Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek

Berdasarkan Permenkes RI No.73 Tahun 2016, apotek adalah sarana

pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.

Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab

kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai

hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam menjalani

pekerjaan kefarmasian di apotek, apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian

yang terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi

(Menkes RI, 2016).

Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya

berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi

pelayanan komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja

sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup

pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar

dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta

kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (Menkes RI, 2016).

2.2 Swamedikasi

Pengobatan sendiri (self-medication) merupakan upaya yang dilakukan

masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala sebelum mereka memutuskan

mencari pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan (Depkes RI,


2008). Gejala penyakit yang dapat dikenali sendiri oleh orang awam adalah

penyakit ringan atau minor illnesses sedangkan obat yang dapat digunakan untuk

swamedikasi adalah obat-obatan yang dapat dibeli tanpa menggunakan resep dari

dokter (Rikomah, 2016). Beberapa penyakit ringan yang banyak dialami

masyarakat seperti: demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,

kecacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami,

pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang

rasional antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya

efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak

adanya polifarmasi (Muharni, 2015).

Pada pelayanan swamedikasi terdapat beberapa bentuk pelayanan yang

diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient

assesment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

2.2.1 Patient Assessment

Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien

yang dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien

sebelum membuat sebuah rekomendasi. Apoteker dituntut untuk meningkatkan

pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi

langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian

informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI,

2016).

Metode yang dapat digunakan dalam rangka menggali informasi pasien

antara lain metode WWHAM (Who is patient?, What are the symptoms?, How
long have the symptoms been present?, Action taken?, Medication being taken?)

ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medicines,

Time symptoms, History, Other symptoms, Danger symptoms) (Blenkinsopp dan

Paxton, 2005).

2.2.2 Rekomendasi

Rekomendasi merupakan saran atau anjuran yang diberikan oleh apoteker

maupun tenaga teknis kefarmasian di apotek kepada pasien swamedikasi yaitu

dapat berupa rekomendasi obat ataupun rujukan ke dokter. Dalam melakukan

swamedikasi, tenaga teknis kefarmasian memiliki peran dan tanggung jawab

untuk merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang

diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi (Depkes RI,

2007).

Pada kasus demam, rujukan kedokter diperlukan apabila:

a. Bila demam lebih dari 39oC (pada anak-anak 38.50C) dan tidak bisa turun

dengan parasetamol atau kompres.

b. Bila demam tidak berkurang setelah 2 hari.

c. Bila demam disertai dengan kaku leher.

d. Bila disertai gejala-gejala lain yang berkaitan dengan demam seperti : ruam

kulit, sakit tenggorokan berat, batuk dengan dahak berwarna hijau, sakit

telinga, sakit perut, diare, sakit bila buang air kecil atau terlalu sering buang

air kecil, bintik-bintik merah pada kulit, kejang, pingsan (Depkes RI, 2007).

2.2.3 Informasi Obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak dan
dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi

kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2016).

Pemberian informasi adalah untuk mendukung penggunaan obat yang

benar dan rasional, monitoring pengggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir

serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error). Tujuan

pemberian informasi kepada masyarakat maupun pasien adalah bagian dari

edukasi, supaya masyarakat atau pasien benar-benar memahami secara cermat dan

cerdas obat yang hendak dikonsumsi sekaligus cara penggunaan obat yang baik

dan benar (Muharni, 2015). Informasi yang perlu disampaikan oleh tenaga teknis

kefarmasian pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau bebas terbatas

antara lain:

a. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat

yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan

kesehatan yang dialami pasien.

b. Kontraindikasi: Pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari

obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra

indikasi dimaksud.

c. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi

informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus

dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.

d. Cara pemakaian: Cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada

pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup,

dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.


e. Dosis: Sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan

dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk

pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya.

f. Waktu pemakaian: Waktu pemakaian juga harus di informasikan dengan jelas

kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.

g. Lama penggunaan: Lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada

pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena

penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.

h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya

pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu

bersamaan.

i. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.

j. Cara penyimpanan obat yang baik.

k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.

l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak (Depkes RI, 2007).

2.2.4 Informasi Non Farmakologi

Informasi non farmakologi merupakan informasi yang diberikan sebagai

terapi tambahan tanpa menggunakan obat guna meningkatkan keberhasilan suatu

efek pengobatan farmakologis yang lebih baik. Beberapa hal yang dapat

dilakukan dalam menangani demam menurut Departemen Kesehatan RI (2007)

antara lain adalah:

a. Istirahat yang cukup.

b. Minum air yang banyak.


c. Usahakan makan seperti biasa, meskipun nafsu makan berkurang.

d. Periksa suhu tubuh setiap 4 jam.

e. Kompres dengan air hangat.

f. Hubungi dokter bila suhu sangat tinggi (diatas 380C), terutama pada anak-

anak (Depkes RI, 2007).

2.3 Obat

2.3.1 Defenisi Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes RI,

2016).

2.3.2 Penggolongan Obat

Obat-obat yang dapat digunakan dalam melakukan Pengobatan Sendiri

(self-medication) adalah obat-obat yang termasuk dalam golongan Obat Bebas,

Obat Bebas Terbatas dan obat-obat dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA),

yaitu obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan diserahkan oleh

apoteker di apotek.

a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol (Depkes RI, 2007).

Gambar 2.1 Logo Obat Bebas (Depkes RI, 2007).


b. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi

masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda

peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah

lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM (Depkes RI,

2007).

Gambar 2.2 Logo Obat Bebas Terbatas (Depkes RI, 2007).

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,

berbentuk empat persegi panjang berwarna hitam dan memuat pemberitahuan

berwarna putih sebagai berikut :

Gambar 2.3 Tanda peringatan obat golongan bebas terbatas (Depkes RI, 2007).

c. Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat (Depkes RI,

2007).

Gambar 2.4 Logo Obat Keras (Depkes RI, 2007).


d. Daftar Obat Wajib Apotek

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker

kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Obat-obat yang termasuk ke dalam

Daftar Obat Wajib Apotek diatur oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia,

yaitu:

I. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/ 1990 tentang

Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.

II. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924 / Menkes /Per / X / 1993 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No. 2.

III. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/ 1999 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 (Asti, 2004).

2.3.3 Penggunaan Obat Swamedikasi

Pada penggunaan obat termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus

diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Pada

pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus disampaikan oleh

tenaga kefarmasian kepada pasien, antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2007):

a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.

b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.

c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,

hentikan penggunaan dan tanyakan kepada Apoteker dan dokter.

d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.

e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap, tanyakan

kepada Apoteker.
2.4 Demam

2.4.1 Defenisi Demam

Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan

gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370C. Apabila suhu tubuh

lebih dari 37,20C pada pagi hari dan lebih dari 37,70C pada sore hari berarti

demam.

Demam adalah fenomena paling umum dari penyakit, terutama inflamasi.

Demam dianggap disebabkan oleh pelepasan pirogen endogen dari makrofag dan

kemungkinan dari eosinofil, yang diaktivasi oleh pagosit, endotoksin, kompleks

imun, dan produk lain. Pirogen ini (substansi penghasil demam) bekerja pada

pusat pengatur suhu di hipotalamus untuk meningkatkan titik pengatur termostat

(Tambayong, 2000).

2.4.2 Etiologi Demam

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), Demam

umumnya disebabkan oleh infeksi dan non infeksi.

a. Demam Infeksi

Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masuknya patogen,

misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam

tubuh. Demam infeksi paling sering terjadi dan diderita oleh manusia dalam

kehidupan sehari-hari. Bakteri, kuman atau virus dapat masuk kedalam tubuh

manusia melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara, atau

persentuhan tubuh.
b. Demam Non-Infeksi

Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya

bibit penyakit kedalam tubuh. Demam non-infeksi jarang terjadi dan diderita oleh

manusia dalam kehidupan sehari-hari. Demam ini timbul karena adanya kelainan

pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani dengan baik (Widjaja,

2008). Penyebab non infeksi antara lain dehidrasi pada anak dan lansia, alergi,

stres, trauma, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

2.4.3 Patofisiologi Demam

Suhu tubuh secara normal dipertahankan pada rentang yang sempit,

walaupun terpapar suhu lingkungan yang bervariasi. Suhu tubuh secara normal

berfluktuasi sepanjang hari, 0,50C dibawah normal pada pagi hari dan 0,50C diatas

normal pada malam hari. Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur

keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas. Produksi panas

tergantung pada aktivitas metabolik dan aktivitas fisik. Kehilangan panas terjadi

melalui radiasi, evaporasi, konduksi dan konveksi. Dalam keadaan normal

termostat di hipotalamus selalu diatur pada set point sekitar 370C, setelah

informasi tentang suhu diolah di hipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan

dan pengeluaran panas sesuai dengan perubahan set point.

Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan produk panas dan

mengurangi pengeluaran panas. Bila hipotalamus posterior menerima informasi

suhu luar lebih rendah dari suhu tubuh maka pembentukan panas ditambah

dengan meningkatkan metabolisme dan aktivitas otot rangka dalam bentuk

menggigil dan pengeluaran panas dikurangi dengan vasokontriksi kulit dan

pengurangan produksi keringat sehingga suhu tubuh tetap dipertahankan tetap.


Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan panas. Bila

hipotalamus anterior menerima informasi suhu luar lebih tinggi dari suhu tubuh

maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi kulit dan menambah

produksi keringat.

Umumnya peninggian suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set point.

Infeksi bakteri menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel

PMN untuk membuat pirogen endogen yaitu interleukin-1, interleukin 6 atau

tumor nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja di hipotalamus dengan bantuan

enzim siklooksigenase membentuk protaglandin selanjutnya prostaglandin

meningkatkan set point hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen diikuti

oleh pelepasan cryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi peningkatan

suhu tubuh dan mencegah peningkatan suhu tubuh pada tingkat yang mengancam

jiwa (Kania, 2007).

2.4.4 Penatalaksanaan Demam

Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan.

Pada tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh antara lain

daya fagositosis meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi dapat juga

merugikan karena anak menjadi gelisah, nafsu makan dan minum berkurang, tidak

dapat tidur dan menimbulkan kejang demam.

Hasil penelitian ternyata 80% orangtua mempunyai fobia demam. Orang

tua mengira bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi.

Kepercayaan tersebut tidak terbukti berdasarkan fakta. Karena konsep yang salah

ini banyak orang tua mengobati demam ringan yang sebetulnya tidak perlu

diobati. Pada dasarnya menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara
fisik, obat-obatan maupun kombinasi keduanya. Demam < 390C pada anak yang

sebelumnya sehat pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik

>390C, anak cenderung tidak nyaman dan pemberian obat-obatan penurun panas

sering membuat anak merasa lebih baik (Kania, 2007).

2.4.5 Terapi Farmakologi

Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2007, tentang pedoman

penggunaan obat bebas dan bebas terbatas Obat yang dapat digunakan untuk

mengatasi keluhan demam yaitu:

a) Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol merupakan derivat para amino fenol. Parasetamol merupakan

penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek analgesik parasetamol

serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai

sedang. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak

digunakan sebagai anti-reumatik. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak

terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan

asam basa (Wilmana, 2007).

b) Asetosal (Aspirin)

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah

analgesik antipriretik dan anti-inflamasi yang luas digunakan dan digolongkan

dalam obat bebas. Aspirin dalam dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai

antipiretik (Wilmana, 2007).

c) Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama

kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti-inflamasi yang
tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Ibuprofen bekerja dengan cara

menekan pembentukan prostaglandin (Wilmana, 2007). Efek samping yang timbul

berupa mual, perut kembung dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin.

Efek samping hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek

terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila dikombinasikan dengan

asetaminopen). Dosis terapeutik yaitu 5-10 mg/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam (Kania,

2007).

Anda mungkin juga menyukai