Anda di halaman 1dari 4

PITC

Pengertian
PITC (Provider Initiated HIV Tesing and Counseling) merupakan tes HIV
dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada pengunjung sarana
layanan kesehatan sebagai bagian dari standard pelayanan medis (Ardhiyanti,
2015).

Tujuan PITC
Untuk membuat keputusan klinis dan atau menentukan pelayanan medis khusus
yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang, seperti
pada saat pemberian ARV (Antiretroviral). Menurut Kemenkes (2010) tujuan
PITC yaitu mengidentifikasi infeksi HIV pada stadium awal yang tidak
menujukkan gejala penyakit yang jelas, sehingga tes HIV juga dilakukan kepada
orang yang mungkin tidak terkait dengan HIV.

Sasaran PITC
Menurut Ardhiyanti (2015) sasaran PITC yaitu :
1. Semua ibu hamil, terutama ibu hamil yang mempunyai faktor resiko
2. Bayi baru lahir dari ibu HIV positif, sebagai perawatan lanjutan pada bayi
tersebut.
3. Anak yang dibawa ke layanan kesehatan dengan menunjukkan tanda tumbuh
kembang yang kurang optimal atau kurang gizi yang tidak memberikan respon
pada terapi gizi yang memadai.
4. Semua pasien dewasa atau anak yang berkunjung ke layanan kesehatan
dengan tanda dan gejala atau kondisi medis yang mengindikasi infeksi HIV
atau koinfeksi HIV (TB, IMS, Hepatitis, dll)

PROSES PITC
Menurut Kemenkes (2010), proses PITC meliputi :
1. Informasi pra tes HIV dan persetujuan pasien
Informasi pra tes diberikan secara individual, pasangan atau kelompok sesuai dengan
kondisi setempat. Informed concent (persetujuan menjalani tes HIV) harus diberikan
secara individual atau pribadi dengan kesaksian petugas kesehatan.
Informasi minimal sebelum tes HIV yaitu :
1) Alasan menawarkan tes HIV dan konseling
Informasi awal yang diberikan meliputi :
(1) Pengertian HIV Menurut Permenkes no 51 tahun 2013, HIV (Human
Immunodeviciency Virus) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang termasuk kelompok retrovirus.
Seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami infeksi seumur hidup,
kebanyakan orang dengan HIV atau AIDS tanpa adanya tanda dan gejala dari
suatu penyakit untuk jangka waktu yang lama namun sebenarnya mereka
sudah dapat menulari orang lain. AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) berasal dari “Acquired” artinya tidak diturunkan tetapi didapat;
“Immune” artinya sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency”
artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome” artinya kumpulan tanda dan
gejala penyakit. Sehingga AIDS merupakan bentuk lanjutan dari HIV yang
merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh.
(2) tanda dan gejala
(3) Penularan HIV melalui cairan tubuh baik semen, cairan vagina atau darah,
transfuse darah, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dari ibu ke anak
pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan saat menyusui. Resiko
penularan pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil
diperkirakan 15-45%. Resiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan
bersalin, sedangkan peningkatan resiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat
terjadi pada masa nifas dan menyusui.
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, resiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV (antiretroviral).
Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki resiko penularan
HIV sebesar 15-25% dan resiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak
menyusui (PASI). Akan tetapi dengan terapi ARV jangka panjang, resiko
penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%.
(4) Kegiatan yang tidak dapat menularkan HIV. Menurut Kemenkes (2010) HIV
tidak ditularkan melalui berciuman, berpelukan atau gigitan nyamuk.
2) Keuntungan dari aspek klinis dan pencegahan dari tes HIV
3) Jaminan konfidensialitas
4) Informasikan bahwa pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes HIV
dan penolakan terhadap tes HIV tidak akan mempengaruhi pasien terhadap akses
kesehatan.
5) Apabila hasil reaktif maka dianjurkan maka dianjurkan untuk mengungkapkan ke
orang lain yang beresiko tertular sebagai bentuk tanggung jawab
6) Kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada petugas kesehatan.
Informasi khusus bagi ibu hamil yaitu :
1) Resiko penulara HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak
2) Rencana yang jelas guna mengurangi resiko penularan dari ibu ke anak dengan
ARV (Antiretroviral) dan metode lain misalkan profilaksis ARV yang akan
diberikan ASI dan makanan bayi
3) Rencana yang jelas untuk bayi baik pemeriksaan dini, pemberian ARV profilaksis,
pemberian kotrimiksasol profilaksis dan pengobatan ARV apabila nantinya
terbukti HIV reaktif setelah usia 18 bulan.
2. Tes HIV
Menurut Permenkes diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan Tes
diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan
serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme Immuno
Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein.
3. Konseling Pasca Tes
1) Konseling tes HIV non reaktif
Untuk ibu hamil non reaktif, diberikan penjelasan mengenai hasil tes, periode
jendela HIV yaitu belum terdeteksinya antibodi HIV, menganjurkan tes kembali
ketika hamil lagi; informasi dasar tentang cara mencegah terjadinya penularan
HIV. Sedangkan untuk ibu hamil yang non reaktif dan beresiko tinggi,
memberitahu bahwa hasil negatif belum tentu tidak terinfeksi karena periode
jendela selama 3-6 bulan, menawarkan untuk tes ulang 8 minggu kemudian dan
pemberian kondom laki-laki atau perempuan.
2) Konseling HIV reaktif
Memberikan informasi hasil tes secara sederhana dan jelas serta memastikan psien
mengerti; melakukan pemeriksaan klinis dan lab secara menyeluruh untuk
skrining TB, mencari infeksi oportunistik, memberikan pengobatan infeksi
oportunistik apabila ada, dan memberikan kotrimiksasol profilaksis; memberikan
rencana pengobatan ARV dan informasi tempat pelayanan untuk ARV terdekat
dengan pasien; memberi kesempatan psien untuk bertanya; memberikan informasi
pentingnya melakukan hubungan seksual dengan kondom; memulai konseling pra
ARV; merujuk ke unit lain terkait dengan kebutuhan pasien baik dengan
pengobatan, perawatan maupun pencegahan.
Selain itu, konseling bagi ibu hamil reaktif meliputi rencana persalinan;
penggunaan ARV; dukungan gizi yang memadai termasuk zat besi dan asam folat;
pemberian ARV pada bayi segera setelah lahir, kotrimiksasol profilaksis, ASI dan
makanan bayi; rencana tes HIV pada bayi setelah usia 18 bulan dan tindak lanjut
terkait dengan perawatan dan pengobatan yang diperlukan; tes HIV bagi
pasangan.

Anda mungkin juga menyukai