Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 TUJUAN..................................................................................................................2
1.3 MANFAAT...............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3
2.1. Definisi....................................................................................................................3
2.2 Syarat-syarat Injeksi...............................................................................................3
2.3 Kelebihan dan Kekurangan injeksi...........................................................................4
2.3.1 Kelebihan Sediaan Injeksi.................................................................................4
2.3.2 Kekurangan sediaan injeksi...............................................................................4
2.5 Komposisi Injeksi.....................................................................................................6
2.6 Pengatur Tonisitas...................................................................................................9
2. 6 Cara Perhitungan Tonisitas....................................................................................10
2.7 Cara Sterilisasi.......................................................................................................10
3. MONOGRAFI.........................................................................................................13
3.1 Bahan Berkhasiat................................................................................................13
3.2 Bahan Tambahan................................................................................................14
BAB III............................................................................................................................16
METODE KERJA............................................................................................................16
3.1 ALAT DAN BAHAN.............................................................................................16
3.2 STERILISASI ALAT.............................................................................................17
3.3 PENGABSAHAN PRODUK.................................................................................17
3.4 FORMULASI.........................................................................................................17
3.5 FORMULASI LENGKAP.....................................................................................18
3. 6 PERHITUNGAN TONISITAS.............................................................................18
3.6 PROSEDUR PEMBUATAN..................................................................................19
BAB IV............................................................................................................................20

1
HASIL EVALUASI..........................................................................................................20
BAB V.............................................................................................................................21
PEMBAHASAN..............................................................................................................21
BAB VI............................................................................................................................27
KESIMPULAN................................................................................................................27
BAB VII...........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................28

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan dalam dunia farmasi kini sangat pesat. Hal ini terlihat dengan
makin banyaknya bentuk sediaan farmasi yang beredar dimasyarakat, yang tidak
lepas dari semakin meningkatnya permintaan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan. Banyak sediaan yang kini beredar membuat masyarakat memiliki
banyak pilihan dan tidak lagi terpaku pada satu sediaan.
Sediaan farmasi yang juga banyak digunakan oleh masyarakat adalah
sediaan injeksi, dimana sediaan tersebut termasuk sediaan steril. Injeksi sangat
penting penggunaannya terlebih pada pasien yang tidak bisa minum obat secara
oral. Selain itu, pada kondisi kronis pun pemberian obat lewat injeksi akan lebih
dipilih karena efeknya yang lebih cepat dari pada pemberian per oral, dimana obat
akan langsung masuk ke pembuluh darah dan akan bekerja secara optimal pada
bagian yang sakit.
Dalam pembuatan sediaan injeksi harus sedapat mungkin dibuat isotonis
dan isohidris agar dapat diterima oleh tubuh dengan baik saat diberikan. Sediaan
injeksi diperlukan rancangan formulasi yang tepat dengan memperhatikan sifat
dan bentuk bahan yang akan digunakan sehingga dapat merancangkan cara kerja
yang sesuai dengan karakteristik dari bahan tersebut. Setelah sediaan tersebut
selesai di buat diperlukan evaluasi sediaan untuk mengetahui layak atau tidaknya
sediaan untuk di berikan kepada pasien.
Untuk menguji sediaan Injeksi steril dapat kita lakukan beberapa
pengujian yakni uji pH, uji kejernihan, uji kebocoran, uji keseragaman volume,uji
pirogen, dan uji sterilisasi. Uji pH dilakukan untuk mengetahui berapa pH dari
sediaan tersebut, pH disesuaikan dengan pH zat aktif agar zat aktif tidak rusak dan

1
efek terapinya tepat, uji kejernihan dilakukan secara visual jika sediaan tersebut
berupa larutan maka harus terlihat benar-benar jernih atau bebas dari partikel.
Untuk menghindari kontaminasi dari mikroorganisme dilakukan uji
kebocoran karena jika wadah sediaan tersebut bocor maka sediaan akan mudah
terkontaminasi. Uji keseragaman volume dilakukan untuk mendapatkan efek
terapi yang sama, kemudian Uji pirogen dilakukan untuk mendapakan sediaan
yang aman jika diberikan karena jika sediaan terdapat pirogen maka akan
membahayakan pasien. Uji sterilitas dapat dilakukan dengan inokulasi langsung
dan filtrasi, tujuanya untuk mendapatkan sediaan yang bebas dari bakteri yang
bersifat pathogen atau merugikan.
Vitamin C atau asam askorbik merupakan vitamin yang larut dalam
air.Fungsi dasar vitamin C adalahmeningkatkan daya tahan tubuh
terhadapserangan penyakit dan sebagai antioksidan yang menetralkan racun dan
radikal bebas didalam darah maupun cairan sel tubuh. Selainitu, vitamin C juga
berfungsi menjaga kesehatan paru-paru karena dapat menetralkan radikal bebas
yang masuk melalui saluran pernafasan. Vitamin C juga meningkatkan fungsi sel-
sel darah putih yang dapat melawan infeksi dan dapat meningkatkan penyerapan
zat besi sehinggadapat mencegah anemia. Vitamin ini juga diperlukan untuk
pembentukan kolagen,kartinin, dan neurotransmitter

Struktur vitamin C Pada sedian murni vitamin C,selaindiberikan secara


oral, Vitamin C juga dapat diberikan secara suntikan yaitu
suntikanintravena,intramuscular dan subkutan,dimana keuntungan pemberian
suntikanefeknya lebih cepat dan teratur. Khususnyasuntikan secara
subkutan,dimanaabsorpsinya terjadi lambat dan konstansehingga efeknya dapat
bertahan lama. Kekurangan asam askorbat dapat menyebabkan terhentinya
pertumbuhan tulang.

Pada (defisiensi vitamin C) dapat meyebabkan dinding pembuluh darah


menjadi sangat rapuh karena terjadinya kegagalan sel endotel untuk saling
merekatsatu sama lain dengan baik dan kegagalan untuk terbentuknya fibril
kolagen yang biasanya terdapat di dinding pembuluhdarah Kelebihan vitamin C

2
yang berasal dari makanan tidak menimbulkan gejala. Tetapi konsumsi vitamin C
berupa suplemen secara berlebihan setiap harinya akan menimbulkan
hiperoksaluria dan risiko lebih tinggi untuk menderita batu ginjal.

1.2 TUJUAN

1. Mahasiswa dapat membuat sediaan injeksi pembawa air yang


isotonis dan hipertonis
2. Mahasiswa dapat menentukkan cara sterilisasi sediaan farmasi.
3. Mahasiswa dapat menhitung jumlah zat pengisotonis yang
diperlukan.
4. Mahasiswa dapat menutup ampul dengan cara dialiri gas inert
dengan benar.

1.3 MANFAAT

1. Dapat meracang formula sediaan sendiri.


2. Dapat mengaplikasikan ilmu yang selama ini telah diperoleh
3. Lebih memahami tentang sediaan steril dan cara pembuatannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

 Menurut Farmakope Indonesia Edisi III


Sediaan injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi
atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke
dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
 Menurut Ilmu Meracik Obat
Sediaan injeksi adalah sediaan steril yang disuntikan dengan cara merobek
jaringan kedalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lender.
 Menurut Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi
Sediaan obat suntik atau injeksi adalah sediaan steril bebas pirogen yang
dimaksudkan untuk diberikan secara perenteral.
 Injeksi menurut kelompok:
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi dan serbuk,
yang digunakan secara perenteral, yang disuntikan dengan cara merobek
jaringan dalam kulit.

2.2 Syarat-syarat Injeksi

a. Bebas dari mikroorganisme bersifat patogen


b. Terbuat dari bahan-bahan yang bebas dari bahan asing dari luar
yang tidak larut.
c. Steril
d. Aman
e. Bebas dari bahan partikulat : prtikel halus yg ada pd sediaan
f. Bebas dari Pirogen
g. Kestabilan
h. Injeksi sedapat mungkin isotonis dengan darah
i. Isohidris
j. Tidak boleh berwarna, kecuali zat berkhasiatnya berwarna

4
2.3 Kelebihan dan Kekurangan injeksi

2.3.1 Kelebihan Sediaan Injeksi

1. Respon fisiologis dapat dicapai segera bila diperlukan


2. Dapat diberikan untuk sediaan yang tidak efektif diberikan secara
oral (rusak oleh asam lambung)
3. Baik untuk penderita yang tidak memungkinkan mengonsumsi
obat secara oral
4. dosis obat lebih muda di atur saat digunakan. Krn hanya sekali
pakek spt ampul
5. Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap tidak
aktif ketika diberikan secara oral, dan harus diberikan secara parenteral.

2.3.2 Kekurangan sediaan injeksi

1. Hanya dapat dilakukan oleh personel yang sudah terlatih.


2. Harganya relatif lebih mahal
3. Rasa sakit saat penyuntikan sering terjadi.
4. Jika terjadi overdosis pada pemberian intra vena, efeknya sulit
untuk dikembalikan karena obat telah masuk dalam sistem peredaran
darah.
2.4 Rute penyuntikan injeksi
1. Injeksi intrakutan (i.k/i.c)
Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis.
Volume yang disuntikkan antara 0,1-0,2ml, berupa larutan atau suspensi
dalam air.
2. Injeksi Subkutan (s.c)
Disuntikkan ke dalam jaringan dibawah kulit ke dalam alveolus, volume
yang disuntikkan tidak lebih dari 1ml.
3. Injeksi intramuskular (i.m)
Di suntikkan ke dalam atau di antara lapisan jaringan atau otot. Injeksi
dalam bentuk larutan, suspensi, emulsi dapat diberikan dengan cara ini.
Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi atau
suspensi di serap dengan lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek
yang lama. Volume penyuntikan antara 4-20ml, di suntikkan perlahan-
lahan untuk mencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravena (i.v)

5
Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentunya berupa
larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh diberikan
melalui rute ini, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena yang
bersangkutan. Volume antara 1-10ml. injeksi i.v dengan volume 15ml
atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida. Injeksi i.v dengan
volume 10ml atau lebih harus bebas pirogen.
5. Injeksi intraarterium (i.a)
Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri/perifer/tepi, volume antara
1-10ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6. Injeksi intrakordal/intrakardiak (i.kd)
Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventrikel, tidak boleh
mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
7. Injeksi intratekal (i.t)
Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang di dasar
otak (antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya cairan
cerebrospinal.
8. Intraartikular
Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuknya
suspensi atau larutandalam air.
9. Injeksi subkonjungtiva
Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi atau
larutan, tidak lebih dari 1ml.
10. Injeksi intraperitoneal
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan berlangsung
cepat, namun bahaya infeksi besar.

2.5 Komposisi Injeksi

Secara umum sediaan injeksi terdiri dari :


1. Zat aktif
Data zat aktif yang diperlukan adalah :
 Kelarutan
Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena
bentuk larutan air paling dipilih pada pembuatan sediaan steril. Zat aktif
yang larut dalam air membentuk sediaan larutan dalam air, zat aktif yang
larut minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Sedangkan zat yang
tidak larut dalam kedua pembawa tersebut dibuat sediaan suspensi.
 pH stabilitas

6
pH stabilitas adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal,
sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilitas dicapai
dengan menambahkan asam encer, basa lemah atau pendapar.
 Stabilitas zat aktif
Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa,
metode sterilisasi atau cara pembuatan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi penguraian zat aktif :
1. Oksigen (Oksidasi)
Pada kasus ini setelah air dididihkan maka perlu dialiri gas nitrogen dan
ditambahkan antioksidan
2. Air (Hidrolisis)
Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif :
 Dibuat pH stabilitasnya dengan penambahan asam basa atau buffer
 Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah daripada air,
seperti campuran pelarut air-gliserin-propilenglikol atau pelarut
campur lainnya.
 Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat
disuntikkan

3. Suhu
Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi yang tidak
menggunakan panas, seperti filtrasi
4. Cahaya
 Pengaruh cahaya matahari dihindari dengan penggunaan wadah
berwarna coklat
 Sediaan harus dapat tercampur homogeny dengan bahan sedian
lainnya, ditinjau dari segi kimia, fisika atau farmakologinya
5. Bahan Pembawa
Bahan pembawa injeksi dapat berupa air dan non air :
 Pembawa Air
Sebagian besar produk paranteral menggunakan pembawa air. Hal
tersebut dikarenakan kompatibilitas air dengan jaringan tubuh, dapat

7
digunakan untuk berbagai rute pemberian, air mempunyai konstanta
dielketrik tinggi, sehingga lebih mudah melarutkan elektrolit yang
terionisasi dan ikatan hidrogen yang terjadi akan memfasilitasi
pelarutan dari alkohol, aldehid, keton dan amino. Syarat air untuk
injeksi menurut USP :
 Harus dibuat segar dan bebas pirogen
a) Tidak mengandung lebih dari 10 ppm dari total zat padat
b) pH antara 5-7
c) Tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan
amonium, karbondioksida dan kandungan logam berat serta
material organik (tanin, lignin), partikel berada pada batas yang
diperbolehkan.
 Pembawa non Air
Pembawa non air digunakan jika :
a) Zat aktif tidak larut dalam air
b) Zat aktif terurai dalam air
c) Diinginkan kerja depo dalam sediaan
Syarat umum pembawa non air :
a) Tidak toksik, tidak mengiritasi dan tidak menyebabkan
sensititasi
b) Dapat tersatukan dengan zat aktif
c) Inert secara farmakologi
d) Stabil dalam kondisi dimana sediaan tersebut bisa digunakan
kapan saja
e) Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat
disuntikkan dengan mudah
f) Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
g) Mempunyai titik didih yang tinggi, sehingga dapat
dilakukan sterilisasi dengan panas
h) Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh
6. Zat tambahan
Zat tambahan pada sediaan steril digunakan untuk :
a) Meningkatkan kelarutan zat aktif
b) Menjaga stabilitas zat aktif
c) Menjaga sterilitas untuk sediaan multiple dose
d) Mempermudah dan menjaga keamanan pemberian
Syarat zat tambahan pada sediaan steril :
a) Inert secara farmakologi, fisika maupun kimia
b) Tidak toksik dalm jumlah yang diberikan
c) Tidak mempengaruhi pemeriksaan obat

8
Macam-macam zat tambahan :
 Antioksidan : Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit,
metasulfit dan sulfit adalah yang paling umum digunakan sebagai
antioksidan. Selain itu digunakan :Asam askorbat, Sistein,
Monotiogliseril, Tokoferol.
 Bahan antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil
alcohol, Klorobutanol, Metakreosol, Timerosol, Butil p-
hidroksibenzoat, Metil p-hidroksibenzoat, Propil p-hidroksibenzoat,
Fenol.
 Buffer : Asetat, Sitrat, Fosfat.
 Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA).
 Gas inert : Nitrogen dan Argon.
 Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin,
Polietilen glikol, Propilen glikol, Lecithin
 Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat.
 Bahan penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.
 Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl

2.6 Pengatur Tonisitas

Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel
darah merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan diantara keduanya, maka
larutan tersebut dikatakan isotonis (ekivalen dengan 0,9% NaCl). Selain itu
mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yakni 0,52°C.
Sel darah merah dalam larutan :
a) Hipotonis : mengembang, kemudian pecah, karena air berdifusi ke
dalam sel (hemolisis). Keadaan hipotonis kurang dapat ditoleransi,
karena pecahnya sel bersifat irreversibel.
b) Hipertonis : kehilangan air dan mengkerut (krenasi), keadaan ini
cukup bisa ditoleransi.
Larutan perlu isotonis agar :
a) Mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi
b) Mengurangi hemolisis sel darah
c) Mencegah ketidakseimbangan elektrolit
d) Mengurangi sakit pada daerah injeksi
Larutan isotonis tidak selalu mungkin karena :
a) Konsentrasi obat tinggi, tetapi batas volume injeksi kecil
b) Variasi dosis pemberian
c) Metode pemberian

9
d) Pertimbangan stabilitas produk

2. 6 Cara Perhitungan Tonisitas

1. Metode Penurunan Titik Beku


0,52−b1 C
Dengan menggunakan persamaan : B =
b2
Keterangan
B : adalah bobot zat tambahan (NaCl) dalam satuan gram
untuk tiap 100 ml larutan
0,52 : adalah titik beku cairan tubuh (-0,52°C)
b1 : adalah PTB zat khasiat
C : adalah konsentrasi dalam satuan % b/v zat khasiat
B2 : adalah PTB zat tambahan (NaCl)
Tiga jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat
1. Keadaan isotonis adalah jika nilai B = 0, maka b1C = 0,52
2. Keadaan hipotonis adalah jika B positif, maka b1C < 0,52
3. Keadaan hipertonis adalah jika B negatif, maka b1C > 0,52
2. Ekivalensi NaCl
B = 0,9/100 x V – ( W x E )
Keterangan
V : volume larutan bahan obat isotonik yang dicari (ml)
W : massa bahan obat (g) dan larutan yang dibuat
E : ekuivalensi natrium klorida
B : bobot zat tambahan dalam satuan gram
Tiga jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat
1. Keadaan isotonis jika nilai B = 0, maka 0,9/100 x V = (W x E)
2. Keadaan hipotonis jika nilai B positif, maka 0,9/100 x V > (W x E)
3. Keadaan hipertonis jika nilai B negatif, maka 0,9/100 x V < (W x E)

2.7 Cara Sterilisasi

Sterilisasi adalah suatu proses mematikan mikroorganisme yang mungkin


ada pada suatu benda. Secara umum terdapat tiga teknik yang biasa digunakan
untuk sterilisasi. Pemilihan teknik sterilisasi didasarkan pada sifat alat dan bahan
yang akan disterilisasi. ketiga teknik tersebut adalah :
1. Sterilisasi Mekanik/Filtrasi
Sterilisai secara mekanik (filtrasi) dikerjakan dalam suhu ruang
menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil (0.22 mikron atau

10
0.45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut. Sterilisasi
ini ditujukan untuk bahan yang peka panas, misalnya larutan enzim dan
antibiotik.
2. Sterilisasi Fisik
Sterilsasi fisik dapat digunakan dengan cara pemanasan atau penyinaran.
Terdapat empat macam sterilisasi dengan pemanasan :
 Pemijaran Api
Membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum
inokulum, pinset, batang L, dll.
 Panas Kering (Oven)
Sterilisasi kering yaitu sterilisasi dengan menggunakan udara
panas. Karakteristik sterilisasi kering adalah menggunakan oven
suhu tinggi (170-180’C) dengan waktu yang lama (1-3 jam).
Sterilisasi panas kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca
misalnya erlenmeyer, tabung reaksi dll. Sebelum dimasukkan ke
dalam oven alat/bahan teresbut dibungkus, disumbat atau
dimasukkan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi
ketika dikeluarkan dari oven. Hubungan suhu dengan waktu
tunggu pada sterilisasi panas kering :

Suhu °C Waktu tunggu minimum (menit)

160 120
170 60
180 30

 Uap Panas
Konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung air
lebih tepat menggunakan metode ini supaya tidak terjadi dehidrasi.
 Uap Panas Bertekanan (Autoclaving)
Alat yang digunakan adalah autoclave. Cara kerja alat ini adalah
menggunakan uap panas dengan suhu 121°C selama 15 menit pada

11
tekanan 1 atm. Sterilisasi uap tergantung pada : (1) alat/bahan harus
dapat ditembus uap panas secara merata tanpa mengalami
kerusakan (2) Kondisi steril harus bebas udara (vacum) (3) Suhu
yang terukur harus mencapai 121°C dan dipertahankan selama 15
menit.
Bahan/alat yang tidak dapat disterilisasi dengan uap panas adalah
serum, vitamin, antibiotik, dan enzim, pelarut organik, seperti
fenol, buffer dengan kandungan detergen, seperti SDS. Erlenmeyer
hanya boleh diisi media maksimum ¾ dari total volumenya.
Hubungan suhu dan waktu tunggu untuk sterilisasi panas lembab: (TPC)

Waktu tunggu
Suhu °C Fo (menit)
minimum (menit)

115-118 30 7,5-15
121-124 15 15-30
126-129 10 32-63
134-138 3 60-150

Keuntungan : adanya uap jenuh mempunyai aktivitas pembunuhan yang tinggi


dan dapat membunuh semua jenis mikroorganisme, termasuk spora yang resisten,
dalam waktu 15 menit 121°C, murah, sederhana, hanya membutuhkan
pemantauan waktu, suhu dan tekanan.
Prosedur dalam penggunaan autoclave :
1. Pelajari bagian-bagian autoclave dan fungsinya masing-masing
2. Tuangkan air suling ke dalam autoclave hingga batas yang
dianjurkan
3. Masukkan alat/bahan yang akan diserilkan, ditata sedemikian rupa
sehingga uap air secara merata dapat menembus alat/bahan yang akan
disterilkan tersebut.
4. Tutup autoclave dan hidupkan alat. Perhatikan tahap kenaikan suhu
dan tekanan pada autoclave. Tunggu hingga alat mencapai suhu 121°C

12
selama 15 menit. Autoclave akan otomatis membunyikan alarm, jika
proses sterilisasi sudah selesai.
5. Hindari membuka tutup autoclave begitu proses sterilisasi selesai,
tunggu sampai tekanan dan suhunya turun.
 Sterilisasi kimiawi.
Digunakan pada alat/bahan yang tidak tahan panas atau untuk
kondisi aseptis (Sterilisasi meja kerja dan tangan). Bahan kimia yang
dapat digunakan adalah Alkohol, asam parasetat, formaldehida, dan
lain-lain.

3. MONOGRAFI

3.1 Bahan Berkhasiat

A. Bahan : Asam Askorbat / Vitamin C


berkhasiat
Pemerian : Hablur atau serbuk putih atau agak
kekuningan oleh pengaruh cahaya,
lambat laun warna menjadi gelap.
Dalam keadaam kering stabil di
udara, dalam larutan cepat
teroksidasi
(FI ed. IV hal 39)
Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar
larut dalam etanol, tidak larut dalam
kloroform, eter dan benzena (FI ed.
IV hal 39).
±190 ℃ Titik : (FI ed. IV hal 39)
leleh/lebur
B. Dosis
Dosis lazim : -
Dosis : -
maksimum

Perhitungan : -
dosis

13
C. Daftar obat
Obat keras : Sediaan injeksi (UUF, hal 550)
D. Sediaan obat
Pemerian : Larutan bening
Stabilitas
OTT : Terhadap garam-garam besi, bahan
pengoksidasi, dan garam dari logam
berat terutama tembaga (Reynolds,
hal 1653)
pH : 6
Ditambahkan NaOH/HCl sebagai
penstabil pH
Pengawet : -
Antioksidan : Natrium metabisulfit 0,5%
Stabilisator : NaOH

3.2 Bahan Tambahan

A. Nama Bahan : Aqua Pro Injeksi


Fungsi : Sebagai bahan pembawa sediaan
I.V

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna,tidak


berbau, tidak berasa

Kelarutan : Dapat bercampur dengan pelarut


polar dan Elektrolit

OTT : Dalam sediaan farmasi , air dapat


bereaksi dengan obat dan zat
tambahan yang lainnya yang mudah
terhidrolisis (mudah terurai dengan
adanya air atau kelembapan)
Stabilitas : Air stabil dalam setiap keadaan
(es, cairan)

14
B.. Nama Bahan : Natrii Chloridum (NaCl)
Pemerian : Hablur heksahendral tidak
berwarna, rasa asin
Kelarutan : Larut dalam 2,8 bagian air, dalam
2,7 bagian air
Titik Leleh : 801ºC (1074 K)
Titik Didih : 1465ºC (1738 K)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Sumber ion Klorida dan ion
Natrium
OTT : Larutan Natrium bersifat korosif
dengan besi.
Membentuk endapan bila bereaksi
dengan perak garam merkuri.
Kelarutan pengawet Nipagin
menurun dalam larutan sodium
klorida.
Stabilitas : Larutan sodium klorida stabil
tetapi dapat menyebabkan
perpecahan partikel kaca dari
wadah kaca. Larutan cair ini dapat
disterilkan dengan car autokaf /
filtrasi

C. Nama Bahan : Asam Klorida (HCl)


Fungsi : Penambah suasana asam
Pemerian : Cairan, tidak berwarna, tidak berbau
OTT : Bereaksi asam kuat terhadap larutan
lakmus
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

15
BAB III

METODE KERJA

3.1 ALAT DAN BAHAN

a. Alat
 Beker gelas
 Erlenmeyer
 Batang pengaduk
 Kertas saring
 Ampul
 Spatel
 Gelas ukur 10 ml dan 20 ml
 Corong
 Kertas pH
 Pipet
 Spuit 3 ml
b. Bahan
 Thiamini Hydrochloridum
 Natrium Klorida (NaCl)
 Aqua Pro Injection
 HCl

3.2 STERILISASI ALAT

Alat Sterilisasi Waktu


Beaker gelas Oven 1700C 30’
Corong dan Kertas saring Autoklaf 1210C 15’
Vial/Ampul Oven 1700C 30’

16
Batang pengaduk Api langsung 20’
Spatel Api langsung 20’
Spuit 3 ml Api langsung 20’

3.3 PENGABSAHAN PRODUK

Nomor Batch : A260919BD Tanggal : 19 SEPTEMBER 2019


DISUSUN OLEH DISETUJUI OLEH
ANNA FITRIYANA
Manager Produksi
Volume Waktu
Nama
Kode Produk Produks Bentuk Kemasan Pengolaha
Produk
i n
DKL Muneurin 10 ml Larutan Ampul 11.20-
15164032 Inj 1 ml 12.20

3.4 FORMULASI

Aneurin Hydrochloridum 25mg/ml


Obat suntik dalam ampul 1 ml No. II

3.5 FORMULASI LENGKAP

Aneurin Hydrochloridum 25 mg
Natrii Chloridum 2,995 mg
Acidum Hydrochloridum 15 tetes
Aqua Pro Injection ad 1 ml

3. 6 PERHITUNGAN TONISITAS

a. Kelengkapan
∆ tb Zat Aktif C

17
Thiamin HCl 0,139 2,5

b. Perhitungan tonisitas
0,52−∆ tb. C
W=
0,576
0,52−0,139 x 2,5
W=
0,576
0,52−0,3475
W=
0,576
0,1725
W= =0,2995
0,576
Karena perhitungan isotonis dibawah 0,9% berarti larutan ini
hipotonis, jadi perlu ditambahkan NaCl sebagai pengisotonis
sebanyak 2,995mg/ml.
c. Perhitungan Bahan
Volume yang dibuat :
( 2+2 ) x 1,1 ml+4 ml=8,4 ml 10 ml
10 ml
1. Thiamin HCl x 25 mg=250 mg
1 ml
10 ml
2. Natrii Chloridum x 2,995 mg=29,95 mg
1 ml

d. Penimbangan Bahan

Volume
Satuan Dasar
Zat Aktif Produksi
1 ml 4 ampul/10 ml
Thiamini HCl 25 mg 250 mg
NaCl 2,995 mg 29,95 mg

3.6 PROSEDUR PEMBUATAN

1. Larutkan Aneurin HCl dalam sebagian aqua pro inj ad larut


2. Larutkan NaCl dalam sebagian aqua pro inj ad larut

18
3. Campurkan kedua bahan tersebut aduk ad homogen
4. Tambahkan aqua pro inj ± 8 ml , kemudian cek pH
dengan kertas pH.
pH awal = 7
5. Tambahkan HCl 0,1 N sebanyak 15 tetes untuk mencapai
pH sesuai rentang dari Thiamini HCl 2,8-3,4.
pH akhir = 3
6. Tambahkan sisa aqua pro inj ad 10 ml
7. Saring larutan tersebut dengan kertas saring, filtrate
pertama di buang.
8. Kemudian filtrate larutan tersebut dibagi menjadi 4 ampul,
masing-masing ampul berisi 1,1 ml.
9. Tutup ampul dengan menggunakan api/dibakar.
10. Disterilkan dengan autoklaf 121 ℃ selama 15 menit.
(14.00-14.15).

BAB IV

HASIL EVALUASI

No. Evaluasi Hasil Keterangan


1. Uji pH 3 Memasuki
range
2. Uji kebocoran Tidak bocor Tidak bocor
3. Uji bebas partikel asing Jernih semua Tidak ada
partikel
melanyang

19
BAB V

PEMBAHASAN

Dalam percobaan ini yakni injeksi Aneurin HCl, dimana yang dimaksud
injeksi adalah suatu sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus disuspensikan atau dilarutkan terlebih dahulu sebelum digunakan yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan kedalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir. Injeksi dilakukan dengan melarutkan, mengemulsikan atau

20
mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam dosis tunggal atau wadah dosis ganda.
Pertama kali yang harus diperhatikan yaitu jumlah sediian formulasi yang
akan dibuat. Rumus Perhitungan jumlah sediaan formulasi yaitu (n+2) dimana n
adalah jumlah sediaan yang dibutuhkan. Rancangan formula yang akan kita buat
yaitu : Aneurin Hydrochloridum 25mg/ml
Obat suntik dalam ampul 1 ml No. II
Dari rancangan formula tersebut jumlah sediaan yang dibutuhkan yaitu 2
dimasukan kedalam rumus (n+2) sehingga hasil yang didapat yaitu 4 ampul.
Rumus ini diperuntukan untuk mencegah adanya ampul yang tidak memenuhi
syarat evalusi yaitu pada saat uji kebocoran dan uji bebas partikel asing.
Sebelum memasuki tahap selanjutnya yaitu penimbangan kita harus menghitung
tonisitas dari aneurin Hcl terlebih dahulu.
Perhitungan tonisitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah larutan
bersifat isotonis, hipertonis atau hipotonis. Isotonis adalah suatu keadaan dimana
tekanan osmose larutan obat yang sama dengan tekanan osmose tubuh kita (darah,
air mata). Sedang hipotonis adalah keadaan dimana tekanan osmostis larutan obat
kurang dari tekanan osmotis cairan tubuh. Hipertonis adalah tekanan osmotis
larutan obat lebih dari tekanan osmotis cairan tubuh. Tekanan osmotik diartikan
sebagai gaya yang dapat menyebabkan air atau bahan pelarut lainnya melintas
masuk melewati membran semipermeable ke dalam larutan pekat. Dari hasil
perhitungan didapatkan tonisitas larutan adalah 0,257 < 0,28, artinya larutan
tersebut hipotonis, yang dapat menyebabkan cairan dari luar sel masuk ke dalam
sel menyebabkan menggelembung dan pecah, dan ini bersifat irreversible dan
berbahaya. Sel yang pecah akan ikut dalam aliran darah dan terjadi penyumbatan
pembuluh darah. Cara mengisotoniskan larutan berdasarkan atas perhitungan
turunnya titik beku dan penyeimbangan tekanan osmotik larutan terhadap cairan
osmotik. Untuk mencapai keadaan isotonis, maka perlu ditambahkan NaCl.
Setelah dihitung jumlah massa yang ditambahkan sebanya k45 g/L untuk
mencapai isotonis. Tonisistas merupakan keadaan cairan yang mempunyai
tekanan osmotik yang sama dengan cairan tubuh.

21
Injeksi aneurin Hcl dikemas dalam wadah ampul. Ampul merupakan
wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang memiliki ujung runcing (leher)
dan bidang dasar datar. Ampul adalah wadah takaran tunggal oleh karena total
jumlah cairannya ditentukan pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Ampul biasa
disebut juga sebagai wadah dosis tunggal. Wadah dosis tunggal harus dibuat
tertutup rapat dengan melebur wadah gelas dalam kondisi aseptis. Wadah gelas ini
dibuat mempunyai leher agar dapat dengan mudah dipisahkan dari bagian badan
wadah tanpa terjadi serpihan – serpihan gelas. Sekali dibuka, ampul tidak dapat
ditutup dan digunakan lagi untuk waktu kemudian, karena sterilitas isinya tidak
dapat dipertanggungjawabkan lagi.
Formula dari praktikum ini adalah Aneurin Hydrochloridum sebanyak 25
mg, Natrii Chloridum sebanyak 3mg, Acidum Hydrochloridum 0,1N ad pH
stabilitas, dan aqua pro injection ad 1 ml. Aneurin HCl (Thiamin HCl) merupakan
zat aktif dalam praktikum ini, dikarenakan Thiamin HCl merupakan vitamin yang
larut dalam air sehingga pembuatannya juga lebih stabil dengan pelarut air, selain
itu, untuk melarutkan Thiamin HCl tidak diperlukan bahan lain kecuali aqua pro
injeksi karena sifat dari Thiamin HCl yang mudah larut dalam air. Khasiat dari
Thiamin HCl yaitu untuk memenuhi kebutuhan vitamin B kompleks.
Bahan tambahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Natrii
Chloridum yang digunakan sebagai pengisotonis supaya sediaan yang kita buat
tepat isotonis dengan cairan tubuh. Selain itu digunakan juga Acidum
Hydrochloridum 0,1N yang digunakan untuk menstabilkan pH sediaan sehingga
mencapai pH yang sesuai untuk sediaan Thiamin HCl. Dan digunakan juga Aqua
Pro Injeksi sebagai pelarut dan pembawa dari sediaan injeksi Thiamin HCl.
Metode sterilisasi yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
sterilisasi A yaitu sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit.
Cara sterilisasi ini lebih efektif dibanding dengan pemanasan basah karena
suhunya yang lebih tinggi. Autoklaf sendiri adalah alat untuk sterilisasi berupa
panci logam yang kuat dengan tutup yang berat, mempunyai lubang tempat
mengeluarkan uap air beserta kran nya, dilengkapi juga dengan thermometer,
pengatur tekanan udara, dan klep pengaman. Alat-alat yang dapat disterilkan

22
dengan autoklaf yaitu alat-alat dari gelas (gelas kimia, gelas ukur, pipet ukur,
erlenmeyer, botol-botol, corong), bahan obat yang tahan pemanasan tinggi
(minyak lemak, vaselin).
Selanjutnya dilakukan penimbangan terhadap NaCl dengan cara
menimbang sebanyak 29,95 mg kedua timbang Thiamini HCl sebanyak 250 mg,
kemudian masing-masing zat dilarutkan dengan a.p.i, setelah itu campurkan kedua
bahan aduk hingga homogen tambahan a.p.i ad ± 8 ml, cek pH dengan rentang
2,8-3,4 yang merupakan rentang pH stabilitas dari Thiamin HCl.
Pemeriksaan pH dengan menggunakan pH stik bertujuan untuk
meningkatkan stabilitas injeksi aneurin HCl supaya tidak terjadi kristalisai,
mengurangi rasa sakit dan iritasi juga mencegah pertumbuhan bakteri, karena jika
pH terlalu asam/basa sangat mudah ditumbuhi bakteri. Untuk hasil percobaan uji
kontrol kualitasnya diketahui bahwa pH awal sebesar 7, ini tidak sesuai dengan
pH yang diinginkan yakni 2,8-3,4 (fornas ed.hal.289) .uji ph awal bersifat basa
hal ini disebabkan penambahan bahan yang bersifat basa lebih banyak dari bahan
lain yang bersifat asam. Untuk mendapatkan pH tersebut perlu ditambahkan HCl
0,1 N sebanyak 15 tetes yang bertujuan untuk mengasamkan. Maka pH yang
didapatkan adalah 3.
pH akhir yang didapatkan sudah sesuai dengan ketentuan di Inj. Drug, p.
1133 yaitu 2,5-4.5 Pengaturan pH ini diperlukan untuk menjamin stabilitas obat
(mecegah perubahan warna, menghindari kemungkinan terjadinya reaksi obat)
dan juga untuk mencegah terjadinya rasa sakit saat sediaan disuntikkan ke dalam
tubuh, karena jika pH terlalu tinggi dapat menyebabkan nekrosis (jaringan mati),
sedangkan jika pH terlalu rendah dapat menyebabkan rasa sakit ketika sediaan
dimasukkan ke dalam tubuh.
Sehingga campuran larutan tersebut termasuk kedalam syarat stabilitas dari
Thiamin HCl.
Setelah dilakukan pengecekkan pH langkah selanjutnya adalah larutan
ditambahkan aqua pro injeksi ad 10 ml. Setelah itu larutan disaring dengan corong
dan kertas saring dan filtrat pertama yang didapat harus dibuang untuk

23
mendapatkan larutan yang jernih sesuai persyaratan pembuatan injeksi. Kemudian
larutan diisikan ke dalam 4 ampul sebanyak @1,1ml.
Pembuatan formulasi aneurin Hcl yang dibutuhkan yaitu Sediaan
formulasi aneurin Hcl obat suntik dalam ampul 1ml No II. Kemudian larutan
diisikan ke dalam 2 ampul sebanyak @1,1ml. sediaan yang dimasukkan kedalam
ampul sebanyak 1,1 ml hasil penambahan 0,1ml ini sudah sesuai dengan di (FI
IV, hal 1044) Volume tambahan yang dianjurkan untuk sediaan parenteral.
Kemudian ampul ditutup dengan cara dialiri gas inert. Kemudian ampul
yang telah disegel dimasukkan ke dalam autoklaf selama 15 menit dari jam 11.20
– 12.20. Tujuan sterilisasi ini adalah untuk uji kebocoran, karena jika ampul yang
didapatkan bocor, maka isinya akan berkurang bahkan kosong setelah proses
sterilisasi.
Larutan tersebut disaring menggunakan kertas saring atau kertas adsorben
yang filtrate pertamanya keluar dibuang. Larutan yang telah disaring kemudian
dimasukkan kedalam ampul. Untuk penggunaan karbon adsorben yang telah
diaktifkan dalam percobaan ini bermaksud untuk mengikat partikel dan pyrogen
dalam larutan sehingga larutan bisa jernih. Pengaktifan karbon adsorben bertujuan
agar penyerapan terhadap partikel benar-benar maksimal.
Dalam memasukkan larutan kedalam ampul menggunakan jarum suntik.
Untuk pengisian ampul, jarum suntik panjang penting karena lubangnya kecil dan
dimasukkan ke dalam ampul sampai bawah sehingga mencegah larutan menempel
pada dinding ampul. Jarum dikeluarkan secara perlahan dan hati-hati. Apabila ada
yang menempel pada dinding ampul, akan menyebabkan noda hitam pada ampul
seperti terbakar dan ledakan pada saat pengelasan.
Setelah sediaan jadi, dilakukan evaluasi kebocoran pada ampul. Evaluasi
yang dilakukan dengan cara membalikan ampul d dalam beker gelas yang di alasi
kertas perkamen, kemudian dimasukan ke dalam autoklaf selama kurang lebih 15
menit pada suhu 1210C.
Prosedur dalam menggunakan autoklaf, pertama autoklaf diisi dengan air
sesuai dengan batas pada alat, kemudian autoklaf dipanaskan, ventilasi dibuka
untuk membiarkan udara keluar. Setelah udara bersih, bahan yang akan disterilkan

24
dimasukkan sebelum air di dalam autoklaf mendidih, autoklaf ditutup dan dikunci
secara bersilangan dan bersama-sama, ventilasi ditutup dan suhu serta tekanan
akan naik sesuai yang dikehendaki. Atur klep pengaman supaya tekanan stabil.
Saat pengatur suhu pada autoklaf menunjukkan suhu 121ºC, saat itulah
perhitungan waktu selama 15 menit dimulai. Setelah 15 menit,sterilisasi selesai,
autoklaf dibiarkan dingin hingga tekanannya sama dengan tekanan atmosfir.
Pada uji kebocoran, diketahui tidak ada ampul yang bocor, kebocoran
ditandai dengan adanya warna biru di dalam ampul. Uji kebocoran ini dilakukan
untuk memastikan bahwa ampul yang digunakan benar-benar baik kondisinya.
Jika terdapat kebocoran akan ada kemungkinan obat untuk keluar, sehingga dosis
yang didapatkan tidak sesuai dengan dosis yang diinginkan. Selain itu adanya
kebocoran dapat menyebabkan partikel asing masuk, partikel ini dapat berupa
mikroorganisme atau pirogen, yang menandakan bahwa larutan tersebut tidak lagi
steril.
Sedangkan untuk uji bebas partikel diketahui hasil yang positif tidak
terdapat partikel asing. Ini berarti larutan tersebut dapat digunakan karena tidak
dikhawatirkan menimbulkan emboli dan menyebabkan rasa nyeri. Partikel ini
biasanya adalah bahan yang tidak larut dan secara tidak langsung terdapat dalam
sediaan. Adanya partikel asing dalam sediaan menandakan bahwa larutan tersebut
tidak jernih, karena adanya kontaminasi partikel asing, sehingga bila diamati lebih
teliti dalam sediaan tersebut keruh dengan partikel asing.

25
BAB VI

KESIMPULAN

1. Dalam pembuatan sediaan injeksi harus sedapat mungkin dibuat isotonis dan
isohidris agar dapat diterima oleh tubuh dengan baik saat diberikan. Sediaan
injeksi diperlukan rancangan formulasi yang tepat dengan memperhatikan sifat
dan bentuk bahan yang akan digunakan sehingga dapat merancangkan cara
kerja yang sesuai dengan karakteristik dari bahan tersebut.

26
BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

 Maryani dan Ezla Gustanti.2013. “ILMU RESEP”. Jakarta:P2B


Comuniti https//: rissaafriani-wordpress-com/2014/03/15 praktikum-
injeksi-aneurin-hcl-amp (diakses, 06 Maret 2014)
 Anonim 1979. Farmakope indonesia edisi III Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.https//scrib.id.com// (diakses, 17 November
2017)

27

Anda mungkin juga menyukai