Ciri-ciri utama “elit” pers baru yang berperan dalam kurun waktu
tersebut adalah ketidaktergantungan formal terhadap pihak pemerintah dan
kelompok yang mementingkan diri (vested interest), penerimaan ke dalam
struktur masyarakat sebagai institusi utama dalam kehidupan sosial dan
politik, munculnya profesi kewartawanan yang menerapkan pelaporan
peristiwa secara objektif, tanggung jawab sosial dan etis yang
tinggi,penerapan peran pemberi pendapat dan pembentuk pendapat secara
bersamaan, kecenderungan mengaitkan diri dengan “kepentingan nasional”
secara berulang kali. [1]
Wartawan Profesional?
Penafsiran
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
c. tidak menyuap;
[2] KEWI ini ditetapkan pada 14 Maret 2006 oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers
Indonesia. Dulunya sempat bernama Kode Etik Jurnalistik. Mengenai penamaan ini saya juga tidak sependapat
karena yang seharusnya diatur oleh kode etik adalah profesi wartawan, bukan kegiatan pekerjaannya. Penggunaan
nama Kode Etik Jurnalistik mengesankan bahwa kegiatan jurnalistik yang harus diawasi karena berpotensi salah
dan merugikan orang lain. Padahal kegiatan jurnalistik yang dituangkan ke dalam pers yang berfungsi untuk
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan; mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran. (UU No. 40 tahun
[4] Dewan pers berfungsi memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang
pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan (UU Pers Bab V tentang Dewan Pers pasal 15 ayat 2 huruf
f).