Anda di halaman 1dari 9

NAMA : ERFINA DANIATI

NIM : 21904101012

1. Kriteria gagal terapi ARV (PERMENKES, 2014)


2. Terapi ARV untuk bayi (PERMENKES, 2014)

a) Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan


dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada
ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2
minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis
kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.
b) Dengan memperhatikan kepatuhan
c) Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif,
maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis
konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18
bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan
antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV
dihentikan.

a) zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl
maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T).
b) Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang,
maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl)
setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka
dapat kembali ke d4T.
c) Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu
perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang
sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu
pertumbuhan tinggi badan.
d) EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan
pada anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak
dengan TB. Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.
3. Terapi profilaksis ARV bayi (PERMENKES, 2014)

a) kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson,


penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau HIV negatif. Kontraindikasi
kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi
G6PD.
b) pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada pelayanan dengan
prevalensi HIV tinggi, kematian bayi tinggi akibat penyakit-penyakit infeksi, atau
pelayanan dengan infrastruktur terbatas.
c) jika inisiasi awal untuk profilaksis Pneumocystis pneumonia atau toksoplasmosis
dpada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan
CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3. Pada ODHA dewasa yang akan memulai
terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3, dianjurkan untuk memberikan
kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk tes kepatuhan
ODHA dalam minum obat dan menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih
antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol

4. Perbedaan sesak pada jantung dan paru pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang
 Berdasarkan Etiologi

 Berdasarkan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


 Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang
1. Doppler  mengkonfirmasi tromboemboli pulmoner
2. Saturasi oksigen  COPD eksaserbasi
3. Pulse oxymetry  pasien hipoksia
4. Analisis BGA  assesmen awal pasien perokok kronis dengan dyspnea
akut karena adanya peningkatan kadar karboksihemoglobin karena
merokok
5. EKG  pasien dengan nyeri dada akut kebanyakan karena kardiak
6. Marker jantung (serum troponin I)  mendukung adanya penyakit jantung
7. B-type natriuretic peptide (BNP)  merupakan neurohormon jantung
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri. Jika kadarnya >100 pg/ml mengindikasikan heart failure
dekompensata. Pada pasien dengan kadar serum BNP < 50 pg/ml dpat
dikecualikan kemungkinan HF. BNP <100 pg/ml curiga dispneu akut
karena pulmoner. Pasien dengan dispneu akut dngan CHF memiliki kadar
BNP > 500 pg/ml. Jika BNP 100-500 pg/ml dan pasiennya memiliki
fungsi renal normal, harus dipikirkan kemungkinan penyakit
tromboembolik, hipertensi pulmoner dengan disfungsi ventrikel kiri tanpa
dekompensasi akut.

5. Penggunaan terapi oksigen dan indikasinya


(PAPDI, 2015 halaman 183 EIMED PAPDI Kegawatdaruratan)
(An introduction to Clinicl Emergency Medicine, halaman 24)
6. Onset munculnya marker jantung (PERKI, 2018)

Dalam keadaan nekrosis miokard, CKMB dan Troponin I/T akan normal pada 4-6
jam pertama setelah awitan SKA, sehingga di cek lagi untuk 8-12 jam setelah awitan
angina.
Pada pasien angina kadar troponin pasien IMA akan meningkat pada darah perifer 3-4
jam setelah awitan infark dan akan menetap dalam 2 minggu. Peningkatan ringan
kadar troponin biasanya menghilang dalam 2-3 hari, namun jika terjadi nekrosis luas
peningkatan ini akan menetap sampai 2 minggu.
Pemeriksaan CKMB akan meningkat dalam waktu 4-6 jam mencapai puncak pada 12
jam dan akan menetap dalam 2 hari.

7. Evaluasi EKG setelah terapi ISDN (PERKI, 2018)


ISDN diberikan 5 mg selama interval mnimal 5 menit dan maksimal 3 kali pemberian
ketika keluhan angina muncul. EKG pada pasien SKA dibuat dalam 10 menit setelah
pasien datang ke rumah sakit/ruang gawat darurat dan diulang setiap keluhan
angina timbul kembali (Halaman 5). Jika dari pemeriksaan awal EKG, masih
menunjukkan kelainan non diagnostik sementara angina masih berlangsung,
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika setelah dilakukan EKG ulang tetap
menunjukkan kelainan yang non diagnostik dan biomarka jantung negatif sementara
keluhan angina sugestif SKA, pasien perlu dipantau selama 12-24 jam. EKG
diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali dalam 24 jam (Halaman
8).

Anda mungkin juga menyukai