Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi

badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan

panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median

standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi

kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi

ibu saat hamil, kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada bayi.

Balita stunting di masa yang akan datang, akan mengalami kesulitan dalam

mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Profil Kemenkes RI,

2018).

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan

salah satu masalah gizi yang di alami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun

2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun

angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka

stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health

Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan

prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional

(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017

adalah 36,4%. (WHO, 2018).

Berdasarkan data tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di

dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal

di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari

Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). (Joint

Child Malnutrition Eltimates, 2018)

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang

dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama

tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan

1
masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita

pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6%

pada tahun 2017. Prevalensi stunting balita di Indonesia terbesar kedua di

kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Namun,

berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, balita yang mengalami stunting

tercatat sebesar 29,6%. Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat

pendek dan 19,8% kategori pendek. (PSG, 2017).

Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita

pendek di Indonesia sebesar 30,8%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan

diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2019 yang juga menjadi ukuran

keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah. (Riskesdas,

2018).

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan 2018, prevalensi balita pendek di

Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2018 terbesar 32,2% dan tidak ada

penurunan meskipun pada tahun 2013 berada pada angka 37,3%. Kabupaten

yang memiliki angka prevalensi balita pendek terbesar adalah Banggai Laut

(36,7%) di susul Banggai Kepulauan yaitu (35,8%). Hal ini menunjukkan bahwa

prevalensi balita pendek di Provinsi Sulawesi Tengah lebih rendah jika

dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2010 (34,6%).

Data cakupan faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita

seperti pengetahuan dan status sosial ekonomi di Provinsi Sulawesi Tengah

pada tahun 2018 berjumlah 10.553 orang (25,2%) dari jumlah balita 41,898

jiwa. (Dinas Kesehatan Prov. Sulteng, 2018).

Data Dinas Kesehatan Kota Palu kasus balita stunting yang terjadi

dibeberapa Wilayah Kerja Puskesmas tahun 2018 yaitu Kamonji 138 balita

(35,84%), Tipo 103 balita (44,40%) dan Mamboro 78 balita (37,50%). Dimana

peran bidan yang telah dilaksanakan terkait dengan kasus stunting seperti

pemberian makanan tambahan pada balita, serta memberikan penyuluhan

tentang gizi seimbang. (Dinkes Kota Palu, 2018).

2
Berdasarkan data dari Puskesmas Kamonji pada tahun 2018 jumlah

balita yang mengalami stunting sekitar 138 balita (35,84%).

Berdasarkan dari data yang telah terkumpul diatas dan belum adanya

penelitian di wilayah tersebut maka peneliti tertarik untuk mengambil judul

penelitian Peran Bidan Dalam Penanganan Kasus Stunting Pada Balita dan

melakukan penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji KotaPalu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas dapat dirumuskan

masalah yaitu “ Peran Bidan Dalam Penanganan Kasus Stunting Pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji ”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui adakah Peran Bidan Dalam Penanganan Kasus Stunting Pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui peran bidan dalam penanganan kasus stunting pada

balita.

b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita.

c. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan balita pendek.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan

bacaan dan referensi di perpustakaan Akbid Cendrawasih Palu dan dapat

digunakan sebagai acuan kerangka informasi tambahan mengenai Peran

Bidan Dalam Penanganan Kasus Stunting Pada Balita.

2. Bagi Puskesmas

Dapat dijadikan sebagai tambahan informasi yang bermanfaat bagi

bidan di Puskesmas Kamonji untuk lebih meningkatkan pelayanan

kesehatan, khususnya dalam menangani masalah stunting pada balita.

3
3. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat yang ingin

mengetahui tentang masalah stunting pada balita.

4. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan peneliti tentang peran bidan dalam penanganan kasus stunting

pada balita dan sebagai data dasar untuk pengembangan penelitian

selanjutnya serta merupakan persyaratan untuk menyelesaikan Program

Pendidikan pada Diploma III Kebidanan di Akademi Kebidanan Palu

Yayasan Pendidikan Cendrawasih.

4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tentang Stunting

1) Pengertian

Stunting/pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan

terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu yang

lama. Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri, Penilaian

Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi

yang didasarkan pada Indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan istilah stunting

(pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek adalah

balita dengan status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut

umur bila dibandingkan dengan standar baku WHO, nilai Z-scorenya

kurang dari -2 SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Z-scorenya

kurang dari -3 SD (Kemenkes RI, 2016).

Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai

kualitas modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan

pertumbuhan yang diderita anak pada awal kehidupan, dapat

menyebabkan kerusakan yang permanen (Anisa, 2012).

Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi

badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur

dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar

deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting

termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti

kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi dan

kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan

datang, akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik

dan kognitif yang optimal. (KEMENKES RI, 2018).

2) Dampak Stunting

5
Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang. Ini

berarti 1 dari 3 anak Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam

hal pendidikan dan pekerjaan dalam sisa hidup mereka. Stunting bukan

semata pada ukuran fisik pendek, tetapi lebih pada konsep bahwa proses

terjadinya stunting bersamaan dengan proses terjadinya hambatan

pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya, termasuk otak (Achadi,

2016).

Dampak buruk dari stunting dalam jangka pendek bisa menyebabkan

terganggunya otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan

gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang

akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan

kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga

mudah sakit, risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan,

penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada

usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada

rendahnya produktifitas ekonomi (Kemenkes RI, 2016).

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka

pendek dan jangka panjang:

a. Dampak Jangka Pendek:

1) Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;

2) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak

optimal; dan

3) Peningkatan biaya kesehatan.

b. Dampak Jangka Panjang:

1) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek

dibandingkan pada umumnya);

2) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;

3) Menurunnya kesehatan reproduksi;

6
4) Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat

masa sekolah; dan

5) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

3) Upaya Pencegahan Stunting

Stunting merupakan salah satu target Sustainable

Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan

pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan

dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai

ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan

angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting

sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan

Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi

stunting di antaranya sebagai berikut:

1) Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC)

terpadu;

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;

d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi

kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM);

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);

f. Pemberantasan kecacingan;

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke

dalam Buku KIA;

7
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

dan ASI eksklusif; dan

i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2) Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita;

b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan

Tambahan (PMT) untuk balita;

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3) Anak Usia Sekolah

a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;

c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS);

dan

d. memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan

narkoba.

4) Remaja

a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan

mengonsumsi narkoba; dan

b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5) Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);

b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang,

tidak merokok/mengonsumsi narkoba.

8
B. Tinjauan Tentang Balita

1. Pengertian

Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan

karasteristik pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun, dimna umur 5

bulan berat badan naik 2 kali berat badan lahir dan berat badan naik

3 kali berat badan lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4 kali pada

umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah

kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian

pertumbuhan konstan mulai berakhir (soetjiningsih, 2017).

Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat

pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya, pertumbuhan dasar yang

akan mempengaruhi serta menentukan perkembangan kemampuan

berbahasa, kreatifitas, kesadaran social, emosional dan intelegensia (

Supartini, 2017).

2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Balita

a. Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan jumlah dan besar sel

diseluruh bagian tubuh. Pertumbuhan bersifat irreversible (tidak

dapat balik) serta kuantitatif sehingga indikatornya dapat diukur,

misalnya tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala. (Lyndon

Saputra, 2014).

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dari waktu

kewaktu. (Arali, 2009).

Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologi sebagai hasil

dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung

secara normal pada anak yang sehat dalam peredaran waktu

tertentu. (Suryani, 2008).

b. Perkembangan

9
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan atau fungsi

semua sistem organ tubuh akibat bertambahnya kematangan

fungsi sistem organ tubuh. (Lyndon Saputra, 2014).

Perkembangan adalah bertambahnya fungsi tubuh seperti

pendengaran, penglihatan, kecerdasan tanggung jawab dan lain-

lain. (Arali, 2009).

Perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses

pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak ditunjang

oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam waktu tertentu

menuju kedewasaan. (Suryani, 2008).

C. Konsep Tentang Status Gizi Balita

1. Status Gizi Balita

Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki Panjang atau tinggi

badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini

diukur dengan Panjang atau tinggi badan yang lebih dari 2 minum

dan 2 standar devisiasi median standar pertumbuhan dari anak

(World Health Oranisation, 2018).

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam

bentuk variable tertentu atau perwujudan nutriture dalam bentuk

variabel tertentu (Supriasa, dkk 2001, diacu dalam Adriani 2014)

Status gizi merupakan bukti seberapa jauh perhatian manusia

terhadap kecakupan gizi bagi tubuh (Apriadji 1986, diacu dalam

Adriani 2014).

Status gizi adalaah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

komsumsi, penyerapan, dan penggunaan makanan. Susunan

makanan yang memenuhi kebutuhan gizi tubuh umumnya dapat

menciptakan status gizi yang memuaskan. (Suhardjo 1986, Diacu

dalam Adriani 2014).

10
Status gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan

menurut jenis dan beratnya keadaan gizi. Misalnya gizi lebih, gizi

baik, gizi kurang, gizi buruk (Depkes RI, 1992). Status gizi

merupakan keseimbangan antara kebutuhan zat gizi dan konsumsi

makanan (Jellife, 1966 dan Beck, 1993, diacu dalam Adriani 2014).

Status gizi optimal adalah keseimbangan anatara asupan zat gizi

memengaruhi status gizi seseorang. Selain asupan zat gizi, infeksi

juga ikut memengaruhi status gizi. Pada orang yang status gizinya

kurang, masalah kurangnya asupan zat gizi dan adanya infeksi yang

biasanya menjadi penyebab (Adriani, 2014).

2. Kebutuhan Gizi Balita

a. Kebutuhan energy balita

Kebutuhan energy dipengaruhi oleh usia, aktivitas, dan basal

metabolisme. Sekitar 55% kalori total digunakan untuk aktivitas

metabolisme, 25% untuk aktivitas fisik, 12% untuk pertumbuhan,

dan 98% zat yang dibuang atau sekitar 90-100 kkal/kg BB.

Ketika laju pertumbuhan menurun pada masa batita dan

prasekolah, kebutuhan kalori (per kg) tidak setinggi pada waktu

masa bayi. Pedoman umum yang dapat digunakan untuk

menghitung kebutuhan kalori pada masa awal anak sama

dengan (1.000 kkal) + 100 kkal setiap tahun umur. Jadi, anak

tiga tahun membutuhkan sekitar 1.300 kkal per hari

(Adriani,2014).

b. Kebutuhan protein balita

Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan otot dan

imunitas tubuh. Kebutuhan protein balita, FAO menyarankan

komsumsi protein sebesar 1,5-2 g/kg BB, dimana 2/3

diantaranya didapat dari protein bernilai biologi tinggi. Pada umur

11
3-5 tahun komsumsi protein menjadi 1,57 g/kg/hari (Adriani,

2014).

Kecakupan protein ini hanya dapat dipakai dengan syarat

kebutuhan energy terpenuhi. Bila kebutuhan energy tidak

terpenuhi, maka sebagian protein yang dikomsumsi akan

digunakan untuk pemenuhan kebutuhan energy. Pertumbuhan

dan rehabilitasi, kecakupan protein dan energy lebih tinggi

karena akan digunakan untuk sintesis jaringan baru yang

susunannya sebagian besar terdiri dari protein (Andriani, 2014).

c. Kebutuhan lemak balita

Lemak merupakan sumber energy yang konsentrasinya cukup

tinggi dalam tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal.

Lemak juga berfungsi sebagai asam lemak essensial pelarut

vitamin A,D,E,K serta pemberi rasa gurih pada makanan.

Konsumsi lemak yang dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-

20% dari energy total. (Adriani,2014).

3. Penentuan Status Gizi Balita

a. Parameter antropemetri

Antropemetri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan

dengan mengukur beberapa parameter merypakan kurang tumggal

dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan,

lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul,

dan tebal lemak dibawah kulit. (Adriani 2014).

1. Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.

Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestasi

status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan

12
berat yang akurat menjadi tidak disertai dengan penentuan

umur yang tepat (Supriasi 2002). Menurut puslitbang gizi

bogor(1980) dalam supriasi (2002), batasan umur yang

digunakan yaitu tahun umur penuh (completed year )dan

untuk anak umur 0-2 digunakan bulan usia penuh (completed

month).

2. Tinggi badan

Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan

giziyang telah lalu. Selain itu, tinggi badan merupakan ukuran

kedua yang penting karena dengan menghubungkan berat

badan terhadap tinggi badan (quack stick), faktor umur dapat

dikesampingkan . Nilai tinggi badan meningkat terus,

walaupun laju tumbuh berubah dari pesat pada masa bayi lalu

melambat dan kemudian menjadi pesat lagi pada masa

remaja.

Keuntungan indikator TB ialah pengukurannya yang

objektif dan dapat di ulang. Selain itu, TB merupakan

indicator yang baik juga untuk menunjukkan adanya gangguan

pertumbuhan fisik yang sudag lewat(stunted). Adapun

kerugiannya yakni perubahan tinggi badan yang tepat, dan

terkadang perlu lebih dari seorang tenaga (Soetjaningsih

2002, diacu dalam Adriani 2014).

3. Berat badan

Berat badan merupakan ukuran antropemetri yang

terpenting dan paling sering digunkan bayi baru lahir.Saat bayi

dan balita ,berat badan dapat digunakan untuk melihat laju

pertumbuhan fisik maupun status gizi.Kecuali apabila terdapat

kelainan klinis seperti dehidrasi,asites, adema,dan adanya

13
tumor. Berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar

perhitungan dosis obat dan makanan. Berat badan merupakan

hasil peningkatan seluruh jaringan tulang, otot, lemak, cairan

tubuh, dan lain lain. (Soetjaningsih 2002, diacu dalam adriani

2014).

Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai

pertimbangan,antara lain:

a. Berat badan merupakan parameter yang paling baik,

karena mudah terlihat perubahannya dalam waktu singkat,

karena adanya perubahan konsumsi makanan dan

gangguan kesehatan.

b. Berat badan memberikan gambaran status gizi pada waktu

sekarang dan bila dilakukan secara periodik akan

memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan.

c. Berat badan merupakan ukuran antropemetri yang telah

dipakai secara umum dan luas di Indonesia, sehingga

bukan merupakan hal baru yang memerlukan penjelasan

secara meluas.

d. Ketelitian pengukuran berat badan tidak banyak

dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.

e. KMS (kartu menuju sehat ) yang digunakan merupakan

alat yang baik untuk pendidikan dan memonitor kesehatan

anak.

f. Alat pengukur berat badan dapat diperoleh di daerah

pedesaan dengan ketelitian yang tinggi menggunakan

dacin yang juga telah dikenal masyarakat (Soetjaningsih

2002, diacu dalam Adriani 2014).

14
Menurut Gibson (1990) dalam Adriani (2014), ada

beberapa keuntungan menggunakan antropometri untuk

penentuan status gizi, yaitu :

1. Caranya mudah, sederhana, aman, dan teknisnya tidak

terlalu banyak instruksi.

2. Dapat digunakan pada posisi tidur, duduk, atau berdiri.

3. Sesuai dengan sampel besar.

4. Peralatan yang digunakan relative tidak mahal.

5. Bersifat portable (bias dibawa kemana-mana.

6. Bias dibuat atau dibeli masyarakat atau instansi

setempat.

7. Tidak memerlukan keterampilan yang tinggi dalam

menggunakannya.

8. Metode dapat memberikan hasil yang akurat, asalkan

mengikuti cara yang betul.

9. Hasil antropometri dapat menggambarkan terjadinya

masalah gizi (pertumbuhan) dalam jangka waktu

sebelumnya.

10. Dapat dipakai untuk mengevaluasi perubahan status

gizi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

11. Dapat digunakan untuk screening test.

4. Indeks yang digunakan

Indeks antropometri merupakan kombinasi antara berbagai

parameter gizi (supriasa, 2002). Cara termudah untuk menilai

status gizi dilapangan yakni dengan pengukuran antropometri

karena sederhana, murah, dapat dilakukan siapa saja, dan

cukup diteliti. Di Indonesia, jenis antropometri yang banyak

digunakan untuk keperluan penentuan status gizi anak balita

15
dimasyarakat baik dalam kegiatan program maupun penelitian

yaitu pengukuran BB,TB, dan LILA (Depkes RI, 1998). Data

antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan, tinggi

badan, sedangkan indeks antropometri yang sering dipakai

untuk menilai status gizi yaitu berat badan terhadap umur

(BB/U), tinggi badan terhadap tinggi badan (BB/TB).

Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan untuk

menentukan indeks yang digunakan, antara lain :

1. Skrining atau penapisan, penilaian status gizi perorangan

untuk keperluan rujukan dari kelompok .

2. Pemantauan pertumbuhan anak, dalam kaitannya dengan

kegiatan pengukuran.

3. Penilaian status gizi pada kelompok masyarakat yang

dapat digunakan untuk mengetahui hasil dari suatu

program, sebagai bahan perencanaan program atau

penetapan kebijakan.

4. Standar dan klasifikasi yang digunakan

Standar baku antropometri yang sering digunakan yakni baku

Harvard dan baku WHO-NCHS. Keperluan kegiatan pemantauan status

gizi balita, umumnya menggunakan baku WHO-NCHS dengan

pertimbangan :

a) Baku/ standar WHO-NCHS. Membedakan jenis klamin;

b) Penentuan cut off point untuk klasifikasi status gizi dinyatakan

dalam persentil (Depkes RI, 1990).

Beberapa jenis klasifikasi telah dikemukakan, antara lain oleh

welcome, Gomez, Jellife, Bengoa, dan Waterlow. Masing-masing

klasifikasi mempunyai pertimbangan tertentu untuk penentuan status

16
gizi. Di Indonesia, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI (2001)

menetapkan klasifikasi status gizi sebagai berikut :

Batas

pengelompokkan

No. Indeks yang (SD- simpang Sebutan

dipakai Deviasi) status gizi

1. BB/U < - 3 SD Gizi Buruk

-3 s/d, - 2 SD Gizi Kurang

- 2 s/d + 2 SD Gizi Baik

> + 2 SD Gizi Lebih

2. TB/U > - 3 SD Sangat

- 3 s/d, 2SD pendek

- 2 s/d + 2 SD Pendek

> + 2 SD Normal

Tinggi

3. BB/TB < - 3 SD Sangat Kurus

- 3 s/d, - 2 SD Kurus

- 2 s/d + 2 SD Normal

> + 2 SD Gemuk

(Sumber: Depkes RI, 2001 diacu dalam Adriani 2014)

5. Determinan Status Gizi

Faktor gizi yang internal merupakan factor yang berasal dari

seseorang yang menjadi dasar pemeriksaan tingkat kebutuhan gizi

seseorang. (Almatsier S 2001, diacu dalam adriani 2014).

1. Faktor gizi internal yang mempengaruhi balita, meliputi:

17
a. Nilai cerna makanan

Penganekaragaman makanan erat kaitannya dengan nilai

cerna makanan. Makanan yang disediakan untuk dikonsumsi

manusia mempunyai nilai cerna yang berbeda. Hal ini

dipengaruhi oleh keadaan makanan, misalnya keras atau

lembek.

b. Status kesehatan

Status kesehatan seseorang turut menentukan kebutuhan

zat gizi. Kebutuhan zat gizi orang sakit berbeda dengan

orang sehat, karena sebagian sel tubuh orang sakit telah

mengalami kerusakan dan perlu diganti, sehingga

membutuhkan zat gizi lebih banyak. Selain untuk

membangun kembali sel tubuh yang telah rusak, zat gizi

lebih ini diperlukan untuk pemulihan.

c. Keadaan infeksi

Di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya

penyakit infeksi masih menghantui jiwa dan kesehatan balita.

Dangguan defisiensi gizi dan rawan infeksi merupakan suatu

pasangan yang erat, maka perlu ditinjau kaitannya satu

sama lain, infeksi biasa berhubungan dengan gangguan gizi

melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan,

menyebabkan kehilangan bahan makanan karena

muntah/diare, atau mempengaruhi metabolisme makanan.

Gizi buruk dan infeksi, keduannya dapat bermula dari

kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi

buruk. Selain itu juga, diketahui bahwa infeksi menghambat

18
reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan

sumber energy pada tubuh.

Infeksi akut menyebabkan kurangnya nafsu makan dan

toleransi terhadap makanan. Di berbagai tempat didunia,

makanan dapat tercemar oleh berbagai penyakit yang

menimbulkan gangguan dalam penyerapan zat gizi.

(Suhardjo, 1989, diacu dalam Andriani, 2014).

d. Umur

Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan

memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak

dibandingkan orang dewasa per kilogram berat badannya.

Dengan semakin bertambah umur, semakin meningkat pula

kebutuhan zat tenaga bagi tubuh.

Pada usia 2-5 tahun merupakan masa golden age di mana

pada masa itu dibutuhkan zat tenaga yang diperlukan bagi

tubuh untuk pertumbuhannya. Semakin bertambah usia akan

semakin meningkat kebutuhan zat tenaga yang dibutuhkan

oleh tubuh untuk mendukung meningkatnya dan semakin

beragamnnya kegiatan fisik. (Apriadji 1986, diacu dalam

Adriani, 2014).

e. Jenis kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi

seseorang. Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan zat

tenaga dan protein daripada anak perempuan, karena

secara kodrat laki-laki memang diciptakan lebih kuat dari

perempuan. Dan hal ini, dengan mudah dapat dilihat dari

aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

(Soetjaningsih 1995, diacu dalam Adriani, 2014).

19
f. Pemberian ASI ekslusif

Pemberian ASI secara ekslusif untuk bayi hanya diberikan

ASI, tanpa diberi tambahan cairan lain seperti susu formula,

jeruk, madu, air teh dan air putih. Pemberian ASI ekslusif

dianjurkan untuk jangka waktu minimal 4 bulan atau 6 bulan

(Roesli, 2002 diacu dalam Adriani 2014).

g. Riwayat makanan\

Arisman (2004) dalam Adriani 2014 berpendapat, bahwa

memasuki usia 4 – 6 bulan bayi telah siap menerima

makanan bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah siap

menelan makanan setengah padat. Disamping itu, lambung

juga telah lebih baik mencerna zat tepung. Diawal

kehidupannya, lambung dan usus bayi sesungguhnya belum

sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam susu

( laktosa) tetapi belum mampu menghasilkan amylase dalam

jumlah yang jumlah yang cukup. Jika kemudian bayi disapih

pada usia 4-6 bulan, tidak berarti karena bayi telah siap

menerima makanan selain ASI, tetapi karena kebutuhan gizi

bayi tidak cukup dipasok hanya dengan ASI. Memang ada

sebagian bayi yang terus tumbuh dengan memuaskan

meskipun tidak diberikan makanan tambahan. Namun di lain

pihak, cukup banyak bayi yang membutuhkan zat gizi dan

energy lebih dari sekedar yang tersedia dalam ASI.

2. Faktor Gizi Eksternal

Faktor gizi eksternal adalah factor yang berpengaruh di luar

diri seseorang (Almatsier S 2001), diacu dalam Adriani 2014).

Factor gizi eksternal yang mempengaruhi gizi balita meliputi :

a. Tingkat Pendidikan Orangtua

20
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor

penting dalam tubuh kembang anak. Karena dengan

Pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima

segala informasi dari luar terutama cara pengasuhan anak

yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya,

pendidikannya dan sebagainya (Soetjaningsih 1995, diacu

dalam Adriani, 2014).

Tingkat Pendidikan seseorang akan berkaitan erat dengan

wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis

makanan yang baik untuk komsumsi keluarga. Ibu rumah

tangga yang berpendidikan akan cenderung memilih

makanan yang lebih baik dalam mutu dan jumlahnya,

dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya lebih rendah.

(Adriani, 2014).

b. Jenis pekerjaan orangtua

Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari pekerjaan yang

dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah

tangga yang lain. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh

kepala rumah tangga dan anggota keluarga lain akan

menentukan seberapa besar sumbangan mereka terhadap

keuangan rumah tangga kemudian digunakan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga, seperti pangan yang bergizi

dan perawatan kesehatan. Jadi terdapat hubungan antara

komsumsi pangan dan status ekonomi rumah tangga serta

status gizi masyarakat (Suhardjo 1992, diacu dalam Adriani

2014).

c. Tingkat pendapatan keluarga

21
Faktor ekonomi merupakan akar masalah terjadinya gizi

kurang. Kemampuan keluarga untuk mencukupi makanan

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga itu sendiri.

Keluarga yang mempunyai pendapatan relative rendah sulit

mencukupi kebutuhan makanannya. Kemampuan keluarga

bergantung dari bahan makanan. Bahan makanan yang

harganya mahal biasanya jarang dan bahkan tidak ada

(Soetjaningsih 1995, diacu dalam Adriani 2014).

d. Pengeluaran keluarga untuk makan

Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan,

antara lain bergantung pada besar kecilnya pendapatan

keluarga dan harga bahan makanan. Pola pengeluaran

untuk membeli bahan pangan antara keluarga dengan

pendapatan rendah berbeda. Keluarga dengan pendapatan

tinggi akan mengeluarkan uangnya untuk membeli

kebutuhan pangan pokok dan bahan pangan penyertanya,

misalnya lauk hewani, susu, dan buah. Keluarga dengan

tingkat pendapatan rendah dengan harga kebutuhan bahan

pangan yang mahal, kemungkinan untuk dapat memenuhi

kebutuhan makanan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan

oleh tubuh masih kurang. Keluarga dengan tingkat

pendapatan rendah hanya akan mengeluarkan uang untuk

membeli bahan makanan pokok, sedangkan untuk lauknya

tidak diperhatikan (Linda 2003, diacu dalam Adriani 2014).

e. Jumlah anggota keluarga

Dalam keluarga dengan anak yang terlalu banyak akan

sulit untuk diurus, sehingga suasana rumah kurang tenang

dan dapat mempengaruhi ketenangan jiwa anak. Suasana

22
demikian secara tidak langsung akan menurunkan nafsu

makan bagi anak yang terlalu peka terhadap suasana yang

kurang menyenangkan. Jumlah anak yang kelaparan dari

keluarga besar ini hamper empat kali lebih besar. (Adriani,

2014).

f. Tingkat pengetahuan gizi ibu baik

Maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya baik,

sebab gangguan gizi adalah karena kurangnya pengetahuan

tentang gizi. Ibu yang cukup pengetahuan gizi akan

memperhatikan kebutuhan gizi yang dibutuhkan anaknya

supaya dapat tumbuh berkembang seoptimal mungkin.

Sehingga ibu berusaha memiliki bahan makanan yang

sesuai dengan kebutuhan anaknya. (Suhardjo 1986, diacu

dalam Adriani 2014).

g. Ketersedian pangan

Jumlah serta macam pangan yang mempengaruhi pola

makan penduduk disuatu daerah atau kelompok masyarakat

biasanya berkembang dari pangan yang tersedia di daerah

itu, atau pangan yang telah ditanam ditempat tersebut untuk

jangka waktu yang Panjang. Untuk tingkat rumah tangga,

ketersediaan pangan dalam keluarga antara lain dipengaruhi

oleh tingkat atau daya beli keluarga, jumlah anggota

keluarga, dan pengetahuan ibu tentang pangan dan gizi

(Suhardjo 1989, diacu dalam Adriani 2014).

h. Pola komsumsi pangan

Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang

memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi

terhadap tekanan ekonomi dan sosial budaya yang

23
dialaminya. Kelompok pertama, faktor yang berhubungan

dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan. Dalam

kelompok ini termasuk faktor geografi, iklim, dan kesuburan

tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah

produksinya disuatu daerah.

i. Tingkat Konsumsi Gizi

Keadaan kesehatan gizi anak tergantung dari tingkat

komsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kuantitas serta

kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang

diperlukan tubuh dalam susunan hidangan dan

perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kuantitas

menunjukkan kuantum masing-masing zat gizi terhadap

kebutuhan tubuh. Bila susunan hidangan memenuhi

kebutuhan tubuh, dari segi kualitas maupun kuantitas

maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapatkan

kondisi kesehatan gizi yang baik. Konsumsi yang

menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut

konsumsi yang adekuat.

D. Peran Bidan

Peran adalah suatu kumpulan norma untuk perilaku seorang dalam

suatu posisi khusus, seperti seorang istri, suami, anak, guru, perawat,

bidan dan sebagainya. Peran merupakan suatu konsep struktural dan

masyarakat dapat dipandang sebagai suatu sistem peran yang

kompleks. Dalam melaksanakan profesinya seorang bidan memiliki

peran yang spesifik yaitu:

1. Peran Sebagai Pelaksana

Sebagai pelaksana, bidan memiliki tiga kategori tugas, yaitu tugas mandiri,

tugas kolaborasi, dan tugas ketergantungan.

24
a. Tugas Mandiri

Tugas-tugas mandiri bidan yaitu:

1) Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan

kebidanan yang diberikan

2) Memberi pelayanan dasar pada anak remaja dan wanita

pranikah dengan melibatkan klien

3) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien selama

kehamilan normal

4) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa

persalinan dengan melibatkan klien dan keluarga

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir

6) Memberi asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas

dengan melibatkan klien atau keluarga

7) Memberi asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang

membutuhkan pelayanan keluarga berencana

8) Memberi asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan

sistem reproduksi dan wanita dalam masa klimakterium serta

menopause

9) Memberi asuhan kebidanan pada bayi dan balita dengan

melibatkan keluarga.

b. Tugas Kolaborasi

Tugas-tugas kolaborasi bidan yaitu:

1) Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan

kebidanan sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien

dan keluarga.

2) Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan resiko

tinggi dan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang

memerlukan tindakan kolaborasi.

25
3) Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dalam masa

persalinan dengan resiko tinggi serta keadaan

kegawatdaruratan yang memerlukan pertolongan pertama

dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan

keluarga.

4) Memberi asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas

dengan resiko tinggi serta pertolongan pertama dalam

keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan

kolaborasi klien dan keluarga.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan

resiko tinggi dan pertolongan pertama dalam keadaaan

kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi

bersama klien dan keluarga.

6) Memberi asuhan kebidanan pada balita dengan resiko tinggi

serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan

yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan

keluarga.

c. Tugas Ketergantungan

Tugas-tugas ketergantungan bidan yaitu:

1) Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan

kebidanan sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan

keluarga.

2) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan

pada kasus kehamilan dengan resiko tinggi serta

kegawatdaruratan.

26
3) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi serta rujukan

pada masa persalinan dengan penyulit tertentu dengan

melibatkan klien dan keluarga.

4) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan

pada ibu dalam masa nifas yang disertai penyulit tertentu dan

kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan keluarga.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan

kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan

konsultasi serta rujukan dengan melibatkan klien dan

keluarga.

6) Memberi asuhan kebidanan kepada anak balita dengan

kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan

konsultasi rujukan dengan melibatkan klien dan keluarga.

2. Peran Sebagai Pengelola

Sebagai pengelola bidan memiliki 2 tugas, yaitu tugas pengembangan

pelayanan dasar kesehatan dan tugas partisipasi dalam tim.

a. Mengembangkan Pelayanan Dasar Kesehatan

Bidan bertugas mengembangkan pelayanan dasar kesehatan, terutama

pelayanan kebidanan untuk individu, keluarga, kelompok khusus, dan

masyarakat di wilayah kerja dengan melibatkan masyarakat atau klien,

mencakup:

1) Mengkaji kebutuhan terutama yang berhubungan dengan

kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan serta

mengembangkan program pelayanan kesehatan diwilayah

kerjanya bersama tim kesehatan dan pemuka masyarakat.

2) Menyusun rencana kerja sesuai dengan hasil pengkajian

bersama masyarakat.

27
3) Mengelola kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan

masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak serta

keluarga berencana (KB). Mengkoordinir, mengawasi, dan

membimbing kader/dukun, atau petugas kesehatan lain dalam

melaksanakan program/kegiatan pelayanan kesehatan ibu

dan anak serta KB.

4) Mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesehatan

masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak serta KB,

termasuk pemanfaatan sumber-sumber yang ada pada

program dan sektor terkait.

5) Menggerakkan dan mengembangkan kemampuan

masyarakat serta memelihara kesehatannya dengan

memanfaatkan potensi-potensi yang ada.

6) Mempertahankan, ,meningkatkan mutu dan keamanan praktik

profesional melalui pendidikan, pelatihan, magang serta

kegiatan-kegiatan dalam kelompok profesi.

7) Mendokumentasikan seluruh kegiatan yang telah

dilaksanakan.

b. Berpatisipasi Dalam Tim

Bidan berpatisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan

dan sektor lain di wilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan

dukun bayi, kader kesehatan, serta tenaga kesehatan lain yang berada

di bawah bimbingan dalam wilayah kerjanya, mencakup:

1) Bekerja sama dengan puskesmas, institusi lain sebagai

anggota tim dalam memberi asuhan kepada klien dalam

bentuk konsultasi rujukan dan tindak lanjut.

28
2) Membina hubungan baik dengan dukun bayi dan kader

kesehatan atau petugas lapangan keluarga berencana (PLKB)

dan masyarakat.

3) Melaksanakan pelatihan serta membimbing dukun bayi, kader

dam petugas kesehatan ini.

4) Memberi asuhan kepada klien rujukan dari dukun bayi.

5) Membina kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, yang

berkaitan dengan kesehatan.

3. Peran Sebagai Pendidik

Sebagai pendidik bidan memiliki 2 tugas yaitu sebagai pendidik dan

penyuluh kesehatan bagi klien serta pelatih dan pembimbing kader.

a. Memberi Pendidikan dan Penyuluhan Kesehatan Pada Klien

Bidan memberi pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada klien

(individu, keluarga, kelompok, serta masyarakat) tentang

penanggulangan masalah kesehatan, khususnya yang berhubungan

dengan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana, mencakup:

1) Mengkaji kebutuhan pendidikan dan penyuluhan kesehatan,

khususnya dalam bidang kesehatan ibu, anak, dan keluarga

berencana bersama klien.

2) Menyusun rencana penyuluhan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan yang telah dikaji, baik untuk jangka pendek

maupun jangka panjang bersama klien.

3) Menyiapkan alat serta materi pendidikan dan penyuluhan

sesuai dengan rencana yang telah disusun.

4) Melaksanakan program/rencana pendidikan dan penyuluhan

kesehatan sesuai dengan rencana jangka pendek serta

29
jangka panjang dengan melibatkan unsur-unsur terkait,

termasuk klien.

5) Mengevaluasi hasil pendidikan atau penyuluhan kesehatan

bersama klien dan menggunakannya untuk memperbaiki serta

meningkatkan program di masa yang akan datang.

6) Mendokumentasi semua kegiatan dan hasil pendidikan atau

penyuluhan kesehatan secara lengkap serta sistematis.

b. Melatih dan Membimbing Kader

Bidan melatih dan membimbing kader, peserta didik kebidanan

dan keperawatan, serta membina dukun di wilayah atau tempat

kerjanya, mencakup:

1) Mengkaji kebutuhan pelatihan dan bimbingan bagi kader,

dukun bayi, serta peserta didik.

2) Menyusun rencana pelatihan dan bimbingan sesuai dengan

hasil pengkajian.

3) Menyiapkan alat bantu mengajar (audio visual aids, AVA)

dan bahan untuk keperluan pelatihan dan bimbingan sesuai

dengan rencana yang telah disusun.

4) Melaksanakan pelatihan untuk dukun bayi dan kader sesuai

dengan rencana yang telah disusun dengan melibatkan

unsur-unsur terkait.

5) Membimbing peserta didik kebidanan dan keperawatan

dalam lingkup kerjanya.

6) Menilai hasil pelatihan dan bimbingan yang telah diberikan.

7) Menggunakan hasil evaluasi untuk meningkatkan program

bimbingan.

4. Peran Sebagai Peneliti atau Investigator

30
Berdasarkan peran bidan seperti yang dikemukakan di atas, maka

fungsi bidan adalah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi kebutuhan investigasi yang akan dilakukan.

2) Meyusun rencana kerja pelatihan.

3) Melaksanakan investigasi sesuai dengan rencana.

E. Fungsi Bidan

Berdasarkan tugas dan peran bidan seperti yang telah dijabarkan

diatas maka fungsi bidan ada empat yaitu sebagai berikut :

1. Fungsi pelaksana

a. Melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada individu, keluarga,

serta masyarakat khususnya kaum remaja pada masa

praperkawinan.

b. Melakukan asuhan kebidanan untuk proses kehamilan normal,

kehamilan dengan kasus patologi tertentu, dan kehamilan dengan

resiko tinggi.

c. Menolong persalinan normal dan kasus persalinan patologis

tertentu.

d. Merawat bayi segera setelah lahir normal dan bayi dengan resiko

tinggi.

e. Melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas.

f. Memelihara kesehatan ibu dalam masa menyusui.

g. Melakukan pelayanan kesehatan pada anak balita dan pra

sekolah.

h. Memberi pelayanan KB sesuai dengan kewenangan.

i. Memberi bimbingan dan pelayanan kesehatan untuk kasus

gangguan sistem reproduksi, termasuk wanita pada masa

klimakterium internal dan menopause sesuai dengan

wewenangnya.

31
2. Fungsi pengelolah

a. Mengembangkan konsep kegiatan pelayanan kebidanan bagi

individu, keluarga, kelompok masyarakat, sesuai dengan kondisi

dan kebutuhan masyarakat setempat yang didukung oleh

partisipasi masyarakat.

b. Menyusun rencana pelaksanaan pelayanan kebidanan

dilingkungan unit kerjanya.

c. Memimpin koordinasi kegiatan pelayanan kebidanan.

d. Melakukan kerjasama serta komunikasi inter dan antar sektor yang

terkait dengan pelayanan kebidanan.

e. Memimpin evaluasi hasil kegiatan tim atau unit pelayanan

kebidanan.

3. Fungsi pendidik

a. Memberi penyuluhan kepada individu, keluarga, dan kelompok

masyarakat yang terkait dengan pelayanan kebidanan dalam

lingkup kesehatan serta KB.

b. Membimbing dan melatih dukun bayi serta kader kesehatan sesuai

dengan bidang tanggung jawab bidan.

c. Memberi bimbingan kepada peserta didik bidan dalam kegiatan

praktik di klinik dan di masyarakat.

d. Mendidik peserta didik bidan atau tenaga kesehatan lainnya sesuai

dengan bidang keahliannya.

4. Fungsi peneliti

a. Melakukan evaluasi, pengkajian, survai dan penelitian yang

dilakukan sendiri atau berkelompok dalam lingkup pelayanan

kebidanan.

b. Melakukan penelitian kesehatan keluarga dan KB.

F. Kerangka Pikiran

32
Kerangka berpikir adalah serangkaian konsep dan kejelasan hubungan antar

konsep tersebut yang dirumuskan oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka,

dengan meninjau teori yang disusun dan hasil-hasil penelitian yang terdahulu

yang terakit.

Sehingga, peneliti membuat kerangka pemikiran penelitian sebagai:

Peran Bidan

Stunting

Status Gizi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

33
BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik yang menggunakan

pendekatan cross sectional, dimana data yang menyangkut data variabel

independent dan variabel dependen akan dikumpulkan dalam waktu

bersamaan. Penelitian analitik adalah penelitian untuk mengetahui hubungan

sebab akibat antar dua variabel secara observasional, dimana bentuk

hubungan dapat perbedaan, hubungan atau pengaruh (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adakah peran bidan dalam

penanganan kasus stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Kamonji Kota Palu.

B. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-April 2020 di Wilayah

Kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu.

C. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi ini adalah jumlah bidan-bidan yang berada

pada tahun 2018 sampai dengan sekarang di Puskesmas Kamonji Kota

Palu.

b. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel adalah

accidental sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus

atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan

konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah

semua bidan-bidan yang berada diwilayah kerja puskesmas Kamonji Palu, bersedia

menjadi responden serta bersedia mengisi kuisioner penelitian. Adapun jumlah

34
sampel yang akan diambil menggunakan rumus untuk penelitian dihitung dengan

rumus solvin. (setiawan&saryono, 2011).

𝑁
𝑛=
1 + (𝑁 . 𝑒 2 )

Keterangan

n = jumlah Sampel

𝑁 = jumlah Populasi = 40

e = standar eror (0,12) atau 12%

Maka :

40
𝑛=
1 + (40 . 0,122 )
40
n =
1 + 40.0,0144
40
n =
1,576
n = 25

D. Variabel penelitian dan definisikan operasional

1. Variable penelitian

Dalam penelitian ini variable yang akan diteliti adalah peran bidan

sebagai variabel bebas atau variabel independent. Sedangkan status

gizi balita sebagai variabel terikat atau variabel dependen.

2. Definisi operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang

bersangkutan.

a. Pengetahuan

35
Yang dimaksud pengetahuan dalam penelitian ini adalah

pengetahuan seorang responden tentang status gizi balita.

Status gizi balita dapat diketahui dari hasil pengukuran berat

badan menurut umur (BB/U) atau hasil pengukuran tinggi badan

menurut umur (TB/U).

 Alat ukur : Kuesioner

 Cara ukur : Pengisian kuesioner

 Skala ukur: Ordinal

 Hasil ukur:

a. Baik, jika subjek mampu menjawab dengan benar 80%-

100% dari seluruh pertanyaan

b. Cukup, jika subjek mampu menjawab dengan benar 60%-

79% dari seluruh pertanyaan

c. Kurang baik, jika subjek mampu menjawab dengan benar

0%-59% dari seluruh pertanyaan

b. Status gizi balita

Status gizi balita adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat makanan pada balita

untuk menunjang proses pertumbuhan dan aktivitasnya.

E. Teknik pengumpulan data dan pengolahan data

1. Teknik pengumpulan data

Data yang dikumpulkan yaitu dengan cara :

Data primer adalah data yang langsung di dapat dari responden

secara langsung dengan Teknik pengisian kuesioner. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner. Untuk mengetahui adakah peran bidan dalam

36
penanganan kasus stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Kamonji Palu.

2. Pengolahan data

Dalam penelitian ini dapat dilakukan pengolahan data sebagai berikut :

a. Editing

Mengedit adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah

diserahkan oleh para pengumpulan data. Tujuan dari pada

editing adalah untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan

yang ada di dalam daftar pertanyaan yang sudah diselesaikan

sampai sejauh mungkin.

b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari

responden ke dalam kategori-kategori. Biasanya klasifikasi

dilakukan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk

angka pada masing- masing jawaban.

c. Transferring

Transferring adalah memasukkan data atau

memindahkan data-data dimana data tersebut sebelumnya

sudah di coding ke dalam table.

d. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat table. Jawaban –

jawaban yang sudah diberi kode kategori jawaban kemudian

dimasukkan dalam table.

e. Cleaning

37
Cleaning adalah pembersihan data dengan melihat apakah

sudah benar atau belum sesuai dengan tujuan peneliti.

f. Describing

Describing adalah menggambarkan atau menjelaskan data

yang sudah ada dikumpulkan dalam bentuk table dan narasi.

F. Analisis Data

Untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan maka Teknik

analisis data dilakukan dengan cara analisis univariat yang dilakukan

terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel.

Dalam analisis data menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑓
×= 𝑥 100 %
𝑛
Keterangan:

x = hasil persentase

F = frekuensi/hasil pencapaian

N = total seluruh frekuensi

38

Anda mungkin juga menyukai