Anda di halaman 1dari 27

SMF/BAGIAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG JANUARI 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

REAKSI KUSTA DAN CACAT KUSTA

Oleh :

Azarella Ballo, S.Ked (14080100)


Umbu Ananda Eka Putra, S.Ked (1308011009)
Faustina Goantryani, S.Ked (1408010063)

Pembimbing :
dr. Margareth J. Bya, M. Biomed, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

1. Nama : Azarella Ballo, S.Ked

NIM : 1408010037

2. Nama : Umbu Ananda Eka Putra, S.Ked

NIM : 1308011009

3. Nama : Faustina Goantryani, S.Ked

NIM : 1408010063

Telah berhasil dipresentasikan dihadapan pembimbing klinik sebagai persyaratan yang

diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSUD Prof. Dr. W.Z. Johanes Kupang.

Pembimbing Klinik

1. dr. Margareth J. Bya, M. Biomed, Sp.KK………………………………

Ditetapkan di : Kupang

Tanggal : Januari 2020

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
DAFTAR SKEMA .................................................................................................. vi
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1.Latar Belakang .................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1 Reaksi Kusta........................................................................................................ 3
2.1.1 Definisi reaksi kusta....................................................................................... 3
2.1.2 Faktor Risiko reaksi kusta.............................................................................. 3
2.1.3 Patogenesis reaksi kusta................................................................................. 4
2.1.4 Klasifikasi reaksi kusta ................................................................................. 5
2.1.5 Terapi reaksi kusta……………..................................................................... 9
2.1.6 Pencegahan reaksi kusta ……………........................................................... 12
2.2 Cacat Kusta ........................................................................................................... 12
2.2.1 Definisi cacat kusta........................................................................................ 12
2.2.2 Patogenesis cacat kusta.................................................................................. 13
2.2.3 Jenis cacat kusta …………………………………………………………… 14
2.2.4 Tingkat Kecacatan kusta …………………………………………………... 15
2.2.5 Terapi cacat kusta …………………………………………………………. 16
2.2.6 Pencegahan cacat kusta …………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 18

iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi kusta tipe1 ....................... 7
Tabel 2.2 Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi kusta tipe 2 ....................... 8
Tabel 2.3 Regimen standar pemberian oral prednison untuk reaksi tipe 1 WHO ..... 9
Tabel 2.4. Tingkat cacat kusta menurut WHO .......................................................... 16

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Patogenesis Reaksi Kusta....................................................................... 5
Gambar 2.2 Hubungan Tipe Reaksi dan Jenis Imunitas Pasien Kusta ..................... 6
Gambar 2.3 Reaksi tipe 1/ reaksi reversal ................................................................. 7
Gambar 2.4 Reaksi tipe 2/ eritema nodosum leprosum ............................................. 8
Gambar 2.5 Claw Hand, Facies Leonina, dan Ulkus ................................................ 13

v
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 2.1 Patogenesis kecacatan kusta .................................................................... 14

vi
DAFTAR SINGKATAN

BB : Mid borderline

BL : Borderline Lepromatous

CD4 : Cluster Differentiation 4

ENL : eritema nodosum leprosum

IFN-γ : Interferon- γ

IL-10 : Interleukin-10

IL-2 : Interleukin-2

IL-4 : Interleukin-4

IL-5 : Interleukin-5

LL : Lepromatous

MB : Multibasiler

MDT : multi drug treatment

MHC : Major Hystocompatibility Complex

mRNA : messenger ribonucleic acid

OAINS : Obat Anti Inflamasi Non-Steroid

RFT : release from treatment

SIS : Sistem Imunitas Seluler

Th-1 : T-Helper 1

Th-2 : T-Helper 2

TLR2 : Toll Like Receptor-2

TNF : Tumor Necroting Factor

URJ : Unit Rawat Jalan

vii
BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi kusta pada penderita kusta merupakan reaksi imunologi yang dapat

terjadi sebelum, saat dan setelah pengobatan lengkap multi-drug treatment

(MDT).Terdapat 2 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2

atau eritema nodosum leprosum (ENL). Kedua jenis reaksi kusta ini dapat terjadi

terpisah tetapi dapat timbul pada pasien yang sama di saat berbeda. Reaksi kusta

merupakan penyebab terbesar kerusakan saraf dan kematian sebagian besar

penderita kusta1.

Prevalensi reaksi tipe 1 bervariasi antara 8%-33% dari seluruh pasien

kusta, umumnya terjadi pada kusta tipe borderline2. Sebuah penelitian retrospektif

di Divisi Kusta Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.

Soetomo tahun 2010 - 2013 memperoleh data bahwa reaksi tipe 1 sejumlah 19,7%

dari seluruh pasien kusta baru. Distribusi terbesar pada tipe multibasiler (MB)

yaitu 96,5% terutama pada tipe BB sebesar 70,9%3. Terdapat adanya variasi

geografik pada prevalensi eritema nodosum leprosum. Di Brasil 37% kasus baru

kusta tipe BL dan LL mengalami ENL, sedangkan di Asia (India, Nepal,

Thailand) prevalensi bervariasi antara 19-26%4.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dari total 1.972 pasien

yang belum diobati dengan MDT, 13.7% pasien mengalami reaksi kusta tipe 1,

1.4% pasien mengalami reaksi kusta tipe 2 dan 6.9% mengalami neuritis5. Pada

penelitian lain yang dilakukan oleh Aisyah dan Agusni, dari 713 pasien baru kusta

yang tercatat pada periode 2011 – 2015, sebanyak 281 pasien (39,4%) datang

1
dengan reaksi kusta, 15,6% diantaranya mengalami reaksi reversal dan 23,8%

mengalami reaksi ENL5.

Kusta merupakan penyakit kulit menular yang dapat menimbulkan

kecacatan pada penderitanya.kecacatan adalah istilah yang dipakai untuk

mencakup 3 aspek yaitu kerusakan struktur dan fungsi (impairment), keterbatasan

aktifitas (activity limitation) dan masalah partisipasi (participation problem).

Menurut data yang diperoleh dari WHO, pada tahun 2016, terdapat sebanyak

12.819 kasus baru kusta dengan kecacatan tingkat 2 (deformitas yang terlihat),

dimana Asia Tenggara merupakan region yang tercatat memiliki jumlah kasus

baru dengan kecacatan tingkat 2 tertinggi di Dunia. Prevalensi cacat tingkat 2 di

Indonesia sebesar 4,26 dari 1.000.000 penduduk. Kecacatan yang tidak ditangani

secara menyeluruh dapat menimbulkan hambatan fungsi sosial serta kehilangan

status sosial secara signifikan sehingga menyebabkan penderita tidak ingin

melanjutkan pengobatan karena stigma terhadap penyakit kusta7.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reaksi Kusta


2.1.1 Definisi Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi
antigen antibodi (humoral response) yang merugikan terutama jika
mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama selama atau
setelah pengobatan. Meskipun gambaran klinis bakteriologis
histopatologis ataupun faktor pencetus reaksi kusta sudah diketahui jelas,
penyebab pasti belum diketahui. Reaksi ini mungkin menggambarkan
episode hipersensitivitas akut tehadap antigen basil yang mengganggu
keseimbangan imunitas1.

2.1.2 Faktor Risiko Terjadi Reaksi Kusta


a. Umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun
Hal ini karena dalam sistem imun anak,Th2 (T-helper 2) diduga kuat
mampu mengatasi infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih kecil
pada anak. Pada orang dewasa ketersediaan sel T memori lebih banyak
menyebabkan frekuensi reaksi kusta lebih tinggi dan dapat memicu
reaksi silang antara antigen Mycobacterium leprae dan antien non-
Mycobacterium leprae sepeti Mycobacterium Tuberculosis6.
b. Lama sakit lebih dari 1 tahun
Lama pasien menderita kusta mulai dari sebelum diagnosis, sesudah
didiagnosis dan diobati sampai RFT (Release From Treatment) diduga
berhubungan dengan terjadinya reaksi kusta. Makin lama menderita
sakit memungkinkan banyak Mycobacterium leprae yang mati atau
pecah dan menjadi antigen sehingga memicu reaksi kusta. Reaksi tipe
2 juga dapat terjadi pada kusta yang tidak diobati dalam jangka lama6.

3
c. Kelelahan fisik
Kelelahan fisik merupakan bentuk stres fisik yang akan mempengaruhi
respons imun dan dapat berupa respons non-spesiik proliferasi limfosit
atas pengaruh mitogen, timbulnya sel Tc antigen spesifik, aktivasi
makrofag, perubahan keseimbangan Th1 dan Th2 serta sekresi sitokin.
Kelelahan fisik dapat menyebabkan kerentanan tehadap penyakit dan
infeksi, diduga dipengaruhi oleh homon kortisol yang berperan
menekan sistem imun serta dapat menimbulkan depresi limfosit
makrofag, leukosit dan IL-26.
2.1.3 Patogenesis Reaksi Kusta
Respon imun terhadap kuman Mycobacterium leprae terjadi pada
dua kutub, dimana pada satu sisi akan terlihat aktifitas Th-1 yang
menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas Th-2
yang menghasilkan imunitas humoral. Pada kusta tipe tuberkuloid,
ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan tipe respon
imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN-γ,
IL-2, lymphotoxin-α pada lesi dan selanjutnya akan menimbulkan aktivitas
fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama TNF bersama
dengan limfosit akan membentuk granuloma8.
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated
immunity yang rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2.
Kusta tipe lepromatous mempunyai karakteristik pembentukan granuloma
yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10.
IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2 (Toll Like Receptor-2) pada
monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi dari IL-129.
Spektrum imunologi kusta tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap
berada pada kedua kutub masing-masing, namun pada kusta tipe
borderline (BT, BB, BL) spektrum imunologi kusta bersifat dinamik
(unstable) yang bergerak diantara ke dua kutub8,9.

4
Pajanan M.Leprae

Resistensi alami atau Gejala kusta


tanpa gejala

Tipe tuberkuloid Tipe lepromatosa


Respon yang dimediasi sel Respon humoral
Pembentukan granuloma Makrofag berbusa
Beberapa organisme Banyak organisme
IFN ɤ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 IL-4, IL-10

Reaksi Mediator
reversal inflamasi

Mediator inflamasi Infiltrat PMN


Ag/Ab kompleks
Meningkatkan imunitas
Th-1 dan Th-2
yang dimediasi sel
Gambar 2.1 Patogenesis Reaksi Kusta11

2.1.4 Klasifikasi
Reaksi kusta dapat diklasifikasikan menjadi :
 Reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal upgrading)
 Reaksi kusta tipe 2 (ENL/Eritema Nodusum Leprosum)
Terdapat perbedaan prinsip imunologis antara reaksi tipe 1 dan tipe 2.
Pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah sistem imunitas
seluler (SIS). Pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas
humoral1.

5
Imunitas Imunitas
seluler humoral

Gambar 2.2. Hubungan tipe reaksi dan jenis imunitas serta sitokin yang
mempengaruhi pada pasien kusta menurut Ridley- Jopling1

a. Reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal upgrading)


Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas yaitu timbulnya inflamasi akut dari
lesi kulit atau saraf ataupun keduanya. Kusta bentuk borderline
merupakan risiko kuat terjadinya reaksi tipe 1, namun dapat terjadi
pada kusta bentuk polar. Reaksi kusta tipe 1 mempunyai onset cepat,
sering berulang dan dapat merusak saraf1.
1. Gejala Klinis
Gejala berupa perubahan lesi kulit ataupun saraf akibat
peradangan karena antigen Mycobacterium leprae tedapat pada
saraf dan kulit khususnya sel Schwan dan makrofag. Manifestasi
lesi kulit berupa kemerahan bengkak, nyeri dan panas. Pada saraf
dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf. Gejala konstitusi
umumnya lebih ringan dibanding reaksi tipe 27.

6
Gambar 2.3 Reaksi tipe 1/reaksi reversal12
Reaksi tipe 1 dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat
(Tabel 1).

Tabel 2.1. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi kusta tipe17
b. Reaksi kusta tipe 2 (Eritema Nodusum Leprosum)
Eritema Nodusum Leprosum atau reaksi kusta tipe 2 merupakan
komplikasi imunologi BL dan LL yang sulit diatasi. Sebagian besar
pasien dengan reaksi tipe 2 mengalami beberapa episode dalam
beberapa tahun, baik sebagai episode akut yang multipel maupun ENL
kronis1.
1. Gejala Klinis Eritema Nodusum Leprosum
Reaksi tipe 2 sering timbul dengan gejala lesi menjadi lebih
eritema, mengilap, sebagian kecil berupa nodul atau plakat,
dengan ukuran bemacam-macam namun pada umumnya kecil. Lesi
terdistibusi bilateral dan simetris, teutama di daerah tungkai bawah,
wajah, lengan dan paha, dapat muncul di hampir seluruh bagian
tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha

7
dan perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi
disetai gejala sistematik sepeti demam dan malaise. Perlu juga
memperhatikan keterlibatan organ lain sepeti saraf, mata ginjal,
sendi, testis dan kelenjar limfe7.

Gambar 2.4. Reaksi tipe 2/ENL12

Tabel 2.2 Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi kusta tipe 2 9

8
2.1.5 Terapi Reaksi Kusta
a. Reaksi tipe 1
Prinsip tatalaksana reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut13,20:
 MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta)
atau tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta).
 Terapi Spesifik
Terapi spesifik bertujuan untuk menekan respons hipersensitivitas tipe
lambat (delayed type hypersensitivity) terhadap antigen M. leprae dengan
memberikan terapi anti inflamasi.
 Tatalaksana reaksi reversal dengan berbagai tingkat keparahan dan
berbagai pilihan terapi adalah sebagai berikut:
o Terapi reaksi reversal ringan
Reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau
parasetamol. selama beberapa minggu.
o Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut
Kortikosteroid (prednison) masih merupakan terapi utama dan terapi
pilihan pada reaksi reversal

Dosis per-hari Minggu terapi


40 mg/hari (1x8 tab) Minggu 1 dan 2

30 mg/hari (1x6tab) Minggu 3 dan 4

20 mg/hari (1x4 tab) Minggu 5 dan 6

15 mg/hari (1x3 tab) Minggu 7 dan 8

10 mg/hari (1x2 tab) Minggu 9 dan 10

5 mg/hari (1x1 tab) Minggu 11 dan 12

Tabel 2.3. Regimen standar pemberian oral prednison untuk reaksi tipe 1
WHO13,14

9
2. Reaksi tipe 2
Prinsip tatalaksana reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut13,14:
 Identifikasi tingkat keparahan reaksi tipe 2
o Reaksi ringan (hanya ada beberapa lesi ENL, tanpa keterlibatan
organ lain, tetapi pasien merasa tidak nyaman)
o Reaksi sedang (demam ringan <100o F dan lesi ENL dalam jumlah
sedikit-sedang, ditemukan leukositosis dan keterlibatan beberapa
organ lain kecuali saraf, mata dan testis)
o Reaksi berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan atau lesi
pustular/nekrotik, neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis,
orkitis, dan/atau nyeri tulang hebat, dan lain-lain), harus dirawat inap
untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.
 Mencari dan mengatasi faktor presipitasi
 Melanjutkan pemberian MDT. Pemberian MDT bila terjadi reaksi harus
tetap dilanjutkan, dan bila MDT belum diberikan saat terjadi reaksi, harus
segera diberikan bersamaan dengan terapi spesifik ENL, terutama pada
pasien LL/BL.
 Penatalaksanaan manifestasi ENL reaksi tipe 2: neuritis, iridosiklitis
akut, epididimo-orkitis akut.
 Tatalaksana reaksi tipe 2 sesuai dengan berbagai tingkat keparahan
penyakit maka pilihan pengobatan untuk reaksi tipe 2 adalah sebagai
berikut:
o Terapi reaksi tipe 2 ringan
Reaksi tipe 2 ringan dapat diterapi dengan obat analgetik dan obat
antiinflamasi, misalnya aspirin dan OAINS (obat anti inflamasi non-
steroid) lainnya. Aspirin diberikan dengan dosis 600 mg setiap 6 jam
setelah makan.
o Terapi reaksi tipe 2 sedang dengan antimalaria (klorokuin),
antimonial (stibophen) dan kolkisin.
o Terapi reaksi tipe 2 berat

10
Pasien dengan ENL berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan
pustular/nekrotik, neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis,
orkitis, atau nyeri tulang hebat,dan lain-lain) harus dirawat inap
untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.
Reaksi tipe 2 berat terdiri atas reaksi tipe 2 episode pertama ENL
berat dan reaksi tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik.
 Terapi reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat
Pilihan pertama: prednison. Pemberian prednison jangka
pendek, tetapi dengan dosis awal tinggi, 40-60 mg sampai ada
perbaikan klinis kemudian taper 5-10 mg setiap minggu selama
6-8 minggu atau lebih. Dosis rumatan 5-10 mg diperlukan
selama beberapa minggu untuk mencegah rekurensi ENL.
 Terapi reaksi tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik
Kombinasi klofazimin dan prednison lebih dianjurkan. Dosis
klofazimin adalah sebagai berikut:
- 300 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan
- 200 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan
- 100 mg selama gejala dan tanda masih ada. ditambah
Prednison 30 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan:
- 25 mg/hari selama 2 minggu
- 20 mg/hari selama 2 minggu
- 15 mg/hari selama 2 minggu
- 10 mg/hari selama 2 minggu
- 5 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dihentikan.
Thalidomide
Sangat efektif untuk reaksi kusta tipe 2 berat. Thalidomide
mempunyai onset kerja cepat. Thalidomide bekerja melalui
TNF dan juga beberapa mekanisme lain. Penggunaan
thalidomide dapat mengurangi dosis kotikosteoid pada pasien
reaksi kusta tipe 2 yang berat. Dosis awal thalidomide 400 mg
dikurangi menjadi 300 mg secepat mungkin, dosis dapat

11
dikurangi 100 mg perbulan. Pemberian thalidomine pada
wanita hamil haus hati-hati karena mempunyai efek
teratogenik19.
2.1.4 Pencegahan Reaksi Kusta1,8
Rekomendasi upaya pencegahan reaksi kusta berdasarkan analisis
faktor risiko melalui :
a. Pencegahan primer
Dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit
kusta dan memiliki risiko tertular. Berupa heath promotion seperti
penyuluhan tentang reaksi kusta dan pemberian konseling.
b. Pencegahan sekunder
Berupa pengobatan pada penderita reaksi kusta, menyembuhkan
penderita reaksi kusta dan mencegah timbulnya cacat.
c. Upaya pencegahan tersier bisa berupa terapi kelompok dan terapi
kerja.
2.2 Cacat Kusta
2.2.1 Definisi cacat Kusta
Batasan istilah dalam cacat kusta11
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau
fungsi yang bersifat patologik, fisiologik atau anatomi misalnya ulkus,
claw hand.
2. Disability: segala keterbatasan atau kekurang mampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan
yang normal bagi manusia contohnya memakai baju sendiri.
3. Deformity: kelainan struktur anatomis.

12
Gambar 2.5 Claw Hand, Facies Leonina, dan Ulkus

2.2.2 Patogenesis Cacat Kusta


Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau
sel Schwann di jaringan saraf. Kuman masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan
bereaksi mengeluarkan makrofag Mycobacterium leprae dapat mengakibatkan
kerusakan saraf sensori, otonom, dan motorik. Pada saraf sensori akan terjadi
anastesi sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom
akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak
dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada saraf motorik akan terjadi paralisis
sehingga terjadi deformitas sendi6.
Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu7 :
a. Tahap I.
Pada tahap ini terjadi kelainan pada saraf, bentuk penebalan pada saraf,
nyeri tanpa ganguan fungsi gerak, namun telah terjadi ganguan sensorik.

b. Tahap II.
Pada tahap ini terjadi kerusakan syaraf, timbul paralisis tidak lengkap
atau paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan, dan
otot kaki. Pada stadium ini masih dapat terjadi pemulihan kekuatan otot.
Bila berlanjut, dapat terjadi luka di mata, tangan, kaki dan kekakuan sendi.

13
c. Tahap III.
Pada tahap ini terjadi penghancuran saraf kemudian kelumpuhan akan
menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang dapat mengakibatkan
kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.

Cacat primer :
kerusakan pada saraf Sensoris Otonom Motorik
tepi

Anestesi Anhidrosis Paralisis

Cacat sekunder :
akibar lanjut cacat Cedera Fisura Tidak digunakan
primer

Kontraktur

Infeksi sekunder Ulserasi Deformitas sendi

Selulitis Sikatriks
Distorsi

Osteomielitis Deformitas
Tekanan
dan disabilitas
abnormal

Kehilangan Ulserasi
jaringan berulang

Skema 2.1 Patogenesis kecacatan kusta6


2.2.3 Jenis cacat
1. Kelompok cacat primer
Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan
langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons
jaringan terhadap Mycobacterium leprae.
Termasuk cacat primer adalah15:
a. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi
syaraf motorik, misalnya claw hand, drop foot, claw toes,
lagoftalmos dan

14
b. cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi
kering, elastisitas berkurang, serta gangguan refleks
vasodilatasi.
c. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan
kulit berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina,
blefaroptosis, ektropion). Kerusakan folikel rambut
menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula
sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak
elastik.
d. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat
terjadi pada tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang,
dan bola mata.
2. Kelompok cacat sekunder
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacar primer, terutama
akibat adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi
akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis
yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat
menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan juga
memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat
menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis.
Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas
berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi
sekunder6,7.
2.2.4 Tingkat kecacatan
Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup
setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang.Tiap
pasien baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya. Tiap organ
(mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat sendiri.16

15
Tabel 2.4. Tingkat cacat kusta menurut WHO15,16,17,18
2.2.5 Terapi Cacat Kusta7,16
a. Farmakologi
 Mata lagoftalmos jika sangat kering, membutuhkan tetes mata
mengandung saline.
 Untuk kulit kering dapat diberikan emolien untuk menjaga
kelembapan kulit
 Jika terdapat ulkus dengan tanda-tanda infeksi, dapat diberikan
antibiotik sistemik
b. Non Farmakologi
 Jika ada kelemahan jari dianjurkan digerakkan sebanyak mungkin.
Sedangkan kalau lumpuh dapat di pasang bidai pada malam hari,
Bidai dapat dibuat sendiri dari bilah bambu atau selang
 Mengupayakan alas kaki yang sesuai.
 Menghilangkan kallus dan trimming tepi ulkus dengan pisau
skapel.
 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur
 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan

16
 Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada
proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang
 Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau
mengalami kelumpuhan otot7.
2.2.6 Pencegahan cacat7
Pasien harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat
membunuh kuman kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan atau kakinya
yang sudah terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya, sehingga
dia harus bisa melakukan perawatan diri dengan teratur agar cacatnya
tidak bertambah berat.
Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan
cacat kusta adalah:
 Pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan
tempat risiko terjadinya luka
 Pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca
mata, sarung tangan, sepatu, dll)
 Pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda
tajam dan kasar)
 Pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam,
menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku
penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan
membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan
cara istirahat.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kahawita IP,Walker SL. Leprosy type 1 reactions and erythema

nodosum leprosum. An Bras Dematol. 2003:83:75-82

2. Naafs B. Type 1 reaction (formerly reversal reaction). Clin Dermatol

2016; 34(1):37-50.

3. Pratamasari MA, Listiawan MY. Studi retrospektif: reaksi tipe 1.

Dalam: Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 2015; 27(2):137.

4. Renata Prameswari. Peran TNF-α pada Imunopatogenesis ENL dan

Kontribusinya pada Penatalaksanaan ENL. Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga. Vol. 24 No. 1 April 2012. Hal 44.

5. Scollard DM, Martelli CMT. Risk factors for leprosy reactions in three

endemic countries. Am J Trop Med Hyg. 2015;92(1);108-114.

6. White C. Clinical and Social Aspects of Leprosy (Hansen’s Disease)

and Contemporary Challenges to Elimination. J Dermatolog Clin Res.

2017;5(2):2–4.

7. Wisnu IM, Hadilukito G. Pencegahan cacat kusta. Edisi ke-7. Jakarta:

FKUI, 2015:83-92.

8. Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya

reaksi kusta. Semarang: Univesitas Diponegoro; 2008. 1-12

9. Eickelmann M, Steinhoff M. Erythema leprosum-after treatment of

lepromatous leprosy. J Dtsch Dermatol Ges. 2010;8 (6): 450-3.

10. Walker SL. The Role of thalidomide in the management of erythema

nodosum leposum. LeprRev. 2007 78:197-215.

18
11. Misch EA, Berrington WR, Vary JC, Hawn TR. Leprosy and the

human genome. Microbiol.Mol.Biol.Rev 2010; 74 (4): 589-620.

12. Kamath S,Vaccao SA. Recognizing and managing the immunologic

reactions in leprosy. Amer Acad Dermatol. 2014;71 (4): 795-803

13. Kar HK, Sharma P. Management of leprosy reaction. In Kar HK,

Kumar B. IAL. Textbook of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee

Brothers Medical Publishers (PP) Ltd 2010.h.386-99.

14. Sehgal VN, Srivastava G, Singh N, Prasad PVS. Histoid leprosy: the

impact of the entity on the postglobal leprosy elimination era.

International Journal of Dermatology 2009; 48:603-10.

15. Sung MS, Kobayashi TT.Diagnosis and treatment of leprosy type 1

(reversal) reaction. Cutis. 2015; 95(1):222-6.

16. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit

Kusta Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan. Jakarta; 2012. 123-138

17. Delphine JL, Thomas HR, Rea LM. Leprosy, editor. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw

Hill; 2015. hlm. 1962-72.

18. Alberts CJ, Smith WCS. Potential Effect of the World Health

Organization’s 2011–2015 Global Leprosy Strategy On The

Prevalence Of Grade 2 Disability: A Trend Analysis. Bulletin of The

World Health Organization. 2011; 89:487-95

19
19. Van Lockwood,. Inteventions for erythema nodosum. A Cochrane

review. Lep Rev. 2009 : 355-72

20. Shen JP, Liu M. Occurrence and manaement of leprosyreaction in

China in 2005. LeprRev. 2009;80 (02): 164-9

20

Anda mungkin juga menyukai