Anda di halaman 1dari 17

Abstrak

Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Agar setiap dokter dapat memberikan
pelayanan yang maksimal maka dari itu dibuatlah suatu kode etik. Kode etik dapat diartikan
pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code
of Hammurabi dan Code of Hittites, namun kode etik yang terkenal sampai sekarang yaitu
sumpah Hippocrates. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika
kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4
kaidah dasar moral, yang diantaranya adalah beneficence, non maleficence, autonomy dan
justice. Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Hubungan
hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik.
Kata kunci : Etika, hukum, disiplin, malpraktik.

Abstract
In the relationship between doctor and patient therapeutic transaction occurs means
that each party has rights and obligations. In order for any doctor can give you maximum
service thus made a code of ethics. The code of conduct can be interpreted as a pattern of
rules, procedures, guidelines, ethical in performing an activity or job. Ethics of the medical
profession began to be known since the year 1800 BC in the form of the Code of Hammurabi
and the Code of Hittites, the famous code of ethics but till now i.e. the oath of Hippocrates.
Indonesia Medical Council, by adopting the principle of the ethics of Western medicine,
medical practice, stipulates that Indonesia refers to basic moral rules 4, such as beneficence,
non-maleficence, autonomy and justice. Medicine is a discipline rules and/or application of
the provisions relating to the provision of services that must be followed by doctors and
1
dentists. The legal relationship between doctor with patient originated from the pattern of
vertical relations between such paternalistic.
Keywords: ethics, law, discipline, malpractice.

Pendahuluan
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa
penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan
medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini
adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Agar setiap dokter dapat
memberikan pelayanan yang maksimal maka dari itu dibuatlah suatu kode etik.1
Kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai
pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara
atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik
menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam standar
perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk memberikan
pengabdian kepada masyarakat. Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas etis.
Chung (1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu menghargai harkat dan martabat, peduli
dan bertanggung jawab, integritas dalam hubungan, tanggung jawab terhadap masyarakat.
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan
pengembangan bagi profesi.1

Etika

2
Etika dalam masyarakat secara umum merupakan upaya mewujudkan nilai benar dan
salah yang dianut suatu kelompok masyarakat. Etika berkaitan langsung dengan moral juga
nilai dan norma yang menentukan suatu perilaku baik atau buruk. Menurut K. Bertens: Etika
adalah nilai-nilai dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. 2

Etik Profesi Kedokteran


Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk
Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa
pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk
sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah
sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct
bagi dokter.3
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. 1
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-
prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat,
menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral
(sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam
penerapan praktiknya secara skematis dalam gambar berikut : kedokteran, dengan prima facie
sebagai judge; penentu kaidah dasar mana yang dipilih ketika berada dalam konteks tertentu
(‘ilat) yang relevan.4
3
Beneficence
Mengutamakan kepentingan pasien adalah pengertian Beneficence secara menyeluruh
dan mendasar. Sikap mencegah kerugian, menyeimbangkan antara keuntungan dan kerugian
pasien, mengusahakan agar keuntungan bagi pasien lebih banyak merupakan prinsip dari
Beneficence. Menghormati pasien apapun keadaannya merupakan ciri khas Beneficence.
Dalam Beneficence, seorang dokter dituntut untuk lebih mengutamakan pasien dan lebih
memperhatikan pasien sehingga pasien dapat terjaga dengan baik kesehatannya. Terdapat dua
jenis Beneficence, yaitu:
 General Beneficence :
- Melindungi dan mempertahankan hak pasien
- Mencegah terjadi kerugian pada pasien
- Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada pasien
 Specific Beneficence :
- Menolong orang cacat
- Menyelamatkan orang dari bahaya.1,2
Terdapat 16 poin dalam proses menentukan Beneficence, yaitu:
1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain),
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia,
3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter,
4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya,
5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang,
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia,
7. Pembatasan “goal based”,
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien,
9. Minimalisasi akibat buruk,
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat,
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan,
12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan,
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan,
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus,
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah, dan
16. Menerapkan Golden Rule Principle.
4
Non Maleficence
Seorang dokter tidak boleh berbuat jahat atau membuat pasien menderita sehingga
pasien tidak dirugikan. Dalam non maleficence, dokter harus bisa mencari cara bagaimana
agar pasien tidak bertambah buruk dan berusaha agar mengurangi akibat buruk yang dapat
terjadi. Umumnya, non maleficence dapat ditemukan pada kasus gawat darurat. Terdapat 13
poin dalam proses menentukan non maleficence, yaitu:
1. Menolong pasien emergensi,
2. Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah :
a. Pasien dalam keadaan amat berbahaya (darurat) atau beresiko hilangnya sesuatu yang
amat berbahaya (gawat),
b. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut,
c. Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif,
d. Manfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter (hanya mengalami risiko
minimal),
3. Mengobati pasien yang luka,
4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia),
5. Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien,
6. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek,
7. Mengobati secara tidak proposional,
8. Tidak mencegah pasein dari bahaya,
9. Menghindari misrepresentasi dari pasien,
10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian,
11. Tidak memberikan semangat hidup,
12. Tidak melindungi pasien dari serangan, dan
13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/kerumah-sakitan yang
merugikan pihak pasien/keluarganya.

Autonomy
Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri) dan
kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan.1,2

5
Pada umumnya, autonomy dikaitkan dengan permintaan persetujuan kepada pasien
atas apa yang akan dokter lakukan. Jika pasien menolak saran pengobatan dari dokter, maka
dokter harus menghormati keputusan pasien dan tidak boleh memaksakan sarannya kepada
pasien. Terdapat 13 poin dalam proses menentukan autonomy yaitu:
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien,
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif),
3. Berterus terang,
4. Menghargai privasi,
5. Menjaga rahasia pasien,
6. Menghargai rasionalitas pasien,
7. Melaksanakan informed consent,
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri,
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien,
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri,
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi,
12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien, dan
13. Menjaga hubungan (kontrak).

Justice
Memberikan perlakuan yang sama kepada semua pribadi dalam posisi dan dalam
keadaan uang yang sama. Tidak membeda-bedakan apapun alasannya agar tidak terjadi
perasaan tidak adil ketika satu pribadi melihat pribadi lainnya yang diberi perlakuan berbeda
dengan dirinya. Tidak memandang SARA ataupun status sosial dalam melayani pasien.
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis keadilan:
a) Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b) Distributif (membagi sumber) : membagikan sesuatu kepada semua orang yang
membutuhkan tanpa memanang dan membeda-bedakan.
c) Sosial : kebajikan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
d) Hukum (umum) :
 Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang
berhak.
 Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama)
mencapai kesejahteraan umum.2
6
Ada 16 poin dalam proses menentukan justice yaitu:
1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal,
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan,
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama,
4. Menghargai hak sehat pasien (addordability, equality, accesibility, availibility, quality),
5. Menghargai hak hukum pasien,
6. Menghargai hak orang lain,
7. Menjaga kelompok rentan yang paling dirugikan,
8. Tidak membedakan pelayanan atas dasar SARA, status social, dll
9. Tidak melakukan penyalahgunaan,
10. Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien,
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya,
12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil,
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten,
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat,
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan, dan
16. Bijak dalam makroalokasi.

Disiplin Kedokteran
Profesi kedokteran merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena tugas
utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar
manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai
dokter, selain terikat oleh norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma
disiplin kedokteran, yang bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga
martabat dan keluhuran profesinya.5 Wilayah norma disiplin dapat dikenakan terhadap dokter
atau dokter gigi yang berprilaku dalam penyelenggaraan praktik kedokteran karena diluar
praktik kedokteran hanya ada pada wilayah norma etika dan hukum.6
Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter
gigi.7
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :8
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
7
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI merumuskan 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu:7
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal
penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik maupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah,
sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat
atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atauetika profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau
teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai
subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga
yang diakui pemerintah.
8
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuaki bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou
melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi
hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap
pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik
(SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI
untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

Hukum
Menurut Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya
mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari
bentuk dan isi konstitusi karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam
melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah. Jadi, dapat
9
disimpulkan bahwa hukum adalah sebuah kumpulan peraturan yang disusun untuk mengatur
masyarakat yang diikat olehnya.
Hukum Kedokteran
Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1 Pembuatan keputusan etik,
terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan
pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan
teori etik yang menggunakan 4 topik yang essential dalam pelayanan klinik, yaitu :
1. Medical indication
Topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai
untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini
ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dannon-malificence.
Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed concent.
2. Patient preferences
Memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etika meliputi
pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan keputusannya,
pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien dalam keadaan tidak
sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insan. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis yang berkaitan denganbeneficence, non-malificence dan autonomy.
4. Contextual features
Pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mendahului keputusan seperti faktor
keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.

Definisi Malpraktek
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct
or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the result injury,

10
loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”
(bahasa mudahnya: lalai). 1
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ ketidak-kompetenan yang
beralasan. Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter.
Profesional dibidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di
luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam pekerjannya masing-
masing. 1
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
“penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedoktean, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja
melanggar standar, dan lain-lain. 1
Selain itu malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian. Sementara itu
ketidak-kompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu kelalaian. 1
Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya malpraktik
bukanlah dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus ditinjau dari
bagaimana proses tindakan medis tersebut dilaksanakan. 1
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforseeable), atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya tetapi
dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan. 1
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian
11
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.1
Tolak ukur culpa lata adalah:
1. Bertentangan dengan hukum
2. Akibatnya dapat dibayangkan
3. Akibatnya dapat dihindarkan
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan.1
Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di
bawah standar.1
Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai.
Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang
sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi,
histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis,
hedonistis dan konsumtif, di mana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek di atas dapat
meluas.2
Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena:
1. Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk menyembuhkan penyakit
atau setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
2. Dokter akan bertindak hati-hati dan teliti
3. Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.2

Hubungan Dokter Pasien


Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan
vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father
knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul
bila pasien menghubungi dokter karena merasa ada sesuatu yang dirasakannya
membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa
pasien merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan
memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien
dan peranannya lebih penting daripada pasien.3
Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya
hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab
antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan
12
mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak
antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan
hubungan hukum.4 Dalam hukum dikenal dua macam perjanjian hubungan dokter-pasien,
yaitu:
1. Inspanningverbintenis yaitu perjanjian upaya. Artinya kedua belah pihak berjanji atau
sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
2. Resultaatsverbintenis yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan resultat atau hasil
yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya gugatan pada pasien terhadap dokter:
1. Semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat sehingga mereka lebih mengerti
tentang haknya.
2. Tingginya haparan masyarakat terhadap dokter
3. Komersial dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat
semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni:
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
 Adanya indikasi medis
 Bertindak secara hati-hati dan teliti
 Bekerja sesuai standar profesi
 Sudah ada informed consent
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada

13
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai
adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).4
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin
res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.4

Kejadian Tidak Diharapkan


Ketika memberikan pelayanan kepada pasien, terjadilah hubungan yang disebut
kontrak terapeutik. Dalam hubungan tersebut timbul hak, kewajiban dan tanggungjawab yang
mengikat para pihak dengan dilandaskan pada niat baik, kepercayaan dan kesetaraan. Di satu
pihak pasien dengan jujur menjelaskan masalahnya dan mempercayakan pengobatannya
kepada dokter dan di pihak lain dokter akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk
menolong pasien tersebut. Dalam perikatan ini, dokter harus berupaya sebaik mungkin
(inspannings verbintenis) sesuai standar profesi namun tidak dibenarkan untuk menjamin
hasil pengobatannya karena memang bukan perikatan hasil (resultaat verbintenis).5
Sekalipun dokter telah berupaya sebaik mungkin, adakalanya hasil pengobatan tidak
sesuai dengan harapan pasien ataupun dokter, ketidakberhasilan itu dapat berupa antara lain
timbulnya nyeri kronik, kecacatan, koma atau bahkan kematian. Kejadian tidak diharapkan
(KTD) ini disebut dengan adverse event. KTD dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Perjalanan penyakit yang tidak dapat dihentikan misal karena keganasan atau stadium
yang sudah lanjut; atau karena komplikasi penyakit yang terjadi kemudian.
2. Merupakan risiko yang tidak dapat diketahui atau dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable risk)
3. Merupakan risiko yang sudah dapat diketahui namun dapat diterima oleh pasien
(foreseeable but accepted)

14
4. Akibat dari kegagalan dokter melaksanakan pelayanan yang layak (reasonable care)
dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tanpa alasan yang dapat dibenarkan.5
Dalam hal nomer 1,2,3 diatas, dokter tidak harus bertanggungjawab selama dokter
tersebut telah melakukan asuhan medis sesuai standar profesi. Bila terjadi yang nomer 4,
dokter dapat dimintai pertangungjawaban karenanya.5
Mengingat adanya risiko pada tindakan pengobatan oleh dokter, maka dipandang perlu
diterbitkan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengatur
praktik kedokteran di Indonesia. Pengaturan Praktik Kedokteran dilaksanakan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai perwujudan otonomi profesi dalam melakukan
pengaturan diri (self regulation) pada profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Pengaturan
praktik kedokteran oleh KKI bertujuan 1) untuk melindungi masyarakat dan 2) untuk
meningkatkan mutu praktik kedokteran dan kedokteran gigi.5
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan dilakukan oleh KKI melalui berbagai kegiatan
diantaranya:
1. Meregistrasi dokter/dokter gigi praktik (practitioner) melakui penilaian kredential. Bila
dinilai memenuhi persyaratan mutu, kepada yang bersangkutan akan diberikan surat tanda
registrasi (STR) sebagai bukti kewenangannya untuk melaksanakan asuhan medis.
2. Melakukan pembinaan dan pengawasan kepada para praktisi diatas, melalui penyusunan
standar-standar praktik kedokteran diantaranya standar pendidikan profesi, standar
kompetensi, standar perilaku profesional dan manual-manual teknis lainnya.
3. Melakukan penegakan disiplin profesi kedokteran berupa penilaian kinerja dan perilaku
profesional dari dokter/dokter gigi yang berpraktik, yang dalam hal ini dilakukan oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)5
MKDKI adalah bagian dari KKI yang bersifat otonom dalam melaksanakan tugas
fungsionalnya. Tugas pokok MKDKI adalah menegakkan disiplin profesi kedokteran, yang
meliputi keahlian profesional (professional expertise) dan perilaku profesional (professional
behaviour)6
Keluhan pasien pada umumnya adalah, hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan dan
komunikasi yang tidak adekuat, baik karena pasien tidak memahami penjelasan dokter atau
karena informasi dokter yang tidak memadai sehingga pasien tidak memahami
permasalahnya dan kemudian menimbulkan respons emosional.5
Bila pasien tidak puas pada pelayanan dokter/dokter gigi, ada beberapa langkah yang
dapat dilakukan, yaitu:

15
1. Menanyakan kepada dokter atau manajemen rumah sakit dalam rangka meminta
penjelasan tentang penanganan terhadapnya.
2. Bila pasien menduga adanya pelanggaran disiplin yang serius, dan dalam rangka
meningkatkan kinerja dokter/dokter gigi, sebaiknya pasien mengadukan keluhannya
kepada MKDKI. Pengaduan tentang kinerja dokter/dokter gigi dapat disampaikan oleh
pasien atau keluarganya, atau oleh otoritas kesehatan seperti dinas kesehatan, departemen
kesehatan, sarana kesehatan, dan lain-lain.5
Setelah menerima laporan/pengaduan, MKDKI akan mengumpulkan fakta data dan
informasi untuk kemudian membentuk majelis yang akan melakukan pemeriksaan dalam
rangka menemukan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang telah dilakukan oleh
seorang dokter/dokter gigi.5
Bila ditemukan pelanggaran disiplin profesi maka MKDKI akam memberikan sanksi
disiplin dalam rangka memperbaiki inerja yang bersangkutan berupa peringatan tertulis,
reedukasi, pencabutan sementara STR dan SIP, atau pencabutan selamanya bila dipandang
kinerja dokter/dokter gigi tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.5
MKDKI tidak berwenang menyelesaikan sengketa medik atau memerintahkan pihak
lain untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi, maka bila menginginkan hal tersebut
pengadu dapat memanfaaatkan lembaga mediasi atau peradilan umum.5

Kesimpulan
Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter itu harus mengamalkan
etika kedokteran dan prinsip-prinsip etika kedokteran tersebut. Sebelum melakukan tindakan
ke atas pasien, dokter harus memberikan informed consent kepada pasien, sama ada secara
expressed atau implied consent, lisan atau tertulis supaya pasien dapat mendapatkan
penjelasan-penjelasan tentang tindakan-tindakan yang akan dilakukan ke atasnya dan juga
demi kebaikan dokter supaya dokter tidak dituntut dengan syarat dokter melakukan tugasnya
dengan benar.

16
Daftar Pustaka

1. Wasisto B, Sudjana G, Zahir H, Sidi IPS, Witjaksono M, Claramita M, et al. Komunikasi


efektif dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia;2008.h.7-21.
2. Elias S, Wayan K, Putu A. Modul komunikasi pasien-dokter: suatu pendetkatan holistik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.6-10.
3. Rafly A, Purwadianto A, Rusli A, Rasad A, Aswar B, Sampurna B, et al. Kemitraan
dalam hubungan dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2009.h.11-35.
4. Jusuf H, Amri A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2009.h.14.
5. Sampurna B, Zulhasmar S, Tjetjep D. Bioetik dan hukum kedokteran. Cetakan ke-2.
Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.h. 8; 77-9.
6. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode etik kedokteran indonesia dan
pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia;
2002.h.11.
7. Alwy S. Norma etika, disiplin, dan hukum di bidang kedokteran. Diunduh dari
www.hukor.depkes.go.id, 25 September 2017.
8. Lestari AY. Aspek hukum kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Diunduh dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id, 25 September 2017

17

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas 3
    Tugas 3
    Dokumen1 halaman
    Tugas 3
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Rangkuman
    Rangkuman
    Dokumen1 halaman
    Rangkuman
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Tugas 5
    Tugas 5
    Dokumen1 halaman
    Tugas 5
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Tugas 6
    Tugas 6
    Dokumen2 halaman
    Tugas 6
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Tugas 2
    Tugas 2
    Dokumen8 halaman
    Tugas 2
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • T UGAS4
    T UGAS4
    Dokumen1 halaman
    T UGAS4
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Rangkuman
    Rangkuman
    Dokumen1 halaman
    Rangkuman
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen1 halaman
    Dokumen
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Etiologi 1
    Etiologi 1
    Dokumen2 halaman
    Etiologi 1
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen4 halaman
    Daftar Pustaka
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Revisi
    Revisi
    Dokumen2 halaman
    Revisi
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Diare
    Diare
    Dokumen11 halaman
    Diare
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Ajdh
    Ajdh
    Dokumen1 halaman
    Ajdh
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • (27)
     (27)
    Dokumen30 halaman
    (27)
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • 26
    26
    Dokumen8 halaman
    26
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen1 halaman
    Dokumen
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Makalah 4
    Makalah 4
    Dokumen2 halaman
    Makalah 4
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Pneumothoraks Makalah
    Pneumothoraks Makalah
    Dokumen15 halaman
    Pneumothoraks Makalah
    windysi
    Belum ada peringkat
  • Pneumothoraks Makalah
    Pneumothoraks Makalah
    Dokumen15 halaman
    Pneumothoraks Makalah
    windysi
    Belum ada peringkat
  • Sken 7
    Sken 7
    Dokumen16 halaman
    Sken 7
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • PBL Blok 26 Keluarga Berencana
    PBL Blok 26 Keluarga Berencana
    Dokumen31 halaman
    PBL Blok 26 Keluarga Berencana
    alitharachma
    Belum ada peringkat
  • PBL Blok 23
    PBL Blok 23
    Dokumen17 halaman
    PBL Blok 23
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • III
    III
    Dokumen1 halaman
    III
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • WD
    WD
    Dokumen1 halaman
    WD
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Terjemahan Jurnal
    Terjemahan Jurnal
    Dokumen2 halaman
    Terjemahan Jurnal
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • KESIMPULAN
    KESIMPULAN
    Dokumen1 halaman
    KESIMPULAN
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Penunjang
    Pemeriksaan Penunjang
    Dokumen1 halaman
    Pemeriksaan Penunjang
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Etiologi 1
    Etiologi 1
    Dokumen2 halaman
    Etiologi 1
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat
  • Komplikasi
    Komplikasi
    Dokumen1 halaman
    Komplikasi
    anastasia vilda
    Belum ada peringkat