Anda di halaman 1dari 13

MATERI KONTEMPORER

UNIFIKASI ATAU PENYATUAN KEMBALI JERMAN

LATAR BELAKANG PERISTIWA :

 Pemisahan antara jerman yang menjadi Republik Federal Jerman ( Jerman Barat) dan
Republik demokratik Jerman (Jerman Timur) sesuai dengan konvensi Postdam 17 juli
sampai dengan 2 agustus 1945, Jerman barat ibukotanya di Bonn sedangkan Jerman
timur di Liepzig
 Terpisahnya beberapa keluarga dan masyarakat jerman dari sanak familinmya
 Pembukaan beberapa perbatasan negara yang memungkinkan adanya interaksi jerman
barat dan jerman timur selain melewati berlin
 Kemajuan jerman barat yang dibantu oleh marshal plan
 Krisis ekonomi yang melanda blok timur
 Ketidakmampuan Jerman timur dalam bersaing dibidang ekonomi dengan jerman
barat
 Slogan Made in jerman yang mendunia di segala bidang
 Pelaksanaan politik glasnost dan perestroika oleh Mikhail Gorbacev
 Perdamaian singkat antara Blok timur dan barat
 Runtuhnya tembok berlin

Hal hal yang menghambat persatuan


 Perbedaan kemampuan ekonomi antara jerman barat dan jerman timur
 Ketakutan eropa jikalau jerman bersatu dan bangkit akan menimbulkan masalah lagi
 Keengganan prancis menyetujui proposal penyatuan jerman

Proses Unifikasi Jerman


 Proses Reunifikasi Jerman Berlangsung dalam sebuah perundingan antara delegasi
Jerman Timur dan Jerman Barat. Dalam perundingan ini Jerman Timur dan Jerman
Barat juga berunding dengan beberapa Negara yang tergabung dalam forum 2 + 4. Ke
4 negara tersebut adalah Britania Raya, Perancis, Amerika Serikat dan Uni Soviet.
 Dlaam perundingan terjadi kesepakatan bahwa NATO tidak boleh menempati wilayah
yang dulunya bekas kekuasaan jerman timur
 Perdana Menteri Lothar de Maizière dan Kanselir Helmut Kohl memberikan jaminan
tidak akan ada masalah kedepannya dari negara jerman bersatu
 Bundesbank( Bank Central jerman) akan melakukan audit aset dan seberapa besar
dana yang perlu dikeluarkan
 Einigungsvertrag ("Perjanjian Persatuan") telah ditanda tangani pada tanggal 31
Agustus 1990 oleh wakil-wakil Jerman Barat dan Jerman Timur. Pada tanggal 12
September 1990 Perjanjian Penyelesaian Akhir yang Berkenaan dengan Negara
Jerman ("Perjanjian Dua tambah Empat") telah ditandatangani dan secara resmi
mendirikan ulang kedaulatan kedua-dua negara Jerman.
 Negara Jerman secara resmi dipersatukan kembali pada tanggal 3 Oktober 1990
ketika Volkskammer (Parlemen Jerman Timur) mengesahkan enam negara bagian
Jerman Timur (Bundesländer); Brandenburg, Mecklenburg-Vorpommern, Sachsen,
Sachsen-Anhalt, Thüringen, dan Berlin bersatu secara resmi bergabung dengan
Republik Federal Jerman (Jerman Barat). Setelah penyatuan wilayah maka
pembahasan berlanjut ke pemilihan dasar segara dan kepala pemerintahan.

Perang Vietnam

Perang Vietnam, juga disebut Perang Indocina Kedua, adalah sebuah perang yang terjadi
antara 1957 dan 1975 di Vietnam. Perang ini merupakan bagian dari Perang Dingin antara
dua kubu ideologi besar, yakni Komunis dan SEATO.

Dua kubu yang saling berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan
Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand,
Australia, Selandia Baru dan Filipina (yang bantuan militer oleh Taiwan dan Spanyol)
bersekutu dengan Vietnam Selatan, sedangkan Uni Soviet, Tiongkok, Korea Utara, Mongolia
dan Kuba mendukung Vietnam Utara yang berideologi komunis.

Jumlah korban yang meninggal diperkirakan lebih dari 280.000 jiwa di pihak Vietnam
Selatan dan lebih dari 1.000.000 jiwa di pihak Vietnam Utara. Perang ini mengakibatkan
eksodus besar-besaran warga Vietnam ke negara lain, terutamanya Amerika Serikat, Australia
dan negara-negara Barat lainnya, sehingga di negara-negara tersebut bisa ditemukan
komunitas Vietnam yang cukup besar. Setelah berakhirnya perang ini, kedua Vietnam
tersebut pun bersatu pada tahun 1976 dan Vietnam menjadi negara komunis. Salah satu
korban paling terkenal dari Perang Vietnam ini adalah Kim Phuc.

Semasa pemerintahan Prancis, golongan rakyat Vietnam dibakar semangat


nasionalisme dan ingin merdeka dari Prancis. Beberapa pemberontakan dilakukan oleh
banyak kelompok-kelompok nasionalis, tetapi usaha mereka gagal. Pada tahun 1919, semasa
Perjanjian Versailles dirundingkan, Ho Chi Minh meminta untuk bersama-sama membuat
perundingan agar Vietnam dapat merdeka. Permintaan tersebut ditolak dan Vietnam beserta
seluruh Indochina terus menjadi jajahan Prancis.

Kelompok Viet Minh akhirnya mendapat dukungan populer dan berhasil mengusir
Prancis dari Vietnam. Selama Perang Dunia II, Vietnam dikuasai oleh Jepang. Pemerintah
Prancis Vichy bekerjasama dengan Jepang yang mengantar tentara ke Indochina sebagai
pasukan yang berkuasa secara de facto di kawasan tersebut. Pemerintah Prancis Vichy tetap
menjalankan pemerintahan seperti biasa sampai tahun 1944 ketika Prancis Vichy jatuh setelah
tentara sekutu menaklukan Prancis dan jendral Charles de Gaulle diangkat sebagai pemimpin
Prancis.

Setelah pemerintah Prancis Vichy tumbang, pemerintah Jepang menggalakkan


kebangkitan pergerakan nasionalis di kalangan rakyat (Vietnam). Pada akhir (Perang Dunia
II), (Vietnam) diberikan kemerdekaan oleh pihak (Jepang). (Ho Chí Minh) kembali ke
Vietnam untuk membebaskan negaranya agar tidak dijajah oleh kekuasaan asing. Ia
menerima bantuan kelompok OSS yang akan berubah menjadi CIA nantinya.
Pada akhir (Perang Dunia II), pergerakan (Viet Minh) di bawah pimpinan (Ho Chí Minh)
berhasil membebaskan Vietnam dari tangan penjajah, tetapi keberhasilan itu hanya untuk
masa yang singkat saja. Pihak Jepang menangkap pemerintah Prancis dan memberikan
Vietnam satu bentuk “kemerdekaan” sebagai sebagian dari rancangan Jepang untuk
"membebaskan" bumi Asia dari penjajahan barat. Banyak bangunan diserahkan kepada
kelompok-kelompok nasionalis.

perang vietnam merupakan perang terlama amerika serikat di asia tenggara. -pihak Amerika
Serikat selalu menang dalam berbagai pertempuran di medan perang namun kenyataannya
Amerika Serikat harus meninggalkan vientam.

2. Perang kamboja

KONFLIK KAMBOJA

Latar Belakang Konflik Kamboja yang Penting Diketahui

Negara Kamboja pernah menghadapi masa kelam, dimana terjadi konflik yang cukup besar
dan lama di antara pemerintahan dan pemberontak hingga mengorbankan banyak nyawa dari
masyarakat sipil. Kamboja sendiri mengalami konflik besar sebanyak dua kali, pertama saat
perubahan bentuk pemerintahan dari kerajaan menjadi republik, dan kedua saat Vietnam
menginvasi Kamboja dan ingin menguasainya. Kamboja sebenarnya termasuk salah satu
negara dengan angkatan darat terkuat di ASEAN, namun konflik internal di negara tersebut
membuat pertahanan negara melemah sehingga negara lain lebih mudah untuk menyerang.

Bagi yang ingin mengulang kembali sejarah, hal yang paling penting adalah mengetahui latar
belakang terjadinya konflik di suatu negara, dalam hal ini yang berkaitan dengan konflik di
Kamboja. Konflik di negara tersebut sebenarnya bukan murni terjadi karena kepentingan
pemerintahan atau rakyat semata, melainkan ada campur tangan negara lain yang lebih besar
seperti RRC atau Tiongkok dan juga Amerika Serikat. Amerika Serikat yang termasuk negara
dengan militer terkuat dan negara dengan kekuatan militer terbesar tentu memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap konflik di Kamboja. Lalu apa yang melatarbelakangi terjadi
konflik yang cukup panjang di Kamboja hingga dunia merasa cemas dan ikut bertindak untuk
mendamaikan kondisi di negara tersebut? Simak penjelasannya berikut ini.

1. Perubahan Bentuk Pemerintahan

Pada tahun 1970 Kamboja mengalami perubahan bentuk pemerintahan, yang sebelumnya
berbentuk kerajaan dan dipimpin oleh pangeran Norodom Sihanouk. Namun pada saat itu
pangeran yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Paris tidak tahu kalau
kekuasaannya telah digulingkan dan diambil alih oleh kelompok militer di bawah
kepemimpinan Letjen Lon Nol. Ia pun mengubah bentuk pemerintahan Kamboja menjadi
Republik, dan secara otomatis mengumumkan dirinya sebagai presiden yang baru.
Tindakannya ini ternyata dibantu oleh Amerika Serikat sehingga perubahan yang terjadi
begitu cepat.
2. Pemberontakan Komunis Khmer Merah

Dalam perubahan bentuk pemerintahan tersebut, sebenarnya pemerintah Kamboja sendiri


tengah menghadapi tindakan pemberontakan gerilyawan komunis yang juga merupakan
tentara militer bernama Khmer Merah. Gerakan ini dipimpin oleh Kieu Samphan, dan
keberadaan mereka membuat posisi pemerintahan menjadi terancam. Karena alasan
lambatnya gerakan Sihanouk dalam membasmi pemberontak tersebut lah Amerika
mendorong Lon Nol untuk menggulingkan Sihanouk dan bergerak cepat untuk menghentikan
pergerakan Khmer Merah. Sementara itu, Sihanouk yang merasa kecewa karena digulingkan
mengasingkan diri dan membentuk pemerintahan sendiri di Peking.

3. Khmer Merah Semakin Kuat

Naiknya Letjen Lon Nol tidak membuat pasukan Khmer Merah menjadi takut, justru mereka
semakin gencar mengerahkan serangan untuk menggulingkan rezim Lon Nol yang didukung
Amerika Serikat. Khmer Merah pun semakin kuat dengan dukungan dari Vietnam, RRC dan
Rusia. Posisinya yang semakin strategis terus mendesak pemerintahan Lol Nol yang kejam
dan terlibat korupsi hingga pemerintah semakin terdesak dan akhirnya menyerah kepada
Khmer Merah. Pemerintahan pun jatuh ke tangan komunis selama beberapa waktu dan saat
itu diangkat Pol Pot sebagai perdana menteri Kamboja.

4. Ajakan Perundingan yang Diabaikan

Sebelum Lon Nol digulingkan, ia sempat mengajak pimpinan Khmer Merah dan juga
Sihanouk untuk berunding demi mencapai perdamaian di Kamboja. Namun ajakannya yan
tanpa syarat itu diabaikan dan tidak digubris sama sekali oleh kedua belah pihak. Mereka
menganggap Kamboja tidak akan bisa berdamai selama masih ada campur tangan pihak asing
dalam penyelesaian konflik, sehingga Lon Nol yang dianggap kaki tangan imperialis akan
berbuat kecurangan jika mereka melakukan perundingan.

5. Konflik yang Dicampuri Pihak Asing

Adanya campur tangan pihak asing dalam konflik di Kamboja menunjukkan bahwa
negara lain sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan tertentu dari Kamboja. Kenyataan ini
membuat para pemimpin di Kamboja sepakat untuk bekerja sama dalam menghalau pihak
asing keluar dari negara Kamboja terutama Vietnam yang menginvasi secara besar-besaran,
dan atas tindakan tersebut ASEAN pun turut membantu untuk menciptakan perdamaian di
Kamboja. Salah satu negara yang turut membantu proses perdamaian adalah Indonesia, yang
memiliki pasukan militer paling ditakuti di Asia Tenggara.

6. Konflik Perbatasan
Konflik yang terjadi di Kamboja belum berakhir saat Pergantian kekuasaan telah usai.
Perbatasan antara Vietnam dan Kamboja menjadi permasalahan baru kala itu, karena kedua
negara memang telah bermusuhan sejak lama. Invasi Vietnam tentu ada tujuannya, yaitu
ingin menguasai Kamboja. Namun saat keinginan mereka tidak dapat terwujud dan
pemerintah Kamboja sendiri menyadari maksud tersebut, maka Vietnam dipaksa untuk keluar
dari Vietnam. Kondisi ini juga melibatkan pertikaian hingga menjatuhkan banyak korban.

Pengendalian konflik sosial memang cukup sulit dilakukan, meski telah melibatkan
berbagai negara untuk menciptakan perdamaian. Latar belakang konflik Kamboja ini dinilai
dapat menyebabkan permusuhan yang tiada akhir antara pemerintah maupun kelompok
pemberontak atau negara lainnya yang pernah terlibat dengan kepemerintahan Kamboja.

Perang Saudara Kamboja adalah konflik yang terjadi antara tentara Partai Komunis
Kampuchea dan sekutu mereka Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) dan Front
Nasional Pembebasan Vietnam Selatan melawan pemerintah Kamboja yang didukung ole
Amerika Serikat dan Republik Vietnam (Vietnam Selatan).

Pemerintahan di Kamboja diawali dengan tampilnya Norodom sihanouk yang


menjabat sebagai kepala negara tahun 1955. Ketika masa pemerintahanya Norodom
Sihanouk menghadapi oposisi dari kiri dan kanan. Golongan kiri bergerak melalui partai
Parcheachon yang bersifat moderat, sedangkan oposisi kanan memiliki basis di Thailand dan
Vietnam Selatan, salah satunya adalah Khmer Serei (Khmer Bebas). Sihanouk berusaha keras
untuk membendung pergerakan golongan kiri namun tetap dibiarkan beroperasi. Sihanouk
merasa lebih terancam dengan golongan kanan Khmer Serei yang mendapat dukungan asing.

Dalam mengambil kebijakan, Sihanouk cenderung bersikap netral misalnya menerima


bantuan dari negara yang ingin berhubungan dengan Kamboja seperti Amerika, Perancis, Uni
Soviet, Cina, dsb. Upayanya menjadi blunder sewaktu Sihanouk mensabotase kenetralanya
dengan kebijakan yang gegabah, seperti misalnya ketika ia menolak bantuan militer Amerika
1963 lalu memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika serikat. Kebijakan sihanouk
yang lain adalah ketika ia menginvestasikan sejumlah uang dalam upaya proses
pembangunan, termasuk pendidikan dan kesehatan.

Rencana pemerintah tak mendapat dukungan dari rakyat karena banyaknya korupsi
dan kehidupan glamornya di Phnom Penh. Pada 1967 perubahan dalam kebijakan beras
pemerintah menyulut terjadinya sejumlah kerusuhan besar di Samlaut yang terletak di barat
laut. Kerusuhan ini mengarah pada represif pemberontakan brutal. Sementara itu golongan
kiri terkemuka secara bertahap meninggalkan Ibukota menuju pedesaan guna melancarkan
pemberontakan melawan Sihanouk yang menyebut mereka sebagai Khmer Krahom atau
Khmer merah.

Pada tahun 1966, Sihanouk membuat keputusan yang justru merugikan dirinya.
Kesepakatanya dengan Republik Demokratik Vietnam memang membantunya untuk
menekan pergerakaan Khmer Merah akan tetapi hal tersebut justru membuat Khmer Merah
yang berhaluan komunis tidak mempercayai lagi rekan-rekanya di Vietnam yang dianggap
justru mementingkan dirinya sendiri. Tahun 1970, Khmer merah berhasil menguasai daerah
yang luas di pedesaan.

Di tahun ini pula terjadi peristiwa penting dan dianggap sebagai permulaan perang
saudara di Kamboja. Lon Nol, yang tidak lain adalah seorang perdana menteri melakukan
kudeta terhadap kekuasaan Sihanouk yang kala itu sedang berobat berada di luar negeri.
Perdana Menteri Letnan Jenderal Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak yang pro-
Amerika Serikat memimpin pemberontakan pada tanggal 18 Maret 1970

Pada tahun 1970, Lon Nol, menteri pertahanan melakukan kudeta terhadap Sihanouk
karena:

Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam selatan menduduki wilayah


Kamboja dan hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja

Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan


undang-undang dan konstitusi

Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang
akan duduk dalam kursi pemerintahan

Sihanouk dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga-keluarga


kerajaan

Kudeta terhadap sihanouk oleh Lon Nol tersebut benar-benar membuat suhu politik
Kamboja memanas. Lon Nol mendapat dukunggan Amerika bertekad untuk lebih tegas
terhadap komunis Kamboja dan Vietnam. Amerika kemudian melakukan pengeboman di
pedesaan-pedesaan yang diyakini tempat komunis. Pengeboman ini tentu saja menimbulkan
banyak korban jiwa dan juga menimbulkan kemarahann besar terhadap Pemerintah Kamboja.

Sihanouk yang ingin membalas dendam atas kudeta terhadap dirinya kemudian
bergabung bersama Khieu Samphan, Hou Yuon, dan Hu Nim (Tiga serangkai). Pada periode
1970-1975 merupakan masa yang getir bagi kamboja karena adanya perang saudara.
Sihanouk juga bergabung dengan Khmer Merah meskipun tidak diketahui secara pasti
dimana ia memainkan peranya.

Kemunculan Pol Pot (1975-1978)

Pol Pot. Foto: Wikipedia

Khmer merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan Lon Nol
pada 17 April 1975. Secercah harapan baru bagi Kamboja untuk mencapai kedamaian dann
mengakhiri perang saudara sangat nyata di rasakan oleh penduduk Kamboja. Akan tetapi
yang terjadi justru tidak demikian kebijakan rezim Pol Pot pun juga tidak serta merta seperti
ekspektasi penduduk Kamboja. Kebijakan yang diambil Pol Pot adalah melalui Revolusi
agraria, yaitu membangun kamboja dengan memanfaatkan pertanian.

Pada 13 Mei 1976 Pol Pot dilantik sebagai Perdana Menteri Kamboja dan mulai
menerapkan kebijakan mengarahkan negara ke arah sosialisme. Pengeboman yang pernah
dilakukan pihak AS telah mengakibatkan wilayah pedesaan ditinggalkan dan kota-kota sesak
disi rakyat (Populasi Phnom Penh bertambah sekitar 1 juta jiwa dibandingkan dengan
sebelum 1976).

Khmer merah kemudian memerintahkan seluruh penduduk lebih dari dua juta
penduduk meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka "Revolusi Agraria" untuk
tinggal dan bekerja di pedesaan sebagai petani dikarenakan kota-kota besar dianggap sebagai
basis dari kaum aristokrat dan penghambat revolusi. Periode ini merupakan periode yang
cukup tragis, akibat kebijakan yang lebih menekankan pertanian dalam skala besar ini
mengakibatkan banyak penduduk Kamboja yang meninggal akibat kelaparan dan kekejaman
rezim Pol Pot.

Rezim ini pada periode 1975-1978 ini juga dikenal dengan Rezim Demokratik
Kampuchea yang beranggapan bahwa Tuhan sudah mati dan partai akan memberikan
segalanya untuk penduduk. Penduduk hanya dikondisikan untuk memikirkan partai. Mereka
juga menberikan sugesti bahwa tidak ada yang terjadi di masa lalu dan mereka menyebut
rezimnya sebagai “Tahun Nol.”

Para penduduk didera rasa ketakutan karena mereka selalu merasa disekitarnya adalah
musuh yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa mereka. Sejarah kelam kebrutalan rezim
komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan
rakyat Kamboja maupun dunia internasional.
Sampai sekarang masih terdapat bukti dari kebiadaban rezim Pol Pot seperti di Kamp
penyiksaan Tuol Sleng serta “ladang pembantaian” (killing field) Choeung Ek. Choeung Ek
adalah ‘ladang pembantaian’ yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun,
sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh. Ada sekitar
20.000 orang dieksekusi di situ.

Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni
pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu,
mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap
dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena
berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus,
berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar
lain.

3. Perang teluk I sama konflik irak iran itu sama ya VO!

Rangkuman Perang Teluk I, II dan III

Perang Teluk adalah konflik kepentingan di Teluk Persia terjadi pada dunia mutakhir
ini. Kepentingan yang sangat jelas adalah kepentingan terhadap minyak. Teluk yang
dimaksud disini adalah Teluk Persia. Perang Teluk berlangsung sebanyak 3 kali, yakni Perang
Teluk I (1980-1988), Perang Teluk II (1990) dan Perang Teluk III (2003). Kesemua perang
melibatkan Irak, yang merupakan negara yang berada di sekitar Teluk Persia dengan negara-
negara yang dibantu oleh negara Super Power saat itu, Amerika Serikat. Amerika Serikat
selalu ikut campur dengan dalih melindungi warga negaranya. Penyebab dari perang berbeda-
beda akan tetapi secara garis besar berkaitan dengan ekonomi.

Perang Teluk 1

Perang Teluk I merupakan perang antara sesama negara Teluk Persia, yakni dua
negara yang saling berdekatan antara Irak dengan Iran. Latar belakang dari perang Teluk I
yaitu:

Adanya Revolusi Islam Iran (1979) yaitu peristiwa jatuhnya rezim Syah Reza Pahlevi oleh
kaum Syiah yang dipimpin oleh Ayatullah Khoemeni. Ayatullah Khoemeni menyerukan
untuk menyebarkan ajaran Syiah ke berbagai negara. Hal ini membuat Irak, yang sebagian
penduduknya menganut Syiah, merasa terancam. Oleh karena itu pada Perang Teluk I, Irak
mendapatkan dukungan dari berbagai negara Islam yang menentang Syiah.

Antara bangsa Arab dan bangsa Persia selalu ada persaingan dan ketegangan. Yang satu tidak
dapat menerima keunggulan atau dominasi yang lain. Ego yang terlalu besar ini disebabkan
oleh keinginan kedua negara menjadi pemimpin dunia Arab.
Masalah minoritas Etnis. Pada jaman Shah Iran mendukung perjuangan otonomi suku kurdi
di Irak, sedangkan Irak mendukung minoritas Arab di Iran yang memperjuangkan kebebasan
yang lebih besar atau bahkan pemisahan.

Adanya keinginan antara Irak dan Iran untuk menguasai Shatt Al Arab, yaitu jalur perairan
strategis yang memisahkan Iran dengan Iran menuju Teluk Persia. Baik Irak maupun Iran
mengekspor minyaknya melalui jalur tersebut.

Perang israel palestine

Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang
berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina. Konflik Israel-Palestina ini bukanlah
sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan
seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama,
sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua
komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran
teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan
sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup
wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Konflik Kashmir

Konflik Kashmir (bahasa Hindi: कश्ममीर वविविवाद, bahasa Urdu: ‫ — مسئلۂ کشمیر‬Masʾala-ē Kašmīr)
adalah persengketaan wilayah antara Pemerintah India, gerilyawan Kashmir dan Pemerintah
Pakistan dalam masalah kendali atas Kashmir. Sementara sengketa antar negara atas Kashmir
antara India dan Pakistan telah ada sejak Perang India-Pakistan 1947, konflik internal antara
gerilyawan Kashmir (beberapa mendukung aksesi Kashmir ke Pakistan, dan beberapa
mendukung kemerdekaan penuh Kashmir.[1]) dan Pemerintah India merupakan konflik
utama dan sumber kekerasan di wilayah itu sejak tahun 2002.[2]

India dan Pakistan sudah bertempur paling sedikit 3 pertempuran atas masalah
Kashmir, yaitu pada tahun 1947, 1965, dan 1999, dan sejak tahun 1984, kedua negara juga
terlibat dalam beberapa pertempuran-pertempuran dalam memperebutkan kuasa atas Gletser
Siachen. India Mengklain seluruh negara Jammu dan Kashmir dan pada tahun 2010, India
memerintah sekitar 43% dari wilayah Kashmir, termasuk sebagian besar dari Jammu,
Lembah Kashmir, Ladakh, dan Gletser Siachen. Klaim India ditentang oleh Pakistan, yang
memerintah sekitar 37% dari wilayah Kasmir, yaitu: Azad Kashmir dan bagian utara dari
Gilgit Baltistan.[3][4]
Akar dari konflik antara gerilyawan pemberontak Kashmir dan Pemerintah India
terikat atas sebuah perselisihan atas otonomi lokal.[5] Perubahan demokratis terbatas di
Kashmir hingga akhir tahun 1970-an dan awal 1988, benyak reformasi demokratis diberikan
oleh Pemerintah India telah dibatalan dan demonstrasi dibatasi, dan mengakibatkan
peningkatan dramatis dalam mendukung pemberontak yang mendukung pemisahan diri
dengan cara kekerasan dari India.[5] Pada tahun 1987, sebuah jajak pendapat negara bagian
yang disengketakan menciptakan sebuah katalis bagi para pemberontak saat hal tersebut
menghasilkan beberapa anggota majelis negara bagian menciptakan kelompok pemberontak
bersenjata.[6][7][8][9] Pada bulan Juli 1988, serangkaian demonstrasi, pemogokan dan
penyerangan pada Pemerintah India memulai kekacauan di Jammu-Kashmir, yang pada tahun
1990-an meningkat menjadi masalah keamanan internal yang paling penting di India.

Gejolak di Jammu Kashmir telah menghasilkan ribuan korban jiwa,[10] tetapi sudah
menjadi tidak terlalu mematikan dalam beberapa tahun terakhir.[11] Telah ada gerakan-
gerakan protes di wilayah Kashmir yang diperintah oleh India sejak tahun 1989. Gerakan-
gerakan tersebut didirikan untuk menyuarakan selisih dan keluhan atas Pemerintahan India,
terutama Militer India.[12] Pemilihan umum yang diselenggatakan pada tahun 2008, yang
secara umum dipandang adil oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, memiliki angka
partisipasi pemilih yang tinggi meskipun ada ajakan oleh militan untuk memboikot, dan
menyebabkan Konferensi Nasional Jammu & Kashmir pro-India membentuk pemerintah di
negara bagian tersebut.[13][14] Menurut Voice of America, beberapa pengamat telah
menafsirkan angka tinggi pada pemilihan umum ini sebagai tanda bahwa rakyat Kashmir
telah mendukung pemerintahan India pada negara bagian ini.[15] Walaupun begitu, Sajjad
Lone, seorang pemimpin separatis Kashmir terkemuka, mengklaim bahwa "angka suara yang
tinggi seharusnya tidak dianggap sebagai orang Kashmir tidak lagi menginginkan
kemerdekaan".[15] Pada tahun 2009 dan 2010, kerusuhan meletus lagi.

Perang korea

Perang Korea (bahasa Korea: 한국전쟁) adalah sebuah konflik antara Korea Utara
dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953. Perang ini juga
disebut "perang yang dimandatkan" (bahasa Inggris: proxy war) antara Amerika Serikat
bersama sekutu PBB-nya dengan komunis Republik Rakyat Tiongkok yang bekerjasama
dengan Uni Soviet (juga anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea
Selatan. Sekutu utama Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania
Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB. Sekutu
Korea Utara, seperti Republik Rakyat Tiongkok menyediakan kekuatan militer, sementara
Uni Soviet yang menyediakan penasihat perang, pilot pesawat, dan juga persenjataan untuk
pasukan Tiongkok dan Korea Utara.

Apartheid merupakan kebijakan politik yang membedakan penduduk berdasarkan warna


kulit dan ras. Kebijakan ini dimulai oleh orang-orang kulit putih di Afrika Selatan pada
awal abad ke-20. Afrika Selatan (Afsel) merupakan benteng terakhir imperialis
pemerintahan minoritas kulit putih di Afrika.

Pemberlakuan politik apartheid di Afsel membatasi keikutsertaan warga kulit hitam dalam
politik negara tersebut. Meskipun usaha oposisi terus dilakukan, tetapi pemerintah
meresponnya dengan semakin membatasi hak politik masyarakat kulit hitam.

Jika berbicara mengenai Apartheid di Afrika Selatan, maka akan sulit dilepaskan dari
nama Nelson Mandela. Tokoh kulit hitam Afrika Selatan ini dikenal sangat aktif dan
berjasa dalam melawan sistem politik apartheid. Melalui African National Congress
(ANC), ia menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan.
Sejarah Politik Apartheid

Afrika Selatan merupakan negara yang kaya akan berlian dan emas. Kekayaan ini
menyebabkan Afrika Selatan tidak luput dari imperialisme negara-negara Barat. Pada
tahun 1870, Inggris mulai mengeksploitasi kekayaan di wilayah tersebut. Imperialisme
Inggris baru berakhir pada tahun 1910.

Antara 1910-1948, orang-orang kulit putih di Afrika Selatan memulai kebijakan


pemisahan ras dan warna kulit. Masa yang dikenal sebagai segreration era ini merupakan
cikal bakal dari politik apartheid.

Pada masa ini golongan kulit putih mulai melakukan konsolidasi kontrol atas negara,
memperkuat cengkeramannya terhadap populasi kulit hitam, dan menghilangkan campur
tangan pemerintah Inggris di Afrika Selatan.

Tercatat dua partai politik kulit putih pernah menjadi penguasa pada masa ini. Partai
pertama adalah Partai Nasional yang berkuasa pada 1924-1939, dan 4 Mei 1948-9 Mei
1994. Partai kedua adalah Partai Kesatuan, berkuasa pada 1934 sampai 1948. Antara
tahun 1934-1939, kedua partai berkuasa bersama-bersama lewat sistem partai gabungan.

Kebijakan pemisahan berdampak pada kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat
kulit hitam dan ras campuran. Diskriminasi yang dilakukan pemerintah menyebabkan
kesenjangan dan kecemburuan sosial tidak dapat dihindarkan lagi.

Sementara itu, salah satu gerakan oposisi yang paling awal dan aktif menentang hukum
represif pemerintah adalah African National Congress (ANC). ANC dibentuk pada 8
Januari 1912 oleh John Langalibalele Dube. Partai ini mempunyai tujuan utama
mengakhiri apartheid dan memberikan hak pilih kepada kulit hitam dan ras campuran
Afrika.

Istilah apartheid sendiri mulai muncul di Afrika Selatan pada 1930-an. Namun, baru pada
tahun 1948, era apartheid dimulai secara resmi di Afrika Selatan. Pada waktu itu
pemerintah mengeluarkan kebijakan pemisahan ras yang lebih ketat dan sistematis.
Politik apartheid memisahkan penduduk Afrika Selatan ke dalam golongan kulit putih,
kulit hitam, dan kulit berwarna, yakni orang-rang dari ras campuran. Namun, pada
perkembangannya, orang Asia ditambahkan sebagai kelompok keempat.

Di sisi lain, pemerintah Afsel yang didominasi minoritas kulit putih menetapkan sejumlah
hukum ketat untuk menekan kaum kulit hitam. Pada tahun 1960, seluruh partai politik
kaum kulit hitam dinyatakan ilegal, setelah pecahnya kerusuhan anti-apartheid di
Sharpeville pada 21 Maret 1960. Tidak hanya itu, banyak tokoh pergerakan kulit hitam
yang ditahan oleh pemerintah.
politik apartheid
Peristiwa Sharpeville 21 Maret 1960

Sharpeville massacre diawali oleh unjuk rasa anti-apartheid sekitar 5.000-7.000 pendemo
kulit hitam. Akan tetapi ketika mereka mendekati kantor polisi, polisi Afrika Selatan
melepaskan tembakan kepada kerumunan. Tercatat 69 orang meninggal dunia akibat
peristiwa itu.

Pertengahan 1970-an, pemerintah mulai melonggarkan kontrol dan mulai membiarkan


berdirinya beberapa serikat. Pada pertengahan 1980-an, pemerintah mengizinkan
perwakilan kaum kulit berwarna duduk di parlemen. Sekalipun demikian, kebijakan ini
tidak berlaku bagi kaum kulit hitam.

ANC dan partai politik kulit hitam lainnya tetap menginginkan demokrasi yang
sesungguhnya di mana setiap orang boleh ikut memilih tanpa melihat warna kulit dan ras.
Usaha-Usaha Reformasi

Presiden Afrika Selatan, P. W. Botha (1978-1989) adalah pemimpin kulit putih pertama
yang menginginkan reformasi di Afrika Selatan. Meskipun ia telah membawa sejumlah
perubahan untuk membuat hidup lebih adil bagi kaum kulit hitam, perubahan besar belum
tampak dan dirasakan.

Pada tahun 1989, Botha mengundurkan diri karena alasan kesehatan yang memburuk. F.
W. de Klerk (1989-1994) menjadi presiden pengganti Botha.

Selama menjabat, de Klerk banyak mengimplemetasikan usaha-usaha untuk mengakhiri


diskriminasi terhadap warga kulit hitam. Pada tahun 1990, de Klerk mengakhiri
pelarangan partai politik kaum kulit hitam, termasuk ANC.

Ia juga melepaskan banyak tahanan tokoh kulit hitam dari penjara. Salah satu tahanan
yang dilepaskan adalah Nelson Mandela, yang telah dipenjara sejak tahun 1964. De Klerk
sendiri aktif mengadakan pertemuan dengan Mandela, saat di penjara atau pun setelah
dibebaskan.

Akhir Politik Apartheid


Neson Rolihlahla Mandela (1918-2013) setelah bebas dari penjara kembali aktif
memimpin partai ANC. Ia berkampanye untuk kemerdekaan hak-hak sipil penduduk kulit
hitam. Usahanya bersama dengan de Klerk, membuat kaum kulit hitam dan putih dapat
mengupayakan perubahan bersama.
politik apartheid

F. W de Klerk dan Nelson Mandela

Pada tahun 1992, de Klerk mengadakan referendum yang dikhususkan untuk kaum kulit
putih. Dalam referendum tersebut, ia menanyakan kepada mereka apakah ingin
mempertahankan politik apartheid atau mengakhirinya. Dua pertiga pemilih setuju untuk
mengakhiri sistem politik itu.

Setelah negosiasi bersejarah tersebut, pada tahun 1994 diadakan pemilihan umum bebas
pertama, di mana warga kulit hitam dapat ikut serta.

Pemilihan tersebut dimenangkan oleh ANC, dan Nelon Mandela terpilih menjadi presiden
kulit hitam pertama Afrika Selatan. Serah terima jabatan dari de Klerk dilakukakan pada
bulan Mei 1994. Kemenangan ANC dan terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden
menjadi akhir dari perjalanan politik apartheid di Afrika Selatan. Sebuah era baru pun
dimulai di Afrika Selatan, era yang dikenal dengan nama post-apartheid.

Anda mungkin juga menyukai