Anda di halaman 1dari 14

1.

Definisi Fraktur
 Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price dan Wilson,2006).

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari


trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi
(Doenges, 2002).

2. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.

 Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, Fraktur dapat dibagi


menjadi :
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)


Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I :Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II :Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi
fragmen jelas.
3) Derajat III :Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

 Berdasarkan bentuk patahan tulang


a) Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang
atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah
dikontrol dengan pembidaian gips.

b) Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak.

c) Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang

d) Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak
dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.

e) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.

f) Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana
korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis
ini sering terjadi pada anak – anak.

g) Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.

 Berdasarkan lokasi pada tulang fisis


Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupa kan lempeng pertumbuhan, bagian
ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada
anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur
fisis juga kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas
olahraga. Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur
fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter – Harris :
a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan,
prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui
tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.
c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis
dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi
anatomi.
d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan
dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya
penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang
lebih besar.
d) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan
pertumbuhan lanjut adalah tinggi.

Emergency Orthopedic

Adalah trauma pada muskuloskeletal dimana apabila tidak mendapat penanganan yang tepat
dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut, kelumpuhan bahkan kematian.
Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency orthopedics, yaitu open fracture,
compartment syndrome, dislokasi dan fractur dislokasi, lesi vascular besar, septic arthritis,
acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic
amputasi.
 Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra compartement
(Osteofascial compartement) pada cruris atau pada Antebrachii akibat
peningkatan permeabilitas sesudah terjadinya trauma, menyebabkan odema dan
menghalangi aliran arteri yang menyebabkan ischemia jaringan yang diikuti
gejala klinis 5 P (Pulseless, Pale, Pain, Paraestesi, Paralyse).

 Kejadian dislokasi dan fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan
normal cartilage mendapat nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari darah
yang sudah tersaring eritrositnya, terjadi diffusi masuk ke joint space bila terjadi
mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi nutrisi terhenti. Cartilage yang mati sulit
regenerasi. dislokasi adalah segera reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu.

 Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri radialis, juga
plexus vein sacral pada sacro iliac disruption atau unstable pelvis atau fractur
malgaigne.

 Pada septic arthritis pasien akan mengalami panas badan , nyeri sendi sangat
hebat bila digerakkan. Area yang sering terkena septic artritis adalah sendi
panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang ada dalam sendi akan merusak
sendi, bila tidak segera ditangani, maka arthrotomi pilihan terapi septic artritis
pada sendi yang rusak.

 Osteomelitis akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang


mengalami infeksi dipegang, tanda radang ( rubor, color , dolor , palor, functio
laesa). Komplikasi osteomelitis akut adalah sepsis.

 Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang (femur & tibia).
Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila masuk ke otak akan
mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru mengakibatkan sesak. Pertolongan
fat emboli adalah oxygenasi dengan PEEP (positive expirasi end pressure)
respirator dan heparin atau antikoagulan.

PENATALAKSANAAN

Banyak pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan syok hebat. Bagi
mereka, terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat penting. Luka harus ditutup dengan
pembalut steril atau bahan yang bersih dan dibiarkan tidak terganggu hingga pasien mencapai
bagian rawat kecelakaan.

Di Rumah Sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang pertama, dan
setiap keadaan yang membahayakan jiwa dapat diatasi. Luka kemudian diperiksa, idealnya
dipotret dengan kamera polaroid. Setelah itu dapat ditutup lagi dan dibiarkan tidak terganggu
hingga pasien berada di kamar bedah. Empat pertanyaan yang perlu dijawab :

1. Bagaimana sifat luka tersebut.


2. Bagaimana keadaan kulit di sekitar luka.
3. Apakah sirkulasi cukup baik.
4. Apakah saraf utuh.
Semua fraktur terbuka, tidak peduli seberapa ringannya, harus dianggap terkontaminasi,
penting untuk mencoba mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini, perlu diperhatikan empat hal
yang penting :

1. Pembalutan luka dengan segera.


2. Profilaksis antibiotika.
3. Debridement luka secara dini.
4. Stabilisasi fraktur.
Penanganan fraktur terbuka

Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada
penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan fraktur
terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi sesuai dengan
indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian
antibiotik (sebelum, selama, dan sesudah operasi), pemberian anti tetanus, penutupan luka,
stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif dihindari pada hari ketiga atau keempat
karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali
dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma.

Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut :

1. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah
gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur
bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka
ditutup dengan material yang bersih dan steril.

2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan
penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn banyak darah
pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat
diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan
resusitasi dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan
nafas atau denyut jantung karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera
organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan
pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis
dilakukan setelah pasien stabil.

3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan
penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan
baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu
sendiri.

4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS)


Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma.
Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2
gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8
jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan
memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur
dan sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi,
maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk penyesuaian ualng
pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada
fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka
yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan
kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus
dapat diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada
penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit
pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang
dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat
imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara
intramuskular.

5. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati,
memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum,
pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai
yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang
sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di
sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka
diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir dapat
disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan
lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.
Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut :

 Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak
mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk
memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah diperbesar, pembalut dan
bahan asing lain dapat dilepas.

 Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.

 Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot yang
mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-
unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat berkontraksi bila
dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan yang kemampuan
hidupnya meragukan perlu dieksisi.

 Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat,
tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka,
pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang arteri dan dipilin.

 Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka itu
bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan
bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di kemudian
hari.

 Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf,
penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi tidak perlu
dilakukan.

 Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada
posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru
boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.

 Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan
sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau irigasi sedotan
hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.

Debridement dapat juga dilakukan dengan :

 Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
 Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas.

 Pengobatan fraktur itu sendiri


Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.

 Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan
apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split
thickness skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah
akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan
terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup
kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian
adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit
menjadi tegang.

 Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah tindakan operasi.

 Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.
Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin
(manusia).

6. Penanganan jaringan lunak


Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation
atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan
bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement
dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada
luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka,
luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5 – 7 hari dan luka
bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui
tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari
terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan
tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya
untuk mencegahnya deformitas.

8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary splinting
dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan
dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw,
intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif.
Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan luka baik dan diyakini
tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur
terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen
fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.

Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah
dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar
tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya.
Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap
dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak, bersifat
radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan. Pada fraktur terbuka derajat III, dimana
terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan
gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah
luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk
menunjang secondary bone healing dengan pembentukan kalus.

Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam
stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode
yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam, yaitu:

1. Pemasangan plate and screws


Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan
plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan
kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar
fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit
pembentukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada
pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat
yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi
permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain
LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi
baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang
banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000
). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak
terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat mengakibatkan non-union.
Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit
atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan
dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang
dengan bantuan alat fluoroskopi.

2. Pemasangan screws or wires


Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil.
Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur intraartikuler dan
periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan
pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens, 1996).

Pemasangan intramedullary nails/rods

Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung


fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply
sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union. Beberapa penelitian awal
menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed intramedullary nails pada fraktur tibia
terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk
stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC
sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan
setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local maupun pin tract
infection.

3. Pemasangan external fixation devices


Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada pemasangan
plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat
disbanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat
seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada
pemasangan plat akan memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.(
1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka
derajat I dan derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang
membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka
menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II
dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat
popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi pada tempat
masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko terjadi malunion
sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi yang terlalu
awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan fiksasi luar
dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi pada fraktur yang
tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih
cepat. (Court-Brown et al., 1996).

KOMPLIKASI FRAKTUR TERBUKA

Komplikasi umum

Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam pertama
setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang terjadi beberapa
hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup peningkatan katabolisme dan
membutuhkan dukungan gizi.

 Sindroma peremukan (Crush syndrome)


Sindroma peremukan dapat terjadi kalau sejumlah besar massa otot remuk, seperti
tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket dibiarkan terlalu lama. Bila kompresi
dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C), akibat pemecahan otot, dibawa oleh darah ke
ginjal dan menyumbat tubulus. Penjelasan lainnya adalah terjadinya spasme arteria renalis
dan sel tubulus yang anoksia mengalami nekrosis.

Syok hebat, tungkai yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian menjadi
merah, bengkak dan melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi ginjal berkurang
dan terjadi uremia keluaran rendah dengan asidosis. Kalau sekresi ginjal pulih dalam
seminggu, pasien dapat bertahan. Sebagian besar pasien, kecuali kalau diterapi dengan
dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk dan mati dalam 14 hari.

Untuk menghindari bencana, tungkai yang remuk hebat dan belum ditangani selama
beberapa jam harus diamputasi. Karena itu, kalau turniket dibiarkan selama lebih dari 6 jam
tungkai harus dikorbankan. Amputasi dilakukan di sebelah atas tempat penekanan dan
sebelum tekanan dilepaskan.

Setelah gaya tekan lenyap, amputasi tidak ada manfaatnya. Tungkai harus tetap dingin
dan syok pasien diterapi. Kalau terjadi oliguria, asupan cairan dan protein dikurangi,
karbohidrat diberikan (melalui mulut atau vena besar), katabolisme protein dikurangi (dengan
pemberian neomisin dan steroid anabolik) dan keseimbangan elektrolit serum dipertahankan.
Dialisis ginjal harus dimulai.

 Trombosis vena dan emboli paru-paru


Trombosis vena dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah komplikasi yang
paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang sebenarnya tidak diketahui
tetapi mungkin lebih besar dari 30 % (Hedges dan Kakkar, 1988). Trombosis paling sering
terjadi dalam vena-vena di btis, dan jarang dalam vena-vena proksimal dip aha dan pelvis.
Thrombosis terutama berasal dari tempat yang terakhir itu dan fragmen bekunya dibawa ke
paru-paru. Insiden emboli paru-paru setelah operasi ortopedik besar sekitar 5% dan insiden
emboli fatal sekitar 0,5%.

Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas darah,


terutama akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan rusak. Sekali
trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi penting, stasis dapat diakibatkan oleh
turniket atau pembalut yang ketat, tekanan terhadap meja bedah dan kasur, dan imobilitas
yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan trombosit dapat
diakibatkan oleh cedera atau operasi.

Cara membaca hasil rontgen

Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum identifikasi foto rontgen, yaitu:

1. Lihat identitas foto rontgennya


2. Pastikan dulu, foto tsb layak baca atau tidak
3. Tentukan posisi foto terlebih dahulu
4. Lakukan teknik ABCS
 Alignment (garis lurus)

Membandingkan keadaan dextra dan sinistra. Jadi jika kita melihat suatu keadaan
pada bagian dextra maka bandingkan dengan bagian sinistranya.

 Bone (Tulang)
Perhatikan kondisi tulang. Perhatikan bentuk dan ukurannya. Apakah terjadi
kelainan, fraktur, destruksi dan lainnya.
 Cartilage (tulang rawan)
Cartilage tidak terlihat dlm foto rontgen. Jadi, yang dilihat adalah celah sendinya
 Soft tissue (jaringan lunak sekitar tulang)
Perhatikan kondisi jaringannya, apakah terdapat soft tissue swelling atau tidak.
Soft tissue swelling bisa terjadi misalnya pada trauma, tumor

Anda mungkin juga menyukai