PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Etika memang bukanlah bagian dari Ilmu Pengetahuan (IP). Tetapi Etika lebih
merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas atau
perwujudan dalam bentuk perilaku yang baik (Akhlak mulia). Kendati demikian etika tetaplah
berperan penting dalam IP. Penerapan IP dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari
memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam
proses perkembangan IP selanjutnya.
Dengan begitu tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan IP. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan IP harus memperhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada
kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya IP
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia dan bukan menjadikan manusia menjadi budak teknologi dari
IP itu sendiri. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IP.
Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IP akan semakin
berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba
teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, memobilitasi,
dan memotivasi manusia untuk mengembangkan IP yang tidak mencelakakan manusia serta
aman bagi lingkungan hidup.[1]
2. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN ETIKA
Etika menurut kamus besar bahasa indonesia adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika berarti moral sedangkan etiket
berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut
juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam
norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama dan
norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan,norma agama
berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal
dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.
2. JENIS – JENIS ETIKA
Untuk menganalisis arti-arti etika, dibedakan menjadi dua jenis etika (Bertens, 2000)[2]:
1. Etika sebagai Praktis
a. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak
dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
b. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
2. Etika sebagai Refleksi
a. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai objeknya.
c. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang.
d. Dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.
3. ETIKA KEILMUAN
A. Problema Etika Ilmu Pengetahuan
Implikasi dari Ilmu Pengetahuan (IP) diperlukan sebuah ranah etis sebagai pertimbangan dan
terkadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan IP. Makanya tanggung jawab etis,
merupakan sarana pendukung atau hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan.
Dengan begitu sebagai manusia harus berpikir kritis, terbuka dan bijaksana dalam bersikap
terhadap IP.
Sebenarnya awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia
dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang
semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan
manusia budak teknologi dan menjadikan manusia yang acuh tak acuh atau bersikap
individualitis. Manusia semestinya memajukan IP sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai
pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain
itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai
penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia
kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.
Apakah kemajuan IP itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia sangat
ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IP sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural
universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem
kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem
peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IP haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk
mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya
dilakukan dalam pengembangan IP.[3]
Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak
bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri.
Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan
menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu
pengetahuaan.
Karena IP tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya,
asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat
untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas
dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi
kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar
komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon
selular yang dibantu adanya satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway
Communication dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah
dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam
waktu yang amat singkat.
Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-
kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor.
Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita
adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh karena itu
hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya
membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Disini kita akan mempelajari cara mengatasi ilmu bebas nilai dalam ilmu pengetahuan,
sebenarnya Filsafat sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan dan berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia dan sebagai
pengendalian manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan agama yang menjadi pedoman
kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami
kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan,
bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan lain,
mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan. Netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah
terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah
berlandaskan pada asas-asas moral agar tidak terjadi sesuatu yang tidak inginkan.
Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan (Eksistensi Manusia), dengan pertimbangan; (1) ilmu secara
faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang
dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses
yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian
rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan
yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Jalan keluar dari Bebas Nilai dalam ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dengan dua cara
berikut :
a. Context of Discovery
Menyangkut konteks dimana ilmu pengetahuan ditemukan. Bahwa ilmu pengetahuan tidak
terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman (kekosongan). Ilmu pengetahuan selalu
ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Jadi ilmu pengetahuan
tidak muncul secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dan tidak
dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus
sangat mempengaruhi nilai obyektifnya dan sejauh mana ia dapat mengungkapkan realitas
(kebenaran).
Dengan begitu pada intinya ilmu pengetahuan lahir dikarenakan ada sebab sebab tertentu,
mulai berawal dari pengalaman lalu terjadi sebab lalu dikembangkan menjadi sesuatu yang
bernilai.
Dengan contoh sepeda yang dulunya tidak ada mensin nya sekarang menjadi ada mesin nya
berawal dari kreativitas manusia dengan pandai mengembangkan sesuatu.
b. Context of Justification.
Menyangkut konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori
dan kriteria yang murni ilmiah. Kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori
dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta
keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain
di luar itu. Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris dan penalaran logis –
rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori, semua faktor ekstra ilmiah
harus ditinggalkan dan yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-rasional.
Satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran pada hal-hal yang
dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.
Dari sintesis ini dapat dipahami bahwa dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak
bebas nilai, tetapi dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Dalam
context of discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar
ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of justification, satu-satunya yang menentukan adalah
benar tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang
bisa ditunjukkan.
Lalu, apakah perdebatan tentang masalah ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu tetap
relevan untuk dibicarakan? Jawabannya adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh alasan
yang mendukung. Alasan pertama adalah, tuntutan ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan
memiliki tujuan yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom dan murni ilmiah. Harapannya, ilmu
pengetahuan tidak serta merta bisa dijadikan alat bagi pihak tertentu yang ingin melegitimasikan
otoritas demi kepentingannya semata. Kedua, perdebatan tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu
pengetahuan itu perlu dilihat sebagai upaya check and balances, yang bisa ditinjau dengan
sintesis context of discovery maupun context of justification. Hal ini dimaksudkan untuk
menggugah kesadaran ilmuwan agar tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan yang
bersifat destruktif, tetapi juga tetap memerhatikan aspek utiliter ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal
tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi otonomi ilmu pengetahuan, hanya untuk
menegaskan bahwa kebenaran memang harus diwujudkan, tapi apakah perlu, tentunya itu
dikembalikan kepada para ilmuwan sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Etika memang bukanlah bagian dari Ilmu Pengetahuan (IP). Etika lebih merupakan sarana
untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas atau perwujudan dalam
bentuk perilaku yang baik (Akhlak mulia). Kendati demikian etika tetaplah berperan penting
dalam IP. Penerapan IP dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi
etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IP
selanjutnya.
Dengan begitu tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan IP. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan IP harus memperhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada
kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya IP
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia dan bukan menjadikan manusia menjadi budak teknologi dari
IP itu sendiri. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IP.
Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IP akan semakin
berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba
teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, memobilitasi,
dan memotivasi manusia untuk mengembangkan IP yang tidak mencelakakan manusia serta
aman bagi lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Situmorang, Joseph, MMT, 1996, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai”, dalam Majalah Filsafat
DRIYARKARA, Th.XXII No.4, Jakarta
Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Diterjemahkan oleh : Bertens,
Grademia, Jakarta
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, 2001. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens, K. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Yayasan Kanisius. 1998. Ringkasan
Sejarah Filsafat. Cet : Keenam. Yogyakarta : Kanisius.
Drs, Surajiyo, 2012, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : PT Bumi Aksara Cetakan Kelima.
http://imadiklus.com/filsafat-ilmu-etika-dalam-pengembangan-ilmu/
diakses tanggal : 05 maret 2015 Jam 11:56.
BAB I
PENDAHULUAN
I.I latar Belakang
Etika memang tidak termasuk dalam kawasan ilmu dan teknologi yang bersifat otonom, tetapi tidak
dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan llmu pengetahuan dan teknologi. Penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh
pada proses perkembangan lebih lanjut pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Melihat fakta yang terjadi
saat ini adalah pengabaian masyarakat terhadap etika keilmuan maka dimensi etis berperan penting
yang bertujuan untuk memperkokoh eksistensi manusia.
Manusia selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap alam, lingkungan dan bahkan terhadap
dirinya sendiri, sehingga wajar apabila dari waktu ke waktu selalu ada (discovery) atau penemuan-
penemuan baru. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah
perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat dan mendasar itu menjadi
penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sinilah dimensi etis berperan penting dalam penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian etika
2. Untuk mengatasi problematika yang terjadi
BAB II
ETIKA ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian Etika
Etika adalah ilmu yang kritis. Ia tidak boleh dicampurkan dengan sebuah sistem moralitas. Etika adalah
filsafat yang mempertanyakan dasar rasional sistem–sistem moralitas yang ada. Sebagai refleksi kritis,
etika sebagai moralitas muncul pertama kali di Yunani. Pada saat itu masyarakat Yunani sedang
mengalami semacam masa pancaroba sosial budaya. Norma-norma dan nilai-nilai tradisional mulai
dipertanyakan. Dalam situasi seperti itu kebutuhan akan etika timbul. Etika membantu dalam mencari
orientasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada, baik yang tradisional, maupun yang baru yang
menawarkan diri sebagai alternatif atau saingan. [1]
Etika juga ilmu yang membahas perbuatan manusia tentang baik dan buruk perbuatannya sejauh yang
dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila disebut
“akhlaq” berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut moral berarti adat kebiasaan. Istilah moral berasal
dari bahsa Latin Mores. Tujuan mempelajari etika adalah untuk mendapatkan konsep yang sama
mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya
disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan
penggunaan norma tentang baik dan buruk.
1. Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, KANISIUS: Yogyakarta, 1992, hal. 42.
2. M. Amril Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar: Jogjakarta,
2002 Cet. Ke 2.
3. Acmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu pengetahuan Manusia (Kajian
Filsafat Ilmu), LESFI: Jakarta, 2002, h. 42.
D. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalisme Ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates dengan sikap skeptis-metodisnya
meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut
pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional
tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak
bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa
bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara
hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa
ilmu penegetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis,
ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya usaha kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan
ilmu, karena nilai etis itu bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu social harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan
bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial
melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan ke dalam
bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan
melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosia tidak beralasan mengajarkan atau
menuliskan itu semua. Suatu sikap yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah.
(Rizal Mustansyir dan Misnal munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu sosial harus bebas nilai atau tidak, bisa dipahami
mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain
subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas
masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. [4]
4. Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Bumi Aksara: Jakarta, 2005, h. 84.
5. Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Bumi Aksara: Jakarta, 2005, h. 86.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan suatu
sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi
jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya adalah karena
adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir itu selalu
mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan penampakan dasar
pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi operasionalisasi dari
seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya
sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.
3.2 Saran
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai kaum pelajar untuk menerapkan etika keilmuan pada kehidupan
sehari-hari. Karena fungsi dari ilmu itu sendiri adalah untuk memperkokoh eksistensi manusia bukan
sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta: LESFI.
Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Gazalba, Sid. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafaruddin. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Magnis Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: KANISIUS.