Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Serangan jantung adalah suatu penyakit di mana terjadinya gangguan aliran darah ke
jantung sehingga menyebabkan sel-sel jantung mati akibat kurangnya pasokan darah ke sel-
sel jantung. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab nomor satu kematian pada orang
dewasa di Amerika. Di seluruh dunia jumlah penderita penyakit ini terus bertambah.
Berdasarkan data American Heart Association pada tahun 2010 kasus IMA tercatat terjadi
8.500.000 dan terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di
seluruh dunia (Budiman et al., 2015). Di Indonesia, berdasarkan laporan Direktorat Jendral
Pelayanan Medik (Ditjen Yanmed) tahun 2005, penyakit sistem sirkulasi termasuk
didalamnya penyakit kardiovaskular dan stroke menjadi penyebab kematian utama. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% (Ditjen Yanmed, 2005;
Veronique, 2007; Riskesdas, 2013; Mozaffarian et al., 2015). Faktor yang paling
berhubungan dengan penyakit ini adalah gaya hidup yang kurang sehat, merokok, konsumsi
makanan berkolesterol tinggi, sedentary lifestyle dan kurang istirahat.
Sindrom koroner akut (ACS) merupakan kumpulan gejala yang mengambarkan proses
penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil, infark miokardium tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) dan infark miokardium dengan elevasi segmen ST (STEMI). Ketiganya
mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda derajat keparahannya. Adanya
elevasi segmen ST pada EKG disebut STEMI dan menggambarkan adanya oklusi total arteri
koroner yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh lapisan dinding
jantung. Pada NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil terjadi oklusi parsial arteri koroner.
Keduanya mempunyai gejala klinis dan patofisiologi serupa, tetapi berbeda derajat
keparahannya.
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernal yang terasa
berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,
epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. Selain itu timbul rasa
nyeri ekstremitas atas, mandibular (tulang rahang bawah), rasa tidak nyaman pada
pencernaan (saat beraktivitas atau istirahat), dispnea bahkan kelelahan. Nyeri pada IMA
biasanya berlangsung lebih dari 20 menit dapat intermiten atau persisten. Nyeri sering
menyebar dan tidak tergantung posisi, bahkan beberapa bagian tidak dapat bergerak dan
2

kemungkinan disertai berkeringat, mual dan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba (Thygesen
et al., 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan membahas laporan akut mengenai
Sindroma Koroner Akut (SKA) berupa STEMI, sehingga pembaca lebih memahami dalam
mendiagnosis, mengenali manifestasi dan manajemen yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan STEMI ?

1.3 Manfaat
Mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan STEMI.

1.4 Tujuan
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosis dan memberi terapi serta
edukasi keluarga.
3

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. AB
TTL : Bangkalan, 05 September 1985
Usia : 34 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa-Probolinggo
Alamat : Dsn. Bagunung Bragang-Klampis
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Menikah
No. RM : 217645
Tanggal Anamnesis : Kamis, 26 Desember 2019
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama : Nyeri dada
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri dada tiba-tiba
sejak tadi pagi jam 08.00 WIB saat di sawah, nyeri dada tidak bisa ditunjuk, terus-
terusan dengan VAS Score 7. Nyeri dada seperti terasa tertusuk-tusuk, tembus ke
belakang dan menjalar ke ulu hati. Nyeri tidak hilang dengan istirahat. Sebelum
dibawa ke PKM, pasien mengkonsumsi air gula tapi juga tidak membaik. Pasien
merasa lemas dan badan terasa dingin. Pasien merupakan rujukan PKM Arosbaya
dengan diagnosa Suspek IMA dan pasien datang ke IRD dengan terpasang Inf Pz 20
tpm, O2 nasal, ISDN 5 mg 1 tablet, norages 1 ampul, dan ranitidin 1 ampul. Dari PKM
dilakukan cek untuk GDA 142 mg/dl dan kolesterol 206 mg/dl.
3. Keluhan penyerta: badan lemas (+), rasa tidak nyaman di dada (+), berdebar-debar
(-), sesak saat beraktivitas (-), sesak karena terbangun saat malam hari (-), bantal yang
digunakan saat tidur 2 bantal, keringat dingin (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut/ulu
hati (-), pusing (-), pingsang (-), edema (-), BAB dan BAK normal
4. Riwayat Penyakit Dahulu: Maag (-), nyeri dada sebelumnya (-), Perdarahan saluran
cerna (-), penyakit perdarahan, Stroke (-), HT (-), DM (-), Operasi (-), masuk rumah
sakit untuk dirawat (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga: -
6. Riwayat Sosial:
4

 Konsumsi :
Rokok (+) 1 pack per hari, cenderung menyukai makanan asin (+), kopi (+) 1
gelas setiap hari, alkohol (-), teh (-), jamu (-), makanan 3x sehari.
 Aktivitas
Setiap hari pergi ke sawah
7. Riwayat Alergi: alergi makanan (-), suhu (-), obat-obatan (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Pasien tampak kesakitan
2. GCS : 456
3. Tanda Vital
a) Tensi : 105/65 mmHg
b) Nadi : 57 x/menit
c) RR : 22 x/menit
d) Suhu : 36,2°C
e) Spo2 : 99 %
f) Akral : HKM
4. Kepala : Normal
5. Wajah : Simetris
6. Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut
7. Telinga : Bentuk simetris kanan dan kiri, cairan (-)
8. Mata : Cekung (-), Kering (-), anemis (-), ikterus (-/-) refleks pupil (+/+), isokor
(+), diameter 2 mm dextra sinistra.
9. Hidung : sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)
10. Mulut : trismus (-), bibir kering (-), bibir pucat (-)
11. Leher : JVP normal, Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-), Pembesaran
Kelenjar parotis (-)
12. Tenggorokan : pembesaran tonsil (-), hiperemi (-)
13. Thorax : bentuk simetris, retraksi subkostal (-), gerakan dada simetris (+)
14. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis kuat angkat lemah
5

Perkusi : Batas kanan linea parasternalis dekstra


Batas kiri ICS V MCL sinistra
Auskultasi : S1 S2 single, murmur (-)
Paru
Inspeksi : Pengembangan Dada Simetris (+)
Palpasi :
Ant Post

N N N N

N N N N

N N N N

Perkusi :
Ant Post

S S S S

S S S S

S S S S

Auskultasi :
Ant Post

V V V V

V V V V

V V V V

Rhonchi (-), Whezzing (-)


15. Abdomen
Inspeksi : Cembung (-) Ikut gerak nafas (+)
Palpasi : Soufel (+), Distended (-), nyeri tekan epigastrium (+), Turgor
< 2 detik
Perkusi : Timpani (+), Meteorismus (-)
Auskultasi : Bising Usus Normal
Hepar : Pembesaran (-)
Limpa : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
6

16. Ektremitas : akral hangat, edema (-)


2.4 Diagnosis Banding
 Acute Coronary Syndrom (Infark miokard atau angina)
 Perikarditis
 Endokarditis
 Miokarditis
 Diseksi Aorta
2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (24 Des 2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 9,8 gr/dl 13.2 - 17.3
Eritrosit 5,00 juta/uL 4.4 - 5.9
Leukosit 18,2 ribu/uL 3.8 - 10.6
Trombosit 351 ribu/mm3 150 - 440
MPV 5,56 fL 7,2 – 11,1
Hematokrit 34,3 % 40 – 52
Index Eritrosit pg/ml
MCV 68,7 fL 70 - 96
MCH 19,7 Pg 26 – 34
MCHC 28,6 % 30 – 36
RDW-CV 17,3 % 11,5 – 14,5
Hitung Jenis Leukosit pg/dl
Basofil 0,97 % 0–1
Neutrofil 82,70 % 40 – 70
Limfosit 9,76 % 22 – 40
Eusinofil 0,13 % 2–4
Monosit 6,46 % 4–8
Serum Elektrolit
Na 136 mmol/L 137-150
K 4,46 mmol/L 3,5-5,0
Cl 105 mmol/L 95-105
Glukosa Darah
GDS 117 mg/dl 70 – 125
7

Lain-lain
Troponin I 0,16 ng/mL 0-0,03

2. Foto Thoraks (24 Desember 2019)

 Position : PA, simetris, inspirasi cukup


 Soft tissue : normal
 Bones :
Costae  D: normal S: normal
ICS  D: normal S: ormal
 Trachea : di tengah
 Hillus : D: normal S: normal
 Cor
Site : Normal
Size : CTR < 55 %
Shape : normal
 Hemidiaphragm : D: dome shaped S: dome shaped
 Costophrenicus angle : D: lancip - S: lancip
 Pulmo : tak tampak kelainan
 Simpulan: Foto thorax tak tampak kelainan
8

EKG
a. EKG (1) di IRD 24/12/2019 Pukul 10.32

Irama : Sinus
frekuensi : 50 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : Kemungkinan LVH (S di V1/V2 + R di V5/V6 ≥ 35 mm (3))
Iskemik/Infark :
 ST elevasi spesifik fase hiperakut di lead V1, V2 (Tombstoning sign), V3, V4
 ST elevasi tidak spesifik di V5 dan V6
Lain2 : -
Simpulan EKG: Sinus bradikardi dan Hyperacute STEMI Anteroseptal
9

b. EKG (2) di RS 1 Jam Post Trombolisis

Irama : Sinus
frekuensi : 50 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : Kemungkinan LVH (S dalam di V1/V2 ≥ 22 mm (3))
Iskemik/Infark : ST elevasi di lead V1-V4 fase akut
Lain2 : -
 Simpulan EKG: Sinus bradikardi dan Acute STEMI Anteroseptal
c. EKG (3)
Irama : Sinus
frekuensi : 75 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : -
Iskemik/Infark : ST elevasi di V1-V4 fase akut
Lain2 : -
 Simpulan EKG: Acute STEMI Anteroseptal
10

d. EKG (4)
11

Irama : Sinus
frekuensi : 100 x/mnt
Axis : normal
Tanda Hipertrofi : -
Iskemik/Infark : T invers spesifik di V1, V2, V3, V4, V5, V6 dan T invers tidak spesifik
di I dan AVL (Iskemik anterior ekstensif)
Lain2 :
 Simpulan EKG: Anterior Ekstensif MI

2.6 Diagnosa Kerja


- STEMI Anteroseptal dengan Sinus Bradikardi

2.7 Penatalaksanaan
 Pentalaksanaan di UGD
 Tirah Baring
 Oksigen 4 lpm nasal kanul
 IVFD NaCl 0,9% 500 cc 20 tpm
 Obat-obatan
- Ranitidin 2 ml x 1 ampul (diberikan di PKM)
- Norages 2 ml x 1 ampul (diberikan di PKM)
- ISDN 5 mg (1 tablet) (diberikan di PKM)
- Acetylsalicylic acid (ASA) 300 mg
- Clopidogrel 300 mg
- Fondaparinuks 2,5 mg SC
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Pasang monitoring jantung
 Konsul dan Rencana Rujuk Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah pro
Fibronilitik ≤ 30 menit dari kontak medis pertama atau PCI ≤ 30 menit dari kontak
medis pertama
Pilih fibrinolitik spesifik fibrin  Alteplase (tPA) bolis 15 mg iv 0,75mg/kgBB
(37,5 mg) selama 30 menit, lalu 0,5 mg/kgBB (25 mg) selama 60 menit, dan dosis
total tidak lebih dari 100 mg.
Jika tidak ada (pilih fibrinolitik tidak spesifik fibrin)  Streptokinase 1,5 juta
IU/100 ml D5% dalam waktu 30-60 menit.
12

 Perawatan dan terapi di ruang intensif (2 x 24 jam)


 Farmakoterapi
- IVFD Pz 7 tpm
- Acetylsalicylic acid (ASA) 1 x 100 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- ISDN 2 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 40 mg
- Fondaparinux prefilled syringe 2,5 mg/0,5 ml (stop hari ke 3 ICU)
- Inj. Pantoprazol (stop hari ke 2 ICU)
- Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
 Diet jantung 1800 kkal/hari
 Total cairan sekitar 1800 cc/hari
 Monitoring ECG, lab darah lengkap, profil lipid
 Perawatan biasa (step-down monitoring 24-48 jam)
 Pengobatan dilanjutkan dari terapi intensif
 Stratifikasi risiko untuk prognosis terjadinya reinfark atau kematian
 Dapat direncanakan ekokardiografi untuk penilaian ukuran infark dan fungsi
ventrikel kiri saat istirahat
 Rehabilitasi dan prevensi sekunder
 Rencana terapi rawat jalan
 Obat-obatan
- Aspilet 1 x 80 mg dan Clopidogrel 1 x 75 mg hingga 12 bulan
- Atorvastatin 1 x 40 mg
 Kontrol rutin
 KIE:
a. menjelaskan penyakit pasien
b. menjelaskan kondiri pasien
c. menjelaskan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, terutama merokok
d. edukasi konsumsi obat-obatan dan kontrol
e. edukasi gizi dan pola makan
f. edukasi gaya hidup sehat
2.8 Prognosis
Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam.
13
14

2.9 Lampiran SOAP

No. Tanggal S O A P
1. 24-12-2019 Nyeri dada (+) tipikal >  TTV -PJK Stemi  O2 nasal canul
20 menit - Komposmentis, 456 inferior dan  Inf PZ 21 tpm +
Lemas (+) - TD : 104/63 mmHg posterior right minum bebas
Nyeri ulu hati (+) - N : 47 x/mnt ventrikel tercata
Keringat dingin (+) - RR : 26 x/mnt -Dispepsia  Streptase 1,5
Mual (-), muntah (-) - Spo2 :99% NC -Leukositosis juta IU
Pingsan (-)  Pem Fisik : -Hiperkloremia  Inj Pantoprazole
a-/i-/c-/d+ 1 x 40 mg
Thoraks simetris  Inj Arixtra 2,5
Paru: dbn mg
Jantung : dbn  Inj ODR 3 x 8
Abdomen : supel, bu mg
(+) n, nyeri  Cpg 1x 75 mg
epigastrium  Atorvastatin 1 x
Ekst : hangat, odem 40 mg
(-)  Asa 4 tab 80 mg
 Pem: Penunjang
 Monitoring :
- EKG : sinus
kardiak, TTV
bradikardi, inferior dan
dan urin output
right posterior MI
- DL : Leu : 17,4
(0,4/83,3/10,8/0,04/5,4)
- SE : Cl : 108
- RFT : BUN/Cr =
14/0,7
- Foto thorax : tak
tampak kelainan
2. 11-11-19 Nyeri dada berkurang  TTV PJK STEMI  O2 nasal canul
Nyeri ulu hati - Komposmentis, 456 inferior post  Inf PZ 21 tpm +
berkurang - TD : 75/53 mmHg trombolitik minum bebas
Sesak (-) - N : 65 x/mnt dd Syok tercata
- RR : 17 x /mnt kardiogenik  Inj Pantoprazole
- Suhu : 37 oC 1 x 40 mg
- Spo2 :99% NC  Inj Arixtra 2,5
 Pem Fisik : mg
a-/i-/c-/d+  Inj ODR 3 x 8
Thoraks simetris mg
Paru: dbn  Cpg 1x 75 mg
Jantung : dbn  Atorvastatin 1 x
Abdomen : supel, bu 40 mg
(+) n, nyeri  Asa 1 x 100 mg
epigastrium  Monitoring :
Ekst : hangat, odem
kardiak, TTV
(-)
dan urin output
 Pem: Penunjang :
EKG : Inferior MI
15

3. 12-11-19 Nyeri dada berkurang  TTV PJK STEMI  O2 nasal canul


Nyeri ulu hati - Komposmentis, 456 inferior dan RV  Inf PZ loading
berkurang - TD : 107/50 mmHg posterir post 500 cc + minum
Sesak (-) - N : 62 x/mnt trombolitik bebas tercatat
- RR : 15 x/mnt  Inj Pantoprazole
- Suhu : 37 oC 1 x 40 mg
- Spo2 :99% NC  Inj Arixtra 2,5
 Pem Fisik : mg
a-/i-/c-/d+  Inj ODR 3 x 8
Thoraks simetris mg
Paru: dbn  Cpg 1x 75 mg
Jantung : dbn  Atorvastatin 1 x
Abdomen : supel, bu 40 mg
(+) n, nyeri  Asa 1 x 100 mg
epigastrium
 Monitoring :
Ekst : hangat, odem kardiak, TTV
(-) dan urin output
 Pem: Penunjang :
 Rencana pindah
- EKG : sinus ruang rawat
bradikardi dan infark
biasa
MI
4 13-11-19 Nyeri ulu hati  TTV PJK STEMI  Pro KRS
berkurang - Komposmentis, 456 inferior dan RV  Obat2an untuk
Nyeri dada (-) - TD : 110/70 mmHg posterir post di rumah
Sesak (-) - N : 80 x/mnt trombolitik  Cpg 1x 75 mg
- RR : 15 x/mnt  Atorvastatin 1 x
- Suhu : 36,8 oC 40 mg
- Spo2 :99% NC  Thromboaspilet
 Pem Fisik : 1 x 100 mg
a-/i-/c-/d+  Sucralfat syrup 3
Thoraks simetris x 2 cth
Paru: dbn  Kontrol
Jantung : dbn
Abdomen : supel, bu
(+) n, nyeri
epigastrium
Ekst : hangat, odem
(-)
 Pem: Penunjang :
- EKG : sinus
bradikardi dan infark
MI
16

BAB III
TINJAUN PUSTAKA

3.1 Infark Miokard Akut


3.1.1 Definisi
Adalah kerusakan sel miokard dikarenakan iskemia berat yang terjadi secara tiba-tiba.
Hal ini sangat berkaitan dengan adanya thrombus yang terbentuk oleh rupturnya plak
ateroma. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari spektrum
sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi
ST (NSTEMI) dan IMA dengan elevasi ST (STEMI).
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati.Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark.1
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.2

3.1.2 Faktor Resiko


Faktor risiko yang tidak dapat diubah :
 Usia
 Jenis kelamin
 Ras
 Riwayat keluarga
Faktor risiko yang masih dapat diubah :
 Kadar serum lipid
 Hipertensi
 Merokok
 Gangguan toleransi glukosa
 Diet yang tinggi lemak jenuh
 Diet tinggi kolesterol
17

 Diet tinggi kalori


 Sedentary Life style (Libby et al, 2008).
3.1.3 Patologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard) (PERKI, 2015).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas.
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,
takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis (PERKI, 2015).
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian
ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi
bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah
ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Guyton, 2007 dan Sudoyo et al, 2010).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial.
Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat
18

disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti
nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi.
Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Guyton, 2007 dan Sudoyo
et al, 2010).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL.Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa
menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke
tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi
arteri.
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian
tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah
koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh
terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu,
obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Sudoyo
et al, 2010 dan Libby et al, 2008).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun
dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard.
Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner
berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. (Sudoyo et al,
2010 dan Fauci et al, 2010).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan
struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon
dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi,
glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
19

menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard
(Guyton, 2007 dan Sudoyo et al, 2010).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat cepat (Sudoyo et al, 2010).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan
oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma
menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri coroner (Libby
et al, 2008).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam
beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Sudoyo
et al, 2010).

Gambar 1. Patofisiologi Terjadinya Sindroma Koroner Akut

3.1.4 Diagnosis (PERKI, 2015)


Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan
20

keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
 Anamnesis
o Nyeri dada tipikal :
 rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium
 dapat berlangsung beberapa menit/persisten > 20 menit
 disertai dengan diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdomen, sesak napas,
dan sinkop.
o Nyeri dada atipikal
 nyeri di daerah penjalaran angina tipikal
 rasa gangguan pencernaan (indigestion)
 sesak napas yang tidak dapat diterangkan
 rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan
 banyak pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun)
 banyak pada wanita
 penderita diabetes
 gagal ginjal menahun
 demensia
 dapat muncul saat istirahat
 Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
 Pria
 Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
 Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
 Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi
atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program)
 Pemeriksaan Fisik
21

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,


komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantungtiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.
 Pemeriksaan EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah
kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam
pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat
mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul
kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2
mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV.
Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
22

resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,


dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior
(elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.

Gambar 2. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG


Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan
pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya
adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris
tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah
sebesar ≥0,05mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan
dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang
simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua
perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan
sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik (PERKI, 2015).
 Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
23

sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari
CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit,
namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam
keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar
yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12
jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).
Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. Pemeriksaan marka
jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau
ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif
atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care
testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of
care testing menunjukkn hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral.

Gambar 3. Biomarker Jantung


24

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:


1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat. EKG normal
atau nondiagnostik, dan
2. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST
atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau
LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung
normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina
tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit
dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
 Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA
 Pemeriksaan Foto Polos Dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat
darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
25

Gambar 4. Algoritme Evaluasi dan Tatalaksana SKA

3.1.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun
konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline) (Sudoyo et al, 2010)
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan
nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada. (Sudoyo et al,
2010 dan Fauci et al, 2010)
3.1.5.1. Tatalaksana awal
A. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih
dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain (Sudoyo et al, 2010, Fauci et
al, 2010 dan Antmant et al, 2008)
26

1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.


2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta
staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya waktu
mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini
dapat diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional
kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. (Sudoyo et al, 2010 dan Fauci et al,
2010).

Gambar 5. Model Presentasi Pasien


B. Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase
pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI (Sudoyo et al, 2010, Fauci et al, 2010 dan
Antmant et al, 2008).
C. Tatalaksana Umum di Rumah Sakit
27

1. Tirah baring
2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
A. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau
B. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan
adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual 0,4 mg bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri
dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
3.1.5.2 Terapi pada pasien STEMI
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan
memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan
STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi
EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan
gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
28

Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan
pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha
untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
 Untuk fibrinolisis ≤30 menit
 Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan
kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu
melakukan IKP)
A. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna (Sudoyo et al, 2010).
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang
menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi
(sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun
EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12
jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan
terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang
memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan
pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
1. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut atau
120 menit dari kontak medis pertama. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat
gagal jantung akut berat, syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
29

perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun,
PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan
tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. (Sudoyo et al, 2010 dan Fauci et
al, 2010).
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena
(Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat
reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari) (Kelas I-B).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600
mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan
(Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa
rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau
enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih
dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk
IKP primer (Kelas III-A).
30

Gambar 6. Rekomendasi Terapi Reperfusi

2. Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat –
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa kontra indikasi apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama
(Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih
dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin I-B).
Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit
hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi) (Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).
31

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP


setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas I-A). IKP
“rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST
kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP
emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya
reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-B). Hal ini ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali. Angiografi emergensi dengan tujuan untuk
melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah
dilakukannya fibrinolisis inisial (Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan
tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A). Waktu optimal angiografi
untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial
(Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis
yang berhasil (Kelas I-A). Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis
yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).
Kontraindikasi terapi fibrinolitik (Sudoyo et al, 2010)
a) Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

b) Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
32

4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar
(<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
33

Langkah Pemberian Fibrinolisis pada Pasien STEMI


Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
 Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik)
 Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
 Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang
mampu melakukan IKP (<120 menit)
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi
invasif untuk kasus tersebut
Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan,
tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:
 Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasif
 Strategi invasif tidak dapat dilakukan
o Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
o Kesulitan mendapatkan akses vaskular
o Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu
melakukan IKP dalam waktu <120 menit
 Halangan untuk strategi invasif
o Transportasi bermasalah
o Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60
menit
o Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
balloon lebih dari 90 menit
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
 Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
o Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
balloon kurang dari 90 menit
o Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1
jam
 Risiko tinggi STEMI
o Syok kardiogenik
34

o Kelas Killip ≥ 3
 Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
perdarahan dan perdarahan intrakranial
 Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
 Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

\
35

3. Terapi Antikoagulan
 Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama
rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non Unfractionated
Heparin (UFH) bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-
induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)
 Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian (Kelas IIa-B)
 Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight Heparin
(LMWH) (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen
dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
 Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut
ini merupakan rekomendasi dosis:
a. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah
diberikan (Kelas II-C).
b. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam
8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12
jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
c. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa
(Kelas II-C)
 Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)
4. Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan
STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel,
thienopyridin), anti-koagulan seperti, nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan
Angiotensin Receptor Blocker (Antmant et al, 2008, Fasmire et al, 2006 dan Welf et
al, 2008)
1) Anti trombotik
36

Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI


berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar
23% dan infark non fatal sebesar 49%
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan
6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting (Montalescot et al, 2001)
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri
yang terkait infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000
U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus
mencapai 1,5-2 kali (Sudoyo et al, 2010)
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH)
selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan (Sudoyo et al,
2010)
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI
yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik (Antmant et al, 2008 dan Welf
et al, 2008)
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang
mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
37

terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki
angka kematian 1 tahun tertinggi (18%) (Zeymer et al, 2006)
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius (Sudoyo et al, 2010)
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma) (Sudoyo
et al, 2010)
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan
penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat
inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun
global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif (Sudoyo et al,
2010)
5. Terapi Jangka Panjang
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien
yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan
prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih
besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di
38

rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien
dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A).
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).
3.1.6 Komplikasi
A. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya (Sudoyo et al, 2010)
- Gagal jantung
- Hipotensi
- Kongesti paru
- Keadaan output rendah
- Syok kardiogenik
39

Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel (Sudoyo et al,
2010)
B. Aritmia dan Gangguan Konduksi Fase Akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11±5 hari sejak
infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar
28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10%
(≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak
per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan
sebesar 3% dan VF sebesar 3%. Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang
terjadi awal (<48 jam) atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark
miokard akut masih kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut,
VF/VT yang terjadi awal merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30
hari (22% vs 5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau ARB
mengurangi mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain menyatakan
bahwa pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama setelah infark miokard
akut pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut dikaitkan dengan berkurangnya
mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal jantung.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi
berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan
tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan
gangguan asam-basa. Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan
penanganan segera. Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada
pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% setelah infark miokard.
- Aritmia supraventrikular
- Aritmia ventrikular
- Sinus Bradikardi dan Blok Jantung
C. Komplikasi Kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko
terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara
40

akut dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan


berkurang dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan
efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan
penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali
sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi
mitral atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan
ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat
operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis
yang berat.
- Regurgitasi katub mitral
- Ruptur jantung
- Ruptur septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma Ventrikel Kiri
- Trombus Ventrikel Kiri

Gambar. Komplikasi Miokard Infark


3.1.6 Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA :
1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik
41

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal 6
jantung
II +S3 dan atau ronki 17
basah
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

Tabel 2. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut


Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
42

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penegakan Diagnosa
Diagnosa kerja STEMI dapat ditegakkan dengan ditemukannya riwayat nyeri dada
yang bertahan lebih dari 20 menit, penyebaran nyeri ke leher, rahang ataupun lengan kiri,
riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
gejala seperti diaphoresis, mual, muntah, sesak nafas, jantung berdebar bahkan pingsan.
Diperkirakan 30% dari kasus menunjukkan gejala yang atipikal (Steg et al., 2012). Pada
anamnesis pasien ini ditemukan nyeri dada substernal, durasi nyeri >20 menit, sifat nyeri
dada seperti ditimpa beban berat, penjalaran nyeri ke punggung, tengkuk, serta lengan kiri
dan disertai keringat dingin. Tidak ada pemeriksaan fisik yang khas pada STEMI namun
dapat dijumpai cemas, gelisah, pucat, diaphoresis, ektremitas dingin, takikardia,
hipotensi, dan dapat terdengar suara jantung S3 atau S4 (Kumar et al., 2009). Selama fase
awal, oklusi total arteri koroner menunjukkan gambaran EKG elevasi segmen ST. Dalam
beberapa jam kemudian diikuti gelombang T terbalik dan dalam beberapa hari kemudian
muncul gelombang Q patologis (Rhee et al., 2011).
Pada pasien ini ditemukan gelisah, dan keringat dingin pada saat nyeri dada tiba-tiba
sejak tadi siang, di bagian kiri, terus-terusan. Nyeri dada seperti terasa menjalar ke
rahang, tangan dan ulu hati. Nyeri tidak tertindih, tembus ke belakang dan hilang dengan
istirahat. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang
menunjukkan ST elevasi di lead II, II dan aVF. Hal ini menun jukkan adanya AMI di di
bagian inferior jantung. Selain itu, pada pasien ini terdapat indikasi perlu dilakukannya
penilaian EKG lead kanan dan posterior untuk menilai kemungkinan terjadinya infark
ventrikel kanan, yaitu a) ST elevasi di lead II, II dan aVF, b) ST depresi di V1-V3 atau c)
Chest pain tipikal dengan normal EKG.
Hasil pemeriksaan EKG lead kanan dan posterior mendukung adanya infark di
posterior ventrikel kanan. Penurunan tekanan darah, peningkatan JVP dan clear lung
mendukung diagnosis infark di right ventricle. Jadi, pada pasien ini terjadi PJK STEMI
inferior dan posterior right ventricle jantung.
Proses inflamasi yang terjadi pada IMA sering ditandai dengan leukositosis perifer. Tak
lama setelah onset iskemi pada miokardium, sel endotel meningkatkan molekul adhesi dan
pelepasan kemokin. Hal ini akan memicu ekstravasasi dan akumulasi leukosit inflamasi
secara cepat terutama neutrofil. Pada pasien ini terjadi leukositosis dan neutrofilia dengan
nilai leukoisit 17,4 ribu/uL dan neutrofil 83,3 persen.
43

Pada pasien IM inferior juga perlu dievaluasi kemungkinan sinus bradikardi, blok
AV, hipotensi dan hipoperfusi (Jones, 2010). Pada pasien ini juga ditemukan adanya
sinus bradikardi dan tensi yang rendah sehingga perlu penanganan juga.

4.2 Penatalaksanaan
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi
koroner perkutan primer (PERKI, 2018).
Berdasarkan panduan guidline penatalaksanaan Europan Soecity of Cardiology tahun
2017 dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2018 maka
tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yaitu:
a) Tirah baring
b) Oksigen 4 lpm, nasal kanul
Suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen < 90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.
c) IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam/IV
Pemasangan infus bertujuan untuk maintenace cairan pada pasien dan loading
cairan jika dibutuhkan. Serta sebagai jalur pemberian obat-obatan intravena.
d) Aspirin 320 mg
Aspirin memiliki efek anti agregasi trombosit. Aspirin menghambat aktivitas
enzim siklooksigenase I dan II yang selannjutnya menghambat produksi
tromboksan (Tromboksan merupakan zat yang merangsang agregasi trombosit).
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Dosis pemeliharaan 75-100
mg/hari.
e) Clopidogrel 300 mg
Mekanisme kerja Clopidogrel adalah menghambat secara selektif terjadinya ikatan
antara Adenosine Difosfat (ADP) dengan platelet reseptor P2Y12, kemudian
mengaktivasi glikoprotein GPIIb / IIIa kompleks sehingga mengurangi agregasi
trombosit. Dosis pemeliharaan 75 mg/hari.
f) ISDN sublingual 5 mg
44

Efek antiangina dari nitrat disebabkan karena perfusi miokard yang lebih baik
akibat penurunan preload, after-load, dan penurunan tegangan dinding ventrikel.
g) Morfin Sulfat iv 5 mg/ml
Analgesik opiod digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat,
terutama pada bagian visceral. Pemberian morfin sulfat dapat diulang setiap 10-30
menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
h) Atorvastatin 1 x 40 mg
Statin dapat mengurangi serangan penyakit kardiovaskular dan angka kematian
pada orang dewasa, berapapun kadar kolesterol awal. Pemberian Atorvastatin
bertujuan mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan memperlambat progresi
aterosklerosis koroner.
i) Inj Fondaparinux 2,5 mg/0,5 ml sc
Pemberian Fondaparinux seagai antikoagulan merupakan pengobatan tambahan
pada pasien STEMI.
j) Inj Sulfat Atrofin 1 mg (2 ampul)
Pada pasien juga menunjukkan terjadinya bradikardi. Atropin dapat meningkatkan
denyut jantung dan memperbaiki gejala klinis akibat bradikardi. Sulfat atrofin
mampu memperbaiki penurunan denyut jantung yang dimediasi oleh gangguan
sistem kolinergik dan dipertimbankan sebagai terapi lini pertama pada bradikarsi
simptomatik.
k) Inj Pantoprazole 1 x 40 mg
Pemberian pantoprazole bertujuan menurunkan sekresi asam lambung pada pasien
sehingga menyebabkan pengurangan rasa nyeri ulu hati pada pasien.
l) Inj Ondasetron 3 x 8 mg
Ondasetron merupakan antiemetik, pasien mengeluhkan mual jadi diberikan
ondasetron sebagai terapi simptomatis.
m) Konsul dan Rujuk Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah pro Fibronilitik atau PCI
Fibrinolitik yang dapat diberikan pada pasien yaitu Streptokinase 1,5 juta IU
dalam 100 ml D5% atau NS 0,9 % dalam waktu 30-60 menit.

4.3 Prognosis
Prognosis pada pasien miokard infark akut dapat berdasarkan kelas Killip,
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi miokard infark akut dan
ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam jangka 30 hari,
45

yaitu kelas Killip I dengan angka mortalitas 6 %. Berdasakan skor tersebut pasien ini
memiliki prognosis dubia ad bonam.
46

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
STEMI merupakan IMA dengan ST elevasi sebagai akibat adanya oklusi pada arteri
coronoria yang mengakibatkan infark pada miokard. Penegenalan yang cepat tepat sangat
diperlukan terutama tenaga kesehatan yang berada di lini pertama. Manajemen yang cepat
dan tepat dapat mengurangi resiko komplikasi pada pasien.

5,2 Saran
Pengenalan manifestasi klinis pada pasien dengan STEMI secara dan cepat dan tepat
diperlukan oleh tenaga kesehatan sehingga manajemen yang diberikan lebih segera dan
mengurangi komplikasi yang lebih lanjut.
47

Daftar Pustaka
Fauci, Braunwald, dkk. 2010. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
South Wales: McGraw Hill..
Guyton AC. Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Ibanez, B et al. 2018. 2017 ESC Guidelines for of acutemyocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal (2018) 39, 119–177
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Diseases: A Textbook
of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier.
Lilly LS. 2011. Acute Coronary Syndrome. Pathophysilogy of Heart Disease. Edisi ke-5.
Baltimore:Wolters Kluwe:. Pg.161-189
Manning, JE. 2004. "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York.. p.227.
PERKI. 2016. Panduan Praktik Klinis & Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah Ed. 1. Jakarta
PERKI. 2018. Pedoman Tatalaksana Koroner Akut. Jakarta
Rieves D, Wright G, Gupta G. 2000. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT) Evidence of
Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol.;
85 : 147-153
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC. 2007.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing..
Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. 2006. Acute Coronary Syndromes (ACOS) registry
investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital survivors of acute ST-
segment elevation myocardial infarction in clinical practice. Eur Heart J;27:2661–66.

Anda mungkin juga menyukai