Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya
beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis
(Sularsito, dkk, 2011).
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis
dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis
kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik.
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik,
sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk,
2011).
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin
bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung
bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai
prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga
berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat (Sularsito, dkk,
2011).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak
80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi
yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan dari satu penelitian
ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dari

1
pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak mempengaruhi
timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada anak-
anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki.
Bangsa kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain
(Sumantri, dkk, 2005).
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang
belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat
menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya
(sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena,
lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan
pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito, dkk,
2011).
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA
bertujuan untuk menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi
bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen
(dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh
alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita) dapat
menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu penting
untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Dermatitis
Kontak Alergi
2. Mengetahui etiologi dan predisposisi pada penyakit Dermatitis Kontak
Alergi
3. Mengetahui patofisiologi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

2
4. Mengetahui penegakan diagnosis pada penyakit Dermatitis Kontak
Alergi
5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
6. Mengetahui prognosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
7. Mengetahui komplikasi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi
(Siregar, 2004).
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000
Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl
cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin
(cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.
Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi

4
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain


yang masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan.
Sebagai contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun
apabila satus higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka
potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya.
Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan
perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi
individu yang rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang
menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan
integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

C. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan

5
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα,
leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang
mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti
dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh
alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan
beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya
vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang
mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel
lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang
berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).

6
Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan Alergen


secara Berulang

Alergen kecil dan larut


dalam lemak disebut
hapten

Sel langerhans IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-


Menembus lapisan keluarkan sitokin 7, MHC I dan II
corneum

Sitokin akan
Difagosit oleh sel memproliferasi sel T
Langerhans dengan dan menjadi lebih
pinositosis banyak dan memiliki
sel T memori

Hapten + HLA-DR

Sitokin akan keluar dari


getah bening

Membentuk antigen

Beredar ke seluruh
tubuh

Dikenalkan ke limfosit
T melalui CD4
Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)

2-3 minggu

7
Fase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi


lebih kompleks

Respons klinis DKA

Proliferasi dan ekspansi


sel T di kulit
Faktor kemotaktik, PGE2
dan OGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4) dan eiksanoid
IFN – γ → keratinosit → menarik → neutrofil,
LFA -1, IL-1, TNF-α monosit ke dermis

Eikosanoid (dari sel mast


Molekul larut (komplemen
dan keratinosit
dan klinin) → ke epidermis
dan dermis

Dilatasi vaskuler dan


peningkatan
permeabilitas vaskuler

8
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat
dan pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi


keluarga

Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-


sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan


spesifik

9
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi
dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel
2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.

10
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum


dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan


karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa
dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir

11
c.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada
emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil,


zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis
kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.

12
Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah yang
terkenaalergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom,


pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum,
kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah
vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan


oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal,
semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang
terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki
mengalami skuama, krusta

13
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn

14
chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau
‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.

15
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel


dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

16
T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu


setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah
96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,
kulit normal tidak perlu diikutsertakan.

17
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X
volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini
ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.

18
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,


spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).

4. Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau

19
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
E. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan
rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan

20
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
F. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis
kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan

21
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

22
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny.P

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswi

Alamat : Bukittinggi

Status Perkawinan : Belum Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 24 Januari 2020

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan berumur 23 tahun datang ke poliklinik kulit &


kelamin RSUD Achmad Mochtar tanggal 24 Januari 2020 dengan :

KELUHAN UTAMA

Bercak merah gatal di lengan kiri sejak 2 hari yang lalu

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

- Bercak merah gatal di lengan kiri sejak 2 hari yang lalu.


- Awalnya pasien memakai jam tangan yang terbuat dari nikel,
kemudian timbul bintik merah, makin lama makin menyebar
disertai rasa gatal di area tali jam tersebut.

23
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

- Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

- Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit yang


sama dengan pasien

RIWAYAT PENGOBATAN

- Pasien belum pernah berobat.


- Pasien belum pernah mengoleskan zat atau bahan ke tempat yang
gatal tersebut.

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis cooperative

Pemeriksaan Thorak & abdomen : Dalam batas normal

STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi : lengan kiri

Distribusi : terlokalisir

Bentuk : khas seperti tali jam tangan

Susunan : tidak khas

Batas : tegas

24
Ukuran : lentikuler-plakat

Efloresensi : makula eritema dan papul

STATUS VENEREOLOGIKUS

Tidak ditemukan kelainan

KELAINAN SELAPUT

Tidak ditemukan kelainan

KELAINAN KUKU DAN RAMBUT

Tidak ditemukan kelainan

KELAINAN KELENJAR LIMFE

Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji tempel (Patch Test)

DIAGNOSIS KERJA

Dermatitis Kontak Alergi

25
DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis Kontak Iritan

PENATALAKSANAAN

TERAPI

a. Terapi Umum
- Hindari atau kurangi kontak dengan penyebab
- Hindari garukan yang berlebihan yang dapat memicu membukanya
luka dan berpotensi menyebabkan infeksi kulit sekunder
- Minum obat dan kontrol teratur

b. Terapi Khusus
Sistemik :

- Cetirizine tab 10 mg, 1 x 1 tab / hari


- Methylprednisolone tab 4 mg, 2 x 1 tab / hari

Topikal :

Desoximetasone 0,25 % 2,5 mg, 2 kali sehari

PROGNOSIS

- quo ad sanam : bonam


- quo ad vitam : bonam
- quo ad functionam : bonam
- quo ad kosmetikum : dubia et bonam

26
Resep

RSUD Dr. Achmad Mochtar

Ruangan/poliklinik: Kulit dan Kelamin


Dokter: dr. YR
SIP No: 108/SIP/2019
Bukittinggi, 24 Januari 2020

R/ Cetirizine tab 10 mg No. VII


S 1 dd tab 1
R/ Methylprednisolone tab 4 mg No. XV
S 2 dd tab 1
R/ Desoximetasone tube 0,25 % 2,5 mg No. I
Sue

Pro : Ny.P
Umur : 23 tahun
Alamat : Bukittinggi

27
BAB III
KESIMPULAN

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang


timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Penyebab
dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan
berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,
derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.

Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.
Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta nonmedikamentosa.
Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi reaktivitas sistim
imun dengan terapi kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik
dan terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan
untuk nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

28
DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik
Edisi 2. Jakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta
: Fakultas Farmasi UGM
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372
diakses pada tanggal 11 November 2012.

29

Anda mungkin juga menyukai