Anda di halaman 1dari 37

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DI PANTI ASUHAN

YOS SUDARSO, CILANDAK TIMUR, JAKARTA SELATAN


MENGENAI PENYEBAB, GEJALA, DAN PENULARAN
SKABIES SEBELUM DAN SETELAH PENYULUHAN TAHUN
2019

LAPORAN MINI-PROJECT

FH. RAMADHAN

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN III GELOMBANG 1
JAKARTA
TAHUN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infestasi tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis pada kulit yang diikuti sensitisasi
menimbulkan penyakit kulit yang disebut skabies atau kudisan.1 Prevalensi skabies
dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi yang rendah, kebersihan yang kurang baik, dan
kepadatan penduduk yang tinggi.2,3 Oleh karena itu, skabies banyak terdapat di barak-barak
tentara, pengungsi, asrama, panti asuhan dan pesantren.
Prevalensi skabies dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya usia, jenis
kelamin, higienitas pribadi yang buruk, serta kelembaban dan kepadatan yang tinggi (CDC,
2015). Salah satu tempat tinggal dengan kepadatan yang tinggi yaitu panti asuhan. Panti
asuhan memiliki jadwal tidur yang telah ditentukan setiap malamnya sehingga umumnya
penghuni panti asuhan tidur pada waktu yang sama, namun terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan perbedaan waktu memulai tidur. Perbedaan waktu memulai tidur disebabkan
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pruritus nokturna atau gatal pada malam hari yang
khas pada penyakit skabies.
Panti asuhan adalah institusi pendidikan Islam yang muridnya (santri) tinggal di
asrama. Pada umumnya para santri tinggal dalam lingkungan yang padat yaitu satu kamar
berisi 20-30 orang dengan fasilitas kebersihan yang kurang memadai. Ma’rufi4 melaporkan,
prevalensi skabies di pesantren-pesantren di daerah Lamongan sebesar 64,2%. Di pesantren
itu, prevalensi pada kelompok yang kebersihan dirinya kurang baik mencapai angka 73,7%
sedangkan pada kelompok dengan kebersihan baik hanya mencapai 48,0%.
Skabies menimbulkan gatal terutama pada malam hari, papul, vesikel dan pustul di
telapak tangan, sela jari tangan, pergelangan tangan dan tempat predileksi lainnya. Oleh
karena itu tingginya prevalensi skabies menyebabkan kesehatan santri menjadi terganggu
karena mereka mengalami gatal sepanjang hari selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Akibat gatal, timbul infeksi sekunder yang menyebabkan demam, tangan menjadi sulit
digerakkan karena nyeri sehingga santri mengalami kesulitan menulis.
Berdasarkan uraian di atas, skabies perlu diobati dan pengobatan skabies harus
dilakukan kepada semua penghuni panti secara serentak diikuti dengan perilaku hidup bersih
sehat sebagai upaya pengobatan dan pencegahan skabies. Reinfeksi skabies mudah terjadi jika
pengobatan tidak diikuti dengan perilaku hidup bersih sehat. Oleh karena itu santri perlu
dibekali dengan pengetahuan mengenai skabies yaitu penyebab, gejala, pengobatan, penularan
dan pencegahannya dengan memberikan penyuluhan. Efektivitas penyuluhan perlu diketahui
dengan cara melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan warga panti
mengenai skabies sebelum dan sesudah penyuluhan. Karena keterbatasan penelitian, studi ini
difokuskan pada tingkat pengetahuan penghuni panti mengenai pengobatan dan pencegahan
skabies. Penelitian akan dilakukan di salah satu panti asuhan di Jakarta selatan.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan penghuni Panti Asuhan Yos Sudarso,
Cilandak Timur, Jakarta Selatan sebelum dan setelah penyuluhan mengenai gejala dan
penularan skabies di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan penghuni panti asuhan mengenai
gejala dan penularan skabies sebelum dan setelah penyuluhan di Panti Asuhan Yos
Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Diketahuinya sebaran karakteristik penghuni panti atas dasar usia, tingkat
pendidikan, jenis kelamin, dan sumber informasi.
2. Diketahuinya gambaran pengetahuan penghuni panti tentang pengobatan dan
pencegahan skabies sebelum dan pasca penyuluhan
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti
1. Menjadi wadah penerapan ilmu peneliti tentang riset baik secara teori maupun
praktik.
2. Meningkatkan wawasan peneliti tentang penyakit kulit skabies.
3. Salah satu sarana untuk menjadi seven stars doctor.
4. Sebagai media pelatihan peneliti dalam bidang kedokteran komunitas.

1.4.2. Manfaat Bagi Puskesmas


1. Mendapatkan informasi data tingkat pengetahuan penghuni panti Asuhan Yos
Sudarso, Cilandak Timur terhadap penyakit skabies.

1.4.3. Manfaat Bagi Masyarakat


1. Mendapatkan informasi tentang penyakit skabies.
2. Mendapatkan pengobatan bagi yang terjangkit penyakit skabies.
3. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap bahaya dan penanganan
penyakit skabies.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau mikroskopis Sarcoptes scabiei varietas hominis5,6 dan produknya.1 Varietas
lain dari S. scabiei hidup di kulit mamalia selain manusia yang mungkin bisa menyebabkan
gatal akibat dermatitis sementara tetapi tidak akan menular (menginfestasi dan membuat
terowongan) ke manusia.6 Skabies tergolong penyakit yang umum terdapat di seluruh dunia
dan siapapun dapat terkena tanpa membedakan ras serta usia. Akan tetapi, wabah skabies
hanya sering di jumpai di lingkungan dengan banyak terjadi kontak antar kulit manusia seperti
rumah sakit, tempat penitipan anak, panti asuhan, panti jompo, dan tempat-tempat lainnya.6
2.2. Tungau Penyebab Skabies (S. scabiei)
2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi S. scabiei

Gambar 2.1 S. scabiei Dewasa2


S. scabiei digolongkan dalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina,
super-famili Sarcoptoidea, famili Sarcoptidae, genus Sarcoptes.6 S. scabiei adalah tungau
kecil yang tak bermata, berkaki empat pasang, tubuh berwarna putih keruh berbentuk
menyerupai kantung (sac-like) oval dengan dorsal yang cembung dan ventral yang rata.1,7
S.scabiei betina berukuran 330-450µm X 250-350µm,7 sedangkan yang jantan berukuran
separuhnya yaitu 200-240µm X 150-200 µm .1 S.scabiei memiliki dua segmen tubuh, bagian
anterior tubuh tungau disebut dengan nototoraks sedangkan bagian posterior disebut
notogaster. Pada nototoraks dan notogaster masing-masing terdapat dua pasang kaki. Tungau
pada fase nimfa dan imago mempunyai empat pasang kaki sedangkan fase larva hanya
mempunyai tiga pasang kaki.7

2.2.2.Kebiasaan dan Siklus Hidup S. scabiei

Gambar 2.2 S. Scabiei dan Telurnya1


S. scabiei hidup di lapisan luar epidermis. Mereka menggali terowongan pada lapisan
ini sebagai tempat hidup dan bertelur. Lapisan epidermis manusia terus mengalami
pertumbuhan yang cepat sehingga terowongan yang dibuat tungau hanya terlihat pada bagian
luar epidermis yang mengeras.8 S. scabiei melakukan kopulasi di permukaan kulit9 atau di
dalam terowongan yang dibuat betina10 (pejantan masuk ke dalam terowongan betina).
Setelah melakukan kopulasi, betina yang telah dibuahi akan berkeliaran di permukaan kulit
mencari daerah dengan stratum corneum tebal (seperti telapak tangan dan kaki).11 Betina
menggunakan penghisap pada kakinya (kaki penghisap ambulakral) untuk menempel pada
permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit menggunakan rahang juga sisi tajam pada
tibia kedua kaki depannya.9 Terowongan yang dibuat sepanjang hidupnya dapat mencapai
panjang 2-3 cm dan terlihat seperti garis tipis berkelok pada kulit.9 Kemudian betina tersebut
selama hidupnya (hingga dua bulan), bertelur (2-3 telur per hari) dalam terowongan.9 Sekitar
tiga hari kemudian, larva yang memiliki tiga pasang kaki menetas dan sebagian besar
berkeliaran keluar dari terowongan. Dalam tiga sampai empat hari mereka berkembang ke
tahap protonymphal atau larva yang sudah menyerupai dewasa (sudah memiliki empat pasang
kaki). Sekitar tiga hari setelah itu mereka masuk ke tahap tritonymphal atau dewasa.8 Dalam
kondisi terbaik, hanya sekitar 10% dari telur yang mencapai tahap dewasa. 10 Setelah dewasa,
mereka kembali mengulangi siklus. Siklus hidup ini dapat berulang dengan sempurna dalam
periode 10-14 hari.9

2.3. Epidemiologi
Skabies tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda dengan perkiraan
prevalensi total 300 juta kasus per tahun.12 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
prevalensi ini antara lain keadaan sosial ekonomi, higiene, hubungan seksual, kepadatan
penduduk dan kesalahan diagnosis dari dokter yang memeriksa.2,3
Pesantren memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi sehingga rawan terjadi
skabies. Ma’rufi4 melaporkan, prevalensi skabies di pesantren di daerah Lamongan sebesar
64,2%. Di pesantren itu pula, prevalensi pada kelompok yang kebersihan dirinya kurang baik
mencapai angka 73,7% sedangkan pada kelompok dengan kebersihan baik hanya mencapai
angka 48,0%.

2.4. Penularan dan Patogenesis


Penularan dapat difasilitasi oleh tungau betina yang sudah dibuahi atau oleh nimfa.
Tungau hanya dapat merayap di permukaan kulit tidak dapat melompat ataupun terbang. Oleh
karena itu, penularan paling umum terjadi melalui kontak dengan kulit penderita baik secara
langsung bersentuhan maupun tidak langsung (tidur di ranjang yang sama dengan penderita,
menggunakan pakaian penderita, dll.).12 Ketika berada di permukaan kulit inang baru, tungau
akan mencari stratum korneum yang tipis untuk membuat terowongan; biasanya di daerah
predileksi.13
Setelah infestasi, masa inkubasi sangat bervariasi, mulai dari satu minggu sampai
berbulan-bulan. Pada umumnya, gejala dan tanda sensitisasi muncul setelah dua sampai empat
minggu setelah infestasi. Akibat dari sensitisasi tersebut, muncul lesi berupa papul, vesikel,
dan utrikel yang diikuti rasa gatal. Akibat rasa gatal yang tak tertahankan, sering terjadi luka
lecet bekas garukan kuku penderita yang sangat memungkinkan terjadinya infeksi sekunder
oleh bakteri. Biasanya menimbulkan lesi baru berupa pustul.1,6

2.5. Gambaran Klinis Skabies


Tanda dan gejala utama yang terlihat pada penderita skabies adalah terowongan-
terowongan pada permukaan kulit serta papul-papul yang diikuti munculnya rasa gatal. Gatal
yang luar biasa umumnya muncul pada malam hari (pruritus nokturna) dan atau ketika suhu
udara tinggi dan penderita berkeringat. Biasanya, gatal hanya terasa pada lesi; tetapi pada
skabies kronis, gatal bisa saja terasa di seluruh tubuh.2

Terowongan halus pada penderita skabies berbentuk sedikit meninggi, berkelok-kelok,


putih keabu-abuan. Terowongan ini muncul pada daerah tertentu biasanya yang berkulit tipis
seperti sela jari, pergelangan tangan dan kaki, aksila, umbilikus, penis, areola mammae dan di
bawah payudara wanita (gambar 2.3).1,2 Jarang ditemukan terowongan di punggung atas,
leher, muka, kulit kepala yang berambut, telapak kaki dan tangan pada orang dewasa; tetapi
pada bayi dan anak kecil, daerah tersebut sering terinfestasi bahkan dapat mengenai seluruh
badan. Derajat erupsi kulit (terowongan) bergantung pada sensitisasi kulit. Kulit dapat
menghitam dan menebal pada kasus yang parah.
Sebenarnya, rasa gatal timbul akibat sensitisasi kulit terhadap sekret, ekskret, dan telur
yang dikeluarkan tungau ketika menggali terowongan.1,2 Luka lecet pada kulit juga sering
ditemukan akibat respon menggaruk atas rasa gatal. Apabila kemudian terjadi infeksi
sekunder oleh bakteri pada luka lecet tadi, dapat muncul pustul dan terjadi pembesaran
kelenjar getah bening.1,6
Gambar 2.3 Manifestasi Klinis Skabies Klasik12
Pada bayi (gambar 2.4C), tanda skabies biasanya muncul di ketiak, kepala, wajah,
selangkangan, bokong, dan kadang di telapak tangan dan kaki. Tanda yang muncul biasanya
berupa vesikel, pustul dan nodul.2
Ada beberapa bentuk khusus skabies yang memiliki manifestasi klinis yang berbeda
dari skabies klasik. Pada orang dengan kekebalan tubuh yang terganggu (immuno-
compromised), dapat terjadi infestasi dengan tingkatan yang lebih parah yang disebut skabies
norwegia (gambar 2.4F). Tanda dan gejala yang timbul antara lain: ditemukan tungau parasit
dalam jumlah yang sangat banyak (ribuan hingga jutaan) bila dibandingkan dengan kasus
umum (10 hingga 50)16 serta timbul lesi krusta tebal (hiperkeratotik).1,16,17
Pada kasus skabies yang diikuti infeksi sekunder oleh bakteri, terkadang dijumpai
infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus, yang menyebabkan munculnya bentuk khusus
skabies yang disebut bullous scabies (gambar 2.4E). Infeksi bakteri ini bisa muncul di lengan,
tungkai, ataupun badan dan harus segera ditangani terlebih dahulu.2,18
Sekitar 7% dari seluruh kasus skabies adalah skabies nodular (gambar 2.4D) yang
ditandai dengan munculnya nodul berukuran 2-20 mm di daerah alat kelamin pria, bokong,
paha, dan ketiak. Nodul-nodul ini sangatlah gatal, warnanya merah kecoklatan dan tidak
megandung tungau di dalamnya; diduga muncul akibat hipersensitivitas tubuh.2,19
Gambar 2.4 Beberapa Bentuk Manifestasi Klinis Skabies12

2.6. Diagnosis
Diagnosis skabies ditetapkan jika ditemukan dua dari empat tanda kardinal ini:
1. P
ruritus nokturna, serangan gatal yang luar biasa pada malam hari.
2. O
rang yang berdekatan dengan penderita mengalami gejala yang sama.
3. M
uncul bercak jejas terowongan tungau yang berkelok-kelok atau lurus berwarna
keabuan dan terdapat papul atau vesikel di ujungnya yang sering disertai pustul
bila terinfeksi bakteri. Panjang terowongan rata-rata 1 cm. Penemuan tungau
pada tubuh pasien adalah diagnosis pasti.20
2.6.1. Teknik Identifikasi
Untuk menghindari kesalahan diagnosis, usaha untuk menemukan parasit dan
terowongan tetap harus dilakukan. Ada beberapa teknik yang bisa digunakan:
1. Mencari terowongan, papul/vesikel mencongkel dengan jarum, meletakkan di
kaca obyek, menutup dengan kaca penutup, melihat di bawah mikroskop.1
2. Menyikat kulit menampungnya pada kertas putih, melihat dengan kaca
pembesar.1
3. Burrow ink test (BIT) digunakan untuk mengidentifikasi terowongan dengan
cara memberikan tinta biru hitam ke papul lalu dibersihkan dengan alkohol.
Akan menunjukkan hasil positif bila tinta dalam terowongan terlihat bentuk
zig-zag.17
4. Biopsi: shave biopsy1,17
5. Epiluminescence Microscopy yaitu teknik pengamatan lapisan kulit dermis
superfisial secara in vivo. Bisa memberikan gambaran detil lapisan kulit dari
epidermis hingga dermis superfisial sehingga bisa mengidentifikasi
keberadaan terowongan.17

Gambar 2.5 Hasil Epiluminescence Microscopy pada Lesi Skabies17

2.6.2. Diagnosis Banding


Gejala skabies seringkali tidak spesifik dan serupa dengan penyakit kulit
lainnya, diagnosis banding yang sering diberikan adalah pedikulosis korporis,
dermatitis, dan prurigo.1
Diagnosis banding skabies secara lengkap adalah:
1. I
mpetigo
2. F
olliculitis
3. P
apular urticaria from other insect manifestations
4. C
ontact dermatitis
5. A
topic dermatitis
6. D
ermatitis herpetiformis
7. P
ityriasis rosea
8. P
soriasis
9. S
econdary syphilis
10. S
eborrheic dermatitis
11. L
ymphoma and pseudolymphoma (if scabies presents as nodules)
12. L
inear immunoglobulin A bullous dermatosis
13. P
ruritic urticarial papules and plaques of pregnancy

2.7. Pengobatan Skabies


Obat skabies yang ideal menurut Everdingen harus memenuhi syarat berikut: efektif
membasmi tungau beserta telurnya dengan cepat, tak beracun atau menimbulkan iritasi, tidak
berbau dan tidak kotor, tidak menimbulkan noda maupun merusak pakaian, tidak
menyebabkan pioderma, tidak menyebabkan atau memperberat gatal, mudah digunakan dan
tidak mengganggu pekerjaan, serta mudah diperoleh dengan harga murah. Cara pengobatan
ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita yang hiposensitisasi).
Berikut ini dua jenis obat yang biasa digunakan untuk menangani skabies dan
sudah dinyatakan aman:
1. Sulfur Presipitatum (4-20%)
Sulfur hanya efektif untuk membasmi tungau dan larvanya dan tidak
mematikan telur tungau, sebaiknya penggunaan dilakukan selama 3 hari berurut-
turut. Aman dipakai anak-anak dengan setengah dosis dewasa. Sulfur murah,
mudah didapat dan efektif; akan tetapi, sulfur meninggalkan bau dan noda pada
pakaian serta memberikan sensasi lengket tidak nyaman pada kulit sehingga
tidak disukai.11, 12
2. Emulsi Benzil-Benzoas (20-25%)
Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama 3 hari.
Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi. Dapat dipakai pad bayi berumur
kurang dari 2 bulan.
3. Gama Benzena Heksa Klorida ( Gameksan 1%)
Krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua
stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan
pada anak di bawah 6 tahun dan ibu hamil karena toksis terhadap susunan saraf
pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala, diulangi seminggu
kemudian.
4. Krotamiton 10%
Krim atau lotio juga merupakan obat pilihan, mempunyai efek sebagai
antiskabies dan antigatal; harus di jauhkan dari mata, mulut uretra.
5. Permetrin
Permetrin adalah golongan pyrethroid, merupakan bahan kimia yang
sering digunakan sebagai bahan dasar insektisida. Bersifat sebagai antiparasit
dengan spektrum luas dan dapat membunuh berbagai jenis arthropoda termasuk
tungau dan kutu. Pada tahun 1989 permetrin 5% dalam bentuk losion telah
diakui aman untuk mengobati skabies oleh FDA di USA.2 Di luar negeri
dianjurkan pemakaian Ivermectin (200 μg/kg) per oral, terutama pasien yang
persisten atau resisten terhadap permetrin.
2.8. Pencegahan Skabies
Pencegahan penyakit skabies memiliki konsep yang sama dengan preventive
medicine21 yang membagi pencegahan penyakit menjadi tiga tingkatan: pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pembagian tingkatan dilakukan dengan
mengaitkan pencegahan penyakit terhadap fase penyakit. Kaitan tersebut terlihat pada tabel
berikut.

Tabel 2.8.1 Kaitan Periode Penyakit dengan Tingkat


Pencegahan21
Fase pre-patogensis Fase Patogenesis
Pencegahan primer: Pencegahan sekunder:
1. 1. P
romosi kesehatan (health iagnosis dini dan perawatan tepat
promotion) (Early diagnosis and prompt
2. treatment) P
erlindungan khusus (specific 2.
protection) embatasan kerusakan (Disability
limitation)
Pencegahan tersier:
1.
ehabilitiasi
2.8.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yang dilakukan saat fase pre-patogenesa penyakit skabies
dilakukan dengan:
1. M
enjaga kebersihan badan.
2. M
enjaga kebersihan pakaian.
3. T
idak menggunakan alat pribadi (handuk, sprei, pakaian) bersama dengan
orang lain.22,23
4. P
enyuluhan (untuk komunitas)23
Dalam menjaga kebersihan badan hal yang perlu diperhatikan adalah kebersihan
kulit, kebersihan kuku tangan, dan kebersihan kaki. Kebersihan kulit dapat dijaga
dengan mandi teratur dua kali sehari menggunakan sabun mandi yang lembut.
Sedangkan kebersihan kuku tangan dijaga dengan mencuci tangan dengan sabun.
Kebersihan kaki pun perlu diperhatikan karena kaki sering tertutup sepatu dan menjadi
media lembab yang baik bagi parasit.
Untuk mencegah terjadinya wabah skabies pada suatu komunitas, perlu diberikan
penyuluhan kepada masyarakat awam23 (khususnya subjek berisiko tinggi) untuk
meningkatkan pengetahuan mereka mengenai skabies. Penyuluhan yang diberikan berisi
tentang penyebab, gejala, pengobatan, penularan, dan pencegahan penyakit skabies.
Pemberian penyuluhan juga harus disesuaikan dengan karakteristik sosial budaya dan
tingkat pendidikan masyarakat yang akan diberi penyuluhan sehingga penyuluhan
tersebut akan bermanfaat.

2.8.3. Pencegahan Sekunder


Ketika ada seseorang yang sudah terkena penyakit skabies, yang harus dilakukan
adalah mencegah orang di sekitar penderita dari infestasi skabies. Inti dari fase ini
adalah mencegah terjadinya penularan termasuk mengobati penderita. Beberapa cara
yang bisa dilakukan adalah sebisa mungkin menghindari kontak tubuh dalam waktu
lama (melakukan hubungan seksual, berpelukan) dengan penderita.24 Sebaiknya
penderita diisolasi terlebih dahulu agar tidak menular ke orang lain. Orang-orang yang
berada di sekitar penderita juga perlu diberi obat agar tidak tertular.

2.8.4. Pencegahan Tersier


Setelah penderita dinyatakan sembuh dari skabies, pencegahan tersier perlu
dilakukan. Pencegahan tersier bertujuan agar penderita dan orang-orang disekitarnya
tidak terjangkit skabies untuk kedua kalinya. Pakaian, handuk, dan sprei yang
digunakan lima terakhir oleh penderita harus dicuci dengan air panas agar seluruh
tungau mati.22-24 Atau dicuci bersih dengan deterjen dan dijemur di bawah matahari
terik. Barang-barang yang tak bisa dicuci tetapi diduga terkena tungau bisa diisolasi
dalam kantong plastik tertutup di tempat yang tidak terjangkau selama seminggu sampai
tungau mati kelaparan.22

2.9. Karakteristik
2.9.1. Usia
Usia seseorang tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang secara
langsung, meskipun pada umumnya semakin tua usia seseorang semakin luas pula
pengetahuannya.25 Rasa ingin tahu seseorang sangat erat hubungannya dengan usia
orang tersebut. Menurut survei yang dilakukan oleh PGRI,26 semakin muda usia
seseorang semakin besar rasa ingin tahunya.
2.9.2.Jenis Kelamin
Prevalensi skabies pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Muin27
melaporkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami skabies
karena kecenderungannya untuk merawat diri dan menjaga kebersihan. Hal tersebut
secara tidak langsung menyatakan bahwa perempuan memiliki perhatian terhadap
masalah kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
2.9.3.Tingkat Pendidikan
Sesuai dengan kurikulum yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional,
terdapat perbedaan kompetensi yang jelas antara sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, dan sekolah menengah atas.28 Adanya perbedaan kompetensi tersebut
menunjukkan bahwa terdapat pula perbedaan pada tingkat pengetahuan yang dimiliki
pada tiap tingkatan pendidikan.
2.9.4.Sumber Informasi
Seseorang tidak mungkin mendapatkan pengetahuan dengan sendirinya kecuali
insting yang memang bawaan sejak lahir. Seseorang bisa mendapatkan pengetahuan
apabila terpapar oleh sumber informasi. Sukanto29 menyatakan bahwa semakin banyak
paparan sumber informasi semakin tinggi tingkat pengetahuan orang tersebut.

2.10. Pengetahuan
2.10.1.Definisi
Pengetahuan adalah perkembangan dari “tahu” setelah penerimaan sensoris
khususnya mata dan telinga terhadap benda tertentu selesai diproses. Pengetahuan
berperan penting dalam membentuk perilaku terbuka manusia karena biasanya perilaku
yang didasari pengetahuan lebih mudah diterima dan terus berjalan.30

2.10.2.Tingkatan Pengetahuan
Ada enam tingkatan pengetahuan dalam sektor kognitif.30 Mengetahui adalah
tingkatan terendah, ditandai dengan kemampuan mengingat hal yang telah dipelajari
(menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan). Memahami merupakan
tingkatan selanjutnya, ditandai dengan kemampuan menerjemahkan apa yang telah
dipelajari (menjelaskan, memberi contoh, dan menyimpulkan). Tingkatan selanjutnya
adalah menerapkan, yaitu kemampuan menggunakan hal yang telah dipelajari di dunia
nyata (rumus-rumus dan hukum-hukum dapat digunakan pada situasi yang tepat).
Selanjutnya adalah tingkatan yang lebih kompleks yaitu analisis; merupakan
kemampuan menjabarkan dan menguraikan suatu topik menjadi hal yang lebih kecil
yang berkaitan (dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan,
dan lain-lain). Tingkatan selanjutnya adalah sintesis, ditandai dengan kemampuan
menghubungkan hal-hal yang berkaitan menjadi hal baru (ukuran: dapat menyusun,
merencanakan, dan menyesuaikan teori dasar). Fase terakhir adalah evaluasi yaitu
melakukan penilaian atas sesuatu berdasarkan hal yang telah dipelajari.30
2.10.3.Proses Terbentuknya Pengetahuan
Menurut Rogers (dikutip dari Notoatmodjo30), dalam memperoleh pengetahuan
baru, seseorang harus melalui proses awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption
yang disingkat menjadi AIETA. Awareness adalah awal proses ketika manusia sadar
akan keberadaan suatu stimulus. Interest terjadi ketika manusia mulai merasa tertarik
pada stimulus tersebut. Evaluation yaitu terjadinya penilaian atas stimulus oleh
manusia, apakah baik baginya? Atau justru merugikan? Trial, manusia akhirnya
mencoba melakukan hal baru sesuai stimulus. Adoption apabila hal baru tersebut dirasa
menguntungkan/lebih baik, manusia akan menerapkannya terus menerus hingga
ditemukan metode yang lebih baik lagi.30

2.11. K
e
r
a
n
g
k
a

K
o
n
s
e
p

USIA USIA

JENIS JENIS
KELAMIN PENGETAHUAN PENGETAHUAN KELAMIN
MENGENAI MENGENAI
PENGOBATAN DAN PENGOBATAN DAN
TINGKAT TINGKAT
PENCEGAHAN PENCEGAHAN
PENDIDIKAN PENDIDIKAN
SCABIES SCABIES
SEBELUM SESUDAH
SUMBER SUMBER
INFORMASI INFORMASI
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian dilakukan dengan metode pre-post study yaitu membandingkan pengetahuan
penghuni panti asuhan sebelum dan setelah mendapat penyuluhan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan
dan data diambil pada tanggal 24 Maret 2019.

3.3.
Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah penghuni panti asuhan yang menetap di
Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.
3.3.1 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah penghuni panti asuhan yang
menetap di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan dan berada di
lokasi penelitian pada saat pengambilan data.

3.3.1 Subjek Penelitian


Sampel penelitian ini adalah penghuni panti asuhan yang menetap di Panti
Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan dan berada di lokasi penelitian
pada saat pengambilan data serta memenuhi kriteria seleksi.

3.4. Kriteria Inklusi, Eksklusi, serta Drop Out


3.4.1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Tidak digunakan kriteria apapun karena seluruh santri diambil sebagai sampel
penelitian.
3.4.2. Kriteria Drop Out
1. Tidak mengisi kuesioner secara lengkap.
2. Mengundurkan diri dari penelitian.
3.5. S
ampel
3.5.1. B
esar Sampel
Dari populasi terjangkau yaitu penghuni panti asuhan yang menetap di Panti
Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, diambil seluruhnya sebagai sampel karena
berdasarkan asas justice lebih etis supaya setiap responden yang telah dipersiapkan oleh
pihak panti asuhan mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh informasi,
terlibat dalam penelitian dan mendapatkan pengetahuan dalam hal gejala dan penularan
skabies. Total sampel yang diambil sebanyak 30 penghuni panti asuhan.

3.6. C
ara Kerja
3.6.1. Identifikasi Variabel

Pada penelitian ini, variabel independen adalah penyuluhan yang diberikan


kepada penghuni panti asuhan sedangkan variabel dependen adalah tingkat pengetahuan
penghuni panti asuhan mengenai gejala dan penularan skabies sebelum dan sesudah
penyuluhan. Variabel perancu adalah kejujuran responden dalam mengisi kuesioner.

3.6.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Peneliti


mendatangi panti asuhan untuk mengambil data penelitian. Setelah responden
dikumpulkan di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, peneliti menjelaskan
penelitian yang akan dilakukan. Setelah responden menyetujui secara lisan, mereka
diminta mengisi kuesioner berisi pertanyaan mengenai penyebab, gejala dan penularan
skabies. Setelah semua pertanyaan dijawab responden, peneliti memeriksa ulang
kuesioner. Setelah itu, peneliti memberikan pembahasan untuk jawaban responden yang
kurang tepat. Setelah pengisian kuesioner selesai, peneliti memberikan souvenir sebagai
tanda terima kasih kepada responden. Kuesioner yang telah terisi secara lengkap akan
dikumpulkan oleh peneliti.
3.6.3. Pengolahan Data

Untuk pengolahan data digunakan perhitungan cara manual dan bantuan


software pengolahan data menggunakan Microsoft Excel, dengan membandingkan
tingkat pengetahuan mengenai skabies sebelum dan sesudah penyuluhan.

1. Verifikasi Data
Verifikasi data dilakukan segera setelah pengisian kuesioner. Kuesioner yang
telah diisi oleh penghuni panti asuhan diperiksa kelengkapan serta
kesesuaiannya.
2. Entry Data
Setelah diverifikasi, data yang diperoleh dimasukkan dalam Microsoft Excel
sesuai skala pengukuran data. Data responden berupa usia, tingkat
pendidikan, jenis kelamin, dan sumber informasi diklasifikasikan dalam
bentuk skala nominal. Tingkat pengetahuan penghuni panti tentang penyebab,
gejala, dan penularan skabies diklasifikasikan ke dalam skala ordinal.
3. Uji Statistik
Dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan
penyajian penelitian dilakukan dalam bentuk deskriptif.

3.6.4. Penyajian Data


Data disajikan dalam bentuk tabel diserta dengan penjelasan yang bersifat
deskriptif.

3.6.5. P
elaporan Data
Hasil penelitian akan dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.
3.7. B
atasan Operasional
3.7.1. Data Umum
1. Responden adalah semua penghuni Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur,
baik laki-laki dan perempuan.
2. Usia responden adalah tanggal pengambilan data dikurangi tanggal lahir
responden, kemudian usia responden diklasifikasikan menjadi ≤15 tahun dan
>15 tahun.
3. Tingkat pendidikan responden adalah studi formal yang sedang ditempuh
responden pada saat penelitian berlangsung yaitu, SD/SD Islam,
SMP/Tsanawiyah, SMA/Aliyah, dan Mahasiswa.
4. Sumber informasi adalah semua sarana yang digunakan oleh responden untuk
mengetahui tentang skabies. Jumlah sumber informasi dibuat menjadi beberapa
kategori, yaitu tidak ada sumber, 1 sumber, 2 sumber, 3 sumber, 4 sumber, dan
lebih dari sama dengan 5 sumber.

3.7.2.
Data Khusus
Data mengenai pengetahuan adalah segala sesuatu yang dimengerti responden
tentang penyebab, gejala, dan penularan skabies. Data diperoleh dari kuesioner yang
diberikan dan diukur nilainya berdasarkan nilai masing-masing jawaban. Klasifikasi
tingkat pengetahuan dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Tingkat pengetahuan baik apabila nilai ≥ 80%
2. Tingkat pengetahuan cukup apabila nilai 60-79%
3. Tingkat pengetahuan kurang apabila nilai ≤ 59%
3.8. Kerangka Alur Penelitian

propPenyusunan proposal
penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPengambilan sampel
Penyusunan proposal penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPemberian
Penyusunan kuesioner
proposal (pre)
penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPenyuluhan
Penyusunan proposal penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPemberian kuesioner
Penyusunan proposal (post)
penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
proDDrop out
Penyusunan proposal penelitian
n
propPencatatan data ssrrfeevn
n proposal
ssrrfeevn proposal penelitian penelitian
propPengolahan
Penyusunan data
proposal penelitian Penyusunan
n proposal
ssrrfeevn proposal penelitian penelitian
Penyusunan proposal penelitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Data Umum

Pesantren X berada di daerah Condet, Jakarta Timur. Pesantren tersebut berdiri di


atas tanah seluas 12 500 m2 dengan luas total bangunan 7 050 m2. Jumlah total warga
pesantren adalah 444 orang terdiri dari 15 orang pengurus pesantren, 36 orang pengajar
madrasah, 100 orang santri MA (madrasah aliyah), 120 santri MTs (madrasah
tsanawiyah), 75 santri MD (madrasah diniyah), 35 santri TK (taman kanak-kanak), dan 63
santri TPA (taman pendidikan alqur’an).

Santri yang tsanawiyah dan aliyah sehari-hari bertempat tinggal di gedung asrama
yang disediakan; sedangkan santri lainnya tidak menginap di pesantren. Asrama tersebut
terdiri dari asrama putra yang memiliki 6 ruang kamar dan terletak di dekat gedung
sekolah serta asrama putri yang merupakan 2 buah rumah tanpa kamar dan terletak di
dekat kediaman pengurus pesantren.

Selain gedung sekolah dan asrama, di pesantren X juga terdapat masjid, lapangan
utama dan lapangan bawah, perpustakaan dan toko buku, warung telepon, laboratorium
komputer, kantin, pos kesehatan pesantren, serta ruang aula. Di sisi belakang, pesantren
langsung berbatasan dengan perkebunan dan tanah kosong, sedangkan sisi lainnya
berbatasan langsung dengan perumahan penduduk.

4.2. Data Khusus

Berdasarkan survei yang dilaksanakan di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak


Timur, diperoleh total 35 orang responden, namun, terdapat 5 orang responden yang
mengalami drop out sehingga jumlah data yang dapat diolah hanya 30 orang responden.
Tabel 4.2.1. Sebaran Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dan Tingkat
Pendidikan

Variabel Kategori Jumlah %


Usia ≤ 15 tahun 7 23,33
˃ 15 tahun 23 76,67
Jenis kelamin Laki-laki 8 26,67
Perempuan 22 73,33
Tingkat SD 2 6,67
Pendidikan
SMP 5 16,67
SMA 16 53,33
SMK 4 13,33
Mahasiswa 3 10

Pada Tabel 4.2.1. dapat dilihat bahwa sebaran responden terbanyak yaitu kelompok
usia ˃15 tahun (76,67%). Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan
(73,33%). Dari 30 anak panti, mayoritas tingkat pendidikan responden adalah siswa
Sekolah Menengah Atas/SMA (53,33%).

Tabel 4.2.2. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi

Jumlah Sumber Jumlah %


Informasi
Tidak mendapat 0 0
informasi
Hanya 1 sumber 13 43,33
informasi
2 sumber informasi 1 3,33
3 sumber informasi 7 23,33
4 sumber informasi 4 13,33
≥ 5 sumber informasi 5 16,67

Pada Tabel 4.2.2. didapatkan bahwa mayoritas informasi yang diperoleh dari
responden mengenai skabies sebanyak hanya 1 sumber informasi dan tidak ada responden
yang tidak mendapatkan sumber informasi.
Tabel 4.2.3. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi Paling Berkesan

Sumber Jumlah %
Informasi
Dokter 18 60
Internet 1 3,33
Teman 1 3,33
Orang Tua 0 0
Guru 0 0
Radio 0 0
Televisi 0 0
Koran 0 0
Majalah 0 0
Tidak jelas 10 33,34

Dari Tabel 4.2.3. diketahui 18 orang responden (60%) mendapatkan informasi


paling berkesan mengenai skabies dari dokter dan sebagian responden mendapatkan
informasi yang tidak berkesan dari orang tua, guru, radio, televisi, koran, dan majalah.
Namun, sebagian besar responden (33,34%) tidak bisa menjawab pertanyaan kuesioner
mengenai informasi yang paling berkesan.

Tabel 4.2.4. Tingkat Pengetahuan Responden mengenai Pengobatan Skabies


Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Tingkat Pengetahuan Pengobatan


Penyuluhan
Baik Sedang Kurang
Sebelum 0 (0%) 5 (16,67%) 25 (83,33%)
Sesudah 10 (33,33%) 11 (36,67%) 9 (30%)

Dari Tabel 4.2.4. diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden mengenai


pengobatan skabies berbeda sebelum dan sesudah penyuluhan. Tingkat pengetahuan
responden didapatkan kurang sebelum penyuluhan, yaitu sebanyak 25 responden
(83,33%). Kemudian terjadi peningkatan pengetahuan sesudah penyuluhan, yaitu
sebanyak 10 responden (33,33%) memiliki pengetahuan yang baik dan 11 responden
(36,67%) berpengetahuan sedang.
Tabel 4.2.5. Tingkat Pengetahuan Responden mengenai Pencegahan Skabies
Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Tingkat Pengetahuan Pencegahan


Penyuluhan
Baik Sedang Kurang
Sebelum 16 (53,33%) 4 (13,33%) 10 (33,33%)
Sesudah 21 (70%) 5 (16,67%) 4 (13,33%)

Dari Tabel 4.2.5. didapatkan bahwa tingkat pengetahuan responden mengenai


pencegahan skabies berbeda sebelum dan sesudah penyuluhan. Tingkat pengetahuan
responden didapatkan cukup baik sebelum penyuluhan, yaitu sebanyak 16 responden
(53,33%). Kemudian terjadi peningkatan pengetahuan sesudah penyuluhan, yaitu
sebanyak 21 responden (70%) memiliki pengetahuan yang baik.

4.1.Tingkat Pengetahuan Mengenai Pengobatan dan Pencegahan Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang sering ditemukan di daerah dengan kepadatan
penduduk yang tinggi seperti yang tinggal di panti asuhan, asrama, pesantren atau kelompok
yang tinggal secara bersamaan. Keberadaan penyakit menular skabies berdampak pada
menurunnya kualitas hidup maupun prestasi siswa dan siswi yang tinggal di panti asuhan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberantasan skabies secara menyeluruh dengan
melakukan pengobatan secara serentak. Untuk meningkatkan keberhasilan tentang
pengetahuan mengenai pengobatan harus diberikan penyuluhan tentang skabies.
Skabies umumnya tidak berbahaya dan dapat diobati akan tetapi sangat mengganggu
aktivitas sehari-hari penderita. Di panti, skabies sering menjadi hambatan bagi penghuni panti
untuk mendapatkan hasil belajar maksimal. Oleh karena itu, anak-anak penghuni panti yang
menderita skabies harus diobati secara serentak dan diberi pengetahuan yang cukup mengenai
pola hidup bersih sehat (PHBS). Pengetahuan PHBS dan skabies perlu diberikan melalui
penyuluhan agar pemberantasan skabies mendapatkan hasil sesuai harapan.
Hasil penelitian mengenai pengobatan menunjukkan bahwa (83,33%) penghuni panti
memiliki pengetahuan yang kurang mengenai skabies, namun setelah diberikan penyuluhan
terdapat perubahan menjadi (30%). Hal tersebut disebabkan higeinitas yang rendah dan pola
pemikiran yang salah.
Dari hasil penelitian mengenai pencegahan diketahui bahwa sebelum penyuluhan,
sebagian besar penghuni panti memiliki tingkat pengetahuan yang kurang mengenai pencegahan
skabies (53,33%) namun setelah diberikan penyuluhan terjadi peningkatan (70%). Kurangnya
pengetahuan tersebut disebabkan belum adanya penyuluhan atau pembelajaran khusus tentang
penyakit menular skabies. Selain itu, terdapat suatu slogan di kalangan orang yang tinggal di
asrama, panti asuhan, dan pesantren yang berbunyi “belum sah jadi penghuni jika belum pernah
kudisan” hal tersebut menandakan adanya anggapan bahwa skabies merupakan hal yang wajar
bagi penghuni asrama dan tidak ada usaha untuk mencegah atau mengobatinya.
Temuan serupa dilaporkan oleh Andayani,32 di sebuah pesantren di Sumatera Utara, santri
dengan tingkat pengetahuan pencegahan skabies baik hanya (14%) dari total santri, sisanya (86%)
berpengetahuan sedang atau kurang. Sementara itu, di sebuah pesantren di Kota Tegal, Saroh 33
melaporkan bahwa sebagian besar santri (61,8%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik
mengenai pencegahan skabies.
Sesudah pemberian penyuluhan, tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies
mengalami peningkatan. Jumlah penghuni panti yang memiliki tingkat pengetahuan baik
bertambah dari 16 (53,33%) menjadi 21 (70%) dan jumlah santri yang memiliki tingkat
pengetahuan kurang berkurang dari 10 (33,33%) menjadi 4 (13,33%). Peningkatan pengetahuan
santri tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan mereka.
Peningkatan pengetahuan penghuni panti terjadi karena mereka tergolong antusias dan
memiliki niat penuh dalam mengikuti dan mencermati informasi mengenai skabies yang diberikan
lewat penyuluhan. Keinginan mereka untuk terhindar dari gangguan penyakit skabies juga mendukung
hal tersebut. Selain itu, para penghuni panti adalah siswa yang umumnya sudah terbiasa untuk
menyimak guru yang sedang mengajar namun mereka belum pernah mendapatkan informasi khusus
tentang penyakit menular skabies dari tenaga kesehatan sehingga informasi yang diberikan mudah
dipahami responden.
5.1. Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Santri Mengenai Pencegahan
Skabies

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat pengetahuan santri
mengenai pencegahan skabies yang bermakna setelah pemberian penyuluhan. Hasil tersebut serupa

dengan yang disampaikan Riyanto36 pada laporan penelitiannya bahwa terdapat pengaruh penyuluhan
terhadap tingkat pengetahuan mengenai skabies di sebuah pesantren di Malang. Selain itu, Taufik

(dikutip oleh Muzakir37) juga mendukung pernyataan tersebut dalam laporannya yang menunjukkan
terjadinya peningkatan pengetahuan pengungsi mengenai pencegahan skabies secara bermakna setelah
diberikan intervensi berupa promosi kesehatan. Dengan adanya peningkatan pengetahuan santri
tersebut, diharapkan terjadi peningkatan upaya santri dalam mencegah dan mengobati skabies serta
penurunan angka kejadian skabies.

.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

6. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. S
ejumlah 56,4% responden berusia <15 tahun, 42,1% perempuan, 51,4% responden adalah
santri tsanawiyah, 36,4% responden memiliki tiga sumber informasi dan 62,8% responden
menyatakan sumber informasi paling berkesan adalah dokter. Sebanyak (76,67%) responden
usia ˃15 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (73,33%). Dari 30
anak panti, mayoritas tingkat pendidikan responden adalah siswa Sekolah Menengah
Atas/SMA (53,33%). Dan sebanyak 60% responden menyatakan sumber informasi paling
berkesan adalah dokter.
2. S
ebelum penyuluhan sebanyak 83,33% penghuni panti memiliki pengetahuan yang kurang
mengenai pengobatan skabies, namun setelah diberikan penyuluhan terdapat perubahan
menjadi (30%). Dari hasil penelitian mengenai pencegahan diketahui bahwa sebelum
penyuluhan, sebagian besar penghuni panti memiliki tingkat pengetahuan yang kurang
mengenai pencegahan skabies (53,33%) namun setelah diberikan penyuluhan terjadi
peningkatan (70%).
3. T
idak ada kaitan antara tingkat pengetahuan responden mengenai pengobatan dan pencegahan
skabies terhadap usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sumber informasi tetapi
penyuluhan memiliki pengaruh yang signifikan.

5.2. Saran
1. T
ingkat pengetahuan santri sebaiknya senantiasa dijaga dan diperbaiki melalui penyuluhan
berkala.
2. M
ateri penyuluhan sebaiknya disampaikan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang berkompeten
3. P
enelitian lebih lanjut mengenai perilaku responden yang berpengaruh terhadap usaha
pencegahan serta pengobatan skabies perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. E
ffendi EH. Skabies [powerpoint presentation]. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM; 2009.
2. H
engge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: A ubiquitous neglected
skin disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769–79.
3. S
underkötter C, Mayser P, Fölster -Holst R, A.Maier W, Kampen H, Hamm H. Scabies.
JDDG. 2007;5:424-30.
4. M
a’rufi I, Keman S, Notobroto HB. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap
prevalensi penyakit scabies - studi pada santri di pondok pesantren Kabupaten Lamongan.
Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005;2(1):11-8.
5. L
inda B, Steven W. The herbal drugstore: The best natural alternatives to over-the-
counter and prescription medicine. Rodale Inc. 2000.
6. P
arker J, Parker P. The official patient’s sourcebook on scabies: A revised and updated
directory for the internet age. San Diego: ICON Health Publications; 2002.
7. A
ngeles RM. A closer look at sarcoptes scabiei. Arch Pathol Lab Med. 2005;129(6):810.
8. S
amuel W, Kocan A, Pybus M, Davis J. Parasitic diseases of wild mammals: Iowa State
University Press; 2001.
9. R
obertson H. Sarcoptes scabiei (scabies or itch mite) [Internet]. Iziko Museum of Capetown;
[cited 2011 July 9]. Available from:
http://www.biodiversityexplorer.org/arachnids/acari/sarcoptes_scabiei.htm.
10. S
cabies sarcoptes scabiei [Internet]. Centers for Disease Control & Prevention Center
for for Global Health; [cited 2011 July 9]. Available from:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Scabies.htm.
11. V
ivier A, McKee P. Atlas of clinical dermatology: Churchill Livingstone; 2002.
12. C
hosidow O. Clinical practices. Scabies. The New England Journal Of Medicine.
2006;354(16):1718-27.
13. C
handra EN. Uji banding efektivitas krim permetrin 5% dan salep 2-4 pada pengobatan
skabies [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2004.
14. H
arper J, Oranye A, Prose N, editors. Pediatric dermatology. London: Blacwell Sciense
Ltd; 2000.
15. D
ermatology diagnosis and therapy. 1 ed. Philadelphia: Prentice-Hall International Inc;
1991.
16. A
dams SP. Dermacase. Canadian Family Physician. 1999;45(6):1462.
17. C
houela E, Abeldaño A, Pellerano G, Hernández MI. Diagnosis and treatment of
scabies - a practical guide. Am J Clin Dermatol. 2002;3(1):9-18.
18. S
hahab RKA, Loo DS. Bullous scabies. J Am Acad Dermatol. 2003;49:346-50.
19. Chosidow O. Scabies and pediculosis. Lancet Infect Dis. 2000;355:819-26.
20. Natadisastra, Djaenudin. Parasitologi kedokteran : Ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. p. 292-296.
21. Jekel J. Epidemiology, biostatistics, and preventive medicine:
Saunders/Elsevier; 2007.
22. Fina. Cara cegah skabies, penyakit kulit mengerikan [Internet]. Suara Media; 2010
[cited 2011 January 13]: Available from: http://www.suaramedia.com/gaya-
hidup/kesehatan/22421-cara-cegah-skabies-penyakit-kulit-mengerikan.html.
23. Risna I. Skabies [Internet]. Medical Zone; 2010 [cited 2011 January 13]: Available
from: http://www.medicalzone.org/2010/index.php?option=com_content&view=art
icle&id=315:s-k-a-b-i-e-s&catid=9:tinjauan-pustaka.
24. Stöppler MC. Is it possible to prevent scabies? [Internet]. E-Medicine; 2009
[updated August 25, 2011; cited 2011 January 13]; Available from:
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=104988.
25. Irmayanti M. Modul pengembangan kepribadian terintegrasi. Jakarta: Lembaga
Penerbitan FEUI; 2007.
26. PGRI. Hubungan antara karakteristik masyarakat dengan rasa ingin tahu
mengenai hal baru [Internet]. [cited 2011 July 22] Available from:
www.bumiputera.org/artikel/artikel.php?aid=318;21.
27. Ubaidilah. Hubungan karakteristik, faktor lingkungan dan perilaku terhadap
kejadian skabies di Pondok Pesantren Alqui Oumania Desa Kauman,
Kecamatan Jengkulo, Kabupaten Kudus [skripsi]. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang; 2010.
28. Depdiknas. Kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum – Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional; 2001.

29. Diah. Hubungan tingkat pengetahuan tentang dismenoria dengan perilaku penanganan
dismenoria pada siswi SMK YPKK 1 Sleman Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta:
Universitas Sebelas Maret; 2010.
30. Sunaryo, Ester M. Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC; 2004.
31. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
32. Andayani LS. Perilaku santri dalam upaya pencegahan penyakit skabies di Pondok
Pesantren Ulumu Qur'an Stabat. Info Kesehatan Masyarakat. 2005;IX(3):33-8.
33. Saroh S. Gambaran tingkat pengetahuan santri putri tentang penyakit kulit skabies di
Pondok Pesantren Ma'haduttholabah Babakan Lebaksiu Kabupaten Tegal [skripsi].
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2010.
34. Wazir MS, Mehmood S, Ahmed A, Jadoon HR. Awareness among barbers about
health hazards associated with their profession. J Ayub Med Coll Abbottabad.
2008;20(2):35-8.
35. Rubaiah. Hubungan pengetahuan, sikap, dan praktik usia dini pada santri dengan
kejadian skabies di Pondok Pesantren Darul Taufik Muih Kulon Kecamatan Wedung
Kabupaten Demak [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2008.
36. Riyanto SF. Pengaruh pemberian penyuluhan penyakit scabies terhadap peningkatan
pengetahuan penyakit scabies: Studi pada santri Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh
wilayah kerja puskesmas Dinoyo Malang [skripsi]. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang; 2005.
37. Aini N. Hubungan faktor lingkungan dan peilaku santri terhadap prevalensi scabies di
pondok pesantren putra "Sidogiri" Kecamatan Kraton - Kabupaten Pasuruan [skripsi].
Malang: University of Muhammadiyah Malang; 2009.
38. Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di
Kabupaten Aceh Besar tahun 2007 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara;
2008. Rohmawati RN. Hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan
kejadian skabies di Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta [skripsi]. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010.
39. Sudjari, Rofiq A, Rachmatullah MR. Hubungan pengetahuan dan derajat klinis
penderita skabies di Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang [skripsi]. Malang:
Universitas Brawijaya; 2004.
40. Asra HP. Pengaruh pengetahuan dan tindakan higiene pribadi terhadap kejadian
penyakit skabies di Pesantren Ar-raudhatul Hasanah Medan [skripsi]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2010.

Anda mungkin juga menyukai