Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker Serviks merupakan jenis kanker terbanyak yang ditemukan oleh Yayasan Kanker
Indonesia setelah kanker payudara. Menurut WHO, 490.000 perempuan didunia setiap tahun
didiagnosa terkena kanker serviks dan 80% berada di negara berkembang termasuk
Indonesia. Setiap 1 menit muncul 1 kasus baru dan setiap 2 menit meninggal 1 orang
perempuan karena kanker serviks. Di Indonesia diperkirakan setiap hari muncul 40-45 kasus
baru, 20-25 orang meninggal, berarti setiap 1 jam diperkirakan 1 orang perempuan meninggal
dunia karena kanker serviks.
Tahun 1985 WHO merekomendasikan suatu pendekatan alternatif bagi negara yang
sedang berkembang dengan konsep down staging terhadap kanker serviks, salah satunya
adalah dengan cara Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). Pengolesan asam asetat 3-
5% pada serviks pada epitel abnormal akan memberikan gambaran bercak putih yang disebut
acetowhite. Gambaran ini muncul oleh karena tingginya tingkat kepadatan inti dan
konsentrasi protein. Hal ini memungkinkan pengenalan bercak putih pada serviks dengan
mata telanjang (tanpa pembesaran) yang dikenal sebagai pemeriksaan IVA.1,2,3
Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat
yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil
dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti. Metode satu
kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan
bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk
peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker.2,3

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik senior di Rumah Sakit
M.Natsir
1.2.2 Untuk bahan pengayaan agar lebih memahami materi tentang IVA

1.3 Manfaat
1.3.1 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang menjalankan kepaniteraan
klinik senior departemen ilmu kebidanan dan kandungan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks


2.1.1 Definisi Kanker Serviks
Kanker leher rahim adalah kanker yang menyerang daerah servik uterus, suatu daerah
pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak
antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada
wanita yang berusia lanjut, tetapi beberapa ahli telah membuktikan kalau kanker leher rahim
juga dapat menyerang wanita usia 20-30 tahun (Achmad Nurrachman, 2010: 1). Dalam
situasi normal, sel akan bertambah tua dan memproduksi sel baru, tetapi pada kanker, sel
membelah secara tidak terkendali dan tidak menjadi tua, kemudian mati seperti biasa.
Apabila terjadi sel membelah secara tidak terkendali, maka terbentuklah tumor. Tumor ini
akan menginvasi jaringan daerah sekitarnya hingga sel jaringan sekitar ikut berubah fungsi
tidak normal lagi. Pada keadaan kanker leher rahim ini, sel selaput lendir leher rahim
mengadakan proliferasi (membelah dan tumbuh). Mulanya sel-sel membentuk susunan
seperti bentuk kelenjar dengan permukaan seperti karet busa dan kaya dengan pembuluh
darah (Faisal Yatim, 2005;44)

2.1.2 Penyebab Kanker Serviks


Kanker serviks disebabkan oleh virus HPV (Human Papilloma Virus). Virus ini
memiliki lebih dari 100 tipe, di mana sebagian besar di antaranya tidak berbahaya dan akan
lenyap dengan sendirinya. Jenis virus HPV yang menyebabkan kanker serviks dan paling
fatal akibatnya adalah virus HPV tipe 16 dan 18. Namun, selain disebabkan oleh virus HPV,
sel-sel abnormal pada leher rahim juga bisa tumbuh akibat paparan radiasi atau pencemaran
bahan kimia yang terjadi dalam jangka waktu cukup lama (Achmad Daiman, 2010;1)

2.1.3. Faktor Resiko Kanker Serviks


Beberapa hal yang menurut penelitian bisa meningkatkan risiko seorang perempuan
mengidap penyakit kanker ini adalah :
a. Memulai aktivitas seksual pada usia muda (≤ 18 tahun)
Perkembangan modern saat ini memang bisa menunda usia pernikahan, tetapi
penundaan usia pernikahan ini tidak selalu berarti menunda usia permulaan
beraktivitas seksual. Diketahui bahwa sperma yang pertama kali mengenai leher
2
rahim mempunyai pengaruhyang besar untuk terjadinya keganasan di daerah tersebut
( Rama Diananda, 2009:85). Menurut Imam Rasjidi (2008: 7), sel kolumnar serviks
lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa, maka wanita yang berhubungan
seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker leher rahim lima kali
lipat.
b. Hubungan Seksual dengan Berganti-Ganti Pasangan
Menurut Sabrina Maharani (2009:81), perempuan yang memiliki banyak pasangan
seksual berisiko lebih tinggi untuk menderita kanker leher rahim. Selain itu,
perempuan yang berhubungan seksual dengan seorang laki-laki yang mempunyai
banyak pasangan seksual juga berisiko lebih tinggi untuk menderita kanker leher
rahim. Karena penyebab dari kanker leher rahim diyakini disebabkan oleh human
papilloma virus (HPV) dan herpes simpleks tipe 2 menjadi faktor pendamping, maka
seseorang dapat terinfeksi oleh virus ini adalah dengan berganti-ganti pasangan. Suatu
survei yang pernah dilakukan, memperoleh hasil bahwa jika seseorang perempuan
mempunyai pasangan seksual sebanyak enam orang atau lebih, risiko menderita
kanker leher rahim meningkat menjadi lebih dari 10 kali lipat (Bertiani, 2009: 48).
c. Hamil dan Melahirkan di Usia Muda
Hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak
tepat dapat pula meningkatkan risiko kanker leher rahim (Imam Rasjidi, 2008: 7).
Menurut Riono (1999) dalam Elisabeth (2004: 14), umur kehamilan pertama kali
ternyata juga berpengaruh atas risiko terjadinya kanker leher rahim. Umur melahirkan
pertama kali kurang dari 20 tahun mempunyai risiko untuk terjadi kanker leher rahim.
d. Jarak Kelahiran yang Terlalu Dekat
Menurut Bertiani (2009: 46), paritas yang berbahaya adalah dengan memiliki jumlah
anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Sebab dapat
menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim. Jika jumlah
anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak, dapat menyebabkan terjadinya
perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim dan dapat berkembang menjadi
keganasan.
e. Paritas
Pada perempuan yang melahirkan lebih dari 3 kali, ternyata menurut hasil riset, angka
kejadian kanker leher rahimnya meningkat sebanyak 3 kali pula (Erik Tapan, 2005:
17). Menurut Wiknjosastro (2006) dalam Suhartini (2010: 45), wanita dengan banyak

3
anak diperkirakan leher rahim pada wanita ini sering mengalami infeksi, sehingga
terjadinya infeksi yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya kanker leher
rahim.
f. Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok
atau sigaret maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbons heterocyclic amine yang sangat karsinogen dan mutagen, sedangkan
apabila dikunyah ia menghasilkan netrosamine. Bahan yangberasal dari tembakau
yang dihisap terdapat pada getah seviks wanita perokok dan dapat menjadi
kokarsinogen infeksi virus (Imam Rasjidi, 2007:7). Seorang perempuan perokok
memiliki konsentrasi nikotin pada getah leher rahim 56 kali lebih tinggi dibandingkan
di dalam serum.
g. Usia
Dalam pemantauan perjalanan penyakit, diagnosis displasia sering ditemukan pada
usia 20 tahunan. Karsinoma in situ pada usia 25-35 tahun dan kanker leher rahim
invasif pada usia 40 tahun, sehingga kanker leher rahim akan baru muncul pada
wanita-wanita 17 berusia lebih dari 40 tahun (Kesrepro.info: 1). Menurut Sabrina
(2009: 81), kanker leher rahim paling sering terjadi pada perempuan yang berumur
lebih dari 40 tahun. Menurut Wagener (1999: 495), frekuensi tertinggi karsinoma
serviks uteri terdapat antara 50 dan 55 tahun dengan umur rata-rata penderita adalah
53,2 tahun. Menurut Bertiani (2009: 46), semakin tua umur seseorang akan
mengalami proses kemunduran, sehingga pada usia lanjut lebih banyak kemungkinan
jatuh sakit atau mudah mengalami infeksi.
h. Penggunaan Kontrasepsi Oral
WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan
meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian (Sjahrul, 2001: 9). Kontrasepsi oral
menjadi faktor risiko kanker leher rahim dikarenakan kontrasepsi oral ini memiliki
mekanisme kerja untuk mencegah kehamilan terjadi, yaitu dengan cara menghentikan
ovulasi dan menjaga kekentalan lendir leher rahim, sehingga tidak dilalui sperma. Hal
ini memungkinkan virus HPV dapat berkembangbiak, (2007: 393), kontrasepsi oral
yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko
relatif seseorang menjadi 2 kali daripada orang normal. Proses tersebut diduga karena
regulasi transkripsi DNA virus dapatmengenali hormon dalam kontrasepsi oral,
sehingga meningkatkan karsinogenesis virus.
4
2.1.3 Gejala Kanker Serviks

Gejala-gejala awal kanker serviks ini biasanya dapat dirasakan perubahan berupa nyeri atau
gejala-gejala lain panggul. Jika kanker serviks memburuk, gejala selanjutnya yang dapat
dirasakan yaitu :

1.Perdarahan vagina yang abnormal


 Perdarahan yang terjadi diantara periode periode teratur menstruasi
 Perdarahan setelah hubungan seks
 Periode menstruasi yang berlangsung lebih lama dan lebih berat
 Perdarahan setelah menopouse
2.Kotoran vagina yang meningkat
3.Nyeri panggul (pelvic)
4.Nyeri sewaktu melakukan hubungan seks

2.2 IVA
2.2.1 Definisi IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam asetat/
asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang. 1,2 Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat (IVA) merupakan metode deteksi dini kanker serviks yang sesuai
untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna
bercak putih yang disebut acetowhite epithelium.1,2,3

2.2.2 Dasar Pemeriksaan IVA


Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara
memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%.
Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik
ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel
akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut
tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel
abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite).1,2

5
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah
pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang.
Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih
lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi
protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan
jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel.
Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3%
larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam
asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak
putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan
merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia yang biasanya disebabkan oleh proses
keratosis.

2.2.3 Syarat Pemeriksaan IVA


Syarat untuk melakukan pemeriksaan IVA adalah sebagai berikut :
1. Sudah pernah melakukan hubungan seksual.
2. Tidak sedang dalam keadaan menstruasi.
3. Tidak sedang hamil.
4. Tidak melakukan hubungan seksual dalam jangka waktu 24 jam.

2.2.4 Sarana dan Prasarana Penunjang Pemeriksaan IVA


Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai
berikut: 4
 Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
 Meja/ tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.
 Sumber cahaya/ lampu sorot untuk melihat serviks
 Spekulum vagina
 Asam asetat (3-5%)
 Swab-lidi kapas
 Sarung tangan

6
2.2.5 Teknik dan Interpretasi Pemeriksaan IVA
Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada
lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka).
Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak
dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah
menopause tidak direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona
transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoserviks rahim dalam
kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.1
Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan
spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi cervix. Setiap
abnormalitas yang ditemukan dicatat. Kemudian cervix dioles dengan larutan asam asetat 3-
5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit untuk dilihat hasilnya. Cervix yang normal
akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area, plak atau ulkus
yang berwarna putih.1,2,3
Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan
dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya)
menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya selalu
berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK).1,2 Beberapa kategori temuan IVA
tampak seperti tabel berikut :

7
Tabel 1. Kategori Temuan IVA1
Kategori
1. Negatif  tak ada lesi bercak putih (acetowhite
lesion)
 bercak putih pada polip endoservikal atau
kista nabothi
 garis putih mirip lesi acetowhite pada
sambungan skuamokolumnar
2. Positif 1 (+)  samar, transparan, tidak jelas, terdapat
lesi bercak putih yang ireguler pada
serviks
 lesi bercak putih yang tegas, membentuk
sudut (angular), geographic acetowhite
lessions yang terletak jauh dari
sambungan skuamokolumnar
3. Positif 2 (++)  lesi acetowhite yang buram, padat dan
berbatas jelas sampai ke sambungan
skuamokolumnar
 lesi acetowhite yang luas, circumorificial,
berbatas tegas, tebal dan padat
 pertumbuhan pada leher rahim menjadi
acetowhite

Gambar 1. Leher Rahim dengan Pemeriksaan IVA

8
Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yang
dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, perempuan yang diskrining
menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan diagnosis melalui biopsi
yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan pengobatan lesi prakanker. Ada
beberapa cara yang dapat digunakan yaitu kuretase endoservikal, krioterapi, atau loop
electrosurgical excision procedure (LEEP), laser, konisasi, sampai histerektomi simpel.1,5

9
2.2.6 Sasaran Skrining IVA
Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO adalah sebagai berikut:5
 Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes
Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.
 Perempuan yang pernah mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap
sebelumnya.
 Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala
abnormal lainnya.
 Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.
Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini adalah
antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun yang belum
pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus
kanker leher rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas
seksual perlu menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan
perempuan yang sudah menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona
transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam
kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.1,2,3,5
Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perempuan yang sudah mengalami menopause
tetap dapat diikut sertakan dalam program skrining, untuk menghindari terlewatnya
penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu disertakan informed consent pada perempuan
golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak
ada lesi prakanker pada golongan perempuan ini. Interval skrining dilakukan 5 tahun sekali,
kecuali bila ditemukan radang pada leher rahim, interval dapat diperpendek.

10
2.2.7 Algoritma diagnosis deteksi dini dan tatalaksana

2.2.8 Akurasi dan Keuntungan Pemeriksaan IVA Dibandikan dengan Pemeriksaan Lain
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa metode IVA berpotensi menjadi
alternatif metode skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber daya
terbatas. Namun demikian, akurasi metode ini dalam penerapan klinis masih terus dikaji di
berbagai negara berkembang.
Penelitian Universitas Zimbabwe dan JHPIEGO Cervical cancer project yang
melibatkan 2.203 perempuan di Zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan metode IVA
dapat mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas IVA dibanding
pemeriksaan sitologi (Tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%. Meskipun begitu,
dilaporkan juga bahwa metode IVA ini kurang spesifik, angka spesifisitas IVA hanya 64,1%
dibanding sitologi 90,6%. Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di daerah
pedesaan di Cina, dilakukan oleh Belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai sensitivitas
metode IVA pada lesi prakanker tahap NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikonfirmasi dengan
kolposkopi dan biopsi leher rahim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka sensitivitas

11
IVA untuk NIS 2 atau yang lebih tinggi adalah 71%, sementara angka spesifisitas 74%.
Beberapa penelitian menunjukkan sensitivitas IVA lebih baik daripada sitologi. Claey et al.
melaporkan penelitiannya di Nikaragua, bahwa metode IVA dapat mendeteksi kasus LDT
(Lesi Derajat Tinggi) dan kanker invasif 2 kali lebih banyak daripada Tes Pap. Demikian juga
laporan dari Basu et al.1
Beberapa penelitian terbaru tentang IVA menambah data tentang kemungkinan
penggunaan IVA sebagai alternatif metode skrining secara luas di negara-negara
berkembang. Ghaemmaghami et al. (2004) melaporkan angka sensitivitas IVA dibandingkan
dengan Tes Pap berturut-turut adalah 74.3% dan 72%, sementara angka spesifisitas adalah
94% dan 90.2%. Penelitian dilakukan terhadap 1200 perempuan yang menjalani skrining
dengan metode IVA dan Tes Pap dan dikonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi. Hasil
positif dari kedua pemeriksaan tersebut berjumlah 308 orang, 191 orang diantaranya
terdeteksi positif melalui metode IVA. Hasil konfirmasi histologi menunjukkan 175 sampel
dinyatakan positif (dengan kriteria NIS I atau yang lebih berat), dari 175 sampel tersebut, 130
diantaranya terdeteksi melalui metode IVA. Sementara Doh et al. (2005) melaporkan hasil
penelitian di Kamerun terhadap 4813 perempuan yang menjalani skrining dengan metode
IVA dan Tes Pap. Hasil penelitian menunjukkan sensitivitas IVA dibanding Tes Pap 70.4%
dan 47.7%, sedangkan spesifitas IVA dan Tes Pap berturut-turut 77.6% dan 94.2%, nilai
prediksi negatif (NPV/ Negative Predictive Value) untuk IVA dan Tes Pap berturut-turut
adalah 91.3% dan 87.8%.
Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa skrining dengan metode IVA lebih
mudah, praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, praktis dan murah. Pada tabel dibawah
ini dapat dilihat perbandingkan antara pap smear dan IVA dalam berbagai aspek pelayanan.

12
Tabel 3. Perbandingan Skrining Tes Pap smear dan IVA1
Uraian Metode Skrining Tes Pap smear IVA
Petugas kesehatan Sample takers (Bidan/ Bidan, perawat, dokter
perawat/ dokter umum/ umum, Dr Spesialis
Dr. Spesialis) Skrinner/
Sitologis/ Patologis
Sensitivitas 70 % - 80% 65% - 96%
Spesifisitas 90% - 95% 54% - 98%
Hasil 1 hari – 1 bulan Langsung
Sarana Spekulum, lampu sorot, Spekulum, lampu sorot,
kaca benda (slide), Asam asetat
laboratorium
Biaya Relatif mahal Murah
Dokumentasi Ada Tidak ada

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah metode deteksi dini kanker serviks
yang sesuai untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Tekniknya cukup
sederhana, yaitu dengan mengaplikasikan asam asetat 3-5% pada serviks. Pada lesi
prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white
epithelium. Dengan munculnya bercak putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA
positif.
 Inspeksi visual asam asetat (IVA) mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk deteksi
dini lesi prakanker serviks, mudah, murah, dan efektif terutama jika dibandingkan
pap smear

3.2 Saran
Inspeksi visual asam asetat (IVA) mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk deteksi
dini lesi prakanker serviks dan mengingat faktor kemudahan, biaya dan efektifitas maka
pemeriksaan IVA dapat digunakan sebagai alternatif untuk deteksi dini lesi prakanker
serviks, serta diperlukan penyebarluasan teknik pemeriksaan IVA pada petugas kesehatan
terutama bidan, sehingga kelainan serviks pada tahap dini dapat diketahui.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Sapto Wiyono dkk, Inspeksi Visual Asam Asetat untuk deteksi Dini Lesi
Prakanker Serviks, 2004, Universitas Diponegoro
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Skrining Kanker Leher Rahim
Dengan Metode Inspeksi Visual Asam Asetat, 2008
3. Anonim, Kanker Leher Rahim, diunduh dari www.kalbe.com/cdk/ tanggal 29
Agustus 2012
4. Anonim, Peran Tenaga Kesehatan dalam Skrinning Kanker Leher Rahim dalam
Inspeksi Visual Asam Asetat. 2006. Universitas Sumatera Utara
5. Sinta Sasika, dkk, Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Uji Sitologi dan DNA
HPV. 2010. Universitas Padjajaran Bandung

15

Anda mungkin juga menyukai