Tutor oleh :
Drg. Bayu Indra Sukmana, M.Si
DITA PERMATASARI I4D111010 ARISKA ENDARIANTARI I4D111037
GUSTI GINA P I4D111009 CHAIRUNNISA I4D111203
TALITHA MAGHFIRA R. I4D111017 NABILLA KUSWARENI I4D111210
DESSY SHARFINA I4D111020 BALQIS AFIFAH I4D111211
HIDAYATULLAH I4D111035 SHARLA N. L I4D111212
NORYUNITA RAHMAH I4D111040 YAZID ERIANSYAH P I4D111213
LUTFIYAH I4D111202 MELINDA HAIRI I4D111214
DIAN PRATIWI I4D111204 NOVIE APRIANTI I4D111215
M. ALFIAN NOOR I4D111206 SALDY RIZKY S I4D111216
ANINDYA PUTRI P. I4D111207 TAUPIEK RAHMAN I4D111217
DESLITA TRILIANTI I. I4D111208 PUTRI AMALIA I4D111218
RISKI AGUSTIN I4D111209 SUNJAYA TUNGGALA I4D111219
RENITA RAHMAD I4D111014 NOR SAKINAH I4D111220
VIRGI AGUSTIA PUTRI I4D111032 MARIA ANGELINA T.S I4D111221
M. REZA SETIAWAN I4D111033
DEVINTHA AYU M.T I4D111036
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan, kami dapat menyelesaikan
makalah diskusi klinik Bedah Mulut yang berjudul ”Ginjal”.
Kami mengucapkan terima kasih pada Drg. Bayu Indra Sukmana, M.Si
selaku tutor dosen pembimbing dan pihak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Lambung Mangkurat yang telah membimbing kami sehingga dapat berjalan
dengan baik dan lancar. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak
yang membantu penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kepada para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
2.1 BAB II ISI
2.1 Definisi Ginjal ..................................................................................... 2
2.2 Anatomi dan histology Ginjal ............................................................. 2
2.3 Fungsi Ginjal ...................................................................................... 5
2.4 Fisiologi Kerja ginjal .......................................................................... 6
2.5 Penyakit Ginjal ................................................................................... 8
2.6 Patogenesis Penyakit Ginjal ................................................................ 10
2.7 Pemeriksaan Klinis dan Gejala Penyakit Ginjal ................................. 11
2.8 Manifestasi Oral Pada Penyakit Kelainan Ginjal ............................... 17
2.9 Pemeriksaan Penunjang Penyakit Ginjal ............................................ 20
2.10 Hemoestasis Penyakit Ginjal .......................................................... 27
2.11 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal .................................................... 28
2.12 Penatalaksanaan Gigi Penderita Kelainan Ginjal ............................ 32
2.13 Komplikasi ...................................................................................... 32
2.14 Prognosis ......................................................................................... 33
2.15 Pencegahan Penyakit Ginjal ............................................................ 33
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 34
3.2 Saran .............................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.2.2. Mikrostrukrur Nefron Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tubulus kontraktus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri
ke duktus pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan
Malpigi. Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi
sebagai penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel mempunyai
sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra
dengan diameter 500-1000A0. 4
a. Nefron
Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan (nefron).
Ukuran ginjal terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap
ginjal manusia memiliki kira-kira 1.3 juta nefron. Setiap nefron bisa membentuk
urin sendiri. Karena itu fungsi satu nefron dapat menerangkan fungsi ginjal. 4
6
b. Glomerulus
Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut
glomerulus, yang terletak didalam korteks, bagian terluar dari ginjal. Tekanan
darah mendorong sekitar 120 ml plasma darah melalui dinding kapiler
glomerular setiap menit. Plasma yang tersaring masuk ke dalam tubulus. Sel-
sel darah dan protein yang besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat
melewati dinding dan tertinggal. 4
c. Tubulus kontortus proksimal
Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah
disaring oleh glomerulus melalui kapsula bowman. Sebagian besar dari filtrat
glomerulus diserap kembali ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler
sekitar tubulus kotortus proksimal. Panjang 15 mm dan diameter 55 µm. 4
d. Ansa henle
Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron
ginjal dimana, tubulus menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan
kemudian naik kembali kebagian korteks dan membentuk ansa. Total panjang
ansa henle 2-14 mm. 4
e. Tubulus kontortus distalis
Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar
kedua. Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada
tubulus kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20
ml/menit) mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam
tubulus proksimal. 4
f. Duktus koligen medulla
Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar
kedua. Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada
tubulus kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20
ml/menit) mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam
tubulus proksimal. 4
7
2.3 Fungsi Ginjal
2.3.1 Pembuangan Non-protein Nitrogen Compound (NPN)
Fungsi ekskresi NPN ini merupakan fungsi utama ginjal. NPN adalah sisa
hasil metabolisme tubuh dari asam nukleat, asam amino, dan protein. Tiga zat
hasil ekskresinya yaitu urea, kreatinin, dan asam urat.5
2.3.2 Pengaturan Keseimbangan Air
Peran ginjal dalam menjaga keseimbangan air tubuh diregulasi oleh ADH
(Anti-diuretik Hormon). ADH akan bereaksi pada perubahan osmolalitas dan
volume cairan intravaskuler. Peningkatan osmolalitas plasma atau penurunan
volume cairan intravaskuler menstimulasi sekresi ADH oleh hipotalamus
posterior, selanjutnya ADH akan meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus
distalis dan duktus kolektivus, sehingga reabsorpsi meningkat dan urin menjadi
lebih pekat. Pada keadaan haus, ADH akan disekresikan untuk meningkatkan
8
reabsorpsi air. Pada keadaan dehidrasi, tubulus ginjal akan memaksimalkan
reabsorpsi air sehingga dihasilkan sedikit urin dan sangat pekat dengan
osmolalitas mencapai 1200mOsmol/L.1,6 Pada keadaan cairan berlebihan akan
dihasilkan banyak urin dan encer dengan osmolalitas menurun sampai dengan 50
mOsmol/L. 5
2.3.3 Pengaturan Keseimbangan Elektrolit
Beberapa elektrolit yang diatur keseimbangannya antara lain natrium,
kalium, klorida, fosfat, kalsium, dan magnesium.6
2.3.4 Pengaturan Keseimbangan Asam Basa
Setiap hari banyak diproduksi sisa metabolisme tubuh bersifat asam
seperti asam karbonat, asam laktat, keton, dan lainnya harus diekskresikan. Ginjal
mengatur keseimbangan asam basa melalui pengaturan ion bikarbonat, dan
pembuangan sisa metabolisme yang bersifat asam. 6
2.3.5 Fungsi Endokrin
Ginjal juga berfungsi sebagai organ endokrin. Ginjal mensintesis renin,
eritropoietin, dihydroxy vitamin D3, dan prostaglandin. 6
9
o Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-
ubah ekresi natrium.
o Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal.
o Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan
mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat
o Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat dan kreatinin).
o Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat.
Fungsi Non eksresi
o Menyintesis dan mengaktifkan hormon
Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah Universitas
Sumatera Utara
Eritropoitin : merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang
1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3
menjadi bentuk yang paling kuat.
Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodil;ator bekerja secara
lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon
gastrointestinal.8
Sistem eksresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin. Ginjal
sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke
medialnya. Ginjal akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah dan
mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter.
Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang
tersebut merasakan keinginan mikturisi dan keadaan memungkinkan, maka urin
yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra. 9
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut
nefron. Tiap ginjal bisa tersusun atas 1 juta nefron yang saling disatukan oleh
10
jaringan ikat. Nefron ginjal terbagi 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung
Henlenya hanya sedikit masuk medula dan memiliki kapiler peritubular, dan
nefron jukstamedulari yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan
memiliki Vasa Recta. Vasa Recta adalah susunan kapiler yang panjang mengikuti
bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks ginjal akan
terlihat berbintik-bintik karena adanya glomerulus, sementara medula akan terlihat
bergaris-garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus pengumpul.9
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara
bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi
lengkap dan kemudian akan dieksresi. Setiap proses filtrasi glomerulus, reabsorpsi
tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan tubuh.10
11
Keluhan yang timbul pada fase ini biasanya berasal dari penyakit yang mendasari
kerusakan ginjal, seperti edema pada pasien dengan sindroma nefrotik atau
hipertensi sekunder pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik. Kelainan secara
klinis dan laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4.Saat laju
filtrasi glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien
mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomelurus
kurang dari 30%. 11
Patofisiologi penyakit ginjal kronik meliputi dua tahapan kerusakan ginjal: (1)
mekanisme awal tergantung dari etiologi yang mendasarinya dan (2) mekanisme
progresivitas, termasuk hipertrofi dan hiperfiltrasi nefron yang tersisa yang
merupakan konsekuensi masa panjang penurunan massa ginjal. Pengurangan
massa ginjal menyebabkan hipertrofi sruktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephron) sebagai kompensasi. Respon terhadap penurunan
jumlah nefron ini dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin dan faktor
pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan terjadinya oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang tersisa. Proses ini
akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. 11
2.5.1 Sindroma Nefritik
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan gambaran klinis
berupa oliguria, edema, hipertensi yang disertai adanya kelainan urinalisis
(proteinuri kurang dari 2 gram/hari dan hematuri serta silinder eritrosit).1-
3Etiologi SNA sangat banyak, diantaranya kelainan glomerulopati primer
(idiopati),glomerulopati pasca infeksi, DLE, vaskulitis dan nefritis herediter
(sindroma Alport).11
SNA merupakan salah satu manifestasi klinis Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptokokus (GNAPS), dimana terjadi suatu proses in" amasi pada tubulus
dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanya suatu infeksi streptokokus pada
seseorang. GNAPS berkembang setelah strain streptokokus tertentu yaitu
12
streptokokus ß hemolitikus group A tersering tipe 12 menginfeksi kulit atau
saluran nafas. Terjadi periode laten berkisar antara 1 . 2 minggu untuk infeksi
saluran nafas dan 1 . 3 minggu untuk infeksi kulit.12
Mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun
dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam
darah dan komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun
yang beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi perusakan mekanis melalui aktivasi
sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi. GNAPS tercatat
sebagai penyebab penting terjadinya gagal ginjal, yaitu terhitung 10 . 15% dari
kasus gagal ginjal di Amerika Serikat. GNAPS dapat muncul secara sporadik
maupun epidemik terutama menyerang anak-anak atau dewasa muda pada usia
sekitar 4 . 12 tahun dengan puncak usia 5 . 6 tahun.Lebih sering pada laki-laki
daripada wanita denganrasio 1,7 . 2 : 1. Tidak ada predileksi khusus pada ras
ataupun golongan tertentu. GNAPS merupakan penyakit ginjal supuratif tersering
dengan manifestasi klinis berupa penyakit yang ringan hingga asimtomatis, hanya
sedikit sekali dengan manifestasi klinis yang berat, dengan rasio 3 : 1. Mengingat
insiden GNAPS dengan manifestasi klinis yang jelas jarang ditemukan, maka
diagnosis dan terapi merupakan masalah penting untuk dibahas.13
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat
13
dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan prevalensi
berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak.Di negara berkembang insidensinya lebih
tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun.Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.14
14
Nyeri dapat menetap dan terasa sangat hebat. Mual dan muntah sering hadir,
namun demam jarang di jumpai pada penderita. Dapat juga muncul adanya bruto
atau mikrohematuria. 16
2.5.4 Gagal Ginjal
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh seperti sodium dan kalium
didalam darah atau secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal
sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia
kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal
ginjal kronis. 17
Kerusakan pada ginjal membuat sampah metabolisme dan air tidak dapat
lagi dikeluarkan. Dalam kadar tertentu, sampah tersebut dapat meracuni tubuh,
kemudian menimbulkan kerusakan jaringan bahkan kematian. Menurut The
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis sebagai
suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m2
selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan
massa ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah
suatu kemunduran nilai dari GFR. 17
15
dan antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta
pembentukan mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya
mikroinflamasi. Akibat mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel
mesangium sedangkan faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium
yang berproliferasi menjadi sel miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis
mesangium. Karena podosit tidak mampu bereplikasi terhadap jejas sehingga
terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis glomerulus dan menarik sel
inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal menyebabkan formasi adesi
kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi material amorf di
celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga pada
akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial.18
b. Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan
keseimbangan produksi dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan
fibrosis ireversibel.18
c. Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan
sumber miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial
ginjal. 18
16
5. Hipertensi
Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala
apa- apa atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit,
endokrin dan metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan
yang tampak secara klinis biasanya baru terlihat pada CKD stadium 4 dan 5.
Beberapa gangguan yang sering muncul pada pasien CKD anak adalah:
gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein, gangguan elektrolit,
asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi. 19
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh difisiensi eritropoitin. Hal-hal
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri) masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. 19
b. Xerostomia
Pada penderita ginjal kronis dan penderita yang menjalani hemodialisis,
gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal ini sring terjadi sebagai hasil
dari menafestasi beberapa faktor seperti inflamasi kimia, dehidrasi,
penfasan melalui mulut, dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius,
17
restriksi cairan, dan efek samping obat. Xerostomia cenderung menambah
kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi gusi, candidiasis, serta
kesusahan berbicara. 27
d. pembesaran gusi
pembesaran gusi sekunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral
pada penyakit ginjal yang sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh
cyclosporin dan atau kalsium channel blocker. Prinsipnya mempengaruhi
papila interdntal labial, walaupun kadang menjadi lebih luas melibatkan
tepi gusi dan lidah serta permukaan palatum.
1. Pembersaran gusi akibat cyclosporin
Pembesaran gusi pada penderita yang mengkonsumsi cycloposrin
dapat dilihat pada rentang waktu pemakaian 3 bulan. Anak-anak dan
remaja mungkin lebih rentan terkena pembesaran gusi akibat
cyclosporin. 28,33
2. Pembersaran gusi akibat calcium channel blocker
Prevalensi yang dilaporkan akibat penggunaan nifedipin bervariasi,
terjadi antara 10-83%. Keberadaan plak gigi mungkin merupakan
predisposisi terjadi pembesaran gusi akibat nifedipin. Dosis dan durasi
pengobatan tidak berkaitan dengan prevalensi terjadinya pembesaran
gusi.28,34
e. Lesi Mukosa
18
Lesi mukosa yang sering didapat pada penderita yang menjalani
transplantasi dan hemodialisis cenderung terjadi plak dan ulserasi keputih-
putihan. Plak ini disebut uremic frost dan terjadi apabila sisa krista urea
terdeposit pada permukaan epitel dari epaforasi respirasi, juga karena
aliran saliva yang berkurang. Penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat
efek terapi obat, dan oral hairy leukoplakia yang juga dapat bermanifestasi
sekunder dari efek obat imunosupresi. Stomatitis uremic perlu
diperhatikan dan dapat muncul sebagai daerah perpigmentasi putih, merah
maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis uremic tipe
eritematus, suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi lesi
eritema dan lesi ini selalu menyakitkan. Stomatitis uremic tipe ulseratif
memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan yang pultaceous.
Manifestasi ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen yang membentuk
trauma kimia secara langsung akibat gagal ginjal. 27,28,31,35
i. Kelainan Gigi
Beberapa kelainan struktur gigi seperti hipoplasia enamel erosi gigi
peningkatan mobiliti gigi dan maloklusi dapat terjadi pada penderita
penyakit ginjal kronis. Pada anak – anak dengan gagal ginjal kronis
19
dilaporkan gigi terlambat tumbuh dan hipoplasia enamel gigi susu maupun
permanen, sSelain itu juga tampak adanya erosi. Manifestasi lain termasuk
mobiliti gigi maloklusi dan kalsifikasi jaringan lunak. 27,28,37
20
kreatinin berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan
diekskresi seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk
mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati glomerular filtration rate
(GFR). 20
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan
fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan
selama masa otot konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi
kreatinin. 20
Implikasi klinik :
• Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik karena
gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran urin,
penyakit otot atau dehidrasi akut.
• Konsentrasi kreatinin serum menurun akibat distropi otot, atropi, malnutrisi atau
penurunan masa otot akibat penuaan.
• Obat-obat seperti asam askorbat, simetidin, levodopa dan metildopa dapat
mempengaruhi nilai kreatinin pada pengukuran laboratorium walaupun tidak
berarti ada gangguan fungsi ginjal.
• Nilai kreatinin boleh jadi normal meskipun terjadi gangguan fungsi ginjal pada
pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat penurunan masa otot.
• Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu diperlukan
waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai kadar normal untuk
mendeteksi perbaikan fungsi ginjal yang signifikan.
• Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL menunjukan fungsi ginjal yang menurun 50 %
hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.
• Konsentrasi kreatinin serum juga bergantung pada berat, umur dan masa otot.
Faktor pengganggu
• Olahraga berat, angkat beban dan prosedur kreatinin
• Alkohol dan penyalahgunaan obat meningkatkan kadar kreatinin
• Atlet memiliki kreatinin yang lebih tinggi karena masa otot lebih besar
• Injeksi IM berulang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar kreatinin
• Banyak obat dapat meningkatkan kadar kreatinin
21
• Melahirkan dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Hemolisis sampel darah dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Obat-obat yang meningkatkan serum kreatinin: trimetropim, simetidin,
ACEI/ARB
b) Kreatinin Urin (Clcr) Creatinine clearance
Nilai normal : Pria : 1 - 2 g/24 jam
Wanita : 0,8 - 1,8 g/24 jam
Deskripsi:
Kreatinin terbentuk sebagai hasil dehidrasi kreatin otot dan merupakan
produk sisa kreatin. Kreatinin difi ltrasi oleh glomerulus ginjal dan tidak
direabsorbsi oleh tubulus pada kondisi normal. Kreatinin serum dan klirens
kreatinin memberikan gambaran filtrasi glomerulus. 21
Implikasi klinik:
Pengukuran kreatinin yang diperoleh dari pengumpulan urin 24 jam,
namun hal itu sulit dilakukan. Konsentrasi kreatinin urin dihubungkan dengan
volume urin dan durasi pengumpulan urin (dalam menit) merupakan nilai
perkiraan kerja fungsi ginjal yang sebenarnya. 21
Beberapa metode pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi ginjal. Metode pemeriksaan yang dilakukan dengan
mengukur zat sisa metabolisme tubuh yang diekskresikan melalui ginjal seperti
ureum dan kreatinin :
1. Pemeriksaan Kadar Ureum
Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang
diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan
ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian difi ltrasi oleh glomerulus.
Pemeriksaan ureum sangat membantu menegakkan diagnosis gagal ginjal akut.
Pengukuran ureum serum dapat dipergunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal,
status hidrasi, menilai keseimbangan nitrogen, menilai progresivitas penyakit
ginjal, dan menilai hasil hemodialisis. 21
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar ureum serum,
yang sering dipilih/digunakan adalah metode enzimatik. Enzim urease
22
menghidrolisis ureum dalam sampel menghasilkan ion ammonium yang kemudian
diukur. Ada metode yang menggunakan dua enzim, yaitu enzim urease dan
glutamat dehidrogenase. 21
Ureum dapat diukur dari bahan pemeriksaan plasma, serum, ataupun urin.
Jika bahan plasma harus menghindari penggunaan antikoagulan natrium citrate
dan natrium fluoride, hal ini disebabkan karena citrate dan fluoride menghambat
urease. Ureum urin dapat dengan mudah terkontaminasi bakteri. Hal ini dapat
diatasi dengan menyimpan sampel di dalam refrigerator sebelum diperiksa. 21
Peningkatan ureum dalam darah disebut azotemia. Kondisi gagal ginjal
yang ditandai dengan kadar ureum plasma sangat tinggi dikenal dengan istilah
uremia. Keadaan ini dapat berbahaya dan memerlukan hemodialisis atau
tranplantasi ginjal. Penurunan kadar ureum plasma dapat disebabkan oleh
penurunan asupan protein, dan penyakit hati yang berat. Pada kehamilan juga
terjadi penurunan kadar ureum karena adanya peningkatan sintesis protein. 21
23
kreatinin terjadi pada keadaan glomerulonefritis, nekrosis tubuler akut, polycystic
kidney disease akibat gangguan fungsi sekresi kreatinin. Penurunan kadar
kreatinin juga dapat terjadi pada gagal jantung kongestif, syok, dan dehidrasi,
pada keadaan tersebut terjadi penurunan perfusi darah ke ginjal sehingga makin
sedikit pula kadar kreatinin yang dapat difi ltrasi ginjal. Kadar kreatinin serum
sudah banyak digunakan untuk mengukur fungsi ginjal melalui pengukuran
glomerulus filtration rate (GFR). Rehbeg menyatakan peningkatan kadar kreatinin
serum antara 1,2–2,5 mg/dL. 21
Kadar kreatinin yang dipergunakan dalam persamaan perhitungan
memberikan pengukuran fungsi ginjal yang lebih baik, karena pengukuran klirens
kreatinin memberikan informasi mengenai GFR Glomerular Filtration Rate.
Kreatinin merupakan zat yang ideal untuk mengukur fungsi ginjal karena
merupakan produk hasil metabolisme tubuh yang diproduksi secara konstan,
difiltrasi oleh ginjal, tidak direabsorbsi, dan disekresikan oleh tubulus proksimal.
Kreatinin serum laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena massa otot yang
lebih besar pada laki-laki. Nilai normal kadar kreatinin serum pada pria adalah
0,7-1,3 mg/dL sedangkan pada wanita 0,6-1,1 mg/dl. 21
Ada beberapa penyebab peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu
dehidrasi, kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat toksik pada
ginjal, disfungsi ginjal disertai infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, dan
penyakit ginjal. 21
PEMERIKSAAN LAINNYA
1. Pemeriksaan Kadar Asam Urat
Asam urat adalah produk katabolisme asam nukleat purin. Walaupun asam
urat difiltrasi oleh glomerulus dan disekresikan oleh tubulus distal ke dalam urin,
sebagian besar asam urat direabsorpsi di tubulus proksimal. Pada kadar yang
tinggi, asam urat akan disimpan pada persendian dan jaringan, sehingga
menyebabkan infl amasi. Bahan pemeriksaan untuk asam urat berupa heparin
plasma, serum, dan urin. Diet akan mempengaruhi kadar asam urat. Bahan
pemeriksaan yang lipemik, ikterik, hemolisis dapat menghambat kerja enzim,
sehingga menurunkan kadar asam urat pada pemeriksaan kadar asam urat yang
24
menggunakan enzim. Obat-obatan seperti salisilat dan thiazide akan
meningkatkan kadar asam urat karena menghambat ekskresi dan meningkatkan
reabsorpsi asam urat di tubulus proksimal ginjal. Asam urat stabil di dalam
plasma dan serum yang telah dipisahkan dari sel-sel darah. Serum dapat disimpan
3-5 hari di dalam refrigerator. 22
2. Pemeriksaan Cystatin C
Cystatin C adalah protein berat molekul rendah yang diproduksi oleh sel-
sel berinti. Cystatin C terdiri dari 120 asam amino merupakan cystein proteinase
inhibitor. Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus, direabsorpsi, dan dikatabolisme di
tubulus proksimal. Cystatin C diproduksi dalam laju yang konstan, kadarnya stabil
pada ginjal normal. Kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras,
usia, dan massa otot. Pengukuran cystatin C mempunyai kegunaan yang sama
dengan kreatinin serum dan klirens kreatinin untuk memeriksa fungsi ginjal.
Peningkatan cystatin C dapat memberikan informasi yang lebih awal pada
penurunan GFR <60 mL/min/1,73m2. 22
Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus, direabsorpsi, dan dikatabolisme oleh
sel tubulus ginjal. Keadaan laju filtrasi cairan yang menurun menunjukkan adanya
penurunan fungsi ginjal. Kadar cystatin C dalam darah yang meningkat akan
menggambarkan fungsi ginjal. Kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh massa
otot, jenis kelamin, usia, ras, obat-obatan, infeksi, diet, ataupun infl amasi.
Cystatin C dapat digunakan sebagai pengganti kreatinin dan klirens kreatinin
dalam menilai dan memantau fungsi ginjal. Cystatin C menjadi pilihan parameter
yang dapat menilai fungsi ginjal pada kondisi bila pengukuran kreatini tidak
akurat karena adanya gangguan pada metabolisme protein seperti pada sirosis
hati, obesitas, dan malnutrisi. 22
Kadar kreatinin serum (86,8%) dalam menentukan laju filtrasi glomerulus
pada fungsi ginjal normal. Cystatin C telah menunjukkan peningkatan pada laju fi
ltrasi glomerulus sebesar 88 mL/min/1,73m2, sedangkan kadar kreatinin serum
baru meningkat setelah laju fi ltrasi glomerulus 75mL/min/1,73m. 22
25
4. Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria merupakan suatu keadaan ditemukannya albumin dalam urin
sebesar 30-300 mg/24 jam. Keadaan ini dapat memberikan tanda awal dari
penyakit ginjal. Pemeriksaan mikroalbuminuria penting dilakukan pada pasien
diabetes melitus yang dicurigai mengalami nefropati diabetik. Pada stadium awal
terjadi hipertrofi ginjal, hiperfungsi, dan penebalan dari membran glomerulus dan
tubulus. Pada stadium ini belum ada gejala klinis yang mengarah kepada
gangguan fungsi ginjal, namun proses glomerulosklerosis terus terjadi selama 7-
10 tahun ke depan dan berakhir dengan peningkatan permeabilitas dari
glomerulus. Peningkatan permeabilitas ini menyebabkan albumin dapat lolos dari
fi ltrasi glomerulus dan ditemukan pada urin. Jika hal ini dapat terdeteksi lebih
awal dan dilakukan pemberian terapi yang adekuat untuk mengontrol glukosa
darah serta pemantauan tekanan darah yang baik maka gagal ginjal dapat dicegah.
Kadar albumin 50-200 mg/24 jam pada urin 24 jam memberikan informasi
terjadinya nefropati diabetik. Perbandingan albumin dan kreatinin 20-30 mg/g
mengindikasikan mikroalbuminuria. Metode pemeriksaan urin dipstik telah
tersedia untuk pemeriksaan yang spesifi k untuk albumin, yaitu 3’3’5’5’
tetrachlorophenol - 3,4,5,6 tetrabromosulfophthalein (buff er) dengan protein
akan membentuk senyawa berwarna hijau muda sampai hijau tua. 22
Pemeriksaan Inulin
Fructose polymer inulin dengan berat molekul 5.200 Da merupakan penanda yang
ideal untuk glomerular filtration rate. Inulin bersifat inert dan dibersihkan secara
menyeluruh oleh ginjal. Klirens inulin menggambarkan fungsi filtrasi Ginjal
karena inulin merupakan zat yang difiltrasi bebas, tidak direabsorpsi, dan tidak
disekresikan oleh tubulus ginjal. Pasien berpuasa terlebih dahulu sebelum
pemeriksaan kliren inulin dilakukan. Adapun cara pemeriksaan kliren inulin yaitu
25 mL inulin 10% diinjeksi intravena diikuti dengan pemberian 500 mL inulin
1,5% dengan kecepatan 4 mL/menit. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk
mengumpulkan urin setiap 20 menit sebanyak 3 kali. Pengambilan darah vena
untuk pemeriksaan inulin juga dilakukan pada awal dan akhir periode
26
pengumpulan urin. Penggunaan inulin untuk menilai fungsi ginjal membutuhkan
laju infus intravena yang konstan untuk mempertahankan tingkat plasma dan
kadar puncak yang telah dicapai. Pengukuran Inulin saat ini lebih sering dilakukan
dengan menggunakan inulinase. 22
27
pembekuan, trombosit dan AT-III. Hiperkoagulasi merupakan masalah serius
yang dapat menyebabkan vascular tromboembolism pada organ tubuh seperti
otak, mata, jantung, pembuluh darah perut, ekstremitas. Keadaan hiperkoagulasi
harus selalu diwaspadai karena dapat menyebabkan penderita jatuh dalam keadaan
stroke, infark miokard, peripheral vascular disease yang dapat mengancam jiwa. 23
28
oral, Ranitidine diekskresi melalui urin. Sediaan ampul mengandung ranitidin 25
mg/ml. Dosis untuk gangguan ginjal = 50 mg/12 jam; seharusnya diberikan 2
ampul/12 jam. 24
e. Injeksi furosemide 2 ampul/8 jam
Furosemid merupakan contoh diuretik kuat yang tergolong derivat
sulfonamid. Obat ini merupakan salah satu obat standar untuk gagal jantung
dengan edema, asites, edema karena penyakit gagal ginjal, dan edem paru.
Furosemid bekerja dengan menghambat reabsorpsi elektrolit Na+/K+/2Cl - di
ansa Henle asendens bagian epitel tebal. Pada pemberian intravena, obat ini
meningkatkan aliran dar ah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. 24
Pada CKD, diperlukan dosis furosemid yang jauh lebih besar daripada
dosis biasa. Hal ini karena banyaknya protein dalam cairan tubuli yang mengikat
furosemid sehingga menghambat diuresis, dan pada pasien dengan uremia, sekresi
furosemid melalui tubuli menurun. Furosemid juga dapat dikombinasikan dengan
ACE inhibitor atau antagonis reseptor angiotensin II untuk mengontrol tekanan
darah (hipertensi stage 2) pada CKD sekaligus gagal jantung. Dosis furosemid
adalah 20-80 mg IV, 23xsehari. 1amp=10mg/ml; 3x2 ampul=120 mg/hari; dosis
sudah sesuai. 24
f. Bicnat 3x1 tablet
Bicnat atau natrium bikarbonat diperlukan untuk mengatasi asidosis
metabolic yang sering terjadi pada pasien CKD stage 5. 24
g. Asam folat 3x1 tablet
Asam folat diperlukan untuk memperbaiki anemia pada CKD yang dapat
disebabkan oleh defisiensi asam folat. 24
h. Clonidine 3x0,15 mg
Klonidin (adrenolitik sentral) bekerja pada reseptor a-2 di SSP dengan
efek penurunan aliran simpatis. Efek hipotensif klonidin terjadi karena penurunan
resistensi perifer dan curah jantung. 24
i. Hemodialisis
Indikasi hemodialisis pada CKD adalah: bila laju filtrasi glomerulus
kurang dari 5ml/menit, atau salah satu dari kondisi:
29
- Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
- K serum >6 mEq/L
- Ureum darah >200 mg/dL
- pH darah < 7,1
- anuria berkepanjangan (>5 hari) kelebihan cairan
j. Transfusi PRC 450 cc
Untuk mengatasi anemia pada pasien, dilakukan transfusi darah. Kebutuhan PRC
= 3 x (Hb target-Hb sekarang) x BB = 3 x (10-6) x 40 = ±480 cc
2.10.1 Hemodialisa
Hemodialisis (HD) adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari
tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut
dialiser. Hemodialisis menggunakan prinsip-prinsip difusi zat terlarut menembus
membrane semipermeabel.Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung
mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Indikasi
dialisis pada Penyakit Ginjal Kronik adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG)
sudah kurang dari 5 mL/menit. Dialisis di anggap baru perlu di mulai bila di
jumpai salah satu dari hal berikut: Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata,
K serum > 6 mEq/L, Ureum darah > 200 mg/L, pH darah < 7,1, Anuria
berkepanjangan ( > 5 hari), dan fluid overloaded atau hipervolemia. 25
30
1. cadaveric-donor (donor ginjal dari individu yang telah meninggal) ialah Donor
jenazah berasal dari pasien yang mengalami mati batang otak akibat kerusakan
otak yang fatal, usia 10-60 tahun, tidak mempunyai penyakit yang dapat
ditularkan seperti hepatitis, HIV, atau penyakit keganasan (kecuali tumor otak
primer). Fungsi ginjal harus baik sampai pada saat akhir menjelang kematian.
Panjang hidup ginjal transplantasi dari donor jenasah yang meninggal karena
strok, iskemia, tidak sebaik meninggal karena perdarahan subaracnoid.
2. Living-donor (donor ginjal dari individu yang masih hidup) yang dibagi lagi
menjadi :
a. Related (donor ginjal dan resipien ginjal memiliki hubungan kekerabatan),
syarat:
1. Usia lebih dari 18 tahun s/d kurang dari 65 tahun.
2. Motivasi yang tinggi untuk menjadi donor tanpa paksaan.
3. Kedua ginjal normal.
4. Tidak mempunyai penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal dalam waktu jangka yang lama.
5. Kecocokan golongan darah ABO, HLA dan tes silang darah (cross match).
6. Tidak mempunyai penyakit yang dapat menular kepada resepien.
7. Sehat mental.
8. Toleransi operasi baik.
b. Non-related (donor dan resipien tidak memiliki hubungan kekerabatan).
c. Autograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal
dari individu yang sama.
d. Isograft adlah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal dari
saudara kembar.
e. Allograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal
dari individu dan dalam spesies yang sama.
f. Xenograft adalah transplantasi dimana jaringan yang dicangkokkan berasal
dari spesies yang berbeda. Misalnya ginjal baboon yang ditransplantasikan kepada
manusia. 27
31
2.12 PENATALAKSANAAN GIGI PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL
KRONIS
32
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinalakibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium. 25
2.14 Prognosis
2.15 Pencegahan
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia
terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur
keseimbangan cairan dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan
keseimbangan asam-basa darah, serta sekresi bahan buangan dan kelebihan
garam. Karen Kaufman tahun 2003 mengatakan hiperhomosistein dapat
merangsang terjadinya hiperkoagulasi darah dan beresiko terjadi trombosis.
Peningkatan kadar homosistein pada gagal ginjal kronik sejalan dengan
penurunan fungsi ginjal dan semakin meningkat pada gagal ginjal terminal.
Diagnosis adanya kelainan hiperkoagulasi dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, medical history dan pemeriksaan darah. Anamnesa yang akurat
akan sangat membantu menentukan gejala dan kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk melihat faktor-faktor pembekuan,
trombosit dan AT-III. Hiperkoagulasi merupakan masalah serius yang dapat
menyebabkan vascular tromboembolism pada organ tubuh seperti otak, mata,
jantung, pembuluh darah perut, ekstremitas. Keadaan hiperkoagulasi harus selalu
diwaspadai karena dapat menyebabkan penderita jatuh dalam keadaan stroke,
infark miokard, peripheral vascular disease yang dapat mengancam jiwa. 23
3.2 Saran
Hepatitis merupakan penyakit hati yang menular, sehingga sebaiknya operator
lebih memperhatikan universal precaution sebagai pencegahan tertularnya virus
hepatitis.
34
DAFTAR PUSTAKA
35
17. Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective.
MJAFI 2009;65:45-49
18. Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Program Pendidikan Dokter
Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,
IndonesiaCDK-237/ vol. 43 no. 2, th. 2016. P. 148-154.
19. A Astrid Alfonso, E. Mongan, Maya F. Memah. Gambaran kadar kreatinin
serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis. Jurnal e-
Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016. P. 178-179.
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Interpretasi Data
Klinik. 2011:51-53.
21. Warady BA, Chadha V. Chronic kidney disease in children: the global
perspective. Pediatr Nephrol 2007;22:2009.
22. Whyte DA, Fine RN. Chronic Kidney Disease in Children. Pediatr. Rev.
2008;29:335-341.
23. Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective,
update. MJAFI 2009;65:45-49
24. Hogg RJ et al. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease
in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification.
Pediatrics 2003;111:1416-1421.
25. Whyte DA, Fine RN. Chronic Kidney Disease in Children. Pediatr. Rev.
2008;29:335-341.
26. Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective,
update. MJAFI 2009;65:45-49
27. Scott S. DeRossi D, S. Garry Cohen D. Renal Disease. In: Martin S.
Greenberg D, Michael Glick D, editors. Burkett’s Oral Medicine. 11th ed.
OntarioBC Decker Inc; 2008.p 407-28
28. Proctor R, Kumar N, Stein A, Molen D, Porter S. Oral and dental aspects
of chronic renal failure. J Dent Res. 2005 Mar; 84 (3):19-208
29. Hamid, MJ, Dummer CD, Pinto LS. Systemic conditions, oral findings
and dental management of chronic renal failure patients; general
considerations and case report. Braz Dent J. 2006;17(2):166-70
30. Craig RG, Spittle MA,levin NW. Importance of Periodontal disease in the
kidney patient, Blood Purif. 2002;20 (1): 113-9
31. Akar H, Akar GC, Carrejo JJ, Stenvinkel P, Lindolhm B. Systemic
consequences of poor oral health in chronic kidney disease patients. Clin J
Am Soc Nephrol Jan: 6(1):218-26
32. Guzeldemir E, Toygar HU, Tasdelen B, Torun D. Oral health-related
quality of life and periodontal health status in patients undergoing
hemodialysis. J Am Dent Assoc. 2009 Oct;140(10):1283-93
33. Seymour RA, Smith DG. The effect of a plaque control programme on the
incidience abd severity of cyclosporin-induced gingival changes. J Clin
Periodontal. 1991. Feb; 18(2): 107-10
34. Westbrook P, Bednarczyk EM, Carlson M, Sheehan H, Bissada NF,
Regression of nifedipine-induced gingival hyperplasia following switch to
36
a same class calcium channel blocker, isradipine. J Periodontol. 1997 Jul;
68(7): 645-50
35. De la Rosa Garcia E, Mondragon Padilla A, Aranda Romo S, Bustamante
Ramirez MA. Oral muccosa symptomps, sign and lessions, in end stage
renal disease and non-end stage renal disease diabetic patients. Med oral
Patol Oral Cir Bucal. 2006 Nov-Dec; 11(6):E467-73
36. King GN, Healy CM, Glover MT, Kwan JT, Williams DM, Leigh IM, et
al. Prevalence and risk factors, associated with leukoplakia, hairy
leukoplakia, erythematous candidiasis, and gingival hyperplasia in renal
transplant recipients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1994 dec;
78(6):718-26
37. Jover Cavero A, bagan JV, Jimenez SorianoY, Poveda Roda R. Dental
management in renal failure: patients on dialysis. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal. 2008 Jul;13 (7) : E419-26
38. King GN, Thornhill MH. Dental attendance patterns in renal transplant
recipients. Oral Dis. 1996 Jun 2 (2): 145-7
37