Anda di halaman 1dari 8

IMR 2019: Bonus Demografi di Indonesia, Peluang atau Tantangan?

Jakarta, IDN Times - IDN Times menggelar Indonesia Millennial Summit (IMS) 2019. Acara
dengan tema "Shaping Indonesia's Future" ini dilangsungkan pada 19 Januari 2019 di Grand
Ballroom Hotel Kempinski Jakarta.
IMS 2019 menghadirkan lebih dari 50 pembicara kompeten di berbagai bidang, dari politik,
ekonomi, bisnis, olahraga, budaya, lintas agama, sosial, lingkungan sampai kepemimpinan
millennial. Ajang millennial terbesar di tanah air ini akan dihadiri oleh 1500-an pemimpin
millennial.
Jumlah penduduk Indonesia selama beberapa tahun mendatang akan terus meningkat.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 lalu jumlah populasi
Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Kemudian, pada 2024, angkanya berpotensi meningkat hingga
282 juta dan sekitar 317 juta jiwa pada 2045.
Data BPS 2018, jumlah generasi millennial berusia 20-35 tahun mencapai 24 persen, setara
dengan 63,4 juta dari 179,1 juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun). Tidak salah
bila pemuda disebut sebagai penentu masa depan Indonesia. Inilah yang disebut sebagai bonus
demografi.
Indonesia Millennial Report 2019
Konsekuensi dari bonus demografi adalah perubahan pola kerja. “Bukan cuma di dunia atau di
Indonesia. Di Astra, 70 persen dari 250 ribu karyawannya adalah di usia millennial. Cara
berbisnisnya harus disesuaikan dengan millennial,” kata Presiden Direktur Astra International,
Prijono Sugiarto, program #SuaraMillenial oleh IDN Times.
Akan tetapi, tingginya angka pengangguran di Tanah Air menjadi tantangan bagi Bumi Pertiwi
untuk mengoptimalisasi bonus demografi yang akan berakhir pada 2045 ini.
“Tingkat pengangguran terdidik masih cukup tinggi. Kalau tidak melakukan pembenahan, salah
satunya pada kualitas tenaga kerja, alih-alih bonus demografi kita malah menghadapi bencana
demografi,” tutur peneliti INDEF, Bhima Yudhistira kepada IDN Times.
Lantas, sebagai generasi milenial, bagaimana seharusnya kita menyikapi bonus demografi ini?
Apakah menjadi tantangan atau peluang?
1. Bonus demografi menciptakan berbagai lapangan kerja baru
Disampaikan oleh Bhima, bonus demografi akan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan baru.
“Terjadi apa yang disebut leisure economy atau ekonomi rekreasi,” imbuh dia.
Kelas produktif muda akan mengubah pola konsumsi Indonesia. Pengeluaran akan banyak
dihabiskan untuk makan di kafe, restoran, dan warung di pinggir jalan. “Semua ini menciptakan
bisnis peluang baru. Bisnis traveling akan laku keras,” tandas alumni Universitas Gadjah Mada
(UGM) itu.
Bonus demografi membuat angkatan kerja meningkat signifikan. Pada saat yang sama Jepang
dan Korea Selatan, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, tengah mengalami
masa ageing population atau masyarakat yang tidak produktif lebih tinggi dari yang produktif.
“Oleh karena itu, prospek investasi yang menarik adalah negara dengan penduduk usia muda,”
sambung Bhima.
2. Pendapatan dari desa bisa mencapai US$2 triliun
Beberapa tahun belakangan, pemerintah Indonesia tengah menggalakkan pembangunan dari
desa. Bukannya tanpa alasan. Puncak bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada periode
2020-2030 akan didominasi oleh masayarakat desa.
“Dengan bonus demografi yang ada, total seluruh desa di Indonesia akan mempunyai pendapatan
Rp600 triliun satu bulan. Itu akan meng-create consumption power. 10 tahun mendatang, bisa
diprediksi desa mampu meng-contribute GDP lebih dari US$2 triliun untuk negara ini," Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia (PDTT), Eko Putro
Sandjojo.
3. Sulitnya mencari lapangan kerja, permasalahan yang menyambut bonus demografi
Menurut catatan Bhima, permasalahan Indonesia hari ini adalah tingginya angka pengangguran.
Salah satu penyebabnya adalah pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan keterampilan yang
dimiliki. Hal tersebut bermuara dari pelajaran yang diterima di sekolah tidak sesuai degan
kebutuhan lapangan kerja.
“Tingkat pengangguran terdidik di SMK masih cukup tinggi, yakni 11,24 persen, disusul SMA
7,95 persen, diploma 6.02 persen, universitas 5,89 persen. Angkanya justru kalah jauh dibanding
pengangguran dari tamatan SD yakni 2,43 persen dan SMP 4,8 persen,” beber dia.
Terlebih, memasuki era digital 4.0, setiap manusia akan berhadapan dengan mesin sebagai
“kompetitornya” dalam menguasai lapangan kerja.
“Apalagi kita masuk ke era digital, yang dibutuhkan adalah orang dengan keahlian data analysis,
programmer, apps developer, digital marketing. Tapi lulusannya tidak ke sana,” paparnya.
Bhima menyambung, “Bukan hal aneh jika lulusan perguruan tinggi ditemukan ngojek. Kalau
gak mulai membenahi kualitas tenaga kerja sebelum 2030, bukan bonus tapi bencana
demografi”.
4. Indonesia Millenial Report 2018, bekal pemuda Indonesia menghadapi bonus demografi
Berdasarkan data Bank Dunia 2018, dari 101 negara yang tergolong berpendapatan menengah
pada 1960, hanya 13 yang berhasil naik kelas dan menjadi negara berpendapatan tinggi.
Pada tahun yang sama, pendapatan per kapita Indonesia hanya sebesar US$4.041. Padahal,
negara ini perlu memiliki pendapatan per kapita hingga US$12.400 bila ingin naik kelas.
Artinya, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan lebih dari 300 persen.
Di tengah problem bangsa dan tingginya angka pengangguran, apakah realistis bila Indonesia
mampu memanfaatkan potensi terbaiknya sebelum bonus demografi berakhir?
Dalam upaya mempersiapkan milenial Indonesia menyambut bonus demografi, IDN Research
Institute menerbitkan Indonesia Millenial Report (IMR) 2018 yang membahas secara
komprehensif DNA putra-putri Nusantara.
Laporan yang digarap bersama Alvara Research Center itu ingin mengulas bagaimana milenial
Indonesia menyikapi isu politik, agama, ekonomi, keluarga, konsumsi media, hiburan, hingga
gaya hidup. Sehingga, kebijakan yang digodok oleh pemerintah bisa lebih “ramah” milenial.
Harapannya tentu mempersiapkan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Bonus Demografi, Menyejahterakan atau Menyengsarakan?

Ingar bingar pesta demokrasi telah usai. Tidak lama lagi, pemimpin negeri ini segera
dikukuhkan. Masih ingat di benak kita ketika debat Cawapres beberapa bulan lalu,
ketenagakerjaan menjadi satu isu yang dibahas selain pendidikan, kesehatan, serta sosial, dan
kebudayaan. Namun, sayangnya masih sedikit bahasan mengenai isu bonus demografi, yang
berdampak pada ketenagakerjaan dan juga memiliki keterkaitan dengan dunia pendidikan
Indonesia. Padahal respons terhadap bonus demografi pada akhirnya akan menentukan kondisi
perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah memperkirakan, Indonesia akan menikmati era bonus
demografi pada tahun 2020-2035. Pada masa tersebut, jumlah penduduk usia produktif
diproyeksi berada pada grafik tertinggi sepanjang sejarah. Era bonus demografi itu juga ditandai
dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) atas jumlah penduduk tidak
produktif (usia 0-14 tahun dan 65+), yang bisa dilihat dari angka rasio ketergantungan yang
rendah. Rasio ketergantungan sendiri merupakan perbandingan antara jumlah penduduk usia
tidak produktif dengan jumlah penduduk usia produktif.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk besar sangat beruntung
mendapat bonus demografi. Keuntungan paling utama dari bonus demografi adalah ketersediaan
tenaga kerja usia produktif sebagai modal utama dalam pembangunan. Dalam rangka
memanfaatkan bonus demografi agar ekonomi Indonesia tumbuh secara optimal, hal yang harus
dipersiapkan adalah kesehatan dan pendidikan sebagai prasyarat dari produktivitas tenaga kerja.
Setelah aspek kualitas, tentunya kuantitas lapangan kerja harus tersedia untuk penduduk
produktif.
Sebenarnya dalam posisi ini, negara mendapatkan beberapa keuntungan. Banyaknya penduduk
produktif sangat berdampak dalam bidang sosial-ekonomi. Indonesia berpotensi menaikkan
produk domestik bruto (PDB). Memiliki jumlah penduduk usia produktif mempunyai
kesempatan kerja dan produktif, tentu saja memicu pertumbuhan ekonomi. Selain itu Indonesia
juga berpeluang untuk memajukan kesejahteraan dan kemakmuran yang dapat menunjang serta
memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara.
Keuntungan yang mungkin dicapai tentunya tidak lepas dari peran pemerintah dalam
memperhatikan sumber daya manusia yang ada. Jika pemerintah tidak bisa menyiapkan lapangan
pekerjaan, maka banyak usia produktif akan menjadi pengangguran. Bonus demografi bukan
hasil instan, tapi merupakan investasi jangka panjang dari rencana kependudukan yang bakal
berdampak positif berupa peningkatan ekonomi masyarakat jika dikelola dengan benar.
Sebaliknya, jika tidak diatur dan diawasi, maka akan menjadi petaka bagi bangsa ini. Mulai
benahi diri dari sekarang, bonus demografi masih berjalan. Bagaimana caranya? Perkuat basis
data kependudukan!
Era Baru Sensus Penduduk 2020
Memperkuat basis data kependudukan sejalan dengan semangat Satu Data Indonesia. Sejalan
juga dengan semangat Sensus Penduduk 2020. Era baru pelaksanaan Sensus Penduduk tahun
2020 segera dimulai, Bangsa Indonesia akan melaksanakan Sensus Penduduk yang ke-7. Jika
pada tahun 2019 kita baru saja melaksanakan pemilu serentak atau pesta demokrasi, maka pada
2020 nanti kita akan mengadakan pesta demografi atau sensus penduduk.
Satu hal yang membuat Sensus Penduduk 2020 berbeda dengan Sensus Penduduk sebelumnya
adalah Sensus Penduduk 2020 menggunakan metode kombinasi, yaitu menggabungkan
pencacahan metode tradisional seperti sensus penduduk sebelumnya dan metode berbasis data
dasar penduduk dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Metode kombinasi
ini diimplementasikan untuk mewujudkan satu data kependudukan Indonesia dan mewujudkan
“register based census” sesuai dengan rekomendasi dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sisi positif metode pendataan ini adalah data output akan lebih cepat diakses. Akan tetapi,
tantangan berikutnya bahwa pendataan penduduk tahun ini sangat penting melibatkan berbagai
kalangan masyarakat dari masyarakat biasa, akademisi, instansi dan berbagai lembaga formal
dan nonformal. Terutama dalam tahap awal yakni sosialisasi pentingnya data kependudukan.
Jalinan dan koordinasi yang terintegrasi akan dapat menjamin data penduduk yang akurat
sehingga mampu disajikan hingga level terkecil.
Hasil yang diharapkan dari Sensus Penduduk 2020 adalah tersedianya data jumlah, komposisi,
distribusi, dan karakteristik penduduk Indonesia menuju Satu Data Kependudukan, tersedianya
sampling Frame untuk survei, tersedianya data parameter demografi (fertilitas, mortalitas, dan
migrasi), serta karakteristik penduduk lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
proyeksi penduduk, indikator SDGs, dan sebagai dasar perencanaan dan evaluasi pembangunan.
Tantangan
Banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengelola sumber daya manusia. Di samping
basis data registrasi kependudukan yang belum begitu kuat, Indonesia dihadapkan pada
permasalahan ketenagakerjaan yang kompleks. Berdasarkan data BPS melalui Berita Resmi
Statistik edisi bulan februari 2019, jumlah angka pengangguran turun 50.000 dari 6,87 juta orang
(bulan Februari 2018) menjadi 6,82 juta orang (bulan Februari 2019). Angka tersebut masih
terlalu tinggi apalagi dalam menghadapi bonus demografi.
Perlu upaya keras bersama untuk menurunkan tingkat pengangguran. Memperhatikan pendidikan
masyarakat adalah hal penting, mengingat penyumbang pengangguran tertinggi adalah penduduk
dari kalangan pendidikan tinggi. Penciptaan lapangan pekerjaan melalui pengembangan
kewirausahaan kiranya dapat menjadi alternatif mengatasi permasalahan kesempatan kerja.
Harapannya masalah kependudukan dapat teratasi dengan baik dan dapat membantu menyerap
pengangguran. Bukankah tujuan akhir dari pembangunan adalah mengurangi angka
pengangguran dan mengentaskan kemiskinan, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera.
Hingga pada saatnya nanti, ketika bangsa ini menikmati fase bonus demografi, yang tercipta
adalah bonus demografi yang menyejahterakan.
Demografi Indonesia, Bonus Sekaligus Kutukan di Era Digital

Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) berpendapat bonus demografi
bisa menjadi kutukan bagi Indonesia di era industri digital. Kutukan ini terjadi apabila sumber
daya manusia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mendukung industri digital.
Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020 - 2030 mendatang. Pada
tahun tersebut, jumlah penduduk berusia produktif (15-64 tahun) akan mencapai 70 persen.
Sisanya adalah penduduk berusia non-produktif ( di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun)
"Angka usia produktif begitu besar. Kalau tidak dilengkapi dengan kemampuan digital maka bisa
jadi kutukan. Mereka bisa jadi pengangguran," kata Ketua Bidang Human Capital Development
idEA Sofian Lusa saat konferensi pers di bilangan SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (8/11).
Lihat juga:Status Unicorn Bukan Patokan Kesuksesan Startup
Di satu sisi, bonus demografi menjadi berkah apabila SDM memiliki kemampuan yang memadai
untuk industri digital. Dengan adanya kemampuan ini, Sofian memprediksi ada banyak
wirausahawan yang lahir di era industri digital.
Kendati demikian, Sofian menekankan diperlukan edukasi yang digaungkan oleh seluruh pihak
dalam ekosistem industri digital.
"Tapi kalau semua ekosistem bergerak, mereka akan menjadi paling sederhana ya
wirausahawan. UKM juga disitu. Kalau statistik ada 2 persen dari populasi itu adalah
wirausahawan, maka negara bisa maju," kata Sofian.
Sofian mengatakan bonus demografi membuat Indonesia selalu dipandang menjadi pasar emas
bagi para pelaku industri digital. Akan tetapi, Sofian menegaskan jika SDM tidak siap, maka
masyarakat Indonesia hanya mau menjadi penonton (konsumen) bukan pelaku di era digital.
"Kalau SDM tidak ada, maka kita jadi penonton atau pasar . Industri jalan tapi SDM tidak ada,"
ujar Sofian.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengatakan pihaknya akan
mengadakan iDEA Works Edu dan Pro untuk meningkatkan kualitas SDM.
Program idEA Works Edu menyasar siswa SMA dan mahasiswa untuk dipaparkan segala hal
yang berkaitan dengan industri digital. Dengan adanya pembekalan informasi ini, nantinya
mereka bisa berminat untuk berkuliah atauberkarir di industri digital.
idEA Works Pro akan menyasar fresh graduate,first jobber, dan profesional yang sudah bekerja
di industri ekonomi digital. Mereka nantinya akan dipaparkan terkait kualifikasi yang diinginkan
oleh perusahaan. (jnp/evn)
Bonus Demografi dan Pemerataan Pendidikan

Tahun 2018 akan segera berakhir dan kedatangan bonus demografi semakin mendekat.
Diperkirakan Indonesia akan menikmati bonus demografi pada tahun 2020 hingga 2035. Menjadi
suatu kebanggaan bagi negara apabila dapat memanfaatkan bonus demografi dengan baik.
Pasalnya, bonus demografi jarang sekali terjadi di suatu negara. Bonus demografi merupakan
keadaan di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan
jumlah penduduk non produktif (usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun).
Saat ini pemerintah sedang berupaya keras untuk dapat memanfaatkan bonus demografi dengan
baik. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, bonus demografi dapat dimanfaatkan secara
optimal melalui peningkatan kualitas pada generasi muda. Salah satu langkah agar bonus
demografi menjadi berkah bagi negara yaitu meningkatkan kualitas pendidikan melalui akses
pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan.
Menurut data BPS, pada 2014 persentase pengangguran terbuka masih tergolong besar. Jika
dilihat dari pendidikan terakhir yang ditempuh, lulusan SD, SMP, SMA, SMAK, menyumbang
banyak angka pengangguran terbuka. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bonus demografi
dilakukan pemerataan pendidikan yang meluas dan berkeadilan.
Saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berupaya mewujudkan
pemerataan pendidikan. Salah satu program yang dijalankan yaitu Program Indonesia Pintar.
Program tersebut dapat menjadi era penting bagi Indonesia dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia (SDM). Data Human Development Index (HDI) yang disajikan oleh United
Nations for Development Program (UNDP) menunjukkan, saat ini kualitas SDM Indonesia
masih rendah. Pada 2016 lebih dari separuh penduduk yang bekerja memiliki riwayat pendidikan
yang rendah, atau SMP ke bawah (Sakernas, Agustus 2016).
Banyaknya masyarakat yang belum terjangkau layanan pendidikan disebabkan oleh beberapa
persoalan. Baik itu ekonomi, geografis, dan sosial. Melihat dari persoalan ekonomi, anak
mengalami putus sekolah disebabkan oleh faktor biaya. Penghasilan orangtua yang sedikit dan
terkadang juga sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, membuat anak tak dapat melanjutkan
sekolah. Program Indonesia Pintar diharapkan dapat memotong rantai kemiskinan yang dialami
sebagian masyarakat.
Persoalan geografis juga mempengaruhi masyarakat dalam memperoleh layanan pendidikan.
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil mengalami kesulitan dalam memperoleh layanan
pendidikan. Sekolah yang jauh dari tempat tinggal membuat mereka harus menyeberangi sungai
dan menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk dapat menuntut ilmu. Di kawasan yang sulit
terjangkau seperti ini, diharapkan pemerintah dan masyarakat melakukan tindakan seperti
mendirikan sekolah dan perpustakaan.
Tidak hanya itu, setelah lulus dari bangku SMA alangkah sebaiknya mereka dibujuk agar
berkeinginan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi
harus didirikan di daerah-daerah dan tidak hanya fokus di kawasan kota besar.
Menghadapi arus globalisasi, masyarakat di daerah terpencil juga harus mampu menggunakan
internet. Melalui internet masyarakat dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan. Apalagi
Kemendikbud telah menyediakan layanan website rumah belajar, sehingga masyarakat dapat
belajar di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja.
Internet juga dapat membantu perekonomian keluarga. Orangtua dapat memperoleh pengetahuan
baru, sehingga dapat membuka usaha yang nantinya digunakan untuk membiayai anaknya
bersekolah.
Jika dilihat dari persoalan sosial, anak-anak yang mengalami putus sekolah disebabkan oleh
berbagai macam masalah. Masalah sosial yang dimaksud dapat berupa bullying, penggunaan
narkoba, seks bebas, tawuran, serta penyimpangan-penyimpangan sosial lainnya. Pemikiran anak
yang masih labil dan kondisi yang belum siap menghadapi permasalahan membuat anak depresi,
menyerah, dan akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan bersekolah.
Sangat diperlukan peran dari berbagai pihak agar anak bermasalah mau kembali bersekolah.
Pemerintah, pihak sekolah, psikolog, serta masyarakat harus dapat bekerja sama dalam
mengatasi permasalahan tersebut. Dapat dibuat tim khusus untuk mengetahui penyebab
permasalahan yang terjadi. Setelah mampu menganalisis permasalahan, tim tersebut memberikan
solusi yang terbaik. Tim juga memberikan motivasi bahwa melalui pendidikan dapat
meningkatkan kualitas kehidupan, serta dapat mempelajari banyak hal yang sebelumnya belum
diketahui.
Selain itu, dalam meningkatkan kualitas pendidikan diperlukan juga peningkatan kualitas mental
dan spiritual. Dengan adanya pendidikan yang merata dan berkualitas diharapkan Indonesia
dapat memanfaatkan bonus demografi dengan baik dan tidak menjadikan bonus demografi
menjadi "zonk demografi".

Anda mungkin juga menyukai