Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada


kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Kejang demam merupakan kejang yang paling sering terjadi pada
anak.

Sebanyak 2% sampai 5% anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah


mengalami kejang disertai demam dan kejadian terbanyak adalah pada usia 17-23
bulan. Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar
30 sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang
demam berulang.

Meskipun memiliki prognosis yang baik, namun kejang demam tetap


menjadi hal yang menakutkan bagi orang tua. Untuk itu diperlukan pengetahuan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berulangnya kejang demam yang bisa
diberikan kepada orangtua untuk meredakan ketakutan yang berlebihan dan
kepentingan tatalaksana.

Adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam


berulang adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, temperatur yang rendah
saat kejang, dan cepatnya kejang setelah demam. Selain empat faktor di atas,
adanya faktor jenis kelamin, riwayat epilepsi dalam keluarga, dan kejang demam
kompleks pada kejang demam pertama juga ditambahkan sebagai faktor prediktif
kejang demam berulang.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : N.Y.S
Umur : 1tahun 11bulan
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Kemayoran, Jakarta Pusat
Berat badan : 11 kg
No.RM : 089102
Tanggal Mrs : 08 September 2019

2.2 Anamnesa
Keluhan utama
Kejang

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien datang di antar oleh ibunya dengan keluhan kejang sejak
lebih kurang 10 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang di rumah,
terjadi sebanyak 1 kali, lama kejang kurang lebih 2 menit. Kejang seluruh
tubuh, mata mendelik ke atas, tidak keluar busa dari mulut pasien dan
lidah tidak tergigit. Setelah kejang pasien langsung tertidur.
Ibu pasien mengaku sebelum kejang pasien mengalami demam.
Demam terjadi sejak lebih kurang 1 hari sebelum timbulnya kejang. Pasien
di katakan belum sempat meminum obata penurun panas saat sebelum
kejang terjadi. Buang air besar dan buang air kecil di katakan normal.
Riwayat penyakit dahulu
 Pasien tidak pernah mengalami kejang seperti ini sebelumnya
 Pasien tidak memiliki riwayat penyakit epilepsy sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga


 Keluraga pasien baik saudara maupun kedua orang tua pasien tidak
ada yang memeiliki riwayat kejang demam sebelumnya.
 Keluraga pasien baik saudara maupun kedua orang tua pasien tidak
ada yang memiliki riwayat epilepsy sebelumnya.

Riwayat sosial
Seorang anak yang aktif, mampu bejalan dan mengucapakan
kalimat dengan baik. Tidak ada riwayat alergi.

Riwayat operasi
 Tidak ada

Riwayat tranfusi
 Tidak ada

Riwayat kehamilan
 Ibu pasien memriksakan kehamilannya ke bidan dan dokter
spesialis kandungan, sakit selama hamil (-), demam (-), kuning (-).
Keputihan (-), kencing manis (-), dan darah tinggi (-)

Riwayat kelahiran
 Cara lahir : Spontan
 Tempat lahir : Rumah sakit umum Bangli
 Di tolong oleh : Bidan
 Masa gestasi : Cukup bulan
 Berat lahir : 3300 gram
 Panjang lahir : 49 cm
 Lahir normal, langsung menangis, sianosis (-), kejang (-)

Riwayat imunisasi
 BCG : 1 Kali
 DPT : 4 Kali
 Polio : 4 Kali
 Campak : 2 Kali
 Hepatitis B : 5 Kali

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


 Motorik kasar
Mengangkat kepala : 3 Bulan
Tengkuran kepala tegak : 4 Bulan
Duduk sendkri : 6 Bulan
Berdiri sendiri : 11 Bulan
Berjalan : 13 Bulan
 Bahasa
Bersuara “ooh/ooh” : 2,5 Bulan
Berkata tidak spesifik : 8,5 Bulan
 Motorik halus
Memegang benda : 4 Bulan
 Personal sosial
Tersenyum : 2 Bulan
Mulai makan : 6 Bulan
Tepuk tangan : 9 Bulan
Riwayat nutrisi
 Usia 0-6 Bulan : ASI esklusif
 Usia 6-9 Bulan : susu bubur 2-3 kali sehari di selingi
ASI
 Usia 9- 23 bulan : nasi bubur + sayur hijau atau
daging

2.3 Pemeriksaan fisik


a. Tanda vital
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Nadi : 120x/menit
 Respirasi : 22x/menit
 Suhu : 40,2 C
 Berat badan : 11 kg
 Tinggi badan : 90 cm
 Status gizi : Gizi baik
b. Status general
 Kepala : Normocephali, ubun-ubun cekung (-)
 Rambut : Hitam, distribusi merata
 Mata : Konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),,
pupil isokor, simetris, reflek cahaya +/+
 Telinga : Normal, sekret -/-
 Hidung : Lapang, sekret -/-, nafas cuping hidung (-)
 Tenggorakan : uvula di tengah, tonsil hiperemis (-), T1-
T1, faring hiperemis (+)
 Thorak :
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung tidak membesar
Auskultasi : S1 S2 normal regular
pulmo : Inspeksi : simetris
Palpasi : fremitus teraba sama kiri dan
kanan
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
whezing (-/-)
 Abdomen : Inspeksi : dinding dada setinggi dinsing
perut
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri tekan (-)
 Ekstremitas : akral hangat (+), edema (+)

2.4 Pemeriksaan neurologis


 Motorik :
Tenaga : 555 555
555 555
Tonus :
+ +
+ +
Trofik :
Normal Normal
Normal Normal

 Sensorik : belum dapat di nilai


 Reflek ++ ++ fisiologis :

++ ++
 Reflek - - patologis :
- -

 Meningeal sign :
kaku kuduk : (-)
brudzinsky I : (-)
brudzinsky II : (-)
kernig sign : (-)

2.5 Pemeriksaan penunjang


Laboratorium darah rutin :
 WBC : 24.000/ul
 HGB : 9,1 g/dl
 MCH : 16 pg
 MCHC : 29 g/dl
 MCV : 53 fl
 RBC : 5,8 x10^6/ul
 HCT : 31 %
 PLT : 641 x10^3/ul

Pemeriksaan Elektrolit :
 Natrium : 135 mmol/l
 Kalium : 4,5 mmol/l
 Klorida : 104 mmol/l

Pemeriksaan Gula Darah :


 Gula Darah Sewaktu : 138 mg/dl
2.6 Diagnosis
 Kejang Demam Sederhana
 Bacterial Infeksi

2.7 Penatalaksanaan
 IVFD KAEN 1 B 1100cc/24jam
 Inj. Paracetamol 4x120 mg (iv)
 Cefixime sirup 2x55mg (po)
 Pantau demam setiap 4 jam
 Cek UL lengkap

2.8 Catatan perkembangan


Wa Subjektif Objektif Assesment Rencana
ktu
9-09- Kejang (-) KU/Kes : TSR/CM KDS +  IVFD KAEN 1 B
2019
Demam (-) N: 113 x/menit, RR : Bacterial 1100cc/24jam
BAB cair 2 kali, 24 x/menit, S: 36,9oC Infection +  Inj. Paracetamol
ampas (+), darah BB : 11 kg GEA tanpa 4x120 mg (iv)
(-), lendir (-) - Mata: anemia (+), dehidrasi +  Cefixime sirup
mata cowong (-), Anemia 2x55mg (po)
- Thorak: vesikuler mikrositer  Zink sirup
(+/+),rhonki (-/-), hipokromik 1x20mg (po)
whezing (-/-)  L bio 2x1sach
- Abdomen: bising (po)
usus (+) normal  Hasil FL dan UL
- Extremitas: dalam batas
hangat (+) normal.
10-9- Keluhan (-) KU/Kes : TSR/CM KDS +  IVFD KAEN 1 B
2019
N: 110 x/menit, RR : Bacterial 1100cc/24jam
20 x/menit, S: 36,4oC Infection +  Inj. Paracetamol
BB : 11 kg GEA tanpa 4x120 mg (iv)
- Mata: anemia (+), dehidrasi +  Cefixime sirup
mata cowong (-), Anemia 2x55mg (po)
- Thorak: vesikuler mikrositer  Zink sirup
(+/+),rhonki (-/-), hipokromik 1x20mg (po)
whezing (-/-)  L bio 2x1sach
- Abdomen: bising (po)
usus (+) normal  BPL
- Extremitas: Obat pulang :
hangat (+)  Paracetamol sirup
3x120mg (kp
demam )
 Cefixime sirup
2x55mg
 Zink sirup
1x20mg (po)
 L bio 2x1sach
(po)
 Diazepam 10 mg
supp (k/p kejang)
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Faktor Demam


Sebagian besar anak pada kelompok kasus yang mengalami
demam adalah dengan suhu lebih dari 39oC. Penyakit tersering yang
menyebabkan demam pada anak adalah chickenpox, influenza, infeksi
telinga tengah, tonsilitis, pneumonia, bronkitis, sinusitis, sakit gigi,
gastroenteritis, dan setelah anak mendapatkan vaksin.
Faktor tinggi demam dan usia kurang dari dua tahun merupakan
faktor risiko terjadinya bangkitan kejang demam pada anak. Anak dengan
demam lebih besar dari 39oC memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk
menderita bangkitan kejang demam dibanding dengan anak yang demam
kurang 39oC. Anak usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko 8,9 kali
lebih besar dibanding anak yang lebih dari dua tahun.
Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam.
Pada beberapa penelitian batas tinggi demam 39oC sebagai rata-rata,
dengan rentang suhu (38,9°C-39,9°C). Ketentuan tersebut berdasarkan
pada penelitian sebelumnya bahwa bangkitan kejang demam terbanyak
terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C yaitu 40%-56%,
20% suhu di atas 40oC dan 11% 37°C-38,9°C.
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP.
Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan
suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.
Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak.
Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu molekul
glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksi
jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan
menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan
energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam
glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+
ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan
asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+
masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan
demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion
terhadap membran sel.
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga
membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat
merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat
mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+
influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam
tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron
GABA-nergik.
Pada penelitian diketahui sebagian besar anak dengan bangkitan
kejang demam didahului lama demam kurang dua jam. Setiap kenaikan
suhu 0,3°C secara cepat akan menimbulkan discharge di daerah oksipital,
discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan hasil rekaman EEG.
Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu
tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat.
Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikan
suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator, sedangkan GABA
sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.
Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian
besar adalah kurang dari dua tahun. Pada keadaan otak belum matang
reseptor untuk asam glutamat baik ionotropik maupun metabotropik
sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih
dominan dibanding inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH)
merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada
otak yang belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi
untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.
Mekanisme homeostasis pada otak yang belum matang masih
lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan
umur. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+, K+, dan Ca++
belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca
depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh karena itu, pada
masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai
developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator
lebih dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan
antara eksitator dan inhibitor.
Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal
masa developmental window mempunyai waktu lebih lama fase
eksitabilitas neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang
demam pada umur akhir masa developmental window. Apabila anak
mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas akan
mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang
dari dua tahun, sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam
pada umur di bawah dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang
demam berulang.
Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor
risiko yang dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga
dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor risiko
untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun
saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara
pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal
resesif atau autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan
diperkirakan sekitar 60%-80%.
Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah
satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%.
Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang
demam meningkat menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan lebih
banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.
Penelitian Hauser dkk,31 di Amerika menunjukkan bahwa kasus
kejang dernam mempunyai saudara pernah menderita kejang demam
mempunyai risiko 2,7%, sedangkan apabila pasien tersebut mempunyai
salah satu orang tua dengan riwayat pernah menderita kejang demam maka
risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 10% dan
apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam risiko tersebut meningkat menjadi 20%. Peneliti
mendapatkan bahwa kasus kejang demam pertama dengan keluarga
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, masing- masing ibu
7,3%, ayah 1,2%, saudara kandung 6,1% dan first degree relative sebanyak
14,6%. Riwayat keluarga (first degree relative) pernah menderita kejang
demam bermakna sebagai faktor risiko untuk timbul bangkitan kejang
demam.
3.2 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh
(suhu di atas 38 dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak
disebabkan oleh proses intrakranial.

3.3 Penjelasan
Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena
gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak
berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun
jarang sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan batasan
lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE
(1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan
saraf pusat. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.

3.4 Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) : Kejang demam
yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24
jam.
Keterangan:
 Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.
 Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung
kurang dari 5menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Penjelasan
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan
kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang
demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang
umum yang didahului kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1
hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.
Setelah kejang, anak akan menjadi bingung, mengantuk
tetapi akan pulih setelah 30 menit.

3.5 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin
pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan labora-
torium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan
gula darah.
2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik. Indikasi pungsi lumbal :
 Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
 Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan
anamnesis danpemeriksaan klinis
 Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam
yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian
antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala
meningitis.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam,
kecuali apabila bangkitan bersifat fokal.Keterangan: EEG hanya
dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokuskejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed
tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging
(MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti:
 Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
 Paresis nervus VI
 Papiledema
3.6 Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau
kejang berulang baik umum atau fokal. Kematian karena kejang demam
tidak pernah dilaporkan.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor
risiko berulangnya kejang demam adalah :
 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Usia kurang dari 12 bulan
 Temperatur suhu tubuh kurang dari 39 derajat saat kejang
 Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang
 Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

3.7 Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
 Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama.
 Kejang demam kompleks.
 Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
 Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih
dalam satu tahun.
Masing- masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49% Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.
Anak-anak dengan kejang sederhana memiliki risiko lebih rendah
untuk menjadi epilepsi yaitu sekitar 1%, dibandingkan dengan kejang
demam kompleks yaitu sekitar 4-6%.

3.8 Penatalaksanaan saat kejang


Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan
kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena
adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg
dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu
5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberi-kan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intra-
vena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.
Rawat inap di rumah sakit tidak perlu dilakukan, namun perlu di
pertimbangkan jika anak memiliki infeksi yang serius, kejang lama, kejang
fokal, terutama jika ditemukan kelainan neurologis.

3.9 Pemberian obat pada saat demam


1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4
kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/
kg/kali ,3-4 kali sehari.
2. Antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis
intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satufaktor
risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat
Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu
tubuh meningkat dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali
per oralatau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg
dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.

Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis


tersebutcukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas,
serta sedasi. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
3. Pemberian obat rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan,maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
 Kejang lama > 15 menit
 Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd,
cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
 Kejang fokal

Penjelasan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan
perkembangan, BUKAN merupakan indikasi pengobatan
rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan
edukasi untuk pemberian terapi profilaksis intermiten
terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat
diberikan terapi antikonvulsan rumat.
4. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian
kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off, namun dilakukanpada saat anak tidak sedang demam.

3.10 Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua berang-gapan
bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi
dengan cara yang diantaranya:
 Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
 Memberitahukan cara penanganan kejang
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
 Pemberian obat profilaksis untuk mencegah rekurensi memang
efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
 Tetap tenang dan tidak panik
 Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
 Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala
miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
 Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatu kedalam mulut.
 Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
 Tetap bersama pasien selama kejang
 Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih
dari 5menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti.
Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
 Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5
menit atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius,
kejang tidak berhentidengan diazepam rektal, kejang fokal,
setelah kejang anak tidak sadar,atau terdapat kelumpuhan.

Anda mungkin juga menyukai