Alergi Makanan
Disusun oleh :
TITA 110-2014-265
Pembimbing:
Kolonel Ckm (K) dr. Dian Andriani Ratna Dewi, SpKK., M.Biomed(AAM)., MARS., FINSDV.
1
PENDAHULUAN
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi anak-
anak dan dewasa. Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di Amerika Serikat percaya bahwa
mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan namun insidensi sesungguhnya setelah
dikonfirmasi dengan anamnesis dan pemeriksaan adalah 2-8% pada populasi anak-anak dan
kurang dari 2% dari populasi dewasa.1 Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.
Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak masyarakat yang
tidak melakukan tes alergi untuk memastikan apakah mereka positif alergi makanan atau
tidak. Persepsi mereka, jika setelah makan makanan tertentu mereka merasa gatal-gatal, maka
mereka menganggap bahwa mereka alergi terhadap makanan itu sehingga data yang ada tidak
cukup mewakili. Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak
ditemukan. Keadaan ini membuat beberapa orang terutama ibu-ibu seringkali melarang
anaknya untuk mengkonsumsi makanan tertentu sehingga secara tidak langsung akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. 2
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk melengkapi tugas di bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin dan untuk menambah pengetahuan tentang definisi alergi makanan,
patofisiologi, faktor resiko, manifestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaannya.
DEFINISI
Alergi makanan merupakan respons imunologis yang abnormal terhadap makanan yang
dialami oleh seseorang yang rentan terhadap makanan tersebut. Reaksi ini terjadi setiap kali
mengkonsumsi makanan dan relatif tidak bergantung pada jumlah makanan yang dimakan.
Berdasarkan mekanisme imunologis yang melatarbelakanginya, alergi makanan
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu reaksi diperantarai IgE yang dimediasi oleh antibodi IgE
dan khas untuk reaksi alergi makanan, reaksi tidak diperantarai IgE yang dimediasi oleh
sejumlah komponen sel dari sistem imun dan kebanyakan melibatkan traktus gastrointestinal,
2
dan gabungan dari kedua klasifikasi tersebut. Keadaan klinis dari ketiga klasifikasi dapat
dilihat pada tabel 1.1,3
Alergi makanan harus dibedakan dengan reaksi makanan non alergi. Alergi makanan
dimediasi oleh sistem imun sementara reaksi makanan non alergi tidak dimediasi oleh sistem
imun. Reaksi makanan non alergi disebut juga sebagai reaksi intoleransi makanan dan dibagi
menjadi reaksi toksik dan non toksik. Reaksi toksik terjadi akibat aksi farmakologis dari
suatu substansi di dalam makanan. Reaksi ini dapat dialami oleh siapa saja yang terpapar oleh
makanan tersebut dan tidak diperantarai dengan faktor host. Substansi dapat berupa enzim
atau agen lainnya yang menyebabkan reaksi di dalam tubuh. Contoh reaksi toksik antara lain
muntah setelah keracunan makanan yang terkontaminasi bakteri atau metal berat, dan gatal
serta kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi histamin yang terkandung di dalam ikan
jenis tertentu.Konsumsi makanan yang mengandung kafein seperti kopi dan the dapat
menyebabkan tremor. Tiramin yang terkandung di dalam keju yang sudah lama diproduksi
dapat menyebabkan migrain, dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan sejumlah gejala yang
tidak diinginkan. Defisiensi enzim seperti defisiensi laktase dan galaktosemia termasuk ke
dalam intoleransi makanan non toksik. Insufisiensi pankreas, penyakit hati dan empedu,
herniasi hiatus, dan rinitis gustatori merupakan kondisi diperantarai reaksi lanjutan akibat
konsumsi makanan tertentu. Gangguan psikiatrik seperti anoreksia nervosa dengan muntah
atau sindrom aurikulotemporal juga dapat menyerupai gejala intoleransi makanan.3
Toksik (farmakologis)
Kafein (tremor), tiramin dalam keju yang sudah lama diproduksi (migrain), alkohol, histamin (keracunan ikan)
3
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di Amerika Serikat percaya bahwa mereka
memiliki reaksi alergi terhadap makanan namun insidensi sesungguhnya setelah dikonfirmasi
dengan anamnesis dan pemeriksaan adalah 2-8% pada populasi anak-anak dan kurang dari
2% dari populasi dewasa. Banyak penelitian dalam bebeberapa dekade terakhir juga
menunjukkan bahwa meskipun 40-60% orang tua percaya bahwa anaknya memiliki gejala
alergi terkait makanan, hanya 4% - 8% yang terbukti alergi dengan tes provokasi makanan.1
Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.2
Alergi makanan merupakan penyebab terbanyak dari kasus anafilaksis di instalasi
gawat darurat di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Alergi makanan sendiri di Amerika
Serikat menyebabkan sekitar 30.000 reaksi anafilaksis, 2.000 orang dirawat inap, dan sekitar
200 jiwa meninggal setiap tahun. Pada anak-anak alergi makanan merupakan penyebab
anafilaksis terbanyak. Anak dengan dermatitis atopik sedang sampai berat merupakan
prevalensi tertinggi alergi makanan diperantarai IgE yaitu sekitar 10-30% tergantung pada
derajat beratnya dermatitis atopik. Lebih dari 90% anak dengan eosinofilik esofagitis diduga
akibat alergi makanan.1
Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin, pola makan,
jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Oehling et al. dalam Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun
didapatkan data bahwa 60% penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki.
Pola makan (eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya
populasi di Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan.2 Terdapat delapan makanan
yang paling sering menimbulkan alergi di Amerika Serikat yaitu susu, telur, kacang tanah,
kacang mete, kedelai, gandum, ikan, dan hewan laut yang tergolong ke dalam famili
crustacea (kerang, lobster, crayfish, dan udang.4 Sementara di Indonesia, studi yang
dilakukan oleh Candra dkk pada tahun 2007 terhadap 208 pasien yang berobat di poli alergi
imunologi RSCM memberikan hasil bahwa makanan yang paling banyak menyebabkan
alergi pada anak-anak adalah susu sapi dan tepung terigu dan pada dewasa adalah kepiting.2
PATOFISIOLOGI
Alergi makanan adalah reaksi imunologis melawan alergen makanan yang dapat
diperantarai IgE, diperantarai sel, atau diperantarai keduanya (Gambar 1). Reaksi alergi
makanan yang diperantarai IgE terjadi akibat pelekatan alergen dengan antibodi IgE spesifik
4
yang berlekatan dengan reseptor yang memiliki afinitis tinggi (FcRI) yang diekspresikan
oleh sel mast dan basofil dan reseptor yang memiliki afinitas rendah (FcRII) yang ada di
makrofag, monosit, limfosit dan platelet. Ketika antigen spesifik berikatan dengan IgE yang
telah terikat dengan reseptor FcRI, terjadi pelepasan sejumlah mediator. Meskipun selama
ini diduga bahwa sel mast yang berperan dalam melepaskan mediator penyebab sejumlah
reaksi alergi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa basofil juga ikut berperan dalam
peristiwa tersebut. Pasien dermatitis atopi dan hipersensitif terhadap makanan terbukti
melepaskan sejumlah histamin dari basofil yang kemudian menjadi normal setelah pemberian
makanan yang menjadi penyebab reaksi hipersensitivitas dihentikan. Level serum triptase
(penanda spesifik dari sel mast yang aktif) pada pasien dengan anafilaksis yang diinduksi
makanan dilaporkan normal sehingga diduga histamin dilepaskan oleh sel yang tidak
memiliki triptase seperti basofil.1
Kandungan di dalam makanan memegang peranan dalam timbulnya alergi. Alergen
yang terkandung didalam makanan sebagian besar merupakan glikoprotein larut air
berukuran 10 – 70 kD, dan relatif stabil terhadap panas, asam, dan protease. Di samping itu
terdapat faktor imunostimulan di dalam makanan yang berperan dalam sensitasi. Sebagai
contoh, glikoprotein yang terkandung di dalam kacang yang berperan sebagai alergen, Ara h
1, tidak hanya stabil dan resisten terhadap panas atau enzim pencernaan tetapi juga mampu
memicu TH2. Meskipun demikian, karakteristik biokimia dari alergen tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya karena hanya sejumlah orang yang terpapar dengan alergen menimbulkan reaksi
alergi.1
Toleransi terhadap alergen tergantung pada keutuhan dan aktivitas imun barier saluran
pencernaan. Barier tersebut adalah sel epitel saluran cerna, lapisan mukosa yang tebal, enzim
di vili usus, garam empedu, pH yang rendah yang membuat antigen menjadi kurang
imunogenik. Disamping itu terdapat pula imunitas alamiah (innate immunity) yang tediri dari
sel NK, leukosit PMN, makrofag, dan sel epitel serta imunitas spesifik (adaptive immunity)
yang terdiri dari limfosit intraepitel dan lamina propia, Peyer’s patches, IgA, dan sitokin yang
berperan sebagai barier aktif bagi antigen asing.1
5
Gambar 1. Mekanisme sensitasi dan reaktivitasi sel imun akibat alergen makanan5
Alergi makanan tidak diperantarai IgE merupakan reaksi imunologis yang angka
kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan alergi makanan diperantarai IgE. Di dalam
serum dan kulit penderita dengan alergi makanan tidak diperantarai IgE tidak ditemukan
antibodi IgE. Karakteristik penyakit ini tidak begitu jelas namun diduga terjadi akibat
inflamasi akut atau kronis di saluran pencernaan dimana eosinofil dan sel T memegang
perananan. Pada pasien dengan enterekolitis yang dinduksi protein makanan, TNF-α
tampaknya turut memegang peranan. TNF-α berhasil dikultur secara in vitro dari monosit
darah perifer pada anak-anak dengan sindrom enterekolitis yang diinduksi protein makanan.
Pada eosinofilik esofagitis, eosinofil dan faktor pertumbuhan, faktor kemotaktik, IL-13, IL-
5,VCAM 1, dan TGF-β memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi.1
Pada intinya, faktor genetik berperan dalam timbulnya reaksi alergi meskipun gen
yang berperan disini belum dapat diidentifikasi. Sama halnya dengan alergi makanan yang
tidak diperantarai IgE didapatkan perbedaan insidensi berdasarkan etnik dimana ras Kaukasia
insidensinya lebih banyak dibandingkan ras yang lain.1
6
FAKTOR RESIKO
2. Maturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia dewasa.
Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami alergi makanan tetapi
dalam pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena belum sempurnanya saluran cerna
pada anak. Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan
menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan
limfosit pada lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus
imatur (tidak matang) system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi
sehingga memudahkan allergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel yang
mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui di saluran cerna.
Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi (kematangan) sistem
kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi sampel serum yang mengandung antibodi terhadap
makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang
terpapar antigen setelah usia 3 bulan. Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara
prospektif dari lahir sampai usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun
pertama kehidupan.6
3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi sejak bayi
dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap penisilin, gandum, telur
7
dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah
bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Pemberian MPASI
(makanan pendamping ASI) meningkatkan angka kejadian alergi.6 Konsumsi makanan
tertentu selama hamil diduga dapat menurunkan angka kejadian beberapa jenis alergi
makanan. Konsumsi kalsium dan produk susu dibandingkan yogurt selama hamil
menurunkan resiko kejadian wheezing pada anak-anak. Konsumsi vitamin D selama hamil
memberikan efek proteksi pada anak agar terhindar dari wheezing dan eksema.7
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau
gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab
alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat
menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau aktifitas
berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut
sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila
anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus
8
lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin
pada anak adalah tidak sepenuhnya benar.6
MANIFESTASI KLINIS
9
Anafilaksis karena Makanan Aktivitas diduga Onset Gandum, Diduga menetap
aktivitas yang Mencetuskan mengubah absorbsi usus, biasanya kerang,
berhubungan anafilaksis hanya pencernaan alergen, atau remaja/dew
dengan makanan jika proses keduanya asa
pencernaan diikuti
oleh aktivitas
Diperantarai antibodi IgE/ diperantarai sel
(Onset Lambat/ kronik)
Dermatitis Atopik Dikaitkan dengan Mungkin terkait dengan Bayi > Alergen Biasanya
(Gambar 5) makanan pada ~ makanan – responsif sel anak-anak dominan, sembuh
35% anak dengan T terhadap kulit > dewasa biasanya susu
ruam sedang dan telur
sampai berat
Gastroenteropati Gajala bervariasi Mediator yang berperan Semua Multiple Kemungkinan
eosinofil pada letak atau mengaktivasi eosinofil, orang menetap
derajat inflamasi seperti Eotaxin dan IL 5
eosinofili
Esofageal:
Disfagia dan nyeri
Generalisata:
asites, penurunan
berat badan,
edema, dan
obstruksi
Diperantarai sel (Onset Lambat/ Kronis)
Enterokolitis Biasanya Meningkatkan respon Balita Susu sapi, Biasanya
protein makanan mempengaruhi TNF-α, Pengurangan kedelai, nasi, sembuh
bayi respon terhadap TGF - β dan gandum
Paparan
kronis:mual,
diare, letargi
Paparan kembali
setelah
pembatasan: mual
diare, dan
hipotensi (15%) 2
jam setelah makan
Proktitis pada diet Mucus-laden, Inflamasi eosinofili Balita ASI Biasanya
protein Feses berdarah sembuh
pada bayi
Anafilaksis dicurigai apabila terdapat satu dari tiga kriteria di bawah ini
1. Onset akut (menit sampai beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau
keduanya, seperti timbul bintik-bintik merah, gatal atau kemerahan, pembengkakan pada bibir,
lidah, atau uvula.
Ditambah setidaknya satu dari tanda di bawah ini
a. Tanda gawat napas, seperti dispnea, bronkospasme (wheezing), stridor, penurunan laju
ekspirasi puncak (peak expiratory flow), dan hipoksemia.
b. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti hipotonia (kolaps),
sinkop, atau inkontinens.
2. Dua atau lebih gejala di bawah ini yang muncul cepat setelah terpapar alergen yang dicurigai
menimbulkan reaksi alergi pada pasien (menit sampai beberapa jam).
a. Keterlibatan jaringan kulit-mukosa seperti timbul bintik merah di seluruh tubuh, gatal dan
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah atau uvula.
b. Tanda gawat napas, seperti dispnea, bronkospasme (wheezing), stridor, penurunan laju
ekspirasi puncak (peak expiratory flow), dan hipoksemia.
c. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti hipotonia (kolaps),
sinkop, atau inkontinens.
d. Gejala gastrointestinal yang persisten seperti kerap perut, nyeri, dan muntah-muntah.
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang sudah dipastikan menimbulkan reaksi
pada pasien (menit sampai beberapa jam)
10
a. Pada bayi dan anak-anak: tekanan sistolik rendah atau turun >30% dari tekanan darah
sistolik.*
b. Pada dewasa: tekanan sistolik <90 mmHg atau atau turun >30% dari normal.
*Tekanan sistolik rendah jika <70 mmHg untuk usia 1 bulan s.d 1 tahun, kurang dari [70 mmHg + (2xusia)] untuk usia 1 s.d
10 tahun dan <90 mmHg untuk usia 11 s.d 17 tahun.
Pada orang dengan alergi makanan yang tidak mengalami anafilaksis, gejala kutan
merupakan gejala yang paling sering dialami. Manifestasi kutan ini bersifat akut (durasi
kurang dari 6 minggu) berupa urtikaria dan/atau angioedema. Urtikaria yang disebabkan oleh
kontak kulit dengan makanan harus dibedakan dengan dermatitis kontak iritan dan dermatitis
kontak alergi. Makanan yang dapat menyebabkan urtikaria setelah kontak dengan kulit adalah
kerang, daging mentah, ikan, sayuran mentah, buah-buahan, nasi, telur, mustard, bir, dan
susu. Lesi urtikaria dan angioedema dikatakan kronis jika manifestasinya persisten and
muncul selama lebih dari 6 minggu namun alergi makanan jarang menyebabkan urtikaria
dan/atau angioedema kronis. Dermatitis kontak dapat terjadi setelah memegang bahan
11
makanan dan dijumpai pada orang yang kesehariannya bekerja dan terus terpapar dengan
bahan makanan tersebut. Kulit yang terpapar akan tampak eritema dan dijumpai vesikel. 3
DIAGNOSIS
Anamnesis
Diagnosis alergi makanan harus dimulai dengan melakukan anamnesis yang cermat
dan akurat. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu diagnosis antara lain 1). Apakah
reaksi muncul tiap kali pasien mengkonsumsi makanan yang dicurigai menyebabkan alergi?
Jika tidak maka kemungkinan makanan tersebut bukan penyebab alergi. 2). Berapa lama
gejala muncul setelah pasien mengkonsumi makanan yang dicurigai menyebabkan alergi?
Reaksi diperantarai IgE biasanya muncul dalam waktu beberapa menit sampai 2,5 jam
kemudian sementara reaksi tidak diperantarai IgE (diperantarai sel T) dapat berlangsung 4
jam sampai 5-7 hari kemudian. 3) Adakah riwayat alergi di keluarga? Genetik diketahui
berperan dalam timbulnya reaksi alergi terhadap makanan. 4) Apa saja gejala yang diderita
pasien? Untuk mengidentifikasi tipe reaksi simpang makanan apakah bersifat imun atau non
imun. 1,3
Pemeriksaan Fisik
12
pemeriksaan fisik. Onset cepat (<4 jam) cenderung mengarah ke diagnosis reaksi alergi
diperantarai IgE sementara onset lama (6-48 jam atau kronik) cenderung mengarah ke
diagnosis reaksi alergi tidak diperantarai IgE. Adanya gejala dan tanda klasik reaksi
diperantarai IgE seperti urtikaria, angioedema, dan anafilaksis mengarahkan diagnosis ke
reaksi alergi yang diperantarai IgE sementara adanya gejala gastrointestinal seperti mual,
muntah, nyeri perut, atau diare tanpa gejala lainya atau tanda dermatitis atopik pada
pemeriksaan fisik maka mengarahkan diagnosis ke reaksi alergi tidak diperantarai IgE.3
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat 2 metode untuk mengukur IgE spesifik terahadap makanan yaitu tes tusuk
kulit atau skin prick test (SPT) yang dilakukan secara in vivo dan tes IgE serum spesifik in
vitro atau biasa disebut tes ImmunoCAP FEIA. Kedua tes ini memiliki sensitivitas tinggi
(>90%) namun memiliki spesifisitas sedang (50%) sehingga screening tanpa anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang mengarah ke alergi makanan tidak disarankan karena tingginya angka
positif palsu. 3
13
disamarkan. Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi telur diberikan sejumlah telur
yang dimasak, ditingkatkan dosisnya tiap 30 menit hingga seluruh telur yang disajikan habis
dimakan. Biasanya OFC digunakan jika hasil tes kulit terhadap makanan yang dicurigai
negatif. OFC merupakan prosedur aman yang dapat digunakan di tempat praktek untuk
pasien yang dipilih berdasarkan riwayat dan hasil IgE spesifik makanan tertentu mendekati
nilai negatif.3,10
Pada SBPCFC, dokter menyadari apa yang dimakan oleh pasien, namun pasien tidak
menyadarinya. Makanan yang dicurigai disamarkan sehingga pasien tidak sadar terhadap
kandungan makanan yang dikonsumsinya. Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi
telur diberikan kandungan telur yang telah disembunyikan dalam makanan lain.4
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang pasien makan.
Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain. DBPCFC adalah gold standard atau
baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. DBPCFC merupakan
metode paling reliabel karena menghilangkan bias pada dokter maupun pada pasien.
Pemeriksaan DBPCFC memberitahukan kepada kita bahwa: sebagian besar riwayat penyakit
tidak akurat, terdapat daftar makanan penyebab pada 90% kasus, sebagian besar anak-anak
alergi terhadap 1-2 jenis makanan saja.4
Tes provokasi makanan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan riwayat yang
jelas adanya reaksi alergi berat. Pasien harus menghindari makanan yang dicurigai selama
paling sedikit 2 minggu (diet eliminasi). Antihistamin dihentikan minimal 5 hari sebelumnya.
Akses intravena harus disiapkan jika tes dilakukan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi
berat. Pasien harus bebas gejala dan puasa pada hari pengujian. Prosedur pengujian harus
dalam pengawasan tenaga medis secara intensif. Makanan yang dicurigai dapat disamarkan
pada makanan lain atau kapsul untuk menghilangkan rasa dan baunya. Tes dengan makanan
yang lain dilakukan pada hari yang berbeda. Skema dosis provokasi makanan dibagi menjadi
7 dosis yang semakin meningkat: 1%, 4%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 25% lagi dari dosis
total. Peningkatan dosis baik pada makanan yang diujikan atau plasebo diberikan setiap 10-
30 menit, dan ditunggu reaksinya 30 menit setelah dosis terakhir diberikan.4
PENATALAKSANAAN
Terapi primer untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan terhadap
makanan yang menyebabkan alergi. Pasien diedukasi agar dengan cermat meneliti label
14
makanan yang akan dibeli atau dikonsumsi, berhati-hati mengkonsumsi makanan yang
dipesan di rumah makan atau restoran, dan menjaga peralatan dapur agar tidak kontak dengan
makanan yang menyebabkan alergi. Pasien yang beresiko mengalami reaksi anafilaksis
sebaiknya harus selalu membawa injeksi epinefrin yang tersedia dalam bentuk pen (gambar
2) yang tersedia dalam dosis 0,3 mg dan 0,15 mg dan jika memungkinkan menggunakan
gelang yang berisi identitas dan keterangan bahwa pasien menderita alergi dengan reaksi
berat.8 Dosis epinefrin untuk reaksi anafilaksis adalah 0,3 sampai dengan 0,5 mg untuk
dewasa atau 0,01 mg/kgBB.9,10
Sejumlah terapi dapat membantu mengurangi gejala yang disebabkan oleh reaksi
alergi. Antihistamin dapat mengurangi reaksi alergi akibat sindrom alergi oral dan reaksi
alergi pada kulit yang diperantarai IgE. Terapi antiinflamasi dapat berguna untuk eosinofilik
esofagitis dan gastroenteritis.8
Pada beberapa kasus, melakukan diet eliminasi secara ketat menimbulkan penurunan
proses alergi makanan. Setelah melakukan diet bebas alergen secara ketat selama 1-2 tahun,
sekitar sepertiga dari anak-anak yang sudah besar dan pasien dewasa pada suatu penelitian
tidak lagi sensitif terhadap makanan penyebab alergi sebelumnya. Alergi terhadap kacang
tanah, kacang, ikan, dan kerang-kerangan, mungkin akan bertahan seumur hidup.4
15
KESIMPULAN
Reaksi simpang makanan terdiri dari reaksi imunologis atau disebut alergi makanan
dan non imunologis atau disebut intoleransi makanan. Alergi makanan dibagi lagi menjadi
alergi yang diperantarai IgE, alergi yang tidak diperantarai IgE, dan gabungan keduanya.
Manifestasi klinis dari alergi makanan dapat muncul di kulit, saluran gastrointestinal, maupun
saluran respiratorius. Diagnosis yang tepat akan membantu dalam penatalaksanaan dan
pencegahan reaksi alergi yang berulang terutama reaksi alergi yang mengancam nyawa.
Terapi primer untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan terhadap makanan
yang menyebabkan alergi.
16
DAFTAR PUSTAKA
17