Anda di halaman 1dari 17

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Keterlambatan Bicara dan Bahasa

Keterlambatan bicara dan bahasa memiliki peran vital dalam area kognitif dan hubungan sosial.
Seorang anak dikatakan menderita keterlambatan bicara dan bahasa apabila tingkat perkembangan
bicara dan bahasa anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata
(Hurlock, 1978). Kebanyakan balita mengikuti urutan yang dapat diprediksi dalam perkembangan bahasa.
Pada usia 12 bulan, bayi akan mulai memproduksi kata pertama mereka. Pada usia 24 bulan balita akan
mampu menggunakan sekitar 50 kata untuk mengekspresikan keinginan mereka. Pada sisi ini, pencapaian
kata-kata berlanjut pada laju yang cepat sesuai dengan pengalaman yang didapatkan oleh anak yang
dikenal dengan vocabulary spurt (Goldfield & Reznick, 1996). Faktor yang mempengaruhi kemampuan
anak untuk mempelajari kata-kata baru tersebut mencakup media seperti interaksi antara pengasuh dan
anak hingga media pasif seperti televisi (Bedore & Leonard, 2000).

Terdapat berbagai variasi mengenai prevalens terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa. Besarnya
rentang prevalens ini diakibatkan oleh karena perbedaan kelompok usia subyek, perbedaan alat
penapisan dan uji diagnosis yang digunakan, dan terminologi yang berbeda (Mondal dkk., 2016). Pada
anak prasekolah usia 2 sampai 4,5 tahun, beberapa penelitian terhadap kejadian keterlambatan bicara
dan bahasa dilaporkan prevalens bervariasi 5% sampai 8%, dan penelitian terhadap gangguan bahasa
dilaporkan sebesar 2,3% sampai 19%. Prevalensi anak usia kurang dari 5 tahun yang mengalami
keterlambatan bicara dan bahasa yang tidak diterapi dilaporkan 40% sampai 60% (The US Preventive
Services Task Force, 2015).

Identifikasi terhadap kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan bicara dan
bahasa telah banyak dipelajari, termasuk anak dengan masalah medis, diantaranya masalah pendengaran
atau masalah kraniofasial. Studi terhadap faktor risiko lain ditemukan hasil yang tidak konsisten, sehingga
The US Preventive Services Task Force (2015) tidak dapat mengembangkan daftar faktor risiko tertentu
untuk memandu dokter perawatan primer dalam melakukan penapisan yang selektif. Faktor risiko yang
paling konsisten dilaporkan adalah riwayat keluarga dengan keterlambatan bicara dan bahasa, jenis
kelamin lelaki, dan faktor perinatal, seperti bayi kurang bulan dan bayi berat lahir rendah. Faktor risiko
lain yang dilaporkan kurang konsisten termasuk tingkat pendidikan orangtua, penyakit masa kanak-kanak
yang spesifik, urutan kelahiran di keluarga, dan jumlah anggota keluarga yang besar. Faktor risiko lain yang
berkaitan dengan terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa yang sedang dipelajari adalah asfiksia
neonatorum, bilingual, peran pengasuh utama, penggunaan alat permainan edukatif, dan screen time
(Leung & Kao, 1999; McLaughlin, 2011; Soetjiningsih, 2013; Guram, 2017).

Penilaian terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa dapat melibatkan berbagai pendekatan, di
mana belum adanya uji penapisan yang sudah terstandar pada pelayanan klinik dasar. Milestone untuk
perkembangan bicara dan bahasa telah dikenal secara luas. Kewaspadaan terhadap adanya
keterlambatan bahasa harus mulai diperhitungkan apabila pada usia 1 tahun anak belum memproduksi
kata-kata sama sekali, atau apabila bahasa belum jelas atau perkembangan bahasa terlambat
dibandingkan dengan anak seumurnya. Instrumen yang sering digunakan sebagai penapisan untuk
memeriksa berbagai aspek perkembangan sudah banyak dikenal, seperti menggunakan kuesioner sesuai
usia dan tahapan umur, clinical adaptive test/clinical linguistic and auditory milestone scale (CAT/CLAMS),
uji skrining perkembangan Denver, The Early Language Milestone Scale (ELMS), dan The Peabody Picture
Vocabulary Test Revised (Leung dan Kao, 1999).

Pemeriksaan yang menyeluruh meliputi anamnesis, dengan perhatian spesifik terhadap milestone
bahasa, sangat penting dilakukan dalam penegakan diagnosis. Klinisi harus memberikan perhatian lebih
apabila anak tidak mengoceh (babbling) pada usia 12 sampai 15 bulan, tidak mengerti perintah sederhana
pada usia 18 bulan, tidak berbicara pada usia dua tahun, tidak mampu membuat kalimat pada usia tiga
tahun, atau mengalami kesulitan untuk menceritakan hal yang sederhana pada usia empat sampai lima
tahun. Keterlambatan menyeluruh pada aspek lain perkembangan dapat mengarahkan diagnosis pada
disabilitas intelektual sebagai salah satu penyebab terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa.
Anamnesis juga dilakukan secara menyeluruh terhadap riwayat penyakit saat mengandung, trauma
perinatal, infeksi maupun asfiksia, usia kehamilan, berat badan lahir, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penggunaan obat yang ototoksik, riwayat psikososial, jenis bahasa yang digunakan pada anak, dan riwayat
keluarga dengan penyakit yang signifikan ataupun riwayat keterlambatan bicara dan bahasa (Leung dan
Kao, 1999).

Gambaran mengenai fase perkembangan bicara dan bahasa anak sesuai dengan usia dapat dilihat
pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Fase perkembangan bicara dan bahasa anak (Owen, 2015)

1.1.1 Etiologi

Penyebab keterlambatan bicara sangat banyak dan bervariasi. Gangguan tersebut ada yang ringan
sampai yang berat. Penyebab keterlambatan bicara bisa terjadi gangguan mulai dari proses pendengaran,
penerus impuls ke otak, otot atau organ pembuat suara. Beberapa penyebab utama keterlambatan bicara
diantaranya adalah disabilitas intelektual, gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi.
Keterlambatan maturasi sering juga disebut keterlambatan bicara fungsional termasuk dalam gangguan
yang paling ringan dan saat usia tertentu akan membaik. Penyebab lain yang relatif jarang adalah kelainan
organ bicara, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism selektif, afasia reseptif, dan deprivasi
lingkungan. Deprivasi lingkungan bisa disebabkan lingkungan sepi, dua bahasa, status ekonomi sosial,
teknik pengajaran salah, sikap orangtua (Campbell, 2013).

Estimasi prevalens psikososial yang relevan secara klinis terlibat dalam gangguan bicara-bahasa pada
anak-anak dilaporkan sebagai komorbiditas sebesar 50%. Indikasi keterlibatan psikososial tersering
mencakup gejala yang berhubungan dengan gangguan pemusatan perhatian dan gangguan perilaku
(seperti attention deficit/hyperactivity disorder [ADHD], conduct disorder, oppositional defiant disorder).
Pada anak yang terdiagnosis dengan gangguan psikiatri, ditemukan prevalens kejadian gangguan bicara-
bahasa berkisar 40% hingga 80%. Keterkaitan yang umum dilaporkan pada gangguan pemusatan
perhatian dan gangguan berbahasa, walaupun diyakini proporsi yang signifikan (Campbell, 2013).

1.1.2 Faktor risiko

Faktor risiko yang menyebabkan seorang anak menjadi terlambat bicara dan bahasa dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:

1.1.2.1 Faktor internal

a. Genetik

Gangguan bicara dan bahasa berkaitan dengan kerusakan kromosom 1,3,6,7, dan 15. Kerusakan di
kromosom ini juga berhubungan dengan gangguan membaca. Kromosom tersebut membawa gen yang
memengaruhi perkembangan sel saraf saat prenatal. Keterlambatan bicara dan bahasa dapat
merupakan gambaran dari berbagai penyakit genetik dan kromosomal, contohnya sindrom Down yang
menunjukkan gambaran kemampuan verbal di bawah kemampuan yang diharapkan. Anak dengan
sindrom Fragile X dan Klinefelter dapat menunjukkan gejala keterlambatan bahasa tanpa adanya
gambaran fisis yang khas. Anak dengan sindrom Wiliam menunjukkan gejala keterlambatan bahasa
sejak usia dini, walaupun dengan kemampuan komunikasi dan sosial yang maju (Meshcino, 2003).

Keterlambatan bicara dan bahasa merupakan hal yang diwariskan dan menunjukkan agregasi
familial yang kuat. Riwayat keluarga dapat diperoleh melalui wawancara. Pada anak lelaki dengan
keterlambatan bicara dan bahasa, dapat ditelusuri pola pewarisan sifat yang diwariskan melalui
kromosom X. Hal ini ditunjukkan oleh lelaki yang juga menderita gangguan yang sama dari sisi ibu, yang
terhubung melalui carrier wanita, termasuk saudara lelaki, sepupu lelaki dan paman. Idealnya
anamnesis mengenai riwayat keluarga harus mencakup tiga generasi, yaitu saudara kandung,
orangtua, kakek dan nenek penderita. Konsanguinitas merupakan hal yang sering terjadi pada
kelompok etnik tertentu. Apabila terdapat konsanguinitas, peluang terjadinya pewarisan gen
autosomal resesif menjadi lebih besar (Meshcino, 2003).

Mekanisme genetik yang mendasari kecenderungan kejadian keterlambatan bicara dan bahasa
merupakan hal yang multifaktorial dalam perjalanan penyakitnya, melibatkan interaksi kompleks
antara beberapa variasi genetik dan faktor lingkungan. Identifikasi terhadap faktor-faktor genetik yang
kemungkinan berperan dalam kejadian keterlambatan bicara dan bahasa diharapkan dapat menambah
pengetahuan terhadap jalur biologis dan mekanisme neurologis yang berkontribusi terhadap proses
pembelajaran bicara dan bahasa dan berperan penting dalam etiologi keterlambatan bicara dan
bahasa (Meshcino, 2003).

b. Cacat fisis pada organ pendengaran dan organ bicara

Cacat yang berhubungan dengan gangguan bicara adalah kondisi fisik yang menyebabkan
gangguan penghantaran suara seperti gangguan pada telinga dan bagian pendengaran. Gangguan pada
pendengaran dapat ditemukan pada anak dengan mikrotia. Gangguan yang lain adalah yang
memengaruhi artikulasi seperti abnormalitas bentuk lidah dan dinding palatum, frenulum yang
pendek, atau adanya celah di langit-langit mulut (Perna, 2013).

c. Malformasi neurologis

Malformasi neurologi mencakup gangguan perkembangan neurologis, yaitu kegagalan untuk


memiliki kemampuan fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki, yang disebabkan oleh adanya lesi
(defek) dari otak yang terjadi pada periode awal pertumbuhan otak. Penyebab gangguan dapat terjadi
pada masa pranatal, perinatal maupun pascanatal. Sebelum anak berumur 30 bulan, gangguan
perkembangan lebih sering tampak karena anak terlambat dalam mencapai patokan
perkembangannya. Misalnya anak belum bisa duduk, berjalan atau bicara (Purwadi, 2007).

Keterlambatan bicara dan bahasa juga merupakan gambaran penyakit neurologis. Anak dengan
palsi serebral berat memiliki masalah dengan bahasa atau produksi dan koordinasi bicara. Epilepsi yang
melibatkan hemisfer kiri, seperti sindrom Landau-Kleffner dapat memengaruhi perkembangan dan
penggunaan bahasa. Anak laki-laki dengan Duchenne muscular dystrophy dapat menunjukkan
keterlambatan bicara dan bahasa sejak usia dini sebelum atau sejalan dengan timbulnya gejala
kelemahan otot. Malformasi dasar dari sistem saraf pusat, misalnya hidrosefalus, abnormalitas
mikroskopik dan makroskopik dari perkembangan kortikal juga berhubungan dengan kejadian
keterlambatan bicara dan bahasa. Gangguan dasar terhadap anatomi otak didiagnosis dengan
menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) dan pada beberapa kasus ditemukan melalui
pemeriksaan ultrasound maternal fetal in utero (Campbell dkk., 2003).

Disabilitas intelektual merupakan salah satu penyebab keterlambatan bicara dan bahasa yang
paling sering terjadi, terhitung dalam lebih dari 50 persen kasus. Anak dengan disabilitas intelektual
menunjukkan adanya keterlambatan perkembangan umum, keterlambatan dalam pemahaman
pendengaran dan keterlambatan gerak tubuh dalam mengekspresikan hal tertentu. Secara umum,
semakin berat disabilitas intelektual, semakin lambat penguasaan bahasa. Perkembangan bahasa pada
anak dengan disabilitas intelektual secara relatif lebih terhambat dibandingkan dengan perkembangan
sektor lainnya. Pada 30 sampai 40 persen anak dengan disabilitas intelektual, penyebab disabilitas
intelektual tidak diketahui, bahkan dengan investigasi yang ekstensif. Penyebab disabilitas intelektual
yang sudah diketahui termasuk cacat genetik, infeksi intrauterin, insufisiensi plasenta, medikasi saat
periode kehamilan, trauma pada sistem saraf pusat, hipoksia, kernikterus, hipotiroid, keracunan,
meningitis atau ensefalitis, dan masalah metabolik (Leung dan Kao, 1999).

d. Jenis kelamin

Anak lelaki memiliki kecenderungan lebih besar (2,6 kali) untuk menderita keterlambatan bicara
dan bahasa dibandingkan dengan anak perempuan, walaupun belum ditemukan penjelasan yang pasti.
Berbagai penelitian masih dikerjakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi antar dua jenis
kelamin ini. Penjelasan yang mungkin tingginya persentasi anak lelaki yang mengalami keterlambatan
bicara dan bahasa disebabkan oleh perkembangan fisiologis lelaki yang relatif lebih lambat dan
kecenderungan yang lebih besar terhadap kejadian penyakit neurologis (Lindsay dan Strand, 2016).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RSUD Kariadi, Semarang, dimana secara teori dikatakan
bahwa level tinggi dari testosteron pada masa prenatal memperlambat pertumbuhan neuron di
hemisfer kiri sehingga (Hidajati, 2009).

e. Riwayat bayi lahir kurang bulan dan berat lahir rendah

Riwayat bayi lahir kurang bulan (BKB) dalam hal keterlambatan bicara pada anak berhubungan
dengan berat badan lahir yang rendah. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa terdapat
abnormalitas white matter pada otak pada bayi lahir kurang bulan dan berat lahir rendah (BBLR).
Abnormalitas white matter ini selanjutnya berhubungan dengan rendahnya skor penguasaan bahasa
pada anak (Rechia dkk., 2006).
Berat lahir rendah merupakan indikasi bahwa nutrisi yang diedarkan ke dalam tubuh belum
maksimal sehingga perkembangan beberapa bagian tidak optimal. Bayi lahir kurang bulan juga
menyebabkan belum sempurnanya pembentukan beberapa organ sehingga dalam perkembangannya
mengalami keterlambatan (Amin dkk., 2009). Bayi kurang bulan yang dilakukan uji provokasi dengan
BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) didapatkan hasil yang lebih rendah dibandingkan
dengan bayi cukup bulan (Rischie dkk., 2006).

f. Gangguan pendengaran

Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditoris berlangsung pula perkembangan


kemampuan bicara. Kemampuan bicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai jika input
sensoris (auditoris) dan motorik dalam keadaan normal (Suwento, 2014). Penapisan terhadap
terjadinya gangguan pendengaran anak telah banyak dilakukan. The Joint Committee on Infant Hearing
dan American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus
dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Untuk bayi yang
lulus skrining, tetap harus dilakukan evaluasi berkala, yakni pada usia 6 bulan-1 tahun, usia 3-4 tahun,
usia sekolah, ataupun setiap saat bila ada kecurigaan gangguan penglihatan atau pendengaran. Uji
penapisan yang dapat digunakan yaitu Tes Daya Dengar (Depkes, 2006).

Contoh dari kondisi yang memengaruhi pendengaran pada awal kehidupan yang dapat
memengaruhi perkembangan bicara dan bahasa meliputi gangguan pada pendengaran perifer dan
sentral. Gangguan pada pendengaran perifer dapat diakibatkan oleh gangguan pendengaran konduktif
(Conductive Hearing Loss/CHL) dan sensorineural (Sensorineural Hearing Loss/SNHL). CHL biasanya
terjadi karena abnormalitas perkembangan atau fungsi strukur telinga tengah dan luar sebagai akibat
dari sekuensi sindrom Pierre Robin, mikrotia, eksposur terhadap teratogen (contohnya Thalidomide)
pada masa kehamilan, otitis media kronis, disfungsi tuba eustachius, dan fraktur pada tulang
tengkorak. SNHL diakibatkan oleh abnormalitas struktur atau fungsi dari koklea atau persarafan
koklear. Penyebab SNHL secara genetik ditemui pada sindrom Alport, Pendered, Stickler, Usher tipe 1-
3, Waardenburg tipe 1-4, Perrault, dan Connexin. Penyebab yang didapat diantaranya oleh karena
iskemia hipoksik, infeksi kongenital oleh karena toxoplasmosis, sitomegalovirus, hiperbilirubinemia,
sepsis neonatal atau meningitis neonatal, meduloblastoma dan schwanoma vesibular. Gangguan
pendengaran tipe sentral sering diakibatkan oleh sindrom Landau-Kleffner dan hiperbilirubinemia
(Rosenbaum dan Simon, 2016).
g. Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum atau asfiksia perinatal merupakan kondisi dimana terjadi gangguan pada
pertukaran gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) yang menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnia, yang disertai dengan asidosis metabolik. Asfiksia neonatorum merupakan penyebab
kematian tertinggi ketiga pada bayi baru lahir setelah prematuritas dan infeksi yang sangat berat.

Banyak faktor prekonsepsi, antepartum, dan intrapartum yang dapat menyebabkan asfiksia
neonatorum Asfiksia menyebabkan hiperpolarisasi sel rambut dalam otak yang mengakibatkan
penurunan jumlah neurotransmiter yang dilepaskan sehingga terjadi penurunan aktivitas saraf. Selain
itu, asfiksia juga dapat mengakibatkan peningkatan glutamat dan gangguan proses apoptosis. Apabila
terjadi pada saraf pendengaran, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan pendengaran (Antonucci,
2014).

h. Malnutrisi

Hubungan antara status gizi anak dengan perkembangan anak telah banyak ditekankan,
terutama di negara berkembang menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kedua faktor ini.
Malnutrisi merupakan salah satu faktor risiko mayor yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan pada sisi kognitif, motorik, sosial dan perilaku, prestasi sekolah, dan perkembangan
psikomotor. Malnutrisi didefinisikan sebagai keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang
cukup, dan dapat juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pengambilan makanan dengan
kebutuhan gizi untuk mempertahankan kesehatan (Oxford, 2007).

Faktor ini berpotensi menimbulkan permasalahan pada proses perkembangan otak yang
berlangsung dengan pesat, yang terjadi pada tahun pertama kelahiran, yang sejalan dengan efek
samping jangka panjang terhadap struktur otak dan kapasitas fungsional (Jimoh dkk., 2017). Pengaruh
dari malnutrisi dengan kemampuan pendengaran dan bahasa sebagaimana terdapat dalam sebuah
studi, yang juga terlihat pada studi lainnya ditemukan bahwa malnutrisi menyebabkan hambatan
dalam pematangan jalur pendengaran dan memengaruhi sistem pendengaran sentral dan perifer.
Defisiensi nutrisi bahkan dalam bentuk akut, menghambat fungsi normal dari telinga tengah, dengan
konsekuensi terjadi pengaruh negatif pada keseluruhan sistem pendengaran. Anak dengan gangguan
sistem pendengaran selanjutnya berisiko terhadap terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa (Jimoh
dkk., 2017).

1.1.2.2 Faktor eksternal


a. Urutan/jumlah anak

Anak pertama lebih sering mengalami terlambat bicara dan bahasa. Jumlah anak yang semakin
banyak maka kejadian keterlambatan bicara makin meningkat atau insiden keterlambatan bicara
sering terjadi pada anak yang memiliki jumlah saudara banyak karena berhubungan dengan
komunikasi antara orangtua dan anak. Anak yang banyak akan mengurangi intensitas komunikasi anak
dan orangtua (Hartanto dkk., 2009).

b. Pendidikan orangtua

Pendidikan orangtua yang rendah meningkatkan kejadian keterlambatan bicara pada anak.
Penelitian mendapatkan angka sekitar 20% anak dengan ibu berpendidikan di bawah tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA) mengalami keterlambatan bicara. Pendidikan ibu yang rendah menyebabkan ibu
kurang perhatian terhadap perkembangan anak dan kosakata yang dimiliki ibu juga kurang sehingga
tidak mampu melatih anaknya untuk bicara (Hartanto dkk., 2009).

c. Bilingual

Penggunaan dua bahasa atau lebih di rumah dapat memperlambat kemampuan anak menguasai
kedua bahasa tersebut. Anak dari orangtua dengan penggunaan dua bahasa (bilingual) dapat
menunjukkan keterlambatan bicara dan bahasa minor pada fase awal. Anak yang tumbuh pada
lingkungan bilingual memiliki beberapa tipe dalam mencampurkan beberapa bahasa yang mengurangi
kecepatan dalam perkembangan bahasa (McLaughlin, 2011).

Anak dapat mengembangkan kemampuan bahasa yang tidak sama antara bahasa satu dengan
lainnya bergantung pada jumlah dan kualitas dari paparan terhadap masing-masing bahasa. Pada anak
dengan keterlambatan bicara yang disertai penggunaan beberapa bahasa di rumah, akan menghambat
kemajuan anak tersebut dalam tata laksana selanjutnya sehingga bilingual harus dihilangkan pada anak
yang mengalami keterlambatan bicara. Anak dengan bilingual yang mengalami keterlambatan bicara
dan bahasa biasanya tidak memerlukan bantuan dari ahli bahasa kecuali jika terdapat kesulitan dalam
memahami bahasa utama. Penilaian terhadap keterlambatan bicara dan bahasa pada anak dengan
bilingual prinsipnya sama dengan anak monolangual (McLaughlin, 2011).
d. Stimulasi

Stimulasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk merangsang kemampuan dasar anak
agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Berbagai macam stimulus seperti stimulus
verbal, visual, dan auditif dapat mengoptimalkan perkembangan anak. Perhatian dan kasih sayang juga
merupakan stimulus yang penting dalam perkembangan anak misalnya dengan mengajak anak untuk
bercakap-cakap, membelai, bermain (Soetijiningsih, 2013).

Sebagian besar anak mulai berbicara pada usia 10 sampai 18 bulan, namun kemampuan
pengertian anak terhadap kata-kata dimulai sejak sebelum usia tersebut. Mendengarkan suara
ataupun bunyi-bunyian menstimulasi otak anak untuk berkembang sehingga mereka mampu untuk
mengingat dan mengulang bunyi tersebut. Anak juga mulai mengerti irama dan pola bicara. Setelah
anak mendengarkan, menonton dan berpartisipasi pada rangsangan di sekitar mereka, anak mulai
menguasai bahasa (Soetijiningsih, 2013).

Salah satu jenis stimulasi adalah melalui Alat Permainan Edukasional (APE). APE adalah alat yang
mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya, dan tingkat perkembangannya,
serta berguna untuk perkembangan fisik-motorik (motorik kasar dan motorik halus), bahasa, kognitif
dan social. APE yang dibuat ataupun yang dimanfaatkan seharusnya mempunyai fungsi dalam
mendukung proses pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi anak demi tercapainya
tujuan yang ingin dicapai (Soetjiningsih, 2013). Menurut Badru Zaman (2010) fungsi dari APE adalah
sebagai berikut:

a. Menciptakan situasi bermain (belajar) yang menyenangkan bagi anak.

b. Menumbuhkan rasa percaya diri dan membentuk citra diri anak yang positif.

c. Memberikan stimulasi dalam pembentukan prilaku dan pengembangan kemampuan dasar.

d.Memberikan kesempatan anak bersosialisasi, berkomunikasi dengan teman sebaya.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa fungsi APE adalah mengembangkan semua aspek
perkembangan yang tidak hanya sebagai media pembelajaran tetapi juga dapat memberikan
rangsangan pada anak untuk besosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebaya. Beberapa bentuk
APE diantaranya balok, boneka, puzzle, kotak alfabet, kartu lambang bilangan, alat mewarnai, buku,
dan majalah.
e. Pengasuh utama

Anak yang masih kecil bergantung pada perhatian yang diterima dari orang lain. Semua anak
memiliki kebutuhan fisik dan psikologis yang harus dipenuhi oleh satu atau beberapa orang yang
mengerti apa yang diinginkan oleh anak. Pengasuh yang sensitif dan responsif diperlukan untuk
memperoleh perkembangan neuropsikologikal, fisis dan psikologis anak. Sensitif dan responsif
merupakan kunci utama dari karakter pengasuh yang berhubungan dengan luaran kesehatan dan
perkembangan yang positif pada anak. Sensitif merupakan suatu kewaspadaan pada anak dan perilaku
anak dan vokalisasi sebagai bentuk sinyal komunikasi yang menandakan suatu kebutuhan dan
keinginan. Responsif merupakan kemampuan dari pengasuh untuk memberi respon secara kontingen
dan sesuai dengan sinyal yang diberikan anak. Untuk memastikan terpenuhinya kesehatan dan
perkembangan anak, pengasuh harus sensitif terhadap kondisi fisis anak dan mampu menentukan
apakah anak merasa lapar, lelah, keinginan berkemih, atau nyeri. Pengasuh yang responsif mampu
membuat keputusan karena pengasuh memonitor pergerakan, ekspresi, warna, temperatur, dan hal
yang disukai anak. Dengan memperhatikan respon anak secara terus menerus, pengasuh mampu
menyesuaikan respon mereka untuk mencapai luaran yang optimal, seperti memberikan rasa nyaman
pada anak, menidurkan anak, dan mendorong anak untuk makan saat sakit (WHO, 2004).

Berdasarkan studi yang ada saat ini mengindikasikan hubungan antara anak dengan pengasuh
memiliki peran vital dalam perkembangan anak yang meliputi kemampuan kontrol diri anak,
perkembangan kognitif, penguasaan bahasa, dan penyesuaian sosioemosional. Terdapat berbagai
studi yang menunjukkan kualitas hubungan antara anak dengan pengasuh sebagai faktor yang
berperan besar dalam perkembangan psikologis dan kepribadian anak (WHO, 2004).

Clarke-Stewart dkk., (1979) mengemukakan terdapat interkorelasi dan asosiasi positif pada
perilaku stimulasi interaktif dari ibu dengan kemampuan kognitif, bahasa dan sosial anak. Studi ini
menemukan tidak ditemukan adanya hubungan antara status ekonomi dengan tingkat pendidikan ibu.
Carlson (1998) melaporkan kualitas pengasuhan anak dan interaksi sejak dini berhubungan dengan
fungsi sosioemosional dan perilaku pada berbagai usia.

f. Status sosial ekonomi

Sosial ekonomi yang rendah meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bicara. Orangtua
yang tidak mampu secara ekonomi akan lebih fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya dan
mengabaikan perkembangan anaknya. Sosial ekonomi rendah juga rawan untuk terjangkit penyakit
infeksi yang memungkinkan terjadinya gangguan saraf dan kecacatan (Perna, 2013).

g. Screen time

Screen time merupakan waktu yang dihabiskan di depan layar, termasuk telepon genggam,
tablet, televisi, video games, komputer, maupun teknologi yang dapat digunakan (Canadian Pediatrics
Association, 2017). Balita masa kini berada pada era kaya informasi yang dimulai sejak tahun 1990.
Suatu studi (Barber dkk., 2017) mengestimasi 75% anak usia 12 bulan dengan peningkatan durasi
menonton televisi (<1 jam per hari pada usia 14 bulan menjadi >2 jam per hari pada usia 30 bulan).
Studi lain menunjukkan berdasarkan laporan orangtua, pada usia 2 bulan sekitar 50% anak menonton
televisi, pada usia 4 bulan meningkat menjadi 75%, dan 90% pada usia 2 tahun (Anand & Krosnick,
2017).

Beberapa studi longitudinal terhadap pengaruh menonton televisi yang sudah dilaksanakan
menunjukkan durasi menonton televisi setiap hari pada anak usia 1 dan 3 tahun berhubungan dengan
masalah pemusatan perhatian pada usia 7 tahun. (Christakis dkk., 2004), dan menonton televisi
sebelum usia 3 tahun berhubungan dengan penurunan kemampuan membaca, pemahaman
membaca, dan daya ingat terhadap angka pada usia 6 sampai 7 tahun. (Zimmerman dan Christakis,
2005). Studi lain menunjukkan hubungan antara menonton DVD atau video dengan perkembangan
bahasa yang buruk pada anak usia 8-16 tahun (Zimmerman dkk., 2007).

Prevalens penggunaan media elektronik pada kehidupan anak menandakan adanya peningkatan
lama paparan dalam jam tiap minggu di depan layar dan berhubungan dengan seluruh media dengan
layar (televisi, komputer, ponsel pintar, tablet, perangkat permainan (Rideout, 2011). Dengan tuntunan
orang yang lebih dewasa, berbagai teknologi ini dapat menghubungkan antara pembelajaran dengan
perkembangan, namun tanpa adanya tuntunan, penggunaan media dapat menjadi tidak layak,
dan/atau memengaruhi tumbuh kembang anak. Peningkatan waktu yang dihabiskan pada media
berlayar diikuti oleh timbulnya dua efek yang besar dan berlawanan, dimana masing-masing efek
memiliki riwayat yang panjang dan telah diperkuat dengan berbagai perkembangan terbaru. Yang
pertama adalah peningkatan perhatian terhadap keamanan anak di dunia maya, bersama dengan
kekhawatiran timbulnya efek yang tidak diharapkan di bidang kesehatan dan perkembangan anak
sehubungan dengan peningkatan screen time. Efek kedua, yaitu, keluarga berinvestasi pada teknologi
digital, dengan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, menjaga hubungan sosial dan keluarga,
atau hanya untuk menikmati kehidupan sehari-hari. Perdebatan terkait digital parenting saat ini
terpolarisasi, dimana orangtua berusaha meminimalisir efek negatif dari screen time sambil
mengambil potensi yang bisa didapat di era digital (Blum-Ross & Livingstone, 2016).

Terdapat berbagai kekhawatiran mengenai perlunya akses terhadap teknologi dan media
dengan layar pada masa kanak-kanak. Beberapa ahli dan pemerhati anak memberikan perhatian
khusus pada tumbuh kembang anak seperti obesitas, dan merekomendasikan bahwa teknologi non
interaktif, dan media dengan layar sebaiknya tidak diperkenalkan pada anak-anak, dan tidak adanya
screen time pada bayi dan balita (National Association for the Education of Young Children dan Fred
Rogers Center, 2012).

Beberapa faktor yang telah dipelajari dapat meningkatkan screen time pada anak diantaranya:

1. Status ekonomi

Orangtua dengan status ekonomi kurang sering kali menginvestasikan sumber-sumber media
digital secara tidak proporsional, membuat berbagai pembelian terhadap media dengan layar yang
sering dilakukan keluarga dengan status ekonomi cukup. Keluarga dengan status ekonomi kurang
sering kali memiliki perangkat dengan layar yang banyak. Keluarga dengan status ekonomi
menengah ke bawah seringkali mempercayai potensi edukasional dari media digital, namun sering
tidak cocok dengan apa yang anak lakukan di sekolah maupun sesuai dengan yang ditetapkan oleh
pengambil kebijaksanaan. Pada keluarga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, hanya 30%
mengatakan mereka jarang menggunakan media digital (termasuk komputer, televisi dan tablet)
untuk tujuan edukasi, dimana jumlah ini meningkat menjadi 52% pada orangtua dengan
penghasilan kurang.

Keluarga dengan sumber daya yang lebih sedikit, baik waktu maupun finansial cenderung untuk
memilih edukasi gratis ataupun murah melalui media digital sebagai sumber yang membantu,
sedangkan keluarga dengan penghasilan yang lebih tinggi cenderung memilih media digital sebagai
pengganggu.

2. Tingkat pendidikan orangtua

Tingkat pendidikan orangtua lebih berpengaruh terhadap durasi screen time dibandingkan
penghasilan, dimana orangtua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih aktif dalam
memediasi akses internet anak mereka.
1.1.3 Deteksi dini

Informasi mengenai perjalanan terjadinya gangguan bicara dan bahasa, termasuk bagaimana
outcome dapat berubah sebagai akibat dari penapisan dini dan terapi masih terbatas (Siu, 2015). Bukti
mengenai pentingnya skrining dini untuk keterlambatan bicara dan bahasa untuk mengidentifikasi anak
yang akan mendapatkan manfaat dari diagnosis dan tatalaksana belum ada, namun didapatkan bukti-
bukti mengenai adanya manfaat intervensi awal dapat meningkatkan luaran pada jangka pendek (USPSTF,
2015). AAP merekomendasikan agar melakukan surveilans perkembangan pada setiap kontrol anak sehat
dan melakukan skrining perkembangan pada anak yang kontrol pada usia 9, 18, dan 30 bulan atau pada
anak-anak yang dicurigai memiliki keterlambatan atau kelainan perkembangan (yang ditemui saat
surveilans perkembangan) (AAP, 2017). Identifikasi awal dari keterlambatan bicara harus mencakup dua
masalah dasar. Masalah pertama yaitu, cara memperoleh informasi yang valid pada anak dengan usia dini
yang kadang tidak mematuhi instruksi saat diperiksa, terutama anak dengan kemampuan komunikasi yang
terbatas sebagai fokus utama. Selanjutnya, alat yang digunakan untuk memeriksa keterlambatan bicara
harus bersifat murah, tidak menghabiskan waktu, dan dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai
tingkatan sosial dan latar belakang bahasa yang berbeda, termasuk pada kelompok bilingual.

Analisis dan sampling bahasa memerlukan waktu yang substansial dan kemampuan ekspertise
profesional (Dale & Patterson, 2017). Capute scales merupakan alat skrining dan diagnosis yang dapat
menilai secara akurat aspek perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-motor yang
digunakan secara universal. Capute scales merupakan salah satu alat skrining dan diagnosis yang dapat
mengukur secara cepat dan mudah dari aspek bahasa dan visualmotor sejak masa bayi dan kanak usia
dini sehingga dapat dilakukan intervensi sehingga memberikan hasil yang terbaik (Accardo & Capute,
2005).

1.2 Capute Scales

Metode Capute Scales (cognitive adaptive test/clinical linguistic auditory milestone scale-
CAT/CLAMS) adalah uji tapis spesifik menilai kemampuan komunikasi dan fungsi kognitif untuk anak usia
0-36 bulan. Metode ini merupakan uji penapisan yang reliabel, valid dan dapat dilakukan secara cepat
sehingga mampu menegakkan diagnosis banding dari sebagian besar kategori utama gangguan
perkembangan pada masa bayi dan kanak-kanak dini. Capute scales terdiri dari dua pemeriksaan, yaitu
CAT dan CLAMS. Uji CLAMS berisi 29 milestones sekuensial sejak lahir hingga usia 36 bulan. Studi
sebelumnya menemukan bahwa CLAMS mempunyai korelasi yang kuat dengan Bayley Scales of Infant
Development. Untuk membedakan gangguan bahasa tersendiri atau gangguan komunikasi sebagai bagian
dari gangguan kognitif, maka ditambahkan set pengujian visualmotor, sehingga disebut sebagai cognitive
adaptive test and clinical linguistic auditory milestone scale (Capute dkk., 2008).

Suatu studi mengenai uji reliabilitas CAT/CLAMS didapatkan sensitivitas dan spesifisitas berdasarkan
usia, dimana dilaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada usia 14 sampai 24 bulan (83%/93%)
dibandingkan 25 sampai 36 bulan (68%/89%) pada penilaian fungsi reseptif, dan sensitivitas/spesifisitas
50%/91%) dibandingkan dengan usia 25 sampai 36 bulan (88%/98%) pada fungsi ekspresif (Clark dkk.,
1995).

Terdapat beberapa definisi dan istilah dalam Capute scales:

1. Usia ekivalen (age equivalent) adalah usia (dalam bulan) seorang anak berfungsi sesuai dengan
perkembangan yang diuji. Usia ekivalen ditentukan dengan menambahkan usia basal dengan total
bobot nilai desimal (point values) yang diperoleh dari tiap uji/gugus tugas di atas usia basal yang
mampu dilakukan oleh anak.

2. Usia basal (basal age) adalah usia tertinggi di antara tingkatan usia seorang anak dapat menyelesaikan
semua gugus tugas dengan benar.

3. Usia ceiling (ceiling age) adalah usia termuda di antara tingkatan usia anak tidak mampu melakukan
semua gugus tugas, dengan kata lain gugus tugas tertinggi apabila seorang anak dapat
menyelesaikannya dengan benar.

4. Usia kronologis (chronological age) adalah usia anak sebenarnya (dalam bulan) pada saat dilakukan uji.

5. Developmental quotient (DQ) adalah skor yang menggambarkan proporsi perkembangan normal anak
pada usia tersebut. Secara aritmetika DQ dihitung dengan membagi usia ekivalen anak dengan usia
kronologis anak dan dinyatakan dalam persentase perkembangan yang diharapkan untuk usia
kronologis.

6. Expressive language quotient (ELQ) adalah usia ekivalen pada expressive language milestone dibagi
dengan usia kronologis dikalikan 100.

7. Receptive language quotient (RLQ) adalah usia ekivalen pada receptive language milestone dibagi
dengan usia kronologis dikalikan 100.
8. Language quotient (LQ) adalah total atau gabungan usia ekivalen bahasa dibagi dengan usia kronologis
dikalikan 100. LQ merupakan sinonim dari CLAMS DQ.

9. Problem solving (cognitive/adaptive) quotient merupakan total usia ekivalen visual-motor dibagi
dengan usia kronologis dikaliakan 100, yang merupakan sinonim dari CAT DQ.

10. Full-scale (composite) developmental quotient (FSDQ) merupakan nilai rerata CAT DQ dan CLAMS DQ
yang menunjukkan kemampuan keseluruhan anak.
TUGAS BACA

PENGARUH SCREEN TIME TERHADAP KEJADIAN KETERLAMBATAN


BICARA DAN BAHASA PADA ANAK USIA 18 BULAN

PAULUS ARIEF BUDIMAN

Anda mungkin juga menyukai