BAB I
PENDAHULUAN
kemungkinan disertai berkeringat, mual dan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba (Thygesen
et al., 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan membahas laporan akut mengenai
Sindroma Koroner Akut (SKA) berupa STEMI, sehingga pembaca lebih memahami dalam
mendiagnosis, mengenali manifestasi dan manajemen yang tepat.
1.3 Manfaat
Mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan STEMI.
1.4 Tujuan
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosis dan memberi terapi serta
edukasi keluarga.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. AB
TTL : Bangkalan, 05 September 1985
Usia : 34 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa-Probolinggo
Alamat : Dsn. Bagunung Bragang-Klampis
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Menikah
No. RM : 217645
Tanggal Anamnesis : Kamis, 26 Desember 2019
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama : Nyeri dada
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri dada tiba-tiba
sejak tadi pagi jam 08.00 WIB saat di sawah, nyeri dada tidak bisa ditunjuk, terus-
terusan dengan VAS Score 7. Nyeri dada seperti terasa tertusuk-tusuk, tembus ke
belakang dan menjalar ke ulu hati. Nyeri tidak hilang dengan istirahat. Sebelum
dibawa ke PKM, pasien mengkonsumsi air gula tapi juga tidak membaik. Pasien
merasa lemas dan badan terasa dingin. Pasien merupakan rujukan PKM Arosbaya
dengan diagnosa Suspek IMA dan pasien datang ke IRD dengan terpasang Inf Pz 20
tpm, O2 nasal, ISDN 5 mg 1 tablet, norages 1 ampul, dan ranitidin 1 ampul. Dari PKM
dilakukan cek untuk GDA 142 mg/dl dan kolesterol 206 mg/dl.
3. Keluhan penyerta: badan lemas (+), rasa tidak nyaman di dada (+), berdebar-debar
(-), sesak saat beraktivitas (-), sesak karena terbangun saat malam hari (-), bantal yang
digunakan saat tidur 2 bantal, keringat dingin (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut/ulu
hati (-), pusing (-), pingsang (-), edema (-), BAB dan BAK normal
4. Riwayat Penyakit Dahulu: Maag (-), nyeri dada sebelumnya (-), Perdarahan saluran
cerna (-), penyakit perdarahan, Stroke (-), HT (-), DM (-), Operasi (-), masuk rumah
sakit untuk dirawat (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga: -
6. Riwayat Sosial:
4
Konsumsi :
Rokok (+) 1 pack per hari, cenderung menyukai makanan asin (+), kopi (+) 1
gelas setiap hari, alkohol (-), teh (-), jamu (-), makanan 3x sehari.
Aktivitas
Setiap hari pergi ke sawah
7. Riwayat Alergi: alergi makanan (-), suhu (-), obat-obatan (-)
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi :
Ant Post
S S S S
S S S S
S S S S
Auskultasi :
Ant Post
V V V V
V V V V
V V V V
Lain-lain
Troponin I 0,16 ng/mL 0-0,03
EKG
a. EKG (1) di IRD 24/12/2019 Pukul 10.32
Irama : Sinus
frekuensi : 50 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : Kemungkinan LVH (S di V1/V2 + R di V5/V6 ≥ 35 mm (3))
Iskemik/Infark :
ST elevasi spesifik fase hiperakut di lead V1, V2 (Tombstoning sign), V3, V4
ST elevasi tidak spesifik di V5 dan V6
Lain2 : -
Simpulan EKG: Sinus bradikardi dan Hyperacute STEMI Anteroseptal
9
Irama : Sinus
frekuensi : 50 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : Kemungkinan LVH (S dalam di V1/V2 ≥ 22 mm (3))
Iskemik/Infark : ST elevasi di lead V1-V4 fase akut
Lain2 : -
Simpulan EKG: Sinus bradikardi dan Acute STEMI Anteroseptal
c. EKG (3)
Irama : Sinus
frekuensi : 75 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : -
Iskemik/Infark : ST elevasi di V1-V4 fase akut
Lain2 : -
Simpulan EKG: Acute STEMI Anteroseptal
10
d. EKG (4)
11
Irama : Sinus
frekuensi : 100 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : -
Iskemik/Infark : T invers spesifik di V1, V2, V3, V4, V5, V6 dan T invers tidak spesifik
di I dan AVL (Iskemik anterior ekstensif)
Lain2 :
Simpulan EKG: Anterior Ekstensif MI
2.7 Penatalaksanaan
Pentalaksanaan di UGD
Tirah Baring
Oksigen 4 lpm nasal kanul
IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm
Obat-obatan
- Ranitidin 2 ml x 1 ampul (diberikan di PKM)
- Norages 2 ml x 1 ampul (diberikan di PKM)
- ISDN 5 mg (1 tablet) (diberikan di PKM)
- Acetylsalicylic acid (ASA) 300 mg
- Clopidogrel 300 mg
- Fondaparinuks 2,5 mg SC
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Pasang monitoring jantung
Konsul dan Rencana Rujuk Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah pro
Fibronilitik ≤ 30 menit dari kontak medis pertama atau PCI ≤ 30 menit dari kontak
medis pertama
Pilih fibrinolitik spesifik fibrin Alteplase (tPA) bolis 15 mg iv 0,75mg/kgBB
(37,5 mg) selama 30 menit, lalu 0,5 mg/kgBB (25 mg) selama 60 menit, dan dosis
total tidak lebih dari 100 mg.
Jika tidak ada (pilih fibrinolitik tidak spesifik fibrin) Streptokinase 1,5 juta
IU/100 ml D5% dalam waktu 30-60 menit.
12
No. Tanggal S O A P
1. 24-12-2019 Nyeri dada (+) tipikal > TTV -PJK Stemi O2 nasal canul
20 menit - Komposmentis, 456 inferior dan Inf PZ 21 tpm +
Lemas (+) - TD : 104/63 mmHg posterior right minum bebas
Nyeri ulu hati (+) - N : 47 x/mnt ventrikel tercata
Keringat dingin (+) - RR : 26 x/mnt -Dispepsia Streptase 1,5
Mual (-), muntah (-) - Spo2 :99% NC -Leukositosis juta IU
Pingsan (-) Pem Fisik : -Hiperkloremia Inj Pantoprazole
a-/i-/c-/d+ 1 x 40 mg
Thoraks simetris Inj Arixtra 2,5
Paru: dbn mg
Jantung : dbn Inj ODR 3 x 8
Abdomen : supel, bu mg
(+) n, nyeri Cpg 1x 75 mg
epigastrium Atorvastatin 1 x
Ekst : hangat, odem 40 mg
(-) Asa 4 tab 80 mg
Pem: Penunjang
Monitoring :
- EKG : sinus
kardiak, TTV
bradikardi, inferior dan
dan urin output
right posterior MI
- DL : Leu : 17,4
(0,4/83,3/10,8/0,04/5,4)
- SE : Cl : 108
- RFT : BUN/Cr =
14/0,7
- Foto thorax : tak
tampak kelainan
2. 11-11-19 Nyeri dada berkurang TTV PJK STEMI O2 nasal canul
Nyeri ulu hati - Komposmentis, 456 inferior post Inf PZ 21 tpm +
berkurang - TD : 75/53 mmHg trombolitik minum bebas
Sesak (-) - N : 65 x/mnt dd Syok tercata
- RR : 17 x /mnt kardiogenik Inj Pantoprazole
- Suhu : 37 oC 1 x 40 mg
- Spo2 :99% NC Inj Arixtra 2,5
Pem Fisik : mg
a-/i-/c-/d+ Inj ODR 3 x 8
Thoraks simetris mg
Paru: dbn Cpg 1x 75 mg
Jantung : dbn Atorvastatin 1 x
Abdomen : supel, bu 40 mg
(+) n, nyeri Asa 1 x 100 mg
epigastrium Monitoring :
Ekst : hangat, odem
kardiak, TTV
(-)
dan urin output
Pem: Penunjang :
EKG : Inferior MI
15
BAB III
TINJAUN PUSTAKA
disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti
nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi.
Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Guyton, 2007 dan Sudoyo
et al, 2010).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL.Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa
menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke
tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi
arteri.
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian
tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah
koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh
terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu,
obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Sudoyo
et al, 2010 dan Libby et al, 2008).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun
dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard.
Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner
berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. (Sudoyo et al,
2010 dan Fauci et al, 2010).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan
struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon
dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi,
glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
19
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard
(Guyton, 2007 dan Sudoyo et al, 2010).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat cepat (Sudoyo et al, 2010).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan
oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma
menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri coroner (Libby
et al, 2008).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam
beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Sudoyo
et al, 2010).
keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
Anamnesis
o Nyeri dada tipikal :
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium
dapat berlangsung beberapa menit/persisten > 20 menit
disertai dengan diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdomen, sesak napas,
dan sinkop.
o Nyeri dada atipikal
nyeri di daerah penjalaran angina tipikal
rasa gangguan pencernaan (indigestion)
sesak napas yang tidak dapat diterangkan
rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan
banyak pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun)
banyak pada wanita
penderita diabetes
gagal ginjal menahun
demensia
dapat muncul saat istirahat
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
Pria
Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi
atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program)
Pemeriksaan Fisik
21
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari
CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit,
namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam
keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar
yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12
jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).
Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. Pemeriksaan marka
jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau
ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif
atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care
testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of
care testing menunjukkn hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral.
3.1.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun
konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline) (Sudoyo et al, 2010)
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan
nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada. (Sudoyo et al,
2010 dan Fauci et al, 2010)
3.1.5.1. Tatalaksana awal
A. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih
dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain (Sudoyo et al, 2010, Fauci et
al, 2010 dan Antmant et al, 2008)
26
1. Tirah baring
2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
A. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau
B. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan
adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual 0,4 mg bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri
dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
3.1.5.2 Terapi pada pasien STEMI
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan
memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan
STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi
EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan
gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
28
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan
pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha
untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
Untuk fibrinolisis ≤30 menit
Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan
kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu
melakukan IKP)
A. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna (Sudoyo et al, 2010).
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang
menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi
(sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun
EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12
jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan
terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang
memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan
pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
1. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut atau
120 menit dari kontak medis pertama. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat
gagal jantung akut berat, syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
29
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun,
PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan
tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. (Sudoyo et al, 2010 dan Fauci et
al, 2010).
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena
(Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat
reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari) (Kelas I-B).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600
mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan
(Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa
rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau
enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih
dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk
IKP primer (Kelas III-A).
30
2. Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat –
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa kontra indikasi apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama
(Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih
dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin I-B).
Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit
hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi) (Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).
31
b) Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
32
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar
(<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
33
o Kelas Killip ≥ 3
Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
perdarahan dan perdarahan intrakranial
Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
\
35
3. Terapi Antikoagulan
Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama
rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non Unfractionated
Heparin (UFH) bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-
induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)
Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian (Kelas IIa-B)
Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight Heparin
(LMWH) (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen
dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut
ini merupakan rekomendasi dosis:
a. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah
diberikan (Kelas II-C).
b. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam
8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12
jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
c. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa
(Kelas II-C)
Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)
4. Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan
STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel,
thienopyridin), anti-koagulan seperti, nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan
Angiotensin Receptor Blocker (Antmant et al, 2008, Fasmire et al, 2006 dan Welf et
al, 2008)
1) Anti trombotik
36
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki
angka kematian 1 tahun tertinggi (18%) (Zeymer et al, 2006)
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius (Sudoyo et al, 2010)
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma) (Sudoyo
et al, 2010)
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan
penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat
inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun
global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif (Sudoyo et al,
2010)
5. Terapi Jangka Panjang
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien
yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan
prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih
besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di
38
rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien
dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A).
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).
3.1.6 Komplikasi
A. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya (Sudoyo et al, 2010)
- Gagal jantung
- Hipotensi
- Kongesti paru
- Keadaan output rendah
- Syok kardiogenik
39
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel (Sudoyo et al,
2010)
B. Aritmia dan Gangguan Konduksi Fase Akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11±5 hari sejak
infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar
28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10%
(≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak
per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan
sebesar 3% dan VF sebesar 3%. Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang
terjadi awal (<48 jam) atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark
miokard akut masih kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut,
VF/VT yang terjadi awal merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30
hari (22% vs 5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau ARB
mengurangi mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain menyatakan
bahwa pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama setelah infark miokard
akut pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut dikaitkan dengan berkurangnya
mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal jantung.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi
berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan
tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan
gangguan asam-basa. Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan
penanganan segera. Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada
pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% setelah infark miokard.
- Aritmia supraventrikular
- Aritmia ventrikular
- Sinus Bradikardi dan Blok Jantung
C. Komplikasi Kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko
terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara
40
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penegakan Diagnosa
Diagnosa kerja STEMI dapat ditegakkan dengan ditemukannya riwayat nyeri dada
yang bertahan lebih dari 20 menit, penyebaran nyeri ke leher, rahang ataupun lengan kiri,
riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
gejala seperti diaphoresis, mual, muntah, sesak nafas, jantung berdebar bahkan pingsan.
Diperkirakan 30% dari kasus menunjukkan gejala yang atipikal (Steg et al., 2012). Pada
anamnesis pasien ini ditemukan nyeri dada substernal, durasi nyeri >20 menit, sifat nyeri
dada seperti ditimpa beban berat, penjalaran nyeri ke punggung, tengkuk, serta lengan kiri
dan disertai keringat dingin. Tidak ada pemeriksaan fisik yang khas pada STEMI namun
dapat dijumpai cemas, gelisah, pucat, diaphoresis, ektremitas dingin, takikardia,
hipotensi, dan dapat terdengar suara jantung S3 atau S4 (Kumar et al., 2009). Selama fase
awal, oklusi total arteri koroner menunjukkan gambaran EKG elevasi segmen ST. Dalam
beberapa jam kemudian diikuti gelombang T terbalik dan dalam beberapa hari kemudian
muncul gelombang Q patologis (Rhee et al., 2011).
Pada pasien ini ditemukan gelisah, dan keringat dingin pada saat nyeri dada tiba-tiba
sejak tadi siang, di bagian kiri, terus-terusan. Nyeri dada seperti terasa menjalar ke
rahang, tangan dan ulu hati. Nyeri tidak tertindih, tembus ke belakang dan hilang dengan
istirahat. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang
menunjukkan ST elevasi di lead II, II dan aVF. Hal ini menun jukkan adanya AMI di di
bagian inferior jantung. Selain itu, pada pasien ini terdapat indikasi perlu dilakukannya
penilaian EKG lead kanan dan posterior untuk menilai kemungkinan terjadinya infark
ventrikel kanan, yaitu a) ST elevasi di lead II, II dan aVF, b) ST depresi di V1-V3 atau c)
Chest pain tipikal dengan normal EKG.
Hasil pemeriksaan EKG lead kanan dan posterior mendukung adanya infark di
posterior ventrikel kanan. Penurunan tekanan darah, peningkatan JVP dan clear lung
mendukung diagnosis infark di right ventricle. Jadi, pada pasien ini terjadi PJK STEMI
inferior dan posterior right ventricle jantung.
Proses inflamasi yang terjadi pada IMA sering ditandai dengan leukositosis perifer. Tak
lama setelah onset iskemi pada miokardium, sel endotel meningkatkan molekul adhesi dan
pelepasan kemokin. Hal ini akan memicu ekstravasasi dan akumulasi leukosit inflamasi
secara cepat terutama neutrofil. Pada pasien ini terjadi leukositosis dan neutrofilia dengan
nilai leukoisit 17,4 ribu/uL dan neutrofil 83,3 persen.
43
Pada pasien IM inferior juga perlu dievaluasi kemungkinan sinus bradikardi, blok
AV, hipotensi dan hipoperfusi (Jones, 2010). Pada pasien ini juga ditemukan adanya
sinus bradikardi dan tensi yang rendah sehingga perlu penanganan juga.
4.2 Penatalaksanaan
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi
koroner perkutan primer (PERKI, 2018).
Berdasarkan panduan guidline penatalaksanaan Europan Soecity of Cardiology tahun
2017 dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2018 maka
tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yaitu:
a) Tirah baring
b) Oksigen 4 lpm, nasal kanul
Suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen < 90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.
c) IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam/IV
Pemasangan infus bertujuan untuk maintenace cairan pada pasien dan loading
cairan jika dibutuhkan. Serta sebagai jalur pemberian obat-obatan intravena.
d) Aspirin 320 mg
Aspirin memiliki efek anti agregasi trombosit. Aspirin menghambat aktivitas
enzim siklooksigenase I dan II yang selannjutnya menghambat produksi
tromboksan (Tromboksan merupakan zat yang merangsang agregasi trombosit).
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Dosis pemeliharaan 75-100
mg/hari.
e) Clopidogrel 300 mg
Mekanisme kerja Clopidogrel adalah menghambat secara selektif terjadinya ikatan
antara Adenosine Difosfat (ADP) dengan platelet reseptor P2Y12, kemudian
mengaktivasi glikoprotein GPIIb / IIIa kompleks sehingga mengurangi agregasi
trombosit. Dosis pemeliharaan 75 mg/hari.
f) ISDN sublingual 5 mg
44
Efek antiangina dari nitrat disebabkan karena perfusi miokard yang lebih baik
akibat penurunan preload, after-load, dan penurunan tegangan dinding ventrikel.
g) Morfin Sulfat iv 5 mg/ml
Analgesik opiod digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat,
terutama pada bagian visceral. Pemberian morfin sulfat dapat diulang setiap 10-30
menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
h) Atorvastatin 1 x 40 mg
Statin dapat mengurangi serangan penyakit kardiovaskular dan angka kematian
pada orang dewasa, berapapun kadar kolesterol awal. Pemberian Atorvastatin
bertujuan mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan memperlambat progresi
aterosklerosis koroner.
i) Inj Fondaparinux 2,5 mg/0,5 ml sc
Pemberian Fondaparinux seagai antikoagulan merupakan pengobatan tambahan
pada pasien STEMI.
j) Inj Sulfat Atrofin 1 mg (2 ampul)
Pada pasien juga menunjukkan terjadinya bradikardi. Atropin dapat meningkatkan
denyut jantung dan memperbaiki gejala klinis akibat bradikardi. Sulfat atrofin
mampu memperbaiki penurunan denyut jantung yang dimediasi oleh gangguan
sistem kolinergik dan dipertimbankan sebagai terapi lini pertama pada bradikarsi
simptomatik.
k) Inj Pantoprazole 1 x 40 mg
Pemberian pantoprazole bertujuan menurunkan sekresi asam lambung pada pasien
sehingga menyebabkan pengurangan rasa nyeri ulu hati pada pasien.
l) Inj Ondasetron 3 x 8 mg
Ondasetron merupakan antiemetik, pasien mengeluhkan mual jadi diberikan
ondasetron sebagai terapi simptomatis.
m) Konsul dan Rujuk Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah pro Fibronilitik atau PCI
Fibrinolitik yang dapat diberikan pada pasien yaitu Streptokinase 1,5 juta IU
dalam 100 ml D5% atau NS 0,9 % dalam waktu 30-60 menit.
4.3 Prognosis
Prognosis pada pasien miokard infark akut dapat berdasarkan kelas Killip,
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi miokard infark akut dan
ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam jangka 30 hari,
45
yaitu kelas Killip I dengan angka mortalitas 6 %. Berdasakan skor tersebut pasien ini
memiliki prognosis dubia ad bonam.
46
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
STEMI merupakan IMA dengan ST elevasi sebagai akibat adanya oklusi pada arteri
coronoria yang mengakibatkan infark pada miokard. Penegenalan yang cepat tepat sangat
diperlukan terutama tenaga kesehatan yang berada di lini pertama. Manajemen yang cepat
dan tepat dapat mengurangi resiko komplikasi pada pasien.
5,2 Saran
Pengenalan manifestasi klinis pada pasien dengan STEMI secara dan cepat dan tepat
diperlukan oleh tenaga kesehatan sehingga manajemen yang diberikan lebih segera dan
mengurangi komplikasi yang lebih lanjut.
47
Daftar Pustaka
Fauci, Braunwald, dkk. 2010. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
South Wales: McGraw Hill..
Guyton AC. Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Ibanez, B et al. 2018. 2017 ESC Guidelines for of acutemyocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal (2018) 39, 119–177
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Diseases: A Textbook
of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier.
Lilly LS. 2011. Acute Coronary Syndrome. Pathophysilogy of Heart Disease. Edisi ke-5.
Baltimore:Wolters Kluwe:. Pg.161-189
Manning, JE. 2004. "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York.. p.227.
PERKI. 2016. Panduan Praktik Klinis & Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah Ed. 1. Jakarta
PERKI. 2018. Pedoman Tatalaksana Koroner Akut. Jakarta
Rieves D, Wright G, Gupta G. 2000. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT) Evidence of
Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol.;
85 : 147-153
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC. 2007.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing..
Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. 2006. Acute Coronary Syndromes (ACOS) registry
investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital survivors of acute ST-
segment elevation myocardial infarction in clinical practice. Eur Heart J;27:2661–66.