Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS Kepada Yth :

Dipresentasikan pada :
Hari/ Tanggal : Selasa, 12 Juli 2016
Waktu : 13.00 WITA

ULKUS GENITAL YANG DISEBABKAN OLEH


HERPES GENITALIS REKUREN PADA PENDERITA
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS STADIUM IV

Oleh:
I Dewa Ayu Vanessa Vijayamurthy

Pembimbing :
Dr. dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH
DENPASAR
2016
PENDAHULUAN
Herpes genitalis pertama kali dikemukakan oleh seorang dokter dari Prancis bernama John
Astruc pada tahun 1736. Herpes genitalis merupakan penyakit infeksi pada genitalia yang
disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala yang khas berupa vesikel atau
erosi multipel di atas kulit/ mukosa yang eritema dan bersifat rekuren.1 Terdapat 2 tipe HSV
yaitu HSV-1 dan HSV-2. Umumnya HSV-1 berhubungan dengan penyakit di daerah
orofasialis, sedangkan HSV-2 biasanya menyebabkan infeksi genital, tetapi keduanya dapat
menginfeksi area oral dan genital serta menimbulkan infeksi akut dan rekuren.2
Herpes genitalis adalah penyakit menular seksual yang paling umum di seluruh dunia
dan merupakan yang paling sering menyebabkan ulserasi di daerah genital, serta faktor risiko
penting untuk akuisisi dan penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV).2 Insiden herpes
genitalis tidak dapat dilaporkan secara pasti tetapi diestimasikan terdapat 500.000 kasus baru
terjadi tiap tahun. Menurut WHO (World Health Organization), diperkirakan 417 juta orang
usia 15-49 tahun (11%) di seluruh dunia terinfeksi HSV-2 pada tahun 2012. Prevalensi
tertinggi infeksi HSV-2 diperkirakan di Afrika (31,5%), diikuti oleh Amerika (14,4%). Hal ini
juga menunjukkan adanya peningkatan sesuai usia, meskipun jumlah tertinggi orang yang
baru terinfeksi adalah remaja. Lebih banyak perempuan terinfeksi HSV-2 dibandingkan laki-
laki, pada tahun 2012 diperkirakan bahwa 267 juta perempuan dan 150 juta laki-laki terinfeksi
HSV-2.3 Sebuah penelitian menunjukkan jumlah kasus baru herpes genitalis di Divisi IMS
(Infeksi Menular Seksual) RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2005–2007 (3 tahun)
mempunyai kecenderungan mengalami peningkatan, wanita lebih banyak daripada laki-laki
dengan rasio 1,96:1.4 Berdasarkan catatan registrasi kasus baru herpes genitalis yang berobat
ke poliklinik di Divisi IMS RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014-2015 didapatkan 21 kasus.5
Bentuk lesi genitalia herpes genitalis dapat berupa vesikel, pustul, dan ulkus
eritematosus, sembuh dalam waktu 2–3 minggu. Pada laki-laki umumnya terdapat pada gland
penis atau preputium, sedangkan pada wanita bisa terdapat pada vulva, perineum, bokong,
vagina maupun serviks. Gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema
dan bersifat rekuren. Manifestasi klinis herpes genitalis dapat dibedakan antara episode
pertama (episode primer) dan episode kekambuhan (episode rekuren).1,2
Human Immunodeficiency Virus merupakan penyebab AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome), yaitu sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker
tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV. Herpes genitalis
merupakan suatu problem pada penderita dengan imunodefisiensi, oleh karena kelainan yang

1
ditemukan cukup progresif berupa ulkus yang dalam di daerah anogenital. Disamping itu lesi
juga lebih luas dibandingkan dengan keadaan biasanya. Pada keadaan imunodefisiensi yang
tidak berat didapatkan keluhan rekurensi yang lebih sering dengan penyembuhan yang lebih
lama.6 Infeksi HSV-2 meningkatkan risiko tertular infeksi HIV sekitar tiga kali lipat. Individu
dengan HIV dan infeksi HSV-2 lebih mungkinkan untuk menyebarkan HIV kepada individu
lain. Infeksi HSV-2 merupakan infeksi yang paling sering terdapat pada individu dengan HIV,
terjadi sekitar 60-90% pada individu yang terinfeksi HIV.3 Penatalaksanaan penderita infeksi
HIV simtomatik atau AIDS dengan herpes genitalis, digunakan asiklovir per oral 400 mg
diberikan 4-5 kali perhari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat diberikan terapi supresif.6
Herpes genitalis sering terjadi pada penderita dengan HIV sehingga memerlukan
perhatian karena penting untuk mengetahui cara pencegahan, perjalanan penyakit dan
pengobatannya. Kasus ini dilaporkan untuk menambah pemahaman mengenai etiologi, klinis,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan herpes genitalis yang terjadi pada seorang
wanita dengan infeksi HIV.

KASUS
Seorang wanita, 25 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan nomor rekam medis
15.03.04.34, dikonsulkan dari bagian Interna ke bagian Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Denpasar pada tanggal 14 Maret 2016 dengan keluhan utama adanya luka di kelamin.
Penderita mengeluh terdapat luka di daerah kelamin. Awalnya penderita baru
menyadari timbul luka di daerah kelamin sekitar 1 minggu yang lalu. Penderita tidak
mengetahui sebelum timbul luka pada daerah kelamin diawali dengan kemunculan bintil-
bintil berair atau tidak. Luka pada kelamin disertai dengan rasa nyeri seperti terbakar, dan rasa
gatal. Luka pada kelamin semakin lama semakin meluas hingga ke sekitar lubang pantat.
Penderita merasa sangat perih pada lukanya terutama jika buang air kecil dan buang air besar.
Luka tersebut kemudian bernanah hingga menjadi borok dan mengeluarkan bau yang tidak
sedap. Penderita juga mengeluhkan kadang-kadang terdapat demam dan sakit kepala sejak 1
bulan terakhir. Penderita merasa nyeri jika buang air kecil dan buang air besar. Berat badan
penderita menurun secara drastis (kira-kira 15 Kg) dalam 1 bulan terakhir. Kulit dan mata
penderita bertambah pucat sejak 1 bulan yang lalu. Selain itu, penderita mengalami diare
hilang timbul selama 1 bulan ini. Badan terasa lemas dan lemah sejak 7 hari yang lalu.
Penderita pernah didiagnosis herpes pada kelaminnya di rumah sakit swasta di
Denpasar 2 bulan yang lalu dan mendapat obat minum, kompres, dan salep, tetapi penderita

2
tidak ingat nama obatnya, keluhannya kemudian membaik. Penderita tidak pernah mengalami
luka atau lecet yang tidak nyeri pada kelaminnya. Riwayat keputihan disangkal penderita.
Penderita dinyatakan HIV positif sejak 6 bulan yang lalu saat cek kesehatan. Riwayat terdapat
selaput putih di mulut 3 minggu yang lalu. Riwayat penyakit sistemik lain seperti asma,
tekanan darah tinggi, kencing manis, dan jantung disangkal penderita.
Penderita belum pernah mengobati keluhan luka pada kelaminnya. Riwayat
mengoleskan bahan atau minyak tradisional disangkal penderita. Suami penderita juga
mengalami keluhan penurunan berat badan drastis, diare lama, demam naik turun, badan
lemas dan lemah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan di kelamin yang serupa pada suami
disangkal penderita. Riwayat penyakit sistemik lain seperti asma, tekanan darah tinggi,
kencing manis, dan jantung pada keluarga disangkal.
Penderita menikah sejak 9 tahun yang lalu dan memiliki 3 orang anak. Penderita
sebelumnya bekerja sebagai penagih hutang di sebuah pabrik minuman. Suami penderita
merupakan pengguna obat-obatan terlarang dengan memakai alat suntik yang digunakan
bergantian bersama teman-temannya sejak 10 tahun yang lalu, dan sering mengkonsumsi
minuman keras serta merokok. Penderita menyangkal menggunakan obat-obatan terlarang
maupun alkohol. Penderita karena diketahui terinfeksi HIV kemudian diminta meninggalkan
rumah suaminya sejak 6 bulan yang lalu. Riwayat kontak seksual penderita mengaku hanya
dengan suami, namun riwayat kontak seksual suami penderita dengan orang lain tidak
diketahui. Sebagian besar hubungan seksual tersebut dilakukan tanpa kondom. Riwayat
kontak seksual terakhir penderita sekitar 6 bulan yang lalu dengan suami tanpa menggunakan
kondom. Penderita tidak pernah membuat tato pada tubuhnya, tetapi suami pasien mempunyai
tato. Penderita tidak pernah mendapatkan transfusi darah sebelumnya.
Pemeriksaan fisik didapatkan berat badan pasien adalah 30 kg, tinggi badan 154 cm,
keadaan umum lemah dan kesadaran kompos mentis, VAS 2. Tekanan darah 110/70 mmHg,
Frekuensi denyut nadi 80x/menit, frekuensi napas 20x/menit, suhu aksila 36,60C. Status
generalis pasien didapatkan kepala normosefali, kedua mata tampak anemis, tidak ikterus
maupun hiperemis. Pemeriksaan hidung, telinga, dan tenggorokan tidak ditemukan adanya
kelainan. Pemeriksaan toraks menunjukkan suara jantung (S1 dan S2) tunggal regular, tidak
terdapat murmur. Pemeriksaan paru, suara nafas vesikuler tanpa adanya ronkhi maupun
wheezing. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal, tidak didapatkan pembesaran hepar dan
lien. Keempat ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema. Tidak terdapat pembesaran
kelenjar limfe regional. Pemeriksaan kuku tidak ditemukan adanya kelainan.

3
Status venereologis pada regio vulva dan perineum (Gambar 1), didapatkan efloresensi
berupa ulkus, multipel, berbentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,5 cm hingga ukuran
7x5x0,5 cm, tepi tidak rata, dinding landai, dasar kotor, sebagian besar ditutupi krusta
kekuningan, dan kulit di sekitarnya normal.

Gambar 1. Pada regio vulva dan perineum tampak ulkus, multipel, berbentuk bulat-
geografika, tepi tidak rata, dinding landai, dasar kotor, ditutupi krusta kekuningan.

Penderita didiagnosis banding dengan ulkus genital et causa suspek herpes genitalis
rekuren dan ulkus genital et causa suspek ulkus durum. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan adalah pemeriksaan Gram dari dasar ulkus, dan rencana pemeriksaan kultur serta
uji sensitivitas dari dasar ulkus, VDRL (Venereal disease research laboratory) serta TPHA
(Treponema pallidum hemagglutination assays), Ig G dan Ig M anti HSV-1 dan HSV-2. Pada
pemeriksaan Gram dari dasar ulkus didapatkan leukosit 10-15/ lapang pandang, ditemukan
bakteri batang Gram negatif dan kokus Gram positif, serta tidak ditemukan Haemophilus
ducreyi.
Pemeriksaan penunjang darah lengkap (12-3-2016) didapatkan hasil leukosit 4,01
K/µL (4,10-11,00); neutrofil 3,43 K/µL (2,50-7,50); limfosit 0,29 K/µL (1,00-4,00), monosit
0,23 K/µL (0,10-1,20); eosinofil 0,01 K/µL (0,0-0,5); hemoglobin 3,11 g/dl (12-16);
hematokrit 12,7% (36,00-46,00); trombosit 257,1 K/µL (140,00-440,00). Pada pemeriksaan
kimia klinik (18-3-2016) didapatkan SGOT 20,3 U/L (11-27); SGPT 6,1 U/L (11-34);
albumin 2 g/dL (3,40-4,80); BUN 4,1 mg/dL (8,00-23,00); kreatinin 0,25 mg/dL (0,5-0,90);
natrium 136 mmol/L (136,00-145,00); kalium 2,7 mmol/L (3,5-5,1); serum Iron 17,4 µg/dL
(50-170); TIBC 104 µg/dL (261-478). Hasil pemeriksaan laboratorium CD 4 absolut 3
Cell/uL (410-590).

4
Diagnosis kerja pada penderita adalah ulkus genital et causa suspek herpes genitalis
rekuren didiagnosis banding dengan ulkus genital et causa suspek ulkus durum, yang disertai
infeksi sekunder. Penatalaksanaan pada penderita diberikan kompres NaCl 0,9% selama 15
menit setiap 8 jam pada luka di kelamin, sefadroksil 500 mg setiap 12 jam per oral,
parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral, rawat bersama dengan bagian Interna, serta KIE
(komunikasi, informasi, dan edukasi) mengenai penyakit, pemeriksaan yang dilakukan, dan
penatalaksanaan. Rencana pemeriksaan kultur serta uji sensitivitas dasar ulkus, VDRL
(Venereal disease research laboratory) serta TPHA (Treponema pallidum hemagglutination
assays), Ig G dan Ig M anti HSV-1 dan HSV-2.
Bagian Interna mendiagnosis penderita dengan infeksi HIV stadium IV pro HAART
(Highly Active Antiretroviral Therapy) dan ulkus genitalis et causa suspek herpes simpleks
didiagnosis banding dengan ulkus genital et causa suspek ulkus banal dan ulkus genital et
causa suspek ulkus durum. Penatalaksanaan yang diberikan infus NaCl 0,9% 20 tetes per
menit, diet lunak 1400 Kkal per hari, flukonazol 150 mg setiap 24 jam per oral (hari ke-10),
kotrimoksasol 500 mg setiap 24 jam per oral, transfusi albumin 1 flash setiap 24 jam
intravena sampai albumin lebih dari 2,5 g/dL, dan transfusi PRC (Package Red Cell) sampai
hemoglobin lebih dari 10 g/dL.

PENGAMATAN LANJUTAN I (Tanggal 24 Maret 2016)


Pengamatan hari ke-10, penderita mengatakan bahwa masih terdapat borok pada kelaminnya
tetapi berkurang dan menjadi luka yang sedikit bersih. Penderita mengaku nyeri sedikit
berkurang, tetapi jika buang air kecil dan air besar masih nyeri. Demam tidak ada. Penderita
sering tidak menuruti instruksi dokter atau orang tuanya, kadang-kadang menolak dikompres,
dan mudah marah.
Status present dan generalis penderita dalam batas normal. Status venereologis pada
regio vulva dan perineum (Gambar 2), didapatkan efloresensi berupa ulkus, multipel,
berbentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,3 cm hingga ukuran 6x4x0,5 cm, tepi tidak
rata, dinding landai, dasar kotor dan sebagian telah terdapat jaringan granulasi, ditutupi sedikit
krusta kekuningan pada beberapa area, serta kulit di sekitarnya normal.

5
Gambar 2. Pada regio vulva dan perineum tampak ulkus, multipel, berbentuk bulat-
geografika, tepi tidak rata, dinding landai, dasar kotor dan sebagian telah terdapat
jaringan granulasi, ditutupi sedikit krusta kekuningan pada beberapa area.

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan VDRL non reaktif, TPHA non reaktif,
IgG anti HSV-2 positif, IgM anti HSV-2 non reaktif, IgG dan IgM anti HSV-1 non reaktif.
Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas dari dasar ulkus didapatkan dua bakteri yang
dominan yaitu Proteus mirabillis dan Escherichia coli yang sensitif terhadap antibiotik
ampisilin sulbaktam, meropenem, dan amikasin. Pemeriksaan Gram (19-3-2016) dari dasar
ulkus didapatkan leukosit 10-15/ lapang pandang, ditemukan bakteri batang Gram negatif dan
kokus Gram positif.
Pemeriksaan penunjang darah lengkap (18-3-2016) didapatkan hasil leukosit 4,00
K/µL (4,10-11,00); neutrofil 3,56 K/µL (2,50-7,50); limfosit 0,21 K/µL (1,00-4,00), monosit
0,17 K/µL (0,10-1,20); eosinofil 0,01 K/µL (0,0-0,5); hemoglobin 9,8 g/dl (12-16);
hematokrit 34,5% (36,00-46,00); trombosit 127 K/µL (140,00-440,00).
Diagnosis kerja pada penderita adalah follow up ulkus genital et causa herpes genitalis
rekuren dengan infeksi sekunder. Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita adalah
asiklovir 400 mg setiap 6 jam per oral sampai lesi menghilang, ampisilin sulbaktam 1,5 gram
setiap 6 jam intravena, meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, kompres NaCl 0,9% selama
15 menit setiap 4 jam pada luka di kelamin, parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral (jika
nyeri), dan konsul ke bagian Psikiatri, serta KIE.
Diagnosis bagian Psikiatri adalah depresif organik dengan diagnosis banding
gangguan afektif bipolar episode kini depresi sedang tanpa gejala somatik. Penatalaksanaan
yang diberikan adalah rawat bersama, haloperidol 0,75 mg setiap 24 jam per oral pada malam
hari, fluoxetine 10 mg setiap 24 jam per oral pada malam hari, psikoterapi suportif, dan
monitoring efek samping obat.

6
Bagian Interna mendiagnosis penderita dengan follow up infeksi HIV stadium IV pro
HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dan ulkus genital et causa herpes genitalis.
Penatalaksanaan yang diberikan infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit, diet lunak 1400 Kkal per
hari, kotrimoksasol 500 mg setiap 24 jam per oral, dan transfusi PRC (Package Red Cell)
sampai hemoglobin lebih dari 10 g/dL.

PENGAMATAN LANJUTAN II (Tanggal 7 April 2016)


Pengamatan hari ke-23, penderita mengatakan bahwa luka di kelaminnya sedikit membaik.
Sebagian luka tersebut mengering. Penderita mengaku sudah tidak nyeri, hanya jika buang air
kecil dan air besar masih sedikit dirasakan nyeri.
Status present dan generalis penderita dalam batas normal. Status venereologis pada
regio vulva dan perineum (Gambar 3), didapatkan efloresensi berupa ulkus, multipel,
berbentuk geografika, ukuran 1x0,5x0,3 cm-4x2,5x0,5 cm, tepi rata, dinding landai, dasar
eritema dan sebagian telah terbentuk jaringan granulasi, ditutupi krusta kekuningan dan
kehitaman pada beberapa area, serta kulit di sekitarnya normal. Pada perineum tampak erosi,
multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,3 cm-1,5x1 cm.

Gambar 3. Pada vulva dan perineum tampak ulkus berkurang, dengan tepi rata, dinding
landai, dasar eritema dan sebagian telah terbentuk jaringan granulasi, ditutupi krusta
kekuningan dan kehitaman pada beberapa area, serta di perineum tampak beberapa erosi.

Pemeriksaan penunjang darah lengkap (27-3-2016) didapatkan hasil leukosit 1,41


K/µL (4,10-11,00); neutrofil 0,99 K/µL (2,50-7,50); limfosit 0,25 K/µL (1,00-4,00), monosit
0,06 K/µL (0,10-1,20); eosinofil 0,07 K/µL (0,0-0,5); hemoglobin 7,84 g/dl (12-16);
hematokrit 28,34% (36,00-46,00); trombosit 207,6 K/µL (140,00-440,00).

7
Diagnosis kerja pada penderita adalah follow up ulkus genital et causa herpes genitalis
rekuren dengan infeksi sekunder (membaik). Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat
poliklinis, asiklovir 400 mg setiap 6 jam per oral tetap dilanjutkan, kompres NaCl 0,9%
selama 15 menit setiap 6 jam pada luka di kelamin, parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral
(jika nyeri), dan KIE tentang waktu kontrol, minum obat teratur, perawatan luka, serta tidak
melakukan aktivitas yang berat.
Bagian Interna mendiagnosis penderita dengan follow up infeksi HIV stadium IV pro
HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dan ulkus genital et causa herpes genitalis
(membaik). Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat poliklinis, kotrimoksasol 500 mg
setiap 24 jam per oral, dan KIE.

PEMBAHASAN
Penularan HSV-2 lebih sering terjadi dari laki-laki ke perempuan daripada sebaliknya. Laki-
laki lebih cenderung mengalami infeksi HSV yang asimtomatik. Infeksi asimtomatik yang
lebih tinggi pada laki-laki menjelaskan terjadinya transmisi HSV-2 yang lebih tinggi dari laki-
laki ke perempuan daripada sebaliknya. Penularan virus herpes terutama melalui penyebaran
virus asimtomatik. Sekitar 50-90% transmisi, pasangan yang terinfeksi tidak menyadari
terdapat suatu infeksi HSV sehingga transmisi seksual HSV-2 sebagian besar terjadi saat
pasangan seksual tidak memiliki suatu lesi di area genital. Penyebaran asimtomatik terjadi
tersering pada tahun pertama setelah episode primer.7
Salah satu infeksi oportunistik yang pertama kali diketahui pada penderita AIDS di
Amerika Serikat adalah herpes genitalis. Studi epidemiologis serta biologi molekular
menunjukkan data yang mendukung tentang hubungan infeksi HIV dan HSV-2. Pada
penderita HIV terjadi penurunan imunitas selular yang menyebabkan infeksi HSV lebih sering
terjadi, infeksi persisten merupakan hal yang sering terjadi pada penderita dengan infeksi HIV
lanjut. Tingkat CD4 yang rendah serta viral load yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan penyebaran HSV-2. Pengobatan dengan antiretroviral kemudian diikuti dengan
peningkatan kadar CD4 tidak mampu mengeliminasi pengaruh infeksi HIV terhadap
penyebaran infeksi HSV-2 dan terjadinya ulkus genital. Kesinergisan antara infeksi HIV dan
HSV-2 ditunjukkan juga dengan meningkatnya keparahan infeksi HSV-2 secara klinis pada
penderita HIV.8
Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara prevalensi HSV-2 dan
HIV.9 Infeksi HSV terjadi pada 50-90% HIV, dengan tingkat infeksi tertinggi terdapat pada

8
heteroseksual di subsahara Afrika dan LSL di Amerika.10 Individu dengan infeksi HIV
memiliki antibodi HSV-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu tanpa infeksi HIV;
85% pada individu dengan koinfeksi HSV-2 dan HIV di subsahara Afrika, 65% diantara LSL
di San Fransisko dan 80% pada laki-laki yang terinfeksi HIV berdasarkan survei nasional di
Amerika Serikat.11
Infeksi HSV-2 juga dapat meningkatkan risiko penularan dan tertularnya infeksi HIV.
Beberapa mekanisme biologis yang dapat meningkatkan insiden HIV pada penderita dengan
seropositif HSV-2 yakni kerusakan fisik permukaan epitel oleh HSV-2, perekrutan dan
menetapnya sel inflamasi di traktus genitalia selama reaktivasi HSV-2 pada permukaan
mukosa, serta peningkatan kadar RNA HIV plasma dengan adanya koinfeksi HSV-2. Ulserasi
makro dan mikro yang diakibatkan oleh HSV-2 merupakan pintu masuk bagi HIV. Penelitian
terbaru memperlihatkan terdapatnya peningkatan dan persistensi sel target HIV (sel T CD 4
yang mengekspresikan CCR-5 serta sel dendritik yang mengekspresikan CD-sign) yang
timbul setelah penyembuhan ulkus pada kulit normal, yang hanya dapat sedikit dipengaruhi
oleh terapi antiviral dan meningkatkan kerentanan untuk terinfeksi HIV. 8 Selain
meningkatkan risiko untuk tertular infeksi HIV, lesi herpetik juga meningkatkan penyebaran
virus HIV dari permukaan mukosa genital individu dengan koinfeksi HIV sehingga
meningkatkan risiko transmisi HIV. Titer HIV yang lebih tinggi didapatkan pada sekresi
genital selama episode reaktivasi HSV-2.11 HSV-2 meregulasi replikasi virus HIV pada
tingkat selular melalui beberapa jalur yang berbeda seperti transaktivasi HIV long terminal
repair oleh sel protein yang terinfeksi HSV-2 sehingga meningkatkan viral load HIV, yang
merupakan penentu utama transmisi infeksi HIV. 12 Menurut penelitian yang dilakukan Gray
et al di Uganda faktor risiko terpenting yang menentukan transmisi HIV yaitu adanya ulkus
genital dan viral load HIV yang lebih tinggi.13
Klasifikasi klinis penderita HIV/ AIDS menurut WHO (2003), dibagi menjadi empat
stadium. Stadium I yaitu infeksi HIV asimtomatik dan kadang terdapat limfadenopati
generalisata. Stadium II meliputi penurunan berat badan (BB) kurang dari 10%, manifestasi
kulit dan mukosa ringan, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir dan radang saluran pernapasan
atas berulang. Stadium III meliputi penurunan BB lebih dari 10%, diare kronik yang tidak
dapat dijelaskan lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, kandidiasis
orofaringeal, oral hairy leukoplakia, infeksi bakteri yang berat, dan tuberkulosis. Stadium IV
mencakup wasting syndrome, Pneumonia Pneumocytis carinii, toxoplasmosis otak, diare
kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, kriptokokus ekstrapulmonal, retinitis virus sitomegalo,

9
herpes simpleks mukokutan lebih dari 1 bulan, leukoenselofati multifokal progresif, mikosis
diseminata seperti histoplasmosis, kandidiasis esofagus, mikobakteriosis atipikal diseminata,
septikemi salmonelosis non tifoid, tuberkulosis ekstrapulmoner, limfoma, ensefalopati HIV
dan sarkoma.14
Pada kasus, penderita adalah seorang wanita berusia 25 tahun yang menderita infeksi
HIV stadium IV. Jumlah CD4 terakhir penderita yaitu 3 sel/uL.
Episode pertama infeksi HSV-2 adalah infeksi HSV-2 yang terjadi pada individu tanpa
riwayat herpes genital sebelumnya. Episode pertama dapat merupakan infeksi primer jika
antibodi HSV seronegatif atau non primer pada individu dengan seropositif HSV-1. Infeksi
non primer sifatnya tidak terlalu parah dan biasanya asimtomatik. Infeksi HSV-2 primer
simtomatik umumnya ditandai dengan timbulnya vesikel berkelompok yang nyeri pada dasar
kulit eritematosa yang cepat pecah membentuk erosi dan ulkus dangkal, kadang disertai
dengan sakit kepala, mialgia dan demam. Ulkus biasanya multipel, dengan diameter 1-2 mm,
superfisial, eritematosa dan nyeri. Ulkus menetap dalam 4-15 hari hingga menjadi krusta
basah dan mengering. Klinis lainnya meliputi edema genetalia eksternal dan limfadenopati
inguinal. Pada individu tanpa infeksi HIV lesi genital umumnya menyembuh dalam 2 minggu
tanpa pengobatan.15
Infeksi HSV rekuren dapat terjadi dengan cepat atau lambat, sedangkan gejala yang
timbul biasanya lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan
lebih cepat. Infeksi rekuren HSV selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa gejala.
Karakteristik lesi herpes genitalis rekuren biasanya lesi hilang dalam 1-2 minggu, umumnya
penderita herpes genitalis rekuren tidak mempunyai gambaran ‘klasik’ berupa vesikel
berkelompok pada dasar eritematosa, terdapat gejala yang umum seperti rasa gatal, terbakar,
fisura, kemerahan, iritasi sebelum vesikel pecah dan dapat terjadi disuria, serta rasa tidak
nyaman pada anus. Gejala sistemik meningitis aseptik HSV-2 dapat terjadi pada herpes
genitalis primer atau herpes genitalis rekuren.6
Sebagian besar individu yang terinfeksi HSV-2 baik imunokompeten ataupun
terinfeksi HIV bersifat asimtomatik. Pada individu dengan infeksi HIV, adanya koinfeksi
HSV-2 mengakibatkan penyebaran mukosa yang lebih sering. Penyebaran HSV-2
berhubungan erat dengan kadar RNA HIV plasma serta berhubungan terbalik dengan kadar
CD4+. Rekurensi infeksi HSV-2 meningkat pada penderita dengan koinfeksi HIV dan
rekurensi lebih sering terjadi jika CD4 kurang dari 100 sel/mm3.15,16

10
Seluruh manifestasi infeksi HSV pada penderita imunokompeten dapat terjadi pada
penderita imunokompromais, tetapi biasanya infeksi bersifat lebih parah, luas, sulit diobati
dan lebih sering rekuren. Infeksi HSV mukokutan pada penderita imunokompromais juga
mempunyai gejala lokal dan sistemik yang berlangsung lebih lama serta penyebaran virus
yang lebih lama yaitu lebih dari 30 hari. Infeksi atipikal dapat terjadi dengan gambaran lesi
hiperkeratotik, verukosa pada penderita dengan infeksi HIV tahap lanjut. Lesi genital pada
HSV berukuran besar tampak dengan papilomatosa serta permukaan verukosa menyerupai
kondiloma akuminata atau karsimona verukosa. Plak vegetatif merupakan bentuk atipikal lain
dengan karakteristik berupa plak vegetatif, meluas dan berkonfluen dengan ulserasi serta
eksudat berwarna kuning. Infeksi kronis dan persisten dengan adanya area ulserasi yang nyeri,
berukuran besar dan nekrosis meliputi seluruh perineum pada wanita serta prepusium, glans,
batang penis dan area pubis pada laki-laki. Bentuk atipikal lain ialah erupsi papuler
generalisata dengan karakteristik berupa papul atau papulovesikel yang tersebar, diskret,
mengalami erosi dan atau berkrusta, umumnya terjadi pada penderita dengan CD4 kurang dari
100 sel/mm3.7,15
Pada kasus dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa luka pada kelamin sejak
1 minggu yang lalu. Luka tersebut dirasakan nyeri dan gatal. Luka di kelamin semakin meluas
kemudian bernanah hingga menjadi borok serta berbau tidak sedap. Penderita juga mengeluh
kadang-kadang demam dan sakit kepala. Keluhan yang sama pernah dirasakan oleh penderita
sekitar 2 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah
bening inguinal. Status venereologis pada vulva dan perineum didapatkan ulkus, multipel,
berbentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,5 cm hingga ukuran 7x5x0,5 cm, tepi tidak
rata, dinding landai, dasar kotor, sebagian besar ditutupi krusta kekuningan, dan kulit di
sekitarnya normal.
Infeksi HSV terjadi jika partikel virus masuk ke kulit membran mukosa melalui abrasi.
Masuknya virus diperantarai oleh menempelnya virus ke reseptor permukaan sel (heparin
sulfat). Fusi ini mengakibatkan kapsid virus ditransportasikan ke nuclear pore dan melepas
DNA virus ke dalam sel. Gen alfa dari virus memulai replikasi dan mengaktifkan gen beta.
Gen beta menghasilkan enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti timidin kinase
dan protein replikasi. Gen gamma yang terakhir diekspresikan mengkode protein struktural.
Replikasi terjadi di dalam nukleus sel, virus kemudian menyebar ke sel sekitarnya dan
merusak lapisan epidermal serta dermal. Virus kemudian memasuki serat saraf sensoris atau
otonom dan bermigrasi ke ganglion saraf. Dalam ganglia saraf, virus menimbulkan infeksi

11
laten, lifelong yang dapat mengalami reaktivasi periodik dan replikasi. Bila terjadi reaktivasi,
virus turun dari ganglia dan serat saraf menuju ke mukosa genital atau kulit. Proses reaktivasi
biasanya menimbulkan ulkus genital, namun bisa terjadi reaktivasi asimtomatik.7
Ulkus durum (chancre) disebabkan oleh Treponema pallidum, suatu bakteri motil
berbentuk spiral yang menyebabkan penyakit sifilis. Biasanya penyakit ini ditularkan melalui
kontak seksual. Ulkus durum merupakan stadium primer dari sifilis, yang ditandai dengan
ulkus atau erosi soliter berbentuk bulat lonjong, tepi indurasi, bersih, kulit disekitarnya tidak
meradang, relatif tidak nyeri (indolen), dan teraba keras. Lokasi ulkus ini sering pada sulkus
koronarius (laki-laki) dan labia minora dan mayora (wanita). 17 Dapat terjadi pembesaran
kelenjar limfa inguinal bilateral.18 Pada penderita HIV bisa terdapat chancre multipel dengan
ukuran lebih besar, lebih dalam dan sembuh lebih lama. Diagnosis dengan ditemukannya
T.pallidum melalui pemeriksaan mikroskop lapang pandang gelap dan pemeriksaan serologis
sifilis.19
Pada kasus, penderita didiagnosis banding dengan ulkus durum. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis banding ulkus durum
dapat disingkirkan.
Pemeriksan penunjang untuk herpes genitalis dapat dilakukan pemeriksaan
mikroskopis dengan preparat Tzank dan serologis HSV. Kerokan yang diambil dari dasar
ulkus atau hapusan dari cairan vesikel untuk menilai adanya infeksi HSV melalui
pemeriksaan mikroskopik dengan preparat Tzank, dengan ditemukannya multinucleated giant
cells. Pemeriksaan ini mempunyai sensivitas dan spesifisitas yang rendah serta tidak bisa
membedakan antara infeksi HSV-1 dan HSV-2 atau dengan infeksi varicella zoster.1,7 Infeksi
HSV saat terdapat lesi, paling baik dikonfirmasi dengan kultur virus atau deteksi DNA HSV
dengan menggunakan PCR lebih tinggi (2 sampai 4 kali) daripada kultur. Sensitivitas kultur
bisa ditingkatkan dengan pengambilan bahan dari cairan vesikel pada dasar ulkus dan lebih
saat infeksi primer. Pemeriksaan serologis digunakan jika sudah tidak terdapat lesi, atau bila
HSV tidak dapat diisolasi dari lesi genital, terutama pada penderita dengan infeksi yang lama.
Pemeriksaan westerm blot merupakan baku emas untuk diagnosis antibodi dengan sensitivitas
dan spesifisitas lebih dari 98%.20 Antibodi terhadap HSV-2 umumnya timbul 2-6 minggu
setelah infeksi. Antibodi terhadap glikoprotein G HSV (gG-1 untuk HSV-1 dan gG-2 untuk
HSV-2) digunakan sebagai penanda serologik yang spesifik untuk HSV-1 serta HSV-2.
Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik (>95%) pada penderita dengan infeksi HIV.
Pemeriksaan serologis terhadap HSV-2 pada penderita dengan infeksi HIV merupakan bagian

12
dari evaluasi HIV awal akan membantu identifikasi infeksi HSV asimtomatik. 16 Pemeriksaan
IgG terhadap HSV terdeteksi 2 minggu hingga 3 bulan setelah onset gejala dan seringkali
negatif di awal penyakit. Pemeriksaan IgM HSV dapat mendeteksi infeksi awal pada
penderita yang tidak terdeteksi kadar IgG-nya. IgM juga dapat positif selama reaktivasi
penyakit dan negatif selama penyakit serta tidak spesifik terhadap tipe virus. Karena
keterbatasan ini, tes ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin. 7
Pada kasus, pemeriksaan serologis HSV didapatkan IgG anti HSV-2 positif, IgM anti
HSV-2 non reaktif, IgG dan IgM anti HSV-1 non reaktif. Hasil pemeriksaan tersebut
menunjang untuk diagnosis ulkus genital yang disebabkan oleh herpes genitalis.
Tujuan dari manajemen klinis infeksi HSV-2 adalah untuk menghilangkan gejala,
merangsang reepitelisasi, menurunkan penyebaran virus dan transmisi HSV-2, mencegah lesi
serta rekurensi. Terapi yang diindikasikan saat ini hanya analog nukleosida (asiklovir,
valasiklovir dan famsiklofir) sebagai terapi lini pertama atau terapi supresi pada infeksi herpes
genitalis. Tidak terdapat interaksi obat yang signifikan antara analog nukleosida yang
digunakan untuk manajemen HSV-2 dan profilaksis infeksi oportunistik penderita HIV.7,16
Penatalaksanaan penderita infeksi HIV simtomatik atau AIDS dengan herpes genitalis,
digunakan asiklovir per oral 400 mg diberikan 4-5 kali perhari hingga lesi sembuh, setelah itu
dapat diberikan terapi supresif.6 Infeksi HSV-2 simtomatik dapat bersifat lebih parah dan
penyebaran asimtomatik lebih sering pada penderita HIV, dipertimbangkan suatu pemberian
terapi supresif.10 Pemberian terapi supresif dipertimbangkan pada penderita dengan tingkat
rekurensi yang tinggi (< 6x/ tahun), tiap episode menyebabkan gejala prodromal yang parah
dan menimbulkan gangguan psikologis. Reaktivasi HSV berhubungan dengan peningkatan
kadar RNA HIV serta terapi supresif mengurangi kadar RNA HIV ke kadar basal pada
penderita yang tidak menerima ARV. Penggunaan terapi supresif sebaiknya dipertimbangkan
untuk penderita HIV yang tidak menerima terapi ARV.19 Pemberian terapi supresif dengan
asiklovir dapat mengurangi rekurensi dari rata-rata 12,9 per tahun sebelum terapi menjadi 1,7
selama tahun pertama terapi dan 0,8 pada tahun kelima terapi. Rekurensi yang terjadi selama
pemberian terapi supresif, cenderung lebih ringan dan durasinya lebih singkat. Terapi supresif
juga menurunkan penyebaran asimtomatik hingga 85% dan terbukti efektif mencegah
transmisi seksual HIV kepada pasangan yang tidak terinfeksi. Dosis terapi supresif adalah
asiklovir 2-3x400-800 mg oral, famsiklovir 2x500 mg oral, atau valasiklovir 2x500 mg oral.21
Terapi antiviral dapat mengurangi luas serta keparahan rekurensi infeksi HSV-2 dan
mengurangi durasi penyebaran virus. Pemberian terapi antiviral secara episodik lebih

13
bermanfaat jika diberikan pada awal rekurensi. Pemberian dalam 24 jam/ kurang dari onset
gejala prodromal meningkatkan kemungkinan resolusi infeksi tanpa munculnya lesi. Terapi
episodik dengan disertai koinfeksi HIV memerlukan durasi yang lebih lama dengan dosis
antiviral yang lebih tinggi.7,16 Dosis yang direkomendasikan adalah asiklovir 3x400 mg oral,
famsiklovir 2x500 mg oral, atau valasiklovir 2x1 gram oral selama 10 hari.7
Penderita imunokompromais cenderung mengalami infeksi oleh HSV-2 yang resisten
terhadap antiviral.21 HSV yang resisten terhadap asiklovir merupakan masalah penting pada
penderita HIV. Deteksi virus yang resisten terhadap asiklovir secara in vitro tidak selalu
relevan secara klinis, karena sebagian besar infeksi merespon baik terhadap terapi standar.
Pemberian foskarnet intravena diindikasikan jika terdapat respon yang buruk terhadap terapi,
dan ditemukan isolat yang resisten terhadap asiklovir, karena semua strain yang resisten
terhadap asiklovir juga resisten terhadap valasiklovir dan juga terhadap famsikovir.10 Pada
infeksi herpes genitalis dapat terjadi beberapa komplikasi dan yang tersering ialah infeksi
bakteri sekunder dan komplikasi ke sistem saraf pusat. 7
Pada kasus terapi yang diberikan sesuai dengan herpes genetalis pada penderita
imunokopromais yakni asiklovir 400 mg setiap 6 jam per oral sampai lesi menghilang dan
diberikan kompres NaCl 0,9% 3-6x perhari selama 10-15 menit. Selain itu, diberikan
antibiotik ampisilin sulbaktam 1,5 gram setiap 6 jam intravena dan meropenem 1 gram setiap
8 jam intravena, untuk mengatasi infeksi bakteri sekunder sesuai dengan hasil kultur yaitu
ditemukan bakteri Proteus mirabillis dan Escherichia coli serta sensitif terhadap ampisilin
sulbaktam, meropenem, dan amikasin. Pemberian parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral
sebagai analgetik untuk mengurangi nyeri pada penderita.
Terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan efek ARV (Antiretroviral) pada
perjalanan klinis infeksi HSV-2. Antiretroviral mengurangi frekensi terjadinya herpes
sistomatik, tetapi penelitian tidak menunjukkan berkurangnya tingkat penyebaran virus HSV
dari genital. Penderita yang menerima ARV menunjukkan lesi HSV berlangsung lebih singkat
dibandingkan dengan yang tidak menerima ARV.22 Antiretroviral menyebabkan penurunan
yang signifikan pada kadar HIV pada genital dan penularan HIV melalui genital.11
Pada kasus, prognosis adalah dubius. Respon penderita dengan pemberian asiklovir
cukup baik, tetapi penderita adalah seorang penderita HIV dan dengan kadar CD4 yang
rendah sehingga memiliki kemungkinan rekurensi kembali yang cukup tinggi. Pada penderita
juga disarankan untuk konsumsi obat sesuai dosis yang diberikan dan segera memeriksakan
diri jika muncul keluhan yang sama.

14
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus ulkus genital yang disebabkan oleh herpes genetalis rekuren pada
penderita HIV stadium IV. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa luka pada
kelamin sejak 1 minggu yang lalu, terasa nyeri dan gatal yang meluas, bernanah dan menjadi
borok. Penderita pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
di regio vulva dan perineum didapatkan ulkus multipel, batas tegas, ditutupi krusta tebal
kekuningan dan kulit disekitarnya normal. Pemeriksaan IgG anti HSV-2 positif. Didapatkan
infeksi sekunder yang disebabkan oleh Proteus mirabillis dan Escherichia coli. Terapi
diberikan asiklovir 400 mg setiap 6 jam per oral sampai lesi menghilang, kompres NaCl 0,9%
3-6x perhari selama 10-15 menit, ampisilin sulbaktam 1,5 gram setiap 6 jam intravena dan
meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena. Respon penderita terhadap terapi baik. Prognosis
adalah dubius.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Corey L, Wald A. Genital Herpes. In: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P,
Wasserheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th
ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008. p. 399-438.
2. Marques AR, Cohen JI. Herpes Simplex. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilcrist BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2012. p. 2367-82.
3. World Health Organization. Herpes Simplex Virus. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs400/en/. Accessed June 10, 2016.
4. Jatmiko, Andri Catur, Firdausi Nurharini, Dian Kencana Dewi, Dwi Murtiastutik.
Penderita Herpes Genitalis di Divisi Infeksi Menular Seksual Unit Rawat Jalan Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2005–2007. BIKKK. 2009;
21(2): 21-5.
5. Register Pasien Rawat Jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Tahun 2014-
2015.
6. Daili SF, Judanarso J. Herpes genitalis. In: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J,
eds. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Kelompok Studi Penyakit Menular Seksual
Indonesia; 1996. p. 110-21.
7. Patel R, Sundaram S, Kumar B. Genital Herpes Simplex infection. In: Gupta S, Kumar B,
editors. Sexually Transmitted Diseases. 2th ed. New Delhi: Elservier; 2012. p. 335-59.
8. Zhu J, Hiadik F, Woodward A, Klock A, Peng T, et al. Persistence of HIV-1 Reseptor
Positive Cells after HSV-2 Reactivation: A Potential Mechanism for Increased HIV-1
Acquisition. Nat Med. 2009; 15(8): 886-92.
9. Thurman AR, Doncel GF. Heper Simples Virus and HIV: Genital Infection Synergy and
Novel Approaches to Dual Prevention. Int Journ of STD and AIDS. 2012; 23: 613-9.
10. Strick LB, Wald A, Celum C, Managemen of Herpes Simplex Virus Type 2 Infection in
HIV Type-1 Infected Persons. Clin Infect Dis. 2006; 43: 347-56.
11. Barnabas RV, Celum C. Infetious Co-factors in HIV-1 Transmission Herpes Simplex
Virus Type-2 and HIV-1: New Insights and Interventions. Curr HIV Res. 2012; 10(3):
228-37.
12. Quinn TC, wamer MJ, Sewankambo N, Serwadda D, Li C, Wabmire-Mangen F, et al.
Viral Load and Heterosexsual Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type
1.Rakai Project Study Group. N Engl J Med. 2000; 342(13): 921-9.
13. Paz-Bailey G, Ramaswamy M, Hawkes SJ, Geretti AM. Hepes Simplex Virus Type 2
Epidemiology and Management Options in Developing Countries. Sex Transm Infect.
2007; 83: 16-22.
14. Departemen kesehatan RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi
ODHA. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2003.
15. Ndowa F, Cham F, Dludlu S. Genital Ulcer adenopathy Syndrome. In: Grupta S, Kumar
B, editors. Sexually Transmitted infections. 2nd ed. New Delhi Elsevier; 2012.p.643-51.
16. Linggapa JR, Celum C. Clinical and Therapeutic Isssues for Herpes Simplex Virus-2 and
HIV Co-Infection. Drugs. 2007; 67(2): 155-74.
17. Katz KA. Syphilis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff
K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine, 8th edition. New York: McGraw-
Hill. 2012. p. 2471-93.

16
18. Sparling PF, Swartz MN, Musher DM, Healy BP. Clinical Manifestation of Syphilis. In:
Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts
DH, editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies;
2008.p.661-84.
19. Harindra V. Sexually Transmitted Infections in HIV-Infected Patients. In: Gupta S, Kuma
B, editors. Sexually Trasmitted Infections. 2nd ed. New Delhi: Elsevier; 2012.p.1003-15.
20. Schiffer JT, Corey L. New Concepts in Understanding Genital Herpes. Curr Infect Dis
Rep. 2009; 119(6):457-64.
21. Yudin MH, Kaul R. Progressive Hypertrophic Genital Hepers in an HIV-Infected Woman
despite Immune Recovery on Antiretroviral Therapy. Infect Dis In Obs and Gyn. 2008:1-
4.
22. Posavad CM, Wald A, Kuntz S. frequent reactivation of Herpes simplex Virus among
HIV-1 Infected Patients Treated with Highly Active Antiretroviral Therapy. J Infect Dis.
2004; 190: 693-6.

17

Anda mungkin juga menyukai