Anda di halaman 1dari 8

CERITA PENDEK

“KSATRIA SUBUHKU”

KELAS VIII.1
Oleh :

EGI PRIMA YAZA

SMPN 6 SIJUNJUNG

2020
KSATRIA SUBUHKU

Sepagi ini keramaian para santri menggugah panorama di asrama kecilku. Kajian kitab
sehabis subuh, penghafalan Al-qur’an serta ejaan bacaannya menjadi salah satu rutinitas yang
sebagian Mahasiswi kalanganku perminggu. Tak kalah ramai dengan dunia SOSMED (Sosial
Media) yang kini memenuhi halaman Facebook berandaku. Terlebihnya yang paling menarik
di antara status-status konyol di waktu subuh ini adalah Status Ksatria Subuh.

“PAGI SAUDARA/SAUDARIKU? AWALI AKTIFITAS ANDA DENGAN BISMILLAH!”

Begitulah sepotong status dari Facebook yang bernama Zam-Zam As-Subhi Memang seperti
tak asing lagi, namun bagi diriku pribadi yang terlalu sangat mudah termotivasi, ini adalah
kata-kata alami sungguh alami dari hati yang paling dalam. Kupercayakan kepada Sang Maha
Kholik penitipan rahasiaku yang hampir bertahun-tahun kupendamkan selama aku di
Pesantren Mahasiswa ini. Meski raut wajahnya belum terbingkai diantara kedua bola mataku
serta ingatanku, aku akan mencoba berkomunikasi langsung dengannya saat aku sudah
sarjana. Semoga saja Allah belum memberikan bidadari lain selain aku Fans sholihahnya.
Aduhai… Prikitiwww…

“Assalamuala’ikum? Assalamua’laikum?”
Suara laki-laki dari balik pintu membuatku tersadar. Ukhti-ukhti yang sedang sibuk
mengerjakan tugas skripsinya tak sedetikpun menoleh. Aku yang merasa tepat menganggur,
dan secepatnya aku bangkit membuka pintu Ma’had.
“Wa a’laikumsalam”

Seorang Ustadz menyebalkan tepat berdiri di hadapanku dengan wajah dingin yang kerap tak
asing lagi di kedua bola mataku. Dia yang selama bertahun-tahun menjulukiku dengan Si
Pengangguran Sosial Media.
“Ada yang bisa saya bantu? Ustadz?”
Pertanyaanku melayang ke dunia kaca yang retak. Lalu diterbangkan ke dunia sihir yang
gelap. Tak sedikitpun satu respon darinya. Suasana hening meski suara khas Qiro para santri
putra menggema di speaker mesjid.
“Afwan Ustadz? Jika tidak ada lagi…”
“Buku-buku perpustakaan tolong ambilkan!”
Ucapnya memotong perkataanku. Kudenguskan nafas kesalku mendengar kata perintah yang
teramat menusuk kalbu.
“Katanya tidak baik memotong perkataan orang lain, tapi sendirinya”
Ucapku menggerutu saat berlalu masuk ke dalam asrama. Wajah cecunguk para sohibku
menjelma dalam ejekan menyebalkan. Aku tahu bagaimana maksud dari tatapan dan senyum
lebar mereka.

“Ustadz Iqmal rajin banget nengok Ukhti Zayra?”


Azrin yang se-Universitas denganku, mulai berargumen mengawali satu ejekan ke ejekan
yang lain.
“Wah, anti ngiri tah?”
Tambah Aulia dengan mengedipkan mata kirinya. Kedua sahabatku ini yang paling jago
ngegosip tentang diriku, entah mengapa mereka mampu seprofesional ini.
Kuabaikan ocehan-ocehan mereka yang tak karuan menyebarkan gosip. Dengan setumpuk
buku perpustakan yang tempo hari di pinjam oleh santriwati di asramaku. Aku mencoba
menyembunyikan labuhan rasa kesalku di pagi ini.
“Baru aja dapet pelangi, udah diguyur ujan lagi…”
Fikirku sejenak. Dan cepat berangsut melangkahkan setapak jejakku di sekotak lantai asrama.

“ini Ustadz bukunya!”


Ucapku sambil menerawang tembus di antara susunan buku-buku yang bersusun di kedua
telapak tanganku. Namun detik-detikku menunggu gapaian tangan dari sebrang hadapku, tak
satu tanganpun mengambil genggaman buku-buku malang ini.
“ya Allah, kenapa sih kerjaan Ustadz ini selalu menyebalkan…”
Kesalku. Benar-benar keterlaluan masih ada saja seorang Ustadz super nyebelin di Pesantren
ini. Selebihnya jiwaku terasa robek penuh kekecewaan yang mendalam. Kalau saja aku bisa
mengadukan semua ini pada Ksatria Subuhku, pasti beban ini bukan hanya aku yang
merasakan tapi juga dia, meski sekilat hatiku berdebar saat sebuah status menggelikan dan
teramat menyindirku.

“Untuk Istriku nanti…


Di sini, di ujung samudera tak berpasir
Aku menyambut uluran takwa serta imanmu dalam kalbu hatiku. Meski ku tak pernah tahu
dimana engkau sebenarnya…”

Subhanallah. Perangai dari bentuk kata-katanya membuatku tersanjung, hamparan luas langit
cintaku makin merona bila aku ulangi kata-kata itu dalam tabel khayalanku. “Zam-Zam As-
Subhi” nama yang tercantum dalam buku catatanku. Mataku mendobrak seorang laki-laki
yang lantas berdiri memakai peci putih di sudut asrama putra. Ustadz Iqmal menikmati
tawanya bersama para ustadz-ustadz lain. Aku lemah bertabur amarah, laki-laki itu berhasil
menurunkan linangan basah di pipiku. Kesal, benci, marah spontan menyatu dalam detak
jantungku yang mulai meningkat drastis. Namun sayangnya handphoneku bergetar, sebuah
panggilan dari Ibundaku tercinta masuk.

“Hallo Assalamua’laikum?”
“Iya, Wa a’laikumsalam… Ada apa ibu?”
“Ra’? kamu teh lagi sibuk tidak”
“mmm… tidak Bu, memangnya ada yang mau dibicarakan?”
“Sebenarnya Ibu mau bicara tentang pribadimu Nok. Nanti sehabis wisuda ada yang mau
melamarmu ke rumah. Jujur, Ibu te’h tidak suka sama dia. Soalnya, dia termasuk orang yang
masih awam dalam ilmu agamanya, Ibu mau kamu mendapatkan yang sholeh, yang mampu
membimbing kamu ke jalan yang benar. Kalau kamu juga tak setuju dengan dia, kamu cari
yang soleh di Pesantrenmu! bukan Ibu menghalangi cita-citamu, untuk menjadi seorang guru,
tapi masalahnya dia anak dari sahabat Ibu, Ibu jadi enggak enak nolaknya. Lebih baik kan
kalau kamu sudah punya calonnya?”
“Memangnya siapa Bu? Si Deri? Anaknya Bu Nita?”
“Iya Nok, dia orangnya. Kamu tahu sendiri kan dari pergaulannya saja sudah menyimpang.
Ibu jadi ragu.”
“Nanti sama Ira difikirkan dulu. ya Bu?”
“Iya… ya… Assalamua’laikum”
“Wa a’laikumsalam”

Terlalu cepat sekali harus menikah. Persiapan belum terlahir dari naluriku, apalagi harus
menikah dengan berandalan seperti Si Deri, aku lebih memilih melajang kalaulah memang
harus nikah konyol dengannya. Pikiranku masih di ambang kekecewaan. Aku lebih memilih
masuk ke dalam asrama ketimbang menatap sang Ustadz rese seperti dia.

Keasyikanku menyempatkan buka akun facebook di tengah-tengah mata pelajaran kosong,


bukanlah hal aneh bagiku. Sejenak membiarkan ribuan masalah tergeletak, yang dapat
menghambatku dalam kekonsentrasian di kampus. Mentari begitu menyengat ubun-ubunku
hingga masuk dalam balutan jilbab besarku, berdesakan dengan angin yang tiba-tiba saja
datang mengucapkan selamat padaku karena diantara jurang dan bukit aku menemukan
kemilau keberuntungan yang besar. Subhanallah, sebuah inbox masuk dari Zam-Zam As-
Subhi ke akun facebookku. Sempat tak percaya, karena selama empat tahun aku berteman
dengannya di Sosial Media aku hanya bisa like statusnya yang tepat di waktu subuh.

Assalamua’laikum… Ukhti?
Afwan jika mengganggu aktifitasnya. Saya cuma mengucapkan Jazakillah untuk likenya
diantara status saya yang kerap saya buat di subuh hari. Anti paling rajin membuka akun
facebook Anti dan melike semua status-status yang saya buat. Sekali lagi Jazakillah. Ini
Nomor Handphone saya: 089223456178.
Wassalam

Hatiku nampak bergetar membaca sebuah inbox darinya. Langit cintaku terbuka lebar untuk
menyambutnya. Ksatria subuhku sudah menyambutku di pintu gerbang syurga dan
menjadikanku permaisurinya. “Ya allah… apa benar dia jodohku?” serangkaian hatiku
berkata dan berharap melambung nan jauh di udara. Seperti mimpi di siang bolong
menyapaku dengan kebahagiaan yang mendalam.

“Zam-Zam As-Subhi? siapa lagi sih Ra’?”


Azrin masih belum mengerti dengan curhatanku di sore ini. Apa boleh buat aku harus
menceritakannya dari awal.
“Jadi begini sahabatku, aku berteman di akun facebook dengannya selama empat tahun
semenjak aku di sini. Dia sang motivatorku yang selalu membuat status bagus di subuh hari.
Harapanku tak jauh bahwa ingin sekali aku lebih dekat dengannya. Aku pendam semua
harapan itu dan sekarang dia nginbox duluan Zrinn… nginbox duluan…”
Jelasku dengan nampang geregetan walau panjang lebar.
“Mau kemanain Ustadz Iqmalmu?”
Pembahasan konyol Aulia membuat skenario tawa mengembang diantara Azrin dan dirinya.
“Udahlah jangan bahas gituan! males tahu…” ucapku dengan sedikit muram.
“Gak apa-apa kan Ustadz Iqmal tuh ganteng, pinter, sholeh, dan kaya lagi. Cocok sama kamu
yang mata duitan buat beli kuota.”
Komentar Aulia menyatukan fikiranku tentang pribadiku yang lebih senang aktif di jejaring
sosial dan kurespon cepat komentarnya dengan senyum khas padanya.

Hari-hari memutar searah dengan jarum jam cepat dan lambat diantara kehidupanku sebagai
santri mahasiswa di Pesantren ini. Sebenarnya aku dan Ksatria subuhku sama-sama pelit
memunculkan foto di album facebook, suatu kemiripan yang tak pernah dibuat-buat
sebelumnya. Namaku juga nama samaran Mar’atu Sholihah dan dia Zam-Zam As-Subhi,
benar-benar jodoh hehe…

Keakrabanku dengannya tak berlangsung lama. Dia tak mau sebuah komunikasi ini menjadi
ladang jinah bagi diriku maupun dirinya. Dan pada akhirnya Dia memutuskan untuk
berta’aruf denganku langsung ke rumah sekalian membawa kedua orangtuanya agar tidak ada
fitnah. Hari itupun dijanjikan. Ibu terlihat girang mendengar kabar itu dan hatiku semakin
geregetan tak karuan rasanya. Namun hari itu juga aku harus masuk kampus karena ada
praktek mendadak di kelasku. Bingung, harus bagaimana menjelaskan padanya dan pada ibu.
Padahal ini adalah hari pertama kalinya aku melihat wajahnya yang gagah. Sudah menjadi
nasibku hari ini atau Allah belum meredhoi ini semua.

“Ibu? Gimana? Dia baik sama Ibu?”


“Baik Ra’. Dia teh baik sekali sama Ibu. Udah pinter, soleh, mapan dan santun pula. Ibu
benar-benar merestui kamu sama Dia.”
Aku tersenyum mendengar penuturan Ibu tentang Dia. Sayangnya Aku tak ada di sana,
apalagi kata Ibu dia benar-benar seperti artis. Hidungnya mancung, matanya bulat, kulitnya
putih, gagah, dan ahklaknya nyaris membuat Ibu menandingkan dengan Si Deri anaknya Bu
Nita. Jika sahabat-sahabatku tahu pastilah mereka ngiri kepadaku karena mendapatkan
seorang Pangeran tampan seperti Dia.

Siang itu juga sekumpulan Mahasiswi UIN mendapatkan kebahagiaan yang teramat
mengejutkan. Kami semua lulus dan sebentar lagi akan wisuda. Subhanallah, ternyata
perjuanganku selama empat tahun di kampus ini menghasilkan nilai yang maksimal. Dengan
ribuan kesabaran, persahabatan, do’a dan Motivasi dari Sang Ksatria Subuhku yang selalu
menjadi hal inspirasiku dalam berfikir serta berusaha keras menjadi Mahasisiwa terbaik.

“Alhamdulillah ternyata Ustadz kiler itu sebentar lagi mau menikah. Kemarin kan Dia udah
ngelamar seorang Akhwat.”
Azrin selalu membuka pembicaraan tentang satu sudut menyebalkan bagiku.
“Kata siapa Anti?” tanya Aulia sembari menyantap Mie seblak di halaman kantin kampus
kami siang hari ini. Aku hanya bisa mendengarkan tanpa respon ingin bergabung dengan
orang-orang yang pandai bergosip seperti mereka.
“Anak-anak Ma’had juga tahu, bahkan mereka yang bilang Alhamdulillah keras di depan
Ustadzah yang mengumumkan.”
Sedikit lega di hatiku menyeruak. Entah mengapa aku selalu kesal dengan prilakunya yang
menyebalkan. Laki-laki yang beda dua tahun denganku itu selalu membuat kejengkelanku
dalam mengerjakan tugas. Dia bertugas menjadi seksi keamanan yang terkenal super kiler di
Pesantrenku. Sebentar lagi aku akan melangkahkan kaki dari Pondokku dan dari kampus ini.
“Selamat tinggal Ustadz kiler” batinku puas

Ya Allah. Hari ini benar-benar hari lamaran. Cepat sekali Dia melamarku, padahal tak
sedikitpun Dia tahu bagaimana rupaku. Masih dengan Ksatria Subuhku namun kali ini Dia
membuat status yang jauh lebih menyindirku.

Gerbang Ridho-Mu Tuhan…


Seperti pelangi menyambutku untuk menjemputmu… berharap Engkaulah Bidadari yang
Selama ini kucari. Di ujung Dunia, di sudut langit aku mencarimu. Namun ternyata Engkau
hadir di pelupuk mataku…

Air mataku berlinang mengalir lembut diantara kedua pipiku dan hampir masuk ke mulut.
Perasaan haruku menyeruak tak mampu di bendung. Ksatria Subuhku mempersembahkan
status Subuhnya untukku? Mengapa baru pertama kali aku merasakan getaran cinta dari
sosok yang tak pernah kujumpai sebelumnya. Beruntungnya Ibu mengetahui pribadinya yang
mulia. Semulia inikah diriku? hingga dihadiahkan seorang calon suami sebaik dirinya.
Mungkin ini rahasia Tuhan yang memberikan amanah kepadaku untuk menjadi wanita yang
benar-benar sholehah.

Kulihat arloji yang melingkar di tangan kiriku. Sudah pukul 09.00 belum juga datang Dia dan
keluarganya. Hatiku resah bertambah bimbang dengan debaran yang sedari pagi kusimpan.
Khawatir Dia tak datang dan Aku takkan pernah tahu wajah aslinya. Hingga Ibu selesai
mempersiapkan segala hidangan untuk acara lamaran nanti, masih belum ada tanda sebuah
mobil terparkir di halaman rumahku. Dan pada saat itu juga Ibu menyuruhku istirahat
sebentar agar tak terlalu risau memikirkannya. Akupun sejenak tertidur di kamarku.

“Ra’? Ra’? bangun tamunya sudah datang!”


Kak Risa membangunkanku. Aku segera bergegas ke kamar Mandi dan membereskan
jilbabku yang sedikit tak beraturan. Hingga tepat kembali ke ruang tamu dengan perasaan
bercampur kaget. Aku melihat seorang Ustadz kiler duduk berdampingan dengan Ayah dan
Ibunya.

“Nah ini anaknya Bu.” Seloroh Ibu menarik lenganku untuk duduk dengannya.
“Subhanallah cantik sekali, pakai jilbab pula ya Iq?” tutur perempuan paruh baya di
sampingnya. Mataku hampir tak berkedip sedetikpun dan begitu pula matanya yang nampak
terbelalak tak percaya.
“Ra’? kenapa? Kok malah bengong?” tanya Ibu membuatku sadar dan langsung
menundukkan pandanganku dengan perasaan gelisah tak menentu.
“Iya, kok malah pada bengong? ini kan acara lamaran dan hari perjumpaan kalian berdua.”

Tak satu responpun dari mulut kami. Entah mengapa Ksatria Subuhku berubah menjadi
Algojo kejam yang kerap menghukum para penjahat di bumi. Sungguh bingung perasaanku
dan lebih tepatnya hatiku bertanya-tanya. Mengapa Allah mempertemukanku dengannya?
Perasaanku tak menentu. Apalagi Ibu pasti sudah sangat setuju dengannya. Takut membuat
Ibu kecewa serta kedua orangtuanya juga kecewa. Dan saat kuberanikan kembali mataku
padanya, sebuah senyuman manis menyapa debaran hangat di lubuk hatiku. Baru pertama
kali aku melihat Ustadz Iqmal tersenyum begitu manis kepadaku.

“Sebelumnya Afwan, De Zahyra. Atas tingkah laku Saya yang kurang lembut dalam
mendidik dan memberikan ilmu kepada Anti. Tapi apakah De Zayra mau memaafkan segala
kesalahan Saya? Jangan pikirkan dulu lamaran ini!”
Sebuah penuturan kata maaf yang teramat lembut bagiku. Hingga masuk dalam memori
ingatanku. Aku tersenyum padanya sebelum menjawab.
“Saya sudah memaafkannya Ustadz.” Jawabku tersipu malu. Dan pada akhirnya semua orang
mengerti tentang siapa sebenarnya Aku dan siapa sebenarnya Dia.

“Terus gimana? Apakah De Zayra menerima lamaran Saya? Saya janji deh gak akan kiler
lagi.”
Ucapnya sembari menahan tawa. Aku mengangguk dengan senyum yang masih ku
pertahankan. Dan pada akhirnya Cinta mengalir denga redho Allah dan Orangtua.

SELESAI

Cerpen Karangan: Reza Nurseptiani


Kategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 23 November 2019

Anda mungkin juga menyukai