LAPORAN MINI-PROJECT
FH. RAMADHAN
1. PENDAHULUAN
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skabies
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau mikroskopis Sarcoptes scabiei varietas hominis5,6 dan produknya.1 Varietas
lain dari S. scabiei hidup di kulit mamalia selain manusia yang mungkin bisa menyebabkan
gatal akibat dermatitis sementara tetapi tidak akan menular (menginfestasi dan membuat
terowongan) ke manusia.6 Skabies tergolong penyakit yang umum terdapat di seluruh dunia
dan siapapun dapat terkena tanpa membedakan ras serta usia. Akan tetapi, wabah skabies
hanya sering di jumpai di lingkungan dengan banyak terjadi kontak antar kulit manusia seperti
rumah sakit, tempat penitipan anak, panti asuhan, panti jompo, dan tempat-tempat lainnya.6
2.2. Tungau Penyebab Skabies (S. scabiei)
2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi S. scabiei
2.3. Epidemiologi
Skabies tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda dengan perkiraan
prevalensi total 300 juta kasus per tahun.12 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
prevalensi ini antara lain keadaan sosial ekonomi, higiene, hubungan seksual, kepadatan
penduduk dan kesalahan diagnosis dari dokter yang memeriksa.2,3
Pesantren memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi sehingga rawan terjadi
skabies. Ma’rufi4 melaporkan, prevalensi skabies di pesantren di daerah Lamongan sebesar
64,2%. Di pesantren itu pula, prevalensi pada kelompok yang kebersihan dirinya kurang baik
mencapai angka 73,7% sedangkan pada kelompok dengan kebersihan baik hanya mencapai
angka 48,0%.
2.6. Diagnosis
Diagnosis skabies ditetapkan jika ditemukan dua dari empat tanda kardinal ini:
1. P
ruritus nokturna, serangan gatal yang luar biasa pada malam hari.
2. O
rang yang berdekatan dengan penderita mengalami gejala yang sama.
3. M
uncul bercak jejas terowongan tungau yang berkelok-kelok atau lurus berwarna
keabuan dan terdapat papul atau vesikel di ujungnya yang sering disertai pustul
bila terinfeksi bakteri. Panjang terowongan rata-rata 1 cm. Penemuan tungau
pada tubuh pasien adalah diagnosis pasti.20
2.6.1. Teknik Identifikasi
Untuk menghindari kesalahan diagnosis, usaha untuk menemukan parasit dan
terowongan tetap harus dilakukan. Ada beberapa teknik yang bisa digunakan:
1. Mencari terowongan, papul/vesikel mencongkel dengan jarum, meletakkan di
kaca obyek, menutup dengan kaca penutup, melihat di bawah mikroskop.1
2. Menyikat kulit menampungnya pada kertas putih, melihat dengan kaca
pembesar.1
3. Burrow ink test (BIT) digunakan untuk mengidentifikasi terowongan dengan
cara memberikan tinta biru hitam ke papul lalu dibersihkan dengan alkohol.
Akan menunjukkan hasil positif bila tinta dalam terowongan terlihat bentuk
zig-zag.17
4. Biopsi: shave biopsy1,17
5. Epiluminescence Microscopy yaitu teknik pengamatan lapisan kulit dermis
superfisial secara in vivo. Bisa memberikan gambaran detil lapisan kulit dari
epidermis hingga dermis superfisial sehingga bisa mengidentifikasi
keberadaan terowongan.17
2.9. Karakteristik
2.9.1. Usia
Usia seseorang tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang secara
langsung, meskipun pada umumnya semakin tua usia seseorang semakin luas pula
pengetahuannya.25 Rasa ingin tahu seseorang sangat erat hubungannya dengan usia
orang tersebut. Menurut survei yang dilakukan oleh PGRI,26 semakin muda usia
seseorang semakin besar rasa ingin tahunya.
2.9.2.Jenis Kelamin
Prevalensi skabies pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Muin27
melaporkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami skabies
karena kecenderungannya untuk merawat diri dan menjaga kebersihan. Hal tersebut
secara tidak langsung menyatakan bahwa perempuan memiliki perhatian terhadap
masalah kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
2.9.3.Tingkat Pendidikan
Sesuai dengan kurikulum yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional,
terdapat perbedaan kompetensi yang jelas antara sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, dan sekolah menengah atas.28 Adanya perbedaan kompetensi tersebut
menunjukkan bahwa terdapat pula perbedaan pada tingkat pengetahuan yang dimiliki
pada tiap tingkatan pendidikan.
2.9.4.Sumber Informasi
Seseorang tidak mungkin mendapatkan pengetahuan dengan sendirinya kecuali
insting yang memang bawaan sejak lahir. Seseorang bisa mendapatkan pengetahuan
apabila terpapar oleh sumber informasi. Sukanto29 menyatakan bahwa semakin banyak
paparan sumber informasi semakin tinggi tingkat pengetahuan orang tersebut.
2.10. Pengetahuan
2.10.1.Definisi
Pengetahuan adalah perkembangan dari “tahu” setelah penerimaan sensoris
khususnya mata dan telinga terhadap benda tertentu selesai diproses. Pengetahuan
berperan penting dalam membentuk perilaku terbuka manusia karena biasanya perilaku
yang didasari pengetahuan lebih mudah diterima dan terus berjalan.30
2.10.2.Tingkatan Pengetahuan
Ada enam tingkatan pengetahuan dalam sektor kognitif.30 Mengetahui adalah
tingkatan terendah, ditandai dengan kemampuan mengingat hal yang telah dipelajari
(menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan). Memahami merupakan
tingkatan selanjutnya, ditandai dengan kemampuan menerjemahkan apa yang telah
dipelajari (menjelaskan, memberi contoh, dan menyimpulkan). Tingkatan selanjutnya
adalah menerapkan, yaitu kemampuan menggunakan hal yang telah dipelajari di dunia
nyata (rumus-rumus dan hukum-hukum dapat digunakan pada situasi yang tepat).
Selanjutnya adalah tingkatan yang lebih kompleks yaitu analisis; merupakan
kemampuan menjabarkan dan menguraikan suatu topik menjadi hal yang lebih kecil
yang berkaitan (dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan,
dan lain-lain). Tingkatan selanjutnya adalah sintesis, ditandai dengan kemampuan
menghubungkan hal-hal yang berkaitan menjadi hal baru (ukuran: dapat menyusun,
merencanakan, dan menyesuaikan teori dasar). Fase terakhir adalah evaluasi yaitu
melakukan penilaian atas sesuatu berdasarkan hal yang telah dipelajari.30
2.10.3.Proses Terbentuknya Pengetahuan
Menurut Rogers (dikutip dari Notoatmodjo30), dalam memperoleh pengetahuan
baru, seseorang harus melalui proses awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption
yang disingkat menjadi AIETA. Awareness adalah awal proses ketika manusia sadar
akan keberadaan suatu stimulus. Interest terjadi ketika manusia mulai merasa tertarik
pada stimulus tersebut. Evaluation yaitu terjadinya penilaian atas stimulus oleh
manusia, apakah baik baginya? Atau justru merugikan? Trial, manusia akhirnya
mencoba melakukan hal baru sesuai stimulus. Adoption apabila hal baru tersebut dirasa
menguntungkan/lebih baik, manusia akan menerapkannya terus menerus hingga
ditemukan metode yang lebih baik lagi.30
2.11. K
e
r
a
n
g
k
a
K
o
n
s
e
p
USIA USIA
JENIS JENIS
KELAMIN PENGETAHUAN PENGETAHUAN KELAMIN
MENGENAI MENGENAI
PENGOBATAN DAN PENGOBATAN DAN
TINGKAT TINGKAT
PENCEGAHAN PENCEGAHAN
PENDIDIKAN PENDIDIKAN
SCABIES SCABIES
SEBELUM SESUDAH
SUMBER SUMBER
INFORMASI INFORMASI
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3.
Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah penghuni panti asuhan yang menetap di
Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.
3.3.1 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah penghuni panti asuhan yang
menetap di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur, Jakarta Selatan dan berada di
lokasi penelitian pada saat pengambilan data.
3.6. C
ara Kerja
3.6.1. Identifikasi Variabel
1. Verifikasi Data
Verifikasi data dilakukan segera setelah pengisian kuesioner. Kuesioner yang
telah diisi oleh penghuni panti asuhan diperiksa kelengkapan serta
kesesuaiannya.
2. Entry Data
Setelah diverifikasi, data yang diperoleh dimasukkan dalam Microsoft Excel
sesuai skala pengukuran data. Data responden berupa usia, tingkat
pendidikan, jenis kelamin, dan sumber informasi diklasifikasikan dalam
bentuk skala nominal. Tingkat pengetahuan penghuni panti tentang penyebab,
gejala, dan penularan skabies diklasifikasikan ke dalam skala ordinal.
3. Uji Statistik
Dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan
penyajian penelitian dilakukan dalam bentuk deskriptif.
3.6.5. P
elaporan Data
Hasil penelitian akan dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.
3.7. B
atasan Operasional
3.7.1. Data Umum
1. Responden adalah semua penghuni Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak Timur,
baik laki-laki dan perempuan.
2. Usia responden adalah tanggal pengambilan data dikurangi tanggal lahir
responden, kemudian usia responden diklasifikasikan menjadi ≤15 tahun dan
>15 tahun.
3. Tingkat pendidikan responden adalah studi formal yang sedang ditempuh
responden pada saat penelitian berlangsung yaitu, SD/SD Islam,
SMP/Tsanawiyah, SMA/Aliyah, dan Mahasiswa.
4. Sumber informasi adalah semua sarana yang digunakan oleh responden untuk
mengetahui tentang skabies. Jumlah sumber informasi dibuat menjadi beberapa
kategori, yaitu tidak ada sumber, 1 sumber, 2 sumber, 3 sumber, 4 sumber, dan
lebih dari sama dengan 5 sumber.
3.7.2.
Data Khusus
Data mengenai pengetahuan adalah segala sesuatu yang dimengerti responden
tentang penyebab, gejala, dan penularan skabies. Data diperoleh dari kuesioner yang
diberikan dan diukur nilainya berdasarkan nilai masing-masing jawaban. Klasifikasi
tingkat pengetahuan dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Tingkat pengetahuan baik apabila nilai ≥ 80%
2. Tingkat pengetahuan cukup apabila nilai 60-79%
3. Tingkat pengetahuan kurang apabila nilai ≤ 59%
3.8. Kerangka Alur Penelitian
propPenyusunan proposal
penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPengambilan sampel
Penyusunan proposal penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPemberian
Penyusunan kuesioner
proposal (pre)
penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPenyuluhan
Penyusunan proposal penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
propPemberian kuesioner
Penyusunan proposal (post)
penelitian
n
ssrrfeevn proposal penelitian
proDDrop out
Penyusunan proposal penelitian
n
propPencatatan data ssrrfeevn
n proposal
ssrrfeevn proposal penelitian penelitian
propPengolahan
Penyusunan data
proposal penelitian Penyusunan
n proposal
ssrrfeevn proposal penelitian penelitian
Penyusunan proposal penelitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Santri yang tsanawiyah dan aliyah sehari-hari bertempat tinggal di gedung asrama
yang disediakan; sedangkan santri lainnya tidak menginap di pesantren. Asrama tersebut
terdiri dari asrama putra yang memiliki 6 ruang kamar dan terletak di dekat gedung
sekolah serta asrama putri yang merupakan 2 buah rumah tanpa kamar dan terletak di
dekat kediaman pengurus pesantren.
Selain gedung sekolah dan asrama, di pesantren X juga terdapat masjid, lapangan
utama dan lapangan bawah, perpustakaan dan toko buku, warung telepon, laboratorium
komputer, kantin, pos kesehatan pesantren, serta ruang aula. Di sisi belakang, pesantren
langsung berbatasan dengan perkebunan dan tanah kosong, sedangkan sisi lainnya
berbatasan langsung dengan perumahan penduduk.
Pada Tabel 4.2.1. dapat dilihat bahwa sebaran responden terbanyak yaitu kelompok
usia ˃15 tahun (76,67%). Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan
(73,33%). Dari 30 anak panti, mayoritas tingkat pendidikan responden adalah siswa
Sekolah Menengah Atas/SMA (53,33%).
Pada Tabel 4.2.2. didapatkan bahwa mayoritas informasi yang diperoleh dari
responden mengenai skabies sebanyak hanya 1 sumber informasi dan tidak ada responden
yang tidak mendapatkan sumber informasi.
Tabel 4.2.3. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi Paling Berkesan
Sumber Jumlah %
Informasi
Dokter 18 60
Internet 1 3,33
Teman 1 3,33
Orang Tua 0 0
Guru 0 0
Radio 0 0
Televisi 0 0
Koran 0 0
Majalah 0 0
Tidak jelas 10 33,34
Skabies adalah penyakit kulit yang sering ditemukan di daerah dengan kepadatan
penduduk yang tinggi seperti yang tinggal di panti asuhan, asrama, pesantren atau kelompok
yang tinggal secara bersamaan. Keberadaan penyakit menular skabies berdampak pada
menurunnya kualitas hidup maupun prestasi siswa dan siswi yang tinggal di panti asuhan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberantasan skabies secara menyeluruh dengan
melakukan pengobatan secara serentak. Untuk meningkatkan keberhasilan tentang
pengetahuan mengenai pengobatan harus diberikan penyuluhan tentang skabies.
Skabies umumnya tidak berbahaya dan dapat diobati akan tetapi sangat mengganggu
aktivitas sehari-hari penderita. Di panti, skabies sering menjadi hambatan bagi penghuni panti
untuk mendapatkan hasil belajar maksimal. Oleh karena itu, anak-anak penghuni panti yang
menderita skabies harus diobati secara serentak dan diberi pengetahuan yang cukup mengenai
pola hidup bersih sehat (PHBS). Pengetahuan PHBS dan skabies perlu diberikan melalui
penyuluhan agar pemberantasan skabies mendapatkan hasil sesuai harapan.
Hasil penelitian mengenai pengobatan menunjukkan bahwa (83,33%) penghuni panti
memiliki pengetahuan yang kurang mengenai skabies, namun setelah diberikan penyuluhan
terdapat perubahan menjadi (30%). Hal tersebut disebabkan higeinitas yang rendah dan pola
pemikiran yang salah.
Dari hasil penelitian mengenai pencegahan diketahui bahwa sebelum penyuluhan,
sebagian besar penghuni panti memiliki tingkat pengetahuan yang kurang mengenai pencegahan
skabies (53,33%) namun setelah diberikan penyuluhan terjadi peningkatan (70%). Kurangnya
pengetahuan tersebut disebabkan belum adanya penyuluhan atau pembelajaran khusus tentang
penyakit menular skabies. Selain itu, terdapat suatu slogan di kalangan orang yang tinggal di
asrama, panti asuhan, dan pesantren yang berbunyi “belum sah jadi penghuni jika belum pernah
kudisan” hal tersebut menandakan adanya anggapan bahwa skabies merupakan hal yang wajar
bagi penghuni asrama dan tidak ada usaha untuk mencegah atau mengobatinya.
Temuan serupa dilaporkan oleh Andayani,32 di sebuah pesantren di Sumatera Utara, santri
dengan tingkat pengetahuan pencegahan skabies baik hanya (14%) dari total santri, sisanya (86%)
berpengetahuan sedang atau kurang. Sementara itu, di sebuah pesantren di Kota Tegal, Saroh 33
melaporkan bahwa sebagian besar santri (61,8%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik
mengenai pencegahan skabies.
Sesudah pemberian penyuluhan, tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies
mengalami peningkatan. Jumlah penghuni panti yang memiliki tingkat pengetahuan baik
bertambah dari 16 (53,33%) menjadi 21 (70%) dan jumlah santri yang memiliki tingkat
pengetahuan kurang berkurang dari 10 (33,33%) menjadi 4 (13,33%). Peningkatan pengetahuan
santri tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan mereka.
Peningkatan pengetahuan penghuni panti terjadi karena mereka tergolong antusias dan
memiliki niat penuh dalam mengikuti dan mencermati informasi mengenai skabies yang diberikan
lewat penyuluhan. Keinginan mereka untuk terhindar dari gangguan penyakit skabies juga mendukung
hal tersebut. Selain itu, para penghuni panti adalah siswa yang umumnya sudah terbiasa untuk
menyimak guru yang sedang mengajar namun mereka belum pernah mendapatkan informasi khusus
tentang penyakit menular skabies dari tenaga kesehatan sehingga informasi yang diberikan mudah
dipahami responden.
5.1. Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Santri Mengenai Pencegahan
Skabies
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat pengetahuan santri
mengenai pencegahan skabies yang bermakna setelah pemberian penyuluhan. Hasil tersebut serupa
dengan yang disampaikan Riyanto36 pada laporan penelitiannya bahwa terdapat pengaruh penyuluhan
terhadap tingkat pengetahuan mengenai skabies di sebuah pesantren di Malang. Selain itu, Taufik
(dikutip oleh Muzakir37) juga mendukung pernyataan tersebut dalam laporannya yang menunjukkan
terjadinya peningkatan pengetahuan pengungsi mengenai pencegahan skabies secara bermakna setelah
diberikan intervensi berupa promosi kesehatan. Dengan adanya peningkatan pengetahuan santri
tersebut, diharapkan terjadi peningkatan upaya santri dalam mencegah dan mengobati skabies serta
penurunan angka kejadian skabies.
.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. S
ejumlah 56,4% responden berusia <15 tahun, 42,1% perempuan, 51,4% responden adalah
santri tsanawiyah, 36,4% responden memiliki tiga sumber informasi dan 62,8% responden
menyatakan sumber informasi paling berkesan adalah dokter. Sebanyak (76,67%) responden
usia ˃15 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (73,33%). Dari 30
anak panti, mayoritas tingkat pendidikan responden adalah siswa Sekolah Menengah
Atas/SMA (53,33%). Dan sebanyak 60% responden menyatakan sumber informasi paling
berkesan adalah dokter.
2. S
ebelum penyuluhan sebanyak 83,33% penghuni panti memiliki pengetahuan yang kurang
mengenai pengobatan skabies, namun setelah diberikan penyuluhan terdapat perubahan
menjadi (30%). Dari hasil penelitian mengenai pencegahan diketahui bahwa sebelum
penyuluhan, sebagian besar penghuni panti memiliki tingkat pengetahuan yang kurang
mengenai pencegahan skabies (53,33%) namun setelah diberikan penyuluhan terjadi
peningkatan (70%).
3. T
idak ada kaitan antara tingkat pengetahuan responden mengenai pengobatan dan pencegahan
skabies terhadap usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sumber informasi tetapi
penyuluhan memiliki pengaruh yang signifikan.
5.2. Saran
1. T
ingkat pengetahuan santri sebaiknya senantiasa dijaga dan diperbaiki melalui penyuluhan
berkala.
2. M
ateri penyuluhan sebaiknya disampaikan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang berkompeten
3. P
enelitian lebih lanjut mengenai perilaku responden yang berpengaruh terhadap usaha
pencegahan serta pengobatan skabies perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. E
ffendi EH. Skabies [powerpoint presentation]. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM; 2009.
2. H
engge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: A ubiquitous neglected
skin disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769–79.
3. S
underkötter C, Mayser P, Fölster -Holst R, A.Maier W, Kampen H, Hamm H. Scabies.
JDDG. 2007;5:424-30.
4. M
a’rufi I, Keman S, Notobroto HB. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap
prevalensi penyakit scabies - studi pada santri di pondok pesantren Kabupaten Lamongan.
Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005;2(1):11-8.
5. L
inda B, Steven W. The herbal drugstore: The best natural alternatives to over-the-
counter and prescription medicine. Rodale Inc. 2000.
6. P
arker J, Parker P. The official patient’s sourcebook on scabies: A revised and updated
directory for the internet age. San Diego: ICON Health Publications; 2002.
7. A
ngeles RM. A closer look at sarcoptes scabiei. Arch Pathol Lab Med. 2005;129(6):810.
8. S
amuel W, Kocan A, Pybus M, Davis J. Parasitic diseases of wild mammals: Iowa State
University Press; 2001.
9. R
obertson H. Sarcoptes scabiei (scabies or itch mite) [Internet]. Iziko Museum of Capetown;
[cited 2011 July 9]. Available from:
http://www.biodiversityexplorer.org/arachnids/acari/sarcoptes_scabiei.htm.
10. S
cabies sarcoptes scabiei [Internet]. Centers for Disease Control & Prevention Center
for for Global Health; [cited 2011 July 9]. Available from:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Scabies.htm.
11. V
ivier A, McKee P. Atlas of clinical dermatology: Churchill Livingstone; 2002.
12. C
hosidow O. Clinical practices. Scabies. The New England Journal Of Medicine.
2006;354(16):1718-27.
13. C
handra EN. Uji banding efektivitas krim permetrin 5% dan salep 2-4 pada pengobatan
skabies [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2004.
14. H
arper J, Oranye A, Prose N, editors. Pediatric dermatology. London: Blacwell Sciense
Ltd; 2000.
15. D
ermatology diagnosis and therapy. 1 ed. Philadelphia: Prentice-Hall International Inc;
1991.
16. A
dams SP. Dermacase. Canadian Family Physician. 1999;45(6):1462.
17. C
houela E, Abeldaño A, Pellerano G, Hernández MI. Diagnosis and treatment of
scabies - a practical guide. Am J Clin Dermatol. 2002;3(1):9-18.
18. S
hahab RKA, Loo DS. Bullous scabies. J Am Acad Dermatol. 2003;49:346-50.
19. Chosidow O. Scabies and pediculosis. Lancet Infect Dis. 2000;355:819-26.
20. Natadisastra, Djaenudin. Parasitologi kedokteran : Ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. p. 292-296.
21. Jekel J. Epidemiology, biostatistics, and preventive medicine:
Saunders/Elsevier; 2007.
22. Fina. Cara cegah skabies, penyakit kulit mengerikan [Internet]. Suara Media; 2010
[cited 2011 January 13]: Available from: http://www.suaramedia.com/gaya-
hidup/kesehatan/22421-cara-cegah-skabies-penyakit-kulit-mengerikan.html.
23. Risna I. Skabies [Internet]. Medical Zone; 2010 [cited 2011 January 13]: Available
from: http://www.medicalzone.org/2010/index.php?option=com_content&view=art
icle&id=315:s-k-a-b-i-e-s&catid=9:tinjauan-pustaka.
24. Stöppler MC. Is it possible to prevent scabies? [Internet]. E-Medicine; 2009
[updated August 25, 2011; cited 2011 January 13]; Available from:
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=104988.
25. Irmayanti M. Modul pengembangan kepribadian terintegrasi. Jakarta: Lembaga
Penerbitan FEUI; 2007.
26. PGRI. Hubungan antara karakteristik masyarakat dengan rasa ingin tahu
mengenai hal baru [Internet]. [cited 2011 July 22] Available from:
www.bumiputera.org/artikel/artikel.php?aid=318;21.
27. Ubaidilah. Hubungan karakteristik, faktor lingkungan dan perilaku terhadap
kejadian skabies di Pondok Pesantren Alqui Oumania Desa Kauman,
Kecamatan Jengkulo, Kabupaten Kudus [skripsi]. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang; 2010.
28. Depdiknas. Kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum – Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional; 2001.
29. Diah. Hubungan tingkat pengetahuan tentang dismenoria dengan perilaku penanganan
dismenoria pada siswi SMK YPKK 1 Sleman Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta:
Universitas Sebelas Maret; 2010.
30. Sunaryo, Ester M. Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC; 2004.
31. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
32. Andayani LS. Perilaku santri dalam upaya pencegahan penyakit skabies di Pondok
Pesantren Ulumu Qur'an Stabat. Info Kesehatan Masyarakat. 2005;IX(3):33-8.
33. Saroh S. Gambaran tingkat pengetahuan santri putri tentang penyakit kulit skabies di
Pondok Pesantren Ma'haduttholabah Babakan Lebaksiu Kabupaten Tegal [skripsi].
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2010.
34. Wazir MS, Mehmood S, Ahmed A, Jadoon HR. Awareness among barbers about
health hazards associated with their profession. J Ayub Med Coll Abbottabad.
2008;20(2):35-8.
35. Rubaiah. Hubungan pengetahuan, sikap, dan praktik usia dini pada santri dengan
kejadian skabies di Pondok Pesantren Darul Taufik Muih Kulon Kecamatan Wedung
Kabupaten Demak [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2008.
36. Riyanto SF. Pengaruh pemberian penyuluhan penyakit scabies terhadap peningkatan
pengetahuan penyakit scabies: Studi pada santri Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh
wilayah kerja puskesmas Dinoyo Malang [skripsi]. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang; 2005.
37. Aini N. Hubungan faktor lingkungan dan peilaku santri terhadap prevalensi scabies di
pondok pesantren putra "Sidogiri" Kecamatan Kraton - Kabupaten Pasuruan [skripsi].
Malang: University of Muhammadiyah Malang; 2009.
38. Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di
Kabupaten Aceh Besar tahun 2007 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara;
2008. Rohmawati RN. Hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan
kejadian skabies di Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta [skripsi]. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010.
39. Sudjari, Rofiq A, Rachmatullah MR. Hubungan pengetahuan dan derajat klinis
penderita skabies di Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang [skripsi]. Malang:
Universitas Brawijaya; 2004.
40. Asra HP. Pengaruh pengetahuan dan tindakan higiene pribadi terhadap kejadian
penyakit skabies di Pesantren Ar-raudhatul Hasanah Medan [skripsi]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2010.