Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323846476

Strongyloidiasis Berkaitan dengan Kejadian Arthritis Reaktif

Article · March 2018

CITATIONS READS

0 2,625

4 authors:

Firda Novidyawati Agnellia Maulidya Utami


Universitas Jember Universitas Jember
5 PUBLICATIONS   3 CITATIONS    5 PUBLICATIONS   13 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Laras Sri Salisna Maulida Yudha Nurdian


Universitas Jember Universitas Jember
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    763 PUBLICATIONS   570 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

tutorial neurobehavior View project

Parasitic Agromedicine View project

All content following this page was uploaded by Firda Novidyawati on 19 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Strongyloidiasis Berkaitan dengan Kejadian Arthritis Reaktif
1
Agnellia Maulidya Utami 1Firda Novidyawati 1Laras Sri Salisna Maulida dan 2Yudha
Nurdian
1
Student, Faculty of Medicine, University of Jember, Indonesia
2
Faculty of Medicine, University of Jember, Indonesia
Corresponding author: 1Agnellia Maulidya Utami, 152010101012@students.unej.ac.id

Abstrak
Strongyloides stercoralis merupakan salah satu jenis nematoda usus yang hidup sebagai
parasit dalam tubuh manusia dan menyebabkan penyakit strongyloidiasis. Manifestasi klinis
infestasi S. stercoralis tersering adalah gangguan sistem pencernaan seperti diare, nyeri perut,
mual, muntah, dan penurunan berat badan. Strongyloidiasis bisa menyerang ke berbagai
organ seperti paru, hati, jantung, ginjal, dan sistem saraf pusat. Meskipun parasit jarang
ditemukan di persendian tetapi persendian bisa mengalami arthritis reaktif dan menimbulkan
gejala menyerupai arthritis. Infestasi dapat berlangsung selama beberapa tahun tanpa gejala,
namun ketika daya tahan tubuh host terganggu karena terjadi bersamaan dengan penyakit lain
atau karena terapi imunosupresif, termasuk golongan steroid, maka strongyloidasis dapat
reinfestasi.

Pendahuluan
Strongyloides stercoralis merupakan salah satu jenis nematoda usus yang
hidup sebagai parasit dalam tubuh manusia dan menyebabkan penyakit
strongyloidiasis (Suhariyanto dan Nurdian, 2006). Secara morfologis, cacing S.
stercoralis tampak tidak berwarna dan transparan dengan panjang 2.2 mm.
Infestasi S. stercoralis dapat terjadi baik di daerah tropis maupun subtropis
dengan angka kejadian sebesar 100 juta orang yang tersebar di 70 negara
(Altintop et al, 2010).
Infestasi pada manusia terjadi ketika larva filariform melakukan penetrasi
ke dalam kulit dan melalui pembuluh limfatik masuk ke sirkulasi tubuh. Cacing
ini kemudian bermigrasi ke paru dan melakukan penetrasi ke dalam alveolus,
naik menuju bronkus, dan akhirnya tertelan ke dalam sistem pencernaan tubuh
(Romanda dan Nurdian, 2017). S. stercoralis kemudian berkembang menjadi
dewasa dan cacing betina akan menghasilkan telur di dalam duodenum. Telur
yang menetas menghasilkan larva rhabditiform yang keluar melalui feses. Larva
ini kemudian akan mengalami siklus free-living (CDC, 2015).
Infestasi S. stercoralis dapat bersifat akut maupun kronis dengan
manifestasi klinis yang memiliki spektrum luas mulai dari asimtomatik hingga
infestasi berat dan fatal, yang disebut sindrom hiperinfeksi dan strongiloidiasis
diseminata. Manifestasi klinis infestasi S. stercoralis tersering adalah gangguan
sistem pencernaan seperti diare, nyeri perut, mual, dan muntah. Namun, pada
beberapa kasus manifestasi klinis dari infestasi S. stercoralis kronis adalah
arthritis, yang dikaitkan pula dengan penggunaan kortikosteroid (CDC, 2016).
Pada studi pustaka kali ini, kami mengumpulkan beberapa jurnal yang
membahas tentang manifestasi klinis infestasi S. stercoralis pada sistem
muskuloskeletal manusia berupa arthritis.
Metode
Metode yang kami gunakan yaitu studi literatur menggunakan jurnal-jurnal
internasional terakreditasi dalam rentang waktu 14 tahun terakhir (2004 –
2018). Pencarian jurnal-jurnal terkait dilakukan dengan menggunakan kata
kunci ”Strongyloides stercoralis”, “Arthritis”, “Strongyloidiasis and arthritis”
dan ”Corticosteroid and strongyloidiasis” dari beberapa database jurnal-jurnal
ilmiah seperti google scholar, researchgate, pubmed, dan science direct.
Pembahasan
Strongyloides stercoralis (S. stercoralis) adalah salah satu jenis parasit dari
kelompok nematoda usus yang termasuk dalam Soil-Transmitted Helminth
(STH). Distribusinya luas di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim tropis
dan subtropis, dapat pula ditemukan di daerah yang beriklim sedang. S.
stercoralis diperkirakan telah menginfestasi 100 juta orang di seluruh dunia.
Pada umumnya distribusi S. stercoralis terbatas pada daerah yang bercuaca
panas dan lembab karena merupakan situasi yang cocok untuk perkembangan
hidup larva S. stercoralis. Namun oleh karena sering tidak menunjukkan gejala
dan masa hidupnya yang cukup lama, tanpa disadari seseorang dapat terinfestasi
di daerah beriklim hangat lalu berpindah tempat ke daerah beriklim dingin dan
menjadi karier infeksi S. stercoralis (Lo Gullo et al., 2016).
Infestasi pada manusia dapat terjadi ketika larva filariform dari tanah yang
terkontaminasi menembus kulit. Larva ini kemudian menembus saluran limfatik
atau kapiler yang akan terbawa ke jantung dan kapiler pulmonal. Parasit ini
kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan tertelan
masuk ke lambung dan usus. Sesampai di usus cacing menjadi dewasa dan akan
bertelur. Telur tersebut akan menetas dan berkembang menjadi larva
rhabditiform. Sebagian besar larva rhabditiform ini akan diekskresikan melalui
feses, tetapi beberapa akan kembali menjadi larva filariform dan memulai siklus
autoinfeksi dengan menembus mukosa kolon atau kulit perianal yang
menyebabkan infestasi kronis (Altintop et al., 2010).
Infestasi S. stercoralis dapat bersifat akut maupun kronis dengan
manifestasi klinis yang memiliki spektrum luas mulai dari asimtomatik hingga
infestasi berat dan fatal yang disebut sindrom hiperinfeksi dan strongiloidiasis
diseminata. Manifestasi klinis infestasi S. stercoralis tersering adalah gangguan
sistem pencernaan seperti diare, nyeri perut, mual, muntah, dan penurunan berat
badan. Namun, pada beberapa kasus manifestasi klinis dari infestasi S.
stercoralis kronis adalah arthritis yang dikaitkan pula dengan penggunaan
kortikosteroid (Wyatt et al. 2014).
Laporan kasus dari Richter et al. (2006) menjelaskan seorang laki-laki
berusia 44 tahun mengalami pembengkakan yang menyakitkan pada kedua
sendi pergelangan kaki, limfodema, dan nyeri pada punggung. Pada kasus
tersebut, awalnya pasien diduga menderita arthritis sehingga diberikan terapi
obat antiinflamasi nonsteroid namun tidak menunjukkan adanya perbaikan dari
keluhan yang dirasakan. Dari hasil laboratorium didapatkan adanya peradangan
dan peningkatan eosinoilia. Setelah dilakukan uji feses ternyata ditemukan
adanya larva dari S. stercoralis. Gejala nyeri sendi pada pasien berkurang
setelah diberikan terapi antihelminthik spesifik dengan invermectin 0,2
mg/kgBb 1 kali sehari selama 2 hari. Setelah diberikan terapi antihelminthik
dilanjutkan dengan uji feses dan memberikan hasil yang negatif. Dalam laporan
disebutkan bahwa kemungkinan pasien tersebut mengalami artritis reaktif yang
disebabkan oleh S. stercoralis.
Laporan dari Lo Gullo et al. (2016) menjelaskan seorang tukang kebun
yang berusia 55 tahun mengeluhkan adanya polyarthralgia dan diberikan terapi
NSAID dan steroid. Setelah 6 bulan, pasien masuk rumah sakit akibat
polyarthralgia disertai dengan sakit perut. Pasien diberikan terapi golongan
Proton Pump Inhibitor (PPI), steroid intravena, NSAID, dan perbaikan kondisi
secara umum. Namun setelah beberapa minggu kondisi klinis pasien semakin
memburuk disertai muntah, batuk, sakit perut, penurunan berat badan sangat
signifikan, dan polyarthritis yang berat dengan bengkak dan nyeri pada sendi
sternoklavikularis kanan, dan gangguan fungsional pada tungkai bawah.
Hasil dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri pada epigastrium dan
pada pemeriksaan auskultasi dada menunjukkan adanya bunyi ronkhi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan dari marka
inflamasi. Karena mencurigai adanya peradangan pada usus maka dilakukan
pemeriksaan gastrokopi dan kolonoskopi yang mendapatkan hasil mukosa
edema, duodenum eritematous, dan usus membesar, sehingga dilakukan
pemeriksaan biopsi dan didapatkan adanya gambaran infestasi masif pada
jaringan kolon oleh S. stercoralis. Kemudian diberikan terapi albendazol
400mg, 3 kali sehari. Setelah dua hari menjalani terapi, parasit itu terdeteksi
dalam uji feses dan sputum. Terapi dilanjutkan sampai 15 hari dan dilakukan
pemeriksaan ulang uji feses yang memberikan hasil yang negatif, tidak
dirasakan keluhan polyarthralgia dan nilai laboratotium normal. Beberapa hari
kemudian pasien tersebut mulai dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri
dan setelah 7 hari berikutnya pasien dipulangkan. Pasien tetap dievaluasi secara
berkala dan didaptakan kondisi yang semakin membaik (Lo Gullo et al. 2010).
Strongyloidiasis bisa menyerang ke berbagai organ seperti paru, hati,
jantung, ginjal, dan sistem saraf pusat (Nurhidayati dan Nurdian, 2017;
Primadana dan Nurdian, 2017). Meskipun parasit jarang ditemukan di
persendian tetapi pada persendian bisa mengaalami arthritis reaktif. Serangan
pada sendi juga bisa terjadi dan menimbulkan gejala menyerupai gejala arthritis.
Infestasi dapat berlangsung selama beberapa tahun tanpa ada gejala, namun
ketika kekebalan host terganggu karena terjadi bersamaan dengan penyakit lain
atau karena terapi imunosupresif termasuk golongan steroid, maka serangan
strongyloidasis dapat terjadi (Lo Gullo et al. 2010).
Lo Gullo et. al. (2016) menduga bahwa pasien awalnya mengalami
infestasi cacing yang asimtomatik dan kemudian berkembang menjadi arthritis
reaktif yang diperparah dengan pemberian NSAID dan steroid. Asupan steroid
yang terus menerus sampai beberapa bulan menyebabkan infestasinya masif
hingga menunjukkan gejala arthritis pada sendi sternoklavikularis kanan, batuk,
sakit perut, muntah, dan penurunan berat badan. Dari laporan ini diduga
penggunaan steroid memiliki risiko untuk terinfestasi parasit termasuk S.
stercoralis melalui aksi penghambatan pada eosinofil. Selain itu, steroid
mungkin memiliki efek langsung pada parasit dengan mempercepat
transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform dikarenakan sifat
steroid yang imunosupresif yang akan melemahkan kekebalan host, sehingga
parasit lebih mudah untuk menyerang host. Dugaan ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Wyatt et al. (2014) yang menyebutkan bahwa pasien yang
mengalami infestasi kronis dan mendapatkan terapi kortikosteroid dosis tinggi
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan sindrom hiperinfeksi dan
strongiloidiasis diseminata. Hal itu disebabkan karena kekebalan inang yang
terganggu kemudian menyebabkan akselerasi peningkatan jumlah larva yang
bermigrasi. Oleh karena itu, sebelum menggunakan steroid dianjurkan untuk
melakukan uji feses terlebih dahulu.
Ringkasan
S. stercoralis menginfestasi manusia melalui larva filariform yang melakukan
penetrasi ke dalam kulit dan melalui pembuluh limfatik masuk ke sirkulasi
tubuh. Cacing ini kemudian bermigrasi ke paru dan melakukan penetrasi ke
dalam alveolus, naik menuju bronkus dan akhirnya tertelan ke dalam sistem
pencernaan tubuh. S. stercoralis kemudian berkembang menjadi dewasa dan
cacing betina akan menghasilkan telur di dalam duodenum. Telur yang menetas
menghasilkan larva rhabditiform yang keluar melalui feses atau mengalami
autoinfeksi (Nurdian, 2004, 2007). Pada beberapa kasus ditemukan manifestasi
klinis berupa arthritis dan diberikan terapi NSAID dan steroid. Setelah
dilakukan pengamatan pemberian NSAID dan steroid di duga dapat
meningkatkan risiko terjadinya arthritis dan memiliki efek langsung pada
parasit dengan mempercepat transformasi larva rhabditiform menjadi larva
filariform dikarenakan sifat steroid yang imunosupresif yang akan melemahkan
kekebalan host, sehingga parasit lebih mudah untuk menyerang host. kekebalan
inang akan terganggu kemudian menyebabkan akselerasi peningkatan jumlah
larva yang bermigrasi. Infestasi S. stercoralis dapat diberikan terapi
antihelminthik spesifik, seperti ivermectin dan albendazol.

Daftar Pustaka
Lo Gullo, A., Aragona, C. O., Ardesia, M., Versace, A. G., Cascio, A., Saitta, A., dan
Mandraffino, G. 2016. A Strongyloides stercoralis infection presenting as arthritis
of sternoclavicular joint. Modern Rheumatology. doi:
10.3109/14397595.2015.1132954.

Altintop, L., Cakar, B., Hokelek, M., Bektas, A., Yildiz, L., dan Karaoglanoglu, M. 2010.
Strongyloides stercoralis hyperinfection in a patient with rheumatoid arthritis and
bronchial asthma: a case report. Annals of Clinical Microbiology and
Antimicrobials, 9:27. doi:10.1186/1476-0711-9-27.

CDC. 2016. Strongyloides Resources for Health Professionals.


https://www.cdc.gov/parasites/strongyloides/health_professionals/index.html/.
[Diaskes pada 12 Maret 2018].

CDC. 2015. Strongyloides Biology.


https://www.cdc.gov/parasites/strongyloides/biology.html/. [Diakses pada 12
Maret 2018].

Nurdian, Y. 2004. Soil Contamination by Intestinal Parasite Eggs in Two Urban Villages of
Jember. Jurnal Ilmu Dasar, 5: 50-54.
Nurdian, Y. 2007. The Fight Againts Soil-Transmitted Helminthiases in Urban Areas of
Developing Countries: Approaches to Control. Majalah Kedokteran Tropis
Indonesia, 18(1): 53-58.

Nurhidayati, E. D. and Nurdian, Y. 2017. Infestasi Strongyloides stercoralis sebagai


Predisposisi terhadap Meningitis Eschericia coli.http://www.researchgate.net/

Primadana, A. and Nurdian, Y. 2017. Gram-Negative Meningitis Co-incidence with


Strongyloidiasis. http://www.researchgate.net/

Richter, J., Müller-Stöver, I., Strothmeyer, H., Göbels, K., Schmitt, M., dan Häussinger, D.
2006. Arthritis associated with Strongyloides stercoralis infection in a HLA B-27-
positive African. Parasitol Res, 99:706–707. Doi: 10.1007/s00436-006-0225-9.

Romanda, I. P. and Nurdian, Y. 2017. Strongyloidiasis Caused by Kidney


Transplantation.http://www.researchgate.net/.

Suhariyanto, B. and Nurdian, Y. 2006. Cutaneous Larva Migrans: Pet-Associated Hazards.


Majalah Kedokteran Tropis Indonesia, 17(2): 1-7.

Wyatt, B., A Mingo, C., B. Waterman, M.,White, P., J. Cleveland, R., dan F. Callahan, L.
2014. Impact of the Arthritis Foundation’s Walk With Ease Program on Arthritis
Symptoms in African Americans. Prev Chronic Dis, 11:1-9. doi:
http://dx.doi.org/10.5888/pcd11.140147.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai