Anda di halaman 1dari 2

Listrik merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap manusia yang terus

meningkat seiring dengan peningkatan perekonomian di Indonesia. Tingginya tingkat


kebutuhan energi listrik membuat ketersediaan dan keandalan energi listrik menjadi
salah satu faktor penting dalam merencanakan suatu sistem ketenagalistrikan. Menurut
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025, diperkirakan bahwa
tingkat kebutuhan energi listrik nasional akan mencapai 457 TWh tahunnya dengan
daya puncak sekitar 74000 MW pada tahun 2025. Perlu digaris bawahi bahwa untuk
memenuhi kebutuhan energi listrik tersebut, bauran energi Indonesia dapat dibilang
masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil sehingga apabila tidak digunakan
dengan bijak maka akan menimbulkan masalah bagi generasi yang akan datang. Solusi
yang terbaik untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan cara
mengimplementasikan energi yang terbarukan seperti angin, air, panel surya, dan
geothermal dengan potensi yang sangat besar tetapi masih belum mampu
mengelolanya secara optimal.

Saat ini pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) mengacu kepada


Perpres No. 5 tahun 2006 mengeai Kebijakan Energi Nasional. Dalam Peraturan
Presiden telah disebutkan bahwa kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional
pada tahun 2025 memiliki prosentasi sebesar 17% dengan komposisi Bahan Bakar
Nabati sebesar 5%, Panas Bumi 5%, Biomasa, Nuklir, Air, Surya, dan Angin 5%, serta
batubara yang dicairkan sebesar 2%. Seiring dengan perkembangan sumber energi
yang terbarukan, diharapkan dapat diikuti dengan beberapa manfaat seperti
mengurangi emisi pemanasan global yang diakibatkan pembangkit listrik berbahan
bakar fosil, mengurangi polusi udara dan air yang dipancarkan oleh batu bara dan gas
alam yang sering dikaitkan dengan masalah kesehatan, dan meningkatkan kualitas
ekonomi di daerah sekitar. Dibalik semua kelebihan yang ada, energi terbarukan
memiliki masalah serius yang harus dihadapi yaitu intermitensi.

Salah satu hal yang belum bisa dipenuhi oleh pembangkit listrik energi
terbarukan adalah intermitensi atau ketidakpastian. Pembangkit listrik tersebut
memiliki ketergantungan pada kondisi alam. Misalkan saja PLTS yang tidak bisa
beroperasi ketika mendung maupun hujan. Padahal ada terdapat beberapa sistem
kelistrikan yang sama sekali tidak boleh mati ketika memikul beban yang penting.
Beban tersebut disebut beban dasar. Karena prosentase yang cukup besar dalam sistem
kelistrikan kita, beban tersebut harus disuplai oleh pembangkit dengan kapasitas besar
dan keandalan yang tinggi dimana PLTU lah yang menjadi jawaban kebutuhan energi
saat ini karena bahan bakar yang digunakan dapat diusahakan dan tidak bergantung
kepada kondisi alam. Intermitensi erat kaitannya dengan kontinuitas penyaluran tenaga
listrik karena sistem ketenagalistrikan harus andal, tidak terputus-putus dan secara
kontinu dapat menyalurkan tenaga listrik pada konsumen.
Keandalan sistem tenaga berkaitan dengan kemampuan sistem tenaga listrik
yang terdiri dari sistem pembangkitan, transmisi, dan distribusi dalam menjaga
kontinuitas suplai kebutuhan beban dalam keadaan yang telah direncanakan.
Komponen utama dalam keandalan adalah sistem keamanan, dimana hal ini berkaitan
dengan kemampuan sistem untuk bertahan dari gangguan seperti kegagalan peralatan
dan hubung singkat. Pemadaman listrik yang terlalu sering dengan waktu padam yang
lama dan tegangan listrik yang tidak stabil, merupakan refleksi dari keandalan dan
kualitas listrik yang kurang baik, dimana akibatnya dapat dirasakan secara langsung
oleh pelanggan. Oleh karena itulah, diperlukan suatu mekanisme untuk menjaga
keandalan sistem berbasis energi terbarukan yang dihadapkan dengan permasalahan
intermitensi sehingga diperoleh solusi yang menjawab permasalahan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai