Konon, salah satu tebing itu merupakan tempat Nyai Roro Kidul (putri Prabu Siliwangi)
mencemburkan diri ke laut karena frustasi dengan penyakit yang dideritanya. Setelah
mencemburkan diri, akhirnya penyakit sang putri itu sembuh, tapi konsekuensinya sang putri
harus tinggal di laut dan tidak bisa kembali ke bumi lagi. Sang putri itulah yang kemudian
disebut Nyai Roro Kidul, penguasa laut selatan.
Masyarakat pantai selatan khususnya Pelabuhan Ratu, percaya adanya penguasa laut selatan
yaitu Ratu Kidul. Ia dipercaya sebagai seorang ratu yang cantik bagai bidadari. Di Laut Selatan -
nama lain dari Samudra Hindia - sebelah selatan Pulau Jawa, ia bertahta pada sebuah kerajaan
makhluk halus yang besar dan indah.
Pada bulan April biasanya masyarakat sekitar Palabuhanratu mengadakan ritual upacara adat
Hari Nelayan. Hari Nelayan dimaksudkan sebagai syukuran atas rezeki yang telah mereka
dapatkan dari hasil laut dan agar dijauhkan dari bencana. Biasanya dalam upacara ini disediakan
sesaji berupa kepala kerbau yang nantinya akan dilarung ke tengah laut.
Pantai Karang Hawu memiliki panorama alam yang indah, udaranya sejuk, dan hamparan
pasirnya yang luas dan lembut. Di tempat ini, pengunjung dapat melakukan aktivitas seperti
surfing, berenang, dan memancing. Selain itu, pengunjung juga dapat berlari-lari, jalan santai,
maupun duduk bersantai di atas pasir yang lembut sambil menghirup udaranya yang sejuk dan
melihat tebing dan karang yang tampak menakjubkan.
Konon, karang yang menjorok ke laut itu merupakan singgasana Nyai Roro Kidul, penguasa
Laut Selatan. Pada beberapa cekungan batu karang itu terdapat genangan air yang jernih. Banyak
para pengunjung yang memanfaatkan air itu untuk mandi atau membasuh mukanya karena hal
itu diyakini dapat membawa berkah. Bahkan tak sedikit pengunjung yang sengaja memasukan
air tersebut ke dalam botol untuk dibawa pulang. Persisnya, singgasananya terletak di atas bukit
karang yang menjorok ke lautan lepas Samudra Hindia. Di bukit karang itulah Nyi Roro Kidul
diyakini pernah menyendiri dan bertapa.
Cerita legenda tersebut tak hanya berkembang di masyarakat Sunda, tapi juga konon dipercaya
presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Konon, Sang Proklamator itu pernah bertapa di patilasan Nyi
Roro Kidul.
Dalam cerita rakyat Sunda disebutkan, Nyi Roro Kidul atau Putri Lara Kadita adalah putri
kesayangan dan paling dicinta ayahnya, Prabu Siliwangi. Selain dikagumi karena kecantikan
parasnya, sang putri juga dikenal berbudi halus. Kecantikan dan kasih sayang berlebih itulah
yang kemudian menimbulkan rasa iri dan dengki para selir Prabu Siliwangi. Puncaknya, para
selir itu mengirim sihir sehingga sang putri menderita penyakit kulit yang tak ada obatnya.
Sang putri pun terusir dari istananya dan berjalan menuju ke arah selatan hingga ke puncak bukit
Karanghawu untuk kemudian bertapa. Dalam tapanya, sang putri mendapat wangsit untuk terjun
ke laut selatan (Samudra Hindia) agar sakitnya pulih dan menjadi manusia sakti. Karena
kesaktiannya itulah, sang putri kemudian menjadi penguasa Laut Selatan dan berjuluk Ratu Laut
Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul.
Tak jauh dari bibir pantai juga terdapat dua pegunungan yang nampak asri, yaitu Pegunungan
Winarum dan Pegunungan Rahayu. Untuk menuju puncak pegunungan itu, pengunjung harus
berjalan kaki melalui jalan setapak. Selama pendakian pengunjung juga dapat menikmati
indahnya suasana pantai dari ketinggian.
Di puncak Pegunungan Winarum tersebut, terdapat makam dan petilasan yang dikeramatkan,
yaitu makam Syeh Hasan Ali, seorang ulama besar dan cukup terkenal di daerah Sukabumi. Pada
zaman dulu di bukit ini juga pernah dijadikan tempat pertemuan 40 ulama besar dalam mengatur
strategi penyebaran agama Islam di daerah selatan Sukabumi. Kemudian di puncak Pegunungan
Rahayu terdapat makam seorang tokoh penyebar agama Islam yang bernama Raden
Dikudratullah dan Raden Cengkal (aliem).
Legenda Batu Menangis
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di g
ubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia
tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari u
ntuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi
mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun di
a lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencu
cikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adala
h anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahka
n dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibel
inya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan m
emakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cuku
p untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan na
k!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu d
ong pakai baju yang ituitu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!”
kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada
anak semata wayangnya itu.
Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai
wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-
baju bagus, alatalat kosmetik yang mahal dan pergi ke pestapesta untuk memamerkan kecantikan
nya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu
bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seor
ang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya de
ngan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh
berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat canti
k dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungk
uk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-
temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi c
epat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibun
ya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu sem
akin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata di
a menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanm
u ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. A
ku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas j
adi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahn
ya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya mene
ngadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi
menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman
yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggele
gar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat.
Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahan
ya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi
ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu!
Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yan
g bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali.
Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga a
khirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.
Anak Katak Hijau Yang Nakal
Dahulu kala di sebuah kolam yan luas tinggalah seekor anak katak hijau dan ibunya. Anak katak
tersebut sangat nakal dan tidak pernah mengindahkan katakata ibunya. Jika ibunya menyuruhnya
ke gunung, dia akan pergi ke laut. Jika ibunya menyuruhnya pergi ke timur, dia akan pergi ke
barat. Pokoknya apapun yang diperintahkan ibunya, dia akan melakukan yang sebaliknya.
“Apa yang harus kulalukan pada anak ini” pikir ibu katak. “Kenapa dia tidak seperti anak-anak
katak lain yang selalu menuruti kata orang tua mereka.”
Suatu hari si ibu berkata, “Nak, jangan pergi keluar rumah karena di luar sedang hujan deras.
Nanti kau hanyut terbawa arus.”
Belum selelsai ibunya berbicara, anak katak tersebut sudah melompat keluar sambil tertawa
gembira,”hore…banjir aku akan bermain sepuasnya!”
Setiap hari ibu katak menasehati anaknya namun kelakuan anak katak itu bahkan semakin nakal
saja. Hal itu membuat ibu katak murung dan sedih sehingga dia pun jatuh sakit.
Semakin hari sakitnya semakin parah.
Suatu hari ketika dia merasa tubuhnya semakin lemah, ibu katak memanggil anaknya,”Anakku,
kurasa hidupku tidak akan lama lagi. Jika aku mati, jangan kuburkan aku di atas gunung,
kuburkanlah aku di tepi sungai.”
Ibu katak sebenarnya ingin dikubur di atas gunung, namun karena anaknya selalu melakukan
yang sebaliknya, maka dia pun berpesan yang sebaliknya.
Akhirnya ibu katak pun meninggal. Anak katak itu menangis dan menangis menyesali
kelakuannya, “Ibuku yang malang. Kenapa aku tidak pernah mau mendengarkan kata-katanya.
Sekarang dia telah tiada, aku sudah membunuhnya.”
Anak katak tersebut lalu teringat pesan terakhir ibunya. “Aku selalu melakukan apapun yang
dilarang ibuku. Sekarang untuk menebus kesalahanku, aku akan melakukan apa yang dipesan
oleh ibu dengan sebaik-baiknya.”
Maka anak katak itu menguburkan ibunya di tepi sungai.
Beberapa minggu kemudian hujan turun dengan lebatnya, sehingga air sungai dimana anak katak
itu menguburkan ibunya meluap. Si anak katak begitu khawatir kuburan ibunya akan tersapu
oleh air sungai. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sungai dan mengawasinya.
Di tengah hujan yang lebat dia menangis dan menangis. “Kwong-kwong-kwong. Wahai sungai
jangan bawa ibuku pergi!”
Dan anak katak hijau itu akan selalu pergi ke sungai dan menagis setiap hujan datang. Sejak
itulah kenapa sampai saat ini kita selalu mendengar katak hijau menangis setiap hujan turun.
Hikayat Si Miskin
Suatu hari, sepasang suami istri yang dikutuk menjadi miskin, melahirkan seorang anak yang
bernama Marakarma. Sejak anak itu lahir, keduanya pun mulai hidup berkecukupan. Suatu saat,
seorang ahli nujum meramalkan bahwa Marakarma akan membawa sial bagi keluarganya. Ayah
Murakarma pun meyakini hal tersebut dan sang anak pun dibuangnya ke suatu tempat. Sejak
anaknya dibuang, hidup Ayah Murakarma justru semakin miskin lagi melarat.
Di tempat lain, Murakarma yang terbuang belajar berbagai kesaktian di tempat pembuangannya.
Tanpa sebab yang jelas, dia dituduh telah melakukan pencurian, dan dia pun dibuang ke lautan
dan terdampar di pantai. Saat terdampar di pantai, dia bertemu dengan seorang putri yang
bernama Putri Cahaya. Sang putri tersebut telah menyelamatkan hidup Murakarma. Sejak saat
itu, Murakarma pun mencoba pulang ke kampung halamannya. Selama di perjalanan, dia pun
mendapatkan kesialan demi kesialan, sekaligus keberuntungan demi keberuntungan.
Aladdin dan Lampu Wasiat
Di Persia tinggal seorang Ibu dengan anak laki-lakinya bernama Aladdin. Suatu hari datang
seorang laki-laki mendekati Aladdin yang asyik bermain. Laki-laki ini mengakui Aladdin
sebagai keponakannya. Dengan seijin ibunya laki-laki ini mengajak Aladdin pergi ke luar kota.
Mereka menempuh perjalanan yang jauh hingga Aladdin merasa kecapaian. Saat mengeluh pada
pamannya ia malah dibentak dan disuruh mencari kayu bakar. Aladdin tak berani menolak
karena diancam akan dibunuh. Aladdin pun sadar bahwa laki-laki itu bukan pamannya. Ia
ternyata seorang penyihir.
Laki-laki penyihir itu menyalakan kayu bakar dan mulai mengucapkan mantera. "Kraak…" tiba-
tiba tanah berlubang seperti sumur. Di dalam sumur itu tersedia tangga hingga ke dasar.
“Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu", seru si penyihir.
"Tidak! Aku takut turun ke sana," jawab Aladdin. Penyihir itu pun mengeluarkan sebuah cincin
dan memberikannya pada Aladdin.
"Ini cincin ajaib. Ia akan melindungimu," kata penyihir. Akhirnya Aladdin mulai menuruni
tangga dengan takut. Sesampai di dasar sumur ia menemukan pohon-pohon berbuah permata.
Setelah permata dan lampu yang ada di sana dibawa, ia kembali menaiki tangga. Tetapi celaka,
sesampai di atas, ternyata pintu sumur sudah tertutup.
"Cepat berikan lampunya!" seru penyihir.
"Tidak!” kata Aladdin memberanikan diri “Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar,"
jawabnya. Setelah berdebat, si penyihir mulai tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang
ditutup oleh si penyihir yang langsung meninggalkan Aladdin terkurung di dalamnya.
Aladdin menjadi sedih. "Aku lapar, Aku ingin bertemu Ibu, Tuhan, tolonglah aku," ucap
Aladdin. Aladdin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, udara di
sekeliling Aladdin memerah dan asap membubung. Bersamaan dengan itu muncul raksasa.
Tentu saja Aladdin ketakutan. "Maafkan saya Tuan, … Saya telah mengagetkan Tuan. Saya peri
cincin, dan siap mengabdi pada Tuan yang memakai cincin.”
"Oh, kau peri cincin,” kata Aladdin setelah sadar apa yang terjadi. “Kalau mengabdi pada
tuanmu, sekarang bawalah aku pulang ke rumah."
"Baik Tuan, naiklah kepunggungku agar kita bisa pergi dari sini," ujar peri cincin. Dalam waktu
singkat Aladdin sudah sampai di depan rumahnya. "Saya sudah selesai bertugas. Kalau tuan
memerlukan, panggillah dengan menggosok cincin."
Aladdin pun menceritakan pengalaman ini pada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan
lampu kotor ini ya?" Kata Ibu Aladdin sambil membersihkan lampu itu. "Syut !" Tiba-tiba asap
membubung dan muncullah seorang raksasa peri lampu.
"Sebutkan perintah Nyonya, saya akan melaksanakan tugas itu." kata peri lampu. Aladdin yang
sudah pernah mengalami hal yang sama segera member perintah.
"Kami lapar. Sekarang juga siapkan makanan yang lezat". Dalam waktu singkat peri lampu
berkelebat dan kembali dengan makanan, kemudian menyuguhkannya. "Jika ada yang
diinginkan, panggil saya dengan menggosok lampu itu," kata peri lampu.
Hari-hari berlalu, bulan bergulir dan tahun bertambah. Aladdin hidup bahagia bersama ibunya,
hingga beranjak jadi pemuda. Suatu hari seorang Putri Raja lewat di depan rumahnya. Ia
terpesona dan jatuh cinta. Aladdin pun menceritakan keinginan itu pada ibunya.
" Aladdin, tunggulah, ibu akan mengusahakan keinginanmu." Ibu Aladdin pergi ke istana raja
dengan membawa permata yang pernah diperoleh Aladdin.
"Baginda, saya datang membawa hadiah dari anak laki-laki hamba." Raja amat senang. "Wah, ...
anakmu pasti seorang pangeran yang tampan. Ijinkan aku datang ke Istana kalian bersama
putriku".
Setiba di rumah, Ibu segera menggosok lampu dan meminta peri mendirikan istana. Aladdin dan
ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian peri lampu terbang dengan membawa Istana
megah.
"Tuan, ini Istana Anda." Keesokannya Raja pun benar-benar dating bersama putrinya.
"Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu?" tanya Raja setengah meminta. Aladdin
sangat gembira mendengarnya. Mereka pun melaksanakan pernikahan.
Sementara itu nun jauh di tempat lain, si penyihir menyaksikan semua kejadian yang dialami
Aladdin melalui bola kristal. Ia pun pergi ke tempat Aladdin dengan berpura-pura menjadi
penjual lampu.
“Barter-barter!! Tukarkan lampu lama anda dengan lampu model baru!" Permaisuri yang melihat
lampu usang Aladdin segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir
menggosok lampu dan memerintah peri lampu memboyong istana serta isinya ke rumah
penyihir. Ketika pulang Aladdin sangat terkejut. Ia puyn memanggil peri cincin dan bertanya
padanya. "Kalau begitu, kembalikan lagi semuanya kepadaku," seru Aladdin. "Maaf Tuan,
tenaga saya tidak sebesar peri lampu," ujar peri cincin. "Kalau begitu biarkan aku yang
mengambilnya. Sekarang antarkan aku ke sana."
Saat itu juga mereka sampai di Istana. Aladdin menyelinap masuk mencari kamar sang Putri.
"Penyihir itu tidur karena kebanyakan minum bir," ujar sang Putri. "Baik! Aku akan mengambil
lampu ajaib itu agar kita bisa akan menang," jawab Aladdin. Aladdin mengendap-endap
mendekati penyihir yang tertidur. Lampu yang dipegangi penyihir menyembul dari kantungnya.
Aladdin pun mengambilnya dan segera menggosok.
"Singkirkan penyihir itu!" seru Aladdin. Saat terbangun penyihir itu mencoba menyerang tapi
peri lampu langsung membantingnya hingga tewas. "Terima kasih peri lampu, bawalah kami dan
Istana ini ke Persia." Mereka pun hidup bahagia, sejahtera selama-lamanya.