Unit
lebih luas daripada research lesson. Rencana unit menunjukan bagaimana
research lesson yang diamati sesuai dengan serangkaian pelajaran.
Bagian terakhir dari rencana memandu belajar yakni tema penelitian (tema
penelitian ini telah diemukakan di depan). Tema penelitian dan pelajaran
mempunyai hubungan yang erat.
Bagian dari perencanaan pembelajaran yakni membuat rencana untuk
pengumpulan data. Hal itu juga merupakan suatu elemen penting dalam
menyusun rencana untuk memandu peserta didik belajar. Seperti telah
dikemukakan di depan, salah satu kolom rencana research lesson memuat “point
to notice” atau”evaluation”. Kolom itu memandu pengamat untuk
memperhatikan aspek-aspek khusus dari pelajaran. Anggota kelompok lesson
study dan guru-guru biasanya diberikan tugas dan format pengumpulan data untuk
membantu mereka dalam mengumpulkan data. Pengumpulan data biasanya
dikaitkan dengan suatu denah tempat duduk peserta didik, dafatar anggota setiap
kelompok peserta didik, catatan tentang partisipasi setiap anggota dari suatu
kelompok kecil, ataua data lainnya yang sesuai dan diperlukan.
Data yang dikumpulkan selama lesson study biasanya memuat bukti
tentang belajar, motivasi, dan iklim social. Walaupun pengumpulan data biasanya
lebih difokuskan pada peserta didik tetapi pengumpulan data juga biasa dilakukan
utnk menatat ucapan atau ceramah guru dan waktu yang digunakan guru pada
setiap elemen pelajaran.
Satu bbagianb penting dan yang patut dipertimbangkan dalam
merencanakan research lesson yakni mengundang pakar dari luar. Mereka bias
berasal dari guru atau peneliti yang memilikji pengetahuan tentang bidang studi
yang dipelajari dan atau bagaiman mengajar bidang studi tersebut. Keterlibatan
pakar dari luar akan lebih efektif jika sudah berlangsung sejak awal. Dengan cara
ini pakar mempunyai kesempatan dalam membantu merancang pelajaran, member
saran tentang sumbver-sumber kurikulum, dan bertindak sebagai komentator
terhadap research lesson.
Hal yang perlu dilakukan dalam merefleksi lesson study yakni memikirkan
tentang apa yang sudah berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana dan apa
yang masih perlu diperbaiki. Pada saat ini, tiba saatnya berfikir tentang apa yang
harus dikerjakan selanjutnya oleh kelompok lesson study . apakah anggota
kelompok berkeinginan meningkatkan pembelajaran menjadilebih baik? Apakah
anggota-anggota yang lain berkeinginan untuk mengujicobakan pembelajaran
pada kelas mereka sendiri? Apakah anggota kelompok lesson study puas dengan
tujuan-tujuan lesson study dan metode operasi kelompok? (Lewis, 2002:71).
Pertanyaan-pertanyaan berikut juga dapat membantu guru dalam
melakukan refleksi terhadap siklus lesson study maupun memikirkan langkah
yang akan dilakukan berikutnya.
Pertanyaan tersebut antara lain (1) apa yang berguna atau bernilai tentang
lesson study yang dikerjakan bersama? (2) apakah lesson study membimbing guru
untuk berpikir dengan cara baru tentang praktik pembelajaran sehari-hari? (3)
apakah lesson study membantu mengembangkan pengetahuan guru tentang mata
pelajaran serta pengetahuan tentang belajar dan perkembangan perserta didik? (4)
apakah tujuan lesson study menarik bagi semua guru? (5) apakah guru bekerja
bersama-sama dalam suatu cara yang bersifat produktif dan suportif? (6) sudahkah
guru membuat kemajuan terhadap tujuan lesson study secara menyeluruh? (7)
apakah semua anggota kelompok sudah merasa terlibat dan berguna? Dan (8)
apakah pihakyang bukan peserta merasa terinformasikan dan terundang dalam
kegiatan lessotiapn study ini? (Lewis, 2002:71).
see
secara kolaboratif guru merefleksikan
keefektifan pembelajaran dan saling
belajar dengan prinsip kolegialitas.
Lesson study yang dilakukan pada lingkup MGMP oleh guru sebidanng
studi atau antarbidang studi (LSBS) merupakan salah satu wujud dari
pembentukan komunitas belajar di sekolah. Terbentuknya komunitas belajar
merupakan sarana untuk pengembangan diri setiap guru. Disamping itu, lesson
study dan pengembangan komunitas belajar di sekolah akan meningkatkan rasa
kebersamaan dan kolegialitas antarguru, bahkan dengan kepala sekolah. Kegiatan
seperti itu jauh lebih bermanfaat daripada sekadar mengikuti pelatihan yang
sifatnya sporadis. Dengan kata lain, pelatihan hanyalah sebagai pelengkap,
sementara lesson study harus lebih diutamakan dalam upaya pembinaan
keprofesionalan guru karena dapat dilakukan secara rutin, terus-menerus, berbasis
pada kebutuhan riil guru dalam mengembangkan pembelajaran, dan bertempat di
sekolah.
Bagian selanjutnya dari buku ini akan membahas mengenai Lesson study
berbasis sekolah yang merupakan uraian pengalaman mengembangkan LSBS di
SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang selama empat tahun.
Menurut Lewis (2002), Saito (2007), dan Tim Ahli JICA untuk
SISTTEMS, (Susilo, 2008), hambatan dan kesulitan melaksanakan lesson study
sebagai berikut.
Menurut Saito (2007) dan Tim Ahli JICAS untuk SISTEMS (2008),
kesuluitan atau permasalahan dalam pelaksanaan lesson study di Indonesia
terutama yang menyangkut LSBS meliputi empat hal yaitu terkait penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), penggunaan lembar kegiatan peserta
didik (LKPD) da proses pembelajaran, pemasukan kegiatan kelompok dalam
pembelajaran, dan kegiatan refleksi. Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut.
a. Pertama LSBS terkait dengan penyusunan RPP. Guru kita kurang merasa
“memiliki RPP” yang akan dikembangkan dalam LS bila buikan dai yang
ditugaskan sebagai guru pengajar. Oleh karena itu, guru pengajarlah yang
biasanya menyusun RPP, baru kemudian pada kegiatan “plan” meminta
masukan dari guru-guru lain untuk penyempurnaanya.
b. LKPD terlalu padat dan materi terlalu banyak dalam sekali pembelajaran.
Padatnya LKPD menyebabkan kesulitan dalam proses pembelajaran, yaitu
peserta didi cenderung tidak mengerjakannya secara kolaboratif dengan
temennya, dan cenderung lebih banyak menfokuskan kegiatan pada
bagaiman menyelesaikan pengisian LKPD daripada berlatih berpikir
mengenai apa yang dipelajari. Masalah lain terkait proses pembelajaran
yakni adaanya kecenderungan peserta didik yang pandai yang
mengerjakan LKPD sementara itu, peserta didik yang kurang mampu
hanya menyontek pekerjaan mereka. Menurut Saito (2007), disebabkan
terklalu padatnya LKPD dan kurangnya perhatian guru terhadap proses
belajarr peserta didiknya. Lenih lanjut, Tim Ahli JICAS SISTEMS (2008)
menyebutkan bahwa permasalahn lain yang muncul terkait penggunaan
LKPD yakni guru hanya menyalin LKPD yang diterbitkan penerbit umum
sehingga tidak relevan upaya peningkatan kemampuan guru dalam
mendesain pembelajaran. Seringkali dalam pembelajaran guru tidak
fleksibel dalam memanfaatkan LKPD dan tidak menyesuaikan dengan
kondisi dan reaksi peserta didik. Selain itu, setelah pembelajaran guru
meminta peserta didik mengumpulkan LKPD sehingag tidak
emmunbgkinnkan me-review apa yang telah dipelajari hari itu.
c. Bagaimana memasukan kegiatan kelompok dalam pembelajran. Banyak
guru masih belum memahami mengapa diperkenalkan kegiatan kelompok
dalam pembelajaran. Pada dasarnya, kegiatan kelompok menfasilitasi
tumbuhnya perkembangan peserta didik. Wujud kegiatan tersebut
misalnya, medorong peserta didik yang berkemampuan rendah untuk
bertanya atau meminta penjelasan pada kelompok yang lebih pandai. Guru
seringkali membiarkan peserta didik menghabiskan waltu untuk tugas
kelompok dan presentasi. Ada juga guru yang tidak menyediakan waktu
untuk diskiusi kelompok selama kegiatan kelompok, peserta didik kurang
diberi kesempatan mereview hasil yang telah diperoleh, mendiskusi alas
an atau makna dibalik temaun yang diperoleh dan mnegmabil kesimpulan
secara bersama-sama.
d. Kesulitan yang terkait dengan refleksi yang dilakukan guru yaitu guru
cenderung mengatakan secara dekriftip apa yang daimati selama lesson
study tetapi sedikit sekali ayng memberikan wawasan atau hasil analisanya
mengenai mengapa terjadi hal itu atau mengapa peserta didik bertingkah
laku seperti itu. Kesulitan dan hambatan lain yang menonjol terjadi yakni
tidak semua guru dapat menjadi pendengar yang baik pada saat refleksi.
Misalnay sebagian mengobrol dan tidak mendengarkan komentar
pengamat.
3. Hambatan Budaya dan Biaya
Menurut Susilo (2008) hambatan terbeasr dalam pelaksanaan lesson study
yakni kurangnya pemahaman dan komitmen guru mengenai apa, mengapa dan
bagaimana melaksanakannya. Selain itu juga factor budaya dan biaya. Lesson
study berasal dari Jepang, yang hakikatnya memiliki budaya yang berbeda dari
budaya Indonesia. Apakah lesson study cocok dengan “budaya Indonesia”?
Lesson study merupakan satu cara peningkatan kualitas ppembelajaran yang dapat
dipelajari dan dimanfaaatkan jika kkita mau, yaitu setelah mengetahui, mengenal,
dan memahaminya. Pada perkembangannya lesson study mulai menyebar
kesuluruh dunia, misalanya AS, Australia, Malaysia, dan Singapura (Lewis and
Tsuchida, 1998’; Lewis, 2002; Richardson, 2001; Fernadez dan Chokshi,2002;
White dan Lim, 2007) selain ke Indonesia. Hambatan budaya dan konteks
merupakan salah satu hal yang harus diatas dalam pelaksanaannya. Hambatan
budaya yang berupa kecendurangan guru kurang komitmen dan kesungguhan hati
untuk melaksanakan yang terbaik, kuyrang memiliki sikap “mau belajar sepanjang
hayat” dan lebih tertarik melakukan sesuatu bila “ada biaya”nya. Hambatan lain,
kurang terbiasa mengembangkan budaya saling belajar dan membelajarkan secara
koalaboratif dan kurang biasa melakukan refleksi diri secar kritis. Untuk mengatsi
hal tersebut, guru perlu memerhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Guru atau kelompok guru perlu belajar memahami apa, mengapa, dan
bagaimana lesson study. Apabila dilingkungan sekitarnya tidak ada atau
guru tidak memperoleh kesempatan utnuk melihat, melakukan atau
memahami jelas kesulitan baginya untuk mencoba melakukan sendiri,
karena hanya berdasarkan tulisan yang ada.
b. Hambatan budaya, kecenderungan guru dan dosen yang kurang memiliki
komitmen dan kesungguhan hati utnuk melakukan yang terbaik (“do is the
best”, tetapi lebih cenderung memilikisikap sedang-sedang, dan cukup
atau mediocre). Hidup adalah pilihan dan masing-masing kita bebas untuk
memilih bagaimana kita bersikap. Setelah membaca buku ini, siapa yang
akan memilih untuk mempelajari dan mendalami lesson study secara
sungguh-sungguh dan ingin mencoba mempraktikannya dengan
guru/dosen lain? Untuk itu, perlu kolaborasi dengan minimal dau orang
guru/dosen untuk melakukannya dan perlu waktu khusus. Misalnya, setiap
minggu.
c. Guru dan dosen kurang memiliki sikap “mau belajar sepanjang hayat”
(dan lebih tertarik melakukan sesuatu bila “ada biaya”nya.). hambatan itu
tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga diseluruh dunia. Fernadez dan
Chokshi (2002) memberi contoh dosen Amerika Serikat. Di Negara
tersebut, guru dan dosen melakukan lesson study berkecenderungan
sebagai sesuatu yang “incidental” dan buakn “purposefulí”. Utnuk itu,
agar dapat mencapai hasil yang optimal dalm meningkatkan kuaitas
pembelajaran, hendaknya dilakukan dengan tujuan mendasar, yakni
“mempelajari bagaimana peserta didik belajar” dan “bagaimana dapat
membantu peserta didik belajar lebih baik”. Para pelaku lesson study di
AS melaporkan bahwa mereka “banyak belajar” setelah melakukan lesson
study. Dengan demikian, untuk melaksanakan lesson study dengan baik
tidak cukup berbekal sekadr keinginan melakukan lesson study, keinginan
untuk “mau belajar sepanjang hayat”, berusaha melakukan yang terbaik
untuk membelajarkan peserta didik dmi kemaslahatan peserta didik. Ada
kecenderungan Dikti maupun Dierktorat PMPTK ingin segera
menyebarluaskan lesson study keseluruh LPTK dan MGMP di Indonesia.
Tidak cukup, bila lesson study dilakukan sekadar formalitas untuk
memenuhi persyaratan formal agar sudah ber lesson study dan agar
terkesan tidak ketinggalan zaman tanpa membawa “ruh” yang
menghidupinya, yaitu “keinginan untuk belajar sepanjang hayat membantu
membelajarkan peserta didik”.
d. Kepala sekolah dan pengawas kurang terbiasa melakukan supervise dalam
rangka peningkatan kualitas pembelajran. Salah seorang teman dosen
sering mengatakan bahwa selama ini “supervise di sekolah-sekolah kita
sudah mati”. Kunjungan kepala sekolah dan pengawas ke kelas selama ini
dianggap “menakutkan” karena mereka cenderung dianggap “ingin
mencari kesalahan guru” sehingga guru enggan dikunjungi kelasnya dan
kepala sekolah maupun pengawas “enggan mengunjungi” kelas. Selain itu,
juga ada masalah kurang cocoknya kualifikasi pengawas dengan
kualifikaasi guru yang diawaasi (misalnya, pengawas tidak sebidang studi
atau serumpun studi dengan guru). Pelaksanaan lesson study dapat
memperbaiki hal itu bilab kepala sekolah dan pengawas bersedia
membentuk masyarakat belajar (learning community) bersama dengan
guru. Selama ini, di Kabupaten Pasuruan hanya beberapa orang kepala
sekLestari, dan Suarsini, 2007).
e. Guru seringkali kurang melakukan refleksi diri, tetapi hanya menunggu
diberi masukan oleh kepala sekoalh atau pengawas. Sebagai cara
peningkatan kaulitas diri, guru di Jepang juga sudah sangat terbiasa
melakukan refleksi diri secara kritis. Sebaliknya di AS, guru-guru masih
kurang banyak melakukan kegiatan tersebut, sepert halnya guru-guru di
Indonesia. Hal itu juga merupakan salah satu hambatan budaya yang harus
ditembus.