial Plan
Assessment : Batu uretra anterior dan striktur uretra
Terapi :
1) Inf. Nacl 0,9% 20 tpm
2) Inj. Ceftriaxone 2 gram/24 jam
3) Pro operasi uretrotomi dan ekstraksi batu
Mx :, monitoring vital sign, keadaan umum
Ex:
1) Menjelaskan pada keluarga tentang penyakit pasien
2) Menjelaskan pada pasien agar banyak minum air putih, mencegah
obesitas dan menghindari stress.
I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

J. Progress Note
Hari ke 2
(12 Desember 2019)
Keluhan Post operasi, nyeri pada penis,
nyeri perut bagian bawah (-)
KU Sedang/alert
Vital sign TD : 100/70 mmhg
HR : 82
RR : 20
T : 37.3
Px. Fisik Nyeri tekan suprapubis (-),
genitalia: terpasang dc
Ass. Batu uretra dan striktur uretra post
urethrotomi dan ekstraksi batu
Terapi Infus Nacl 20 tpm: futrolit 1:1
Inj ceftriakson 1gram/12jam
Inj ranitidin 50mg/12jam
Inj ketorolac 30mg/12jam
Program -BLPL tanggal 13/12/2019
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi


Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu di saluran
kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Pembentukan batu dapat
diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi, non-infeksi, kelainan genetik,
dan obat-obatan (Rahardjo dan Hamid, 2004).
Tabel. Batu Saluran Kemih berdasarkan etiologi

Penyebab terbentuknya batu uretra adalah kelainan anatomi seperti striktur


uretra, divertikulum, hipospadia, dan stenosis meatal. Kondisi patologis tersebut
menyebabkan keadaan stasis urin atau stagnasi yang menjadi predisposisi infeksi
saluran kemih. Penyebab lain adalah adanya benda asing seperti kateter uretra,
debris, obstruksi leher buli, dan skistisomiasis. Penyebab lainnya adalah idiopatik
dan herediter (Bello et al., 2010).

B. Epidemiologi
Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering
di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran
kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar antara 1-20%.
Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan puncak
insiden terjadi pada usia 40-50 tahun. BSK lebih sering ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan, karena anatomi uretra laki-laki yang lebih panjang (Trinchieri
et al., 2003)..
Batu uretra jarang dijumpai di negara maju, namun cukup sering ditemukan
di negaranegara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kasus batu uretra
mencakup <2% dari seluruh kasus. Lokasi batu uretra sebanyak 32 - 88% ditemukan
di uretra posterior dan 8 - 58% terletak di uretra pars bulbosa dan penile uretra,
hanya 4 - 11% di fossa navikularis (Tanagho dan McAnnich, 2004).

C. Faktor Risiko
Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya kejadian
kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata laksana
farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih. Sekitar
50% pembentukan batu saluran kemih juga dapat ditemukan kekambuhannya
setidaknya 1 kali dalam seumur hidup. Faktor risiko terjadinya pembentukan batu
antara lain, terjadinya BSK di usia muda, faktor keturunan, batu asam urat, batu
akibat infeksi, hiperparatiroidisme, sindrom metabolik, dan obat-obatan (Hesse et al.,
2003; Strohmaier, 2000).
Tabel. Faktor Risiko Pembentukan Batu Saluran Kemih

D. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari tanpa
keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria, retensi
urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti demam
dan tanda gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit
dahulu yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas,
hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau pankreas.
Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada pasien, antara
lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah dan sayur
kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan, jenis minuman yang
dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi. Riwayat pengobatan dan
suplemen seperti probenesid, inhibitor protease, inhibitor lipase, kemoterapi,
vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor karbonik anhidrase. Apabila pasien
mengalami demam atau ginjal tunggal dan diagnosisnya diragukan, maka perlu
segera dilakukan pencitraan (Turk et al., 2018).
Pasien dengan batu uretra biasanya datang dengan keluhan saluran kemih bawah
akut karena impaksi mendadak, dapat berupa keluhan iritatif ataupun obstruktif.
Keluhan obstruktif berupa retensi urin akut merupakan keluhan utama yang paling
sering ditemukan, keluhan obstruktif lainnya berupa pancaran urin melemah atau
urin menetes. Keluhan iritatif dapat berupa stranguria, makrohematuria, dan
disuria (Tanagho dan McAnnich, 2004).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik
sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan penyulit
yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara
lain (IAUI, 2007):
Pemeriksaan fisik umum : Hipertensi, demam, anemia, syok
Pemeriksaan fisik urologi
- Sudut kostovertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal
- Supra simfisis : Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh
- Genitalia eksterna : Teraba batu di uretra
- Colok dubur : Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu saluran
kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Pemeriksaan
laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urinalisa.
Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, dan hitung
jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk diintervensi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji koagulasi (activated
partial thromboplastin time/aPTT, international normalised ratio/INR), natrium,
dan kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan atau C-
reactive protein (CRP). Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat
eritrosuria, leukosuria, bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine (Turk et
al., 2018).
Pencitraan rutin antara lain foto polos abdomen (kidney-ureter-bladder/KUB
radiography). Pemeriksaan foto polos dapat membedakan batu radiolusen dan
radioopak serta berguna untuk membandingkan saat follow-up. Pemeriksaan
penunjang untuk konfirmasi batu uretra adalah ultrasonografi (USG) penis atau
uretrografi retrograd (retrograde urethrogram/RUG). Kelebihan USG adalah tidak
nyeri selama pemeriksaan dan dapat juga menggambarkan kelainan sepanjang
saluran uretra, seperti striktur atau divertikulum. Pada USG, batu ditunjukkan
dengan gambaran hiperekoik disertai bayangan akustik. Pada pemeriksaan RUG
akan terlihat filling defect yang menandakan adanya obstruksi oleh batu uretra
(Ahmed dan Saeed, 2008).

E. Tata Laksana
1. Prinsip Terapi Umum
Keputusan untuk memberikan tata laksana batu pada saluran kemih bagian atas
dapat berdasarkan komposisi batu, ukuran batu, dan gejala pasien. Terapinumum
untuk mengatasi gejala batu saluran kemih adalah pemberian analgesic harus
diberikan segera pada pasien dengan nyeri kolik akut. Non Steroid Anti
Inflammation Drugs (NSAID) dan parasetamol dengan memperhatikan dosis dan
efek samping obat merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengan nyeri
kolik akut dan memiliki efikasi lebih baik dibandingkan opioid. Obat golongan
NSAID yang dapat diberikan antara lain diklofenak, indometasin,atau ibuprofen.
2. Tata Laksana Spesifik Batu Uretra
a) Dekompresi Kandung Kemih
Dekompresi kandung kemih yang penuh urin harus segera dilakukan dengan
pemasangan kateter uretra. Jika gagal, pilihan tindakan berikutnya adalah pungsi
suprapubik dan kateter suprapubik sebelum dirujuk atau mendapatkan
tatalaksana definitif (Akhtar, Ahmed dan Zamir, 2012),
b) Batu Uretra Posterior
Tatalaksana berikutnya adalah mengatasi nyeri yang disebabkan oleh batu di
uretra. Batu di uretra posterior didorong kembali ke buli untuk selanjutnya
dilakukan tatalaksana operatif. Pendorongan batu uretra dilakukan bersama
pemasangan kateter uretra. Cara ini bisa gagal karena dipersulit oleh spasme
uretra eksternum atau otot periuretra di sekitar batu karena nyeri gesekan batu.
Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian jelly xylocaine (Ahmed dan Saeed,
2008).
c) Batu Uretra Anterior
Pada batu uretra anterior, pendorongan batu kembali ke buli sulit berhasil,
sehingga sebaiknya tidak dilakukan. Ekstraksi batu dengan gerakan “milking”
seperti memeras susu dapat berhasil jika permukaan batu rata. Risiko cedera
uretra harus diperhatikan, terutama pada batu yang besar, tajam, dan ireguler;
pada batu-batu tersebut cara ini tidak disarankan. Pemberian jelly lidokain
mempermudah ekspulsi batu uretra anterior. Jika gagal, penatalaksanaan operatif
menjadi pilihan. Beberapa batu uretra anterior kecil dapat menyumbat hingga
bagian fosa navikularis atau meatus uretra eksternus, membutuhkan tindakan
meatotomi sederhana untuk mengangkat batu uretra tersebut.
d) Tatalaksana definitive
Terdapat beberapa pilihan tatalaksana defintif setelah batu uretra berhasil
didorong ke kandung kemih; tindakan definitif operasi terbuka telah berganti
menjadi minimal invasif. Uretroskopi dan litotripsi dengan laser atau
elektrohidraulik menjadi pilihan pertama. Namun, teknik operasi terbuka, yaitu
sistolitotomi, masih sering dilakukan mengingat terbatasnya alat endoskopi di
beberapa rumah sakit. Pada kasus tertentu, lumen uretra terlalu sempit untuk
endoskopi karena striktur atau pada pasien anak, sehingga harus dilakukan
uretrotomi terbuka dilanjutkan dengan uretroplasti. Penyulit lain seperti striktur
dan diverticula sering dijumpai. Uretrotomi atau uretroplasti menjadi pilihan. Jika
ditemukan diverticula dapat dipilih divertikulektomi (Peabody, Mailhot dan
Perera, 2012).
IV. DISKUSI KASUS

Diagnosis pasien pada kasus ialah batu uretra anterior dan striktur uretra. Hal ini
dipertimbangkan berdasarkan dasar aspek klinis, hasil pemeriksaan radiologis dan
laboratorium.
Tn UD 41 tahun datang ke RSUD Ajibarang dengan keluhan tidak dapat BAK.
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, keluhan tersebut baru pertama kali dirasakan
oleh pasien dengan diawali dengan nyeri saat BAK sejak beberapa hari sebelum masuk
rumah sakit. Sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan ada batu pada
penis pasien namun pasien tidak mengakui adanya keluhan yang mengganggu. Pasien
memiliki riwayat batu saluran kemih +- 8 tahun yang lalu dengan keluhan nyeri pada
pinggang. Pasien mengaku berobat secara herbal untuk riwayat batu saluran kemihnya.
Pasien datang ke IGD RSUD Ajibarang dalam keadaan retensi urin, kemudian
dilakukan pungsi suprapubik dan didapatkan urin sebanyak 500cc.
Secara epidemioogi terdapat beberapa factor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah factor intrinsic yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan factor ekstrinsik yaitu pengaruh yang
berasal dari lingkungan sekitarnya. Pada pasien ini ditemukan adanya factor intrinsic
antara lain, umur; penyakit ini paling sering terjadi pada usia muda dengan puncak
insiden antara usia 40-50tahun, jenis kelamin; jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih
banyak dibanding dengan pasien perempuan. Sedangkan factor ekstrinsiknya antara lain
kurangnya asupan cairan dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih (riwayat
kebiasaan pasien sering minum kopi dan minuman bersoda).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
tanda vital dalam batas normal, pupil isokor dengan reflek cahaya semuanya positif.
Leher, KGB, paru, jantung, thoraks dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan genitalia didapatkan stenosis dan teraba batu pada meatus uretra eksterna.
Temuan ini menunjukan adanya masalah pada uretra penderita. Teraba adanya batu pada
saluran uretra di penis pasien menegakkan diagnosis batu uretra anterior. Batu uretra
biasa diklasifikasikan menurut asal batu, yaitu batu primer dan sekunder. Batu primer
adalah batu yang terbentuk de novo di uretra. Batu sekunder atau disebut juga batu
migrasi terbentuk di kandung kemih atau ginjal yang kemudian bergerak turun sampai
ke uretra. Sehingga diperlukan pemeriksaan pencitraan yang sesuai.
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai mempunyai
batu. Hampir semua batu saluran kemih merupakan batu radioopaq. Pada kasus ini telah
dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan didapatkan gambaran radioopaq pada
uretra dan hemiabdomen sinistra pasien.
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah. Hasilnya
ditemukan peningkatan kadar leukosit dan peningkatan kadar kreatinin darah. Kesan
menunjukan adanya gangguan pada fungsi ginjal.
Pada kasus ini penatalaksanaan yang diberikan di rumah sakit ialah terapi
konsevatif dengan rencana terapi operatif. Untuk mengatasi retensi urin pada pasien
dilakukan pungsi suprapupik, hal tersebut dilakukan karena pemasangan kateter uretra
tidak dapat dilakukan karena adanya stenosis pada meatus uretra eksternal dan teraba
adanya batu. Terapi konservatif pada pasien dilakukan dengan pemberian rehidrasi
menggunakan cairan NaCL 0.9% sebanyak 20 tetes per menit, mengatasi infeksi
dengan antibiotik (ceftriakson 1gram/12jam), pengendalian nyeri pasca operasi dengan
analgesic kuat (ketorolac 30mg/12jam), serta pencegahan terhadap naiknya asam
lambung akbat faktor stress karena dirawat di RS dengan pemberian H2 reseptor
(Ranitidin 50mg/12jam) . Adapun tindakan operatif yang dilakukan adalah urethrotomi
dan ekstraksi batu.
Penanganan kasus ini sudah tepat yakni mengatasi retensi urin pada pasien
terlebih dahulu baru direncanakan operasi pengangkatan batu. Pada pasien ini terdapat
meatal stenosis yang menunjukan adanya striktur uretra sehingga dilakukan uretrotomi
dimana dilakukan insisi sepanjang uretra anterior untuk membuka striktur kemudian
dilakukan ekstraksi batu.
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A, Saeed NM. Experience with the management of urethra stones presenting
with urinary retention at Gusau. Nigerian J Clin Pract. 2008;11(4):309-11.
Akhtar J, Ahmed S, Zamir N. Management of impacted urethral stones in children. J
Coll Physicians and Surgeons Pakistan. 2012;22(8):510-3.
Bello A, Maitama HY, Mbibu NH, Kalayi GD, Ahmed A. Unusual giant prostatic
urethral calculus. J Surgical Technique and Case Report. 2010;2(1):30-2.
Effendi, Imam dan Markum, HMS. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi
IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hall PM. 2009. Kidney stones: formation, treatment, and prevention. Journal Cleveland
Clinic. 76:583–591.
Hesse, A., et al. Study on the prevalence and incidence of urolithiasis in German
comparing the years 1979 vs. 2000. Eur Urol. 2003;44:709.
Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. IAUI. 2007
Peabody C, Mailhot T, Perera P. Ultrasound diagnosis of urethral calculi. Western J
Emergency Med. 2012;8(6):515.
Purnomo, Basuki. 2009. Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta: CV.Sagung Seto. hlm 57-
68.
Rahardjo D, Hamid R. Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal di RSCM tahun
1997-2002. J I Bedah Indonesia. 2004;32(2):58-63
Tanagho EA, McAnnich JW. Smith’s general urology 17th ed. California: McGraw Hill;
2004.
Trinchieri A CG, et al., Epidemiology, in Stone Disease, Segura JW, Khoury S, Pak CY,
Preminger GM, Tolley D. Eds. 2003, Health Publications: Paris.
Türk C, Neisius A, Petrik A, Seitz C, Skolarikos A, Tepeler A, et al. European
Association of Urology Guidelines on Urolithiasis. 2018.

Anda mungkin juga menyukai