Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Agar setiap dokter dapat memberikan
pelayanan yang maksimal maka dari itu dibuatlah suatu kode etik. Kode etik dapat diartikan
pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code
of Hammurabi dan Code of Hittites, namun kode etik yang terkenal sampai sekarang yaitu
sumpah Hippocrates. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika
kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4
kaidah dasar moral, yang diantaranya adalah beneficence, non maleficence, autonomy dan
justice. Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Hubungan
hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik.
Kata kunci : Etika, hukum, disiplin, malpraktik.
Abstract
In the relationship between doctor and patient therapeutic transaction occurs means
that each party has rights and obligations. In order for any doctor can give you maximum
service thus made a code of ethics. The code of conduct can be interpreted as a pattern of
rules, procedures, guidelines, ethical in performing an activity or job. Ethics of the medical
profession began to be known since the year 1800 BC in the form of the Code of Hammurabi
and the Code of Hittites, the famous code of ethics but till now i.e. the oath of Hippocrates.
Indonesia Medical Council, by adopting the principle of the ethics of Western medicine,
medical practice, stipulates that Indonesia refers to basic moral rules 4, such as beneficence,
non-maleficence, autonomy and justice. Medicine is a discipline rules and/or application of
the provisions relating to the provision of services that must be followed by doctors and
1
dentists. The legal relationship between doctor with patient originated from the pattern of
vertical relations between such paternalistic.
Keywords: ethics, law, discipline, malpractice.
Pendahuluan
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa
penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan
medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini
adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Agar setiap dokter dapat
memberikan pelayanan yang maksimal maka dari itu dibuatlah suatu kode etik.1
Kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai
pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara
atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik
menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam standar
perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk memberikan
pengabdian kepada masyarakat. Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas etis.
Chung (1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu menghargai harkat dan martabat, peduli
dan bertanggung jawab, integritas dalam hubungan, tanggung jawab terhadap masyarakat.
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan
pengembangan bagi profesi.1
Etika
2
Etika dalam masyarakat secara umum merupakan upaya mewujudkan nilai benar dan
salah yang dianut suatu kelompok masyarakat. Etika berkaitan langsung dengan moral juga
nilai dan norma yang menentukan suatu perilaku baik atau buruk. Menurut K. Bertens: Etika
adalah nilai-nilai dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. 2
Autonomy
Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri) dan
kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan.1,2
5
Pada umumnya, autonomy dikaitkan dengan permintaan persetujuan kepada pasien
atas apa yang akan dokter lakukan. Jika pasien menolak saran pengobatan dari dokter, maka
dokter harus menghormati keputusan pasien dan tidak boleh memaksakan sarannya kepada
pasien. Terdapat 13 poin dalam proses menentukan autonomy yaitu:
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien,
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif),
3. Berterus terang,
4. Menghargai privasi,
5. Menjaga rahasia pasien,
6. Menghargai rasionalitas pasien,
7. Melaksanakan informed consent,
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri,
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien,
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri,
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi,
12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien, dan
13. Menjaga hubungan (kontrak).
Justice
Memberikan perlakuan yang sama kepada semua pribadi dalam posisi dan dalam
keadaan uang yang sama. Tidak membeda-bedakan apapun alasannya agar tidak terjadi
perasaan tidak adil ketika satu pribadi melihat pribadi lainnya yang diberi perlakuan berbeda
dengan dirinya. Tidak memandang SARA ataupun status sosial dalam melayani pasien.
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis keadilan:
a) Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b) Distributif (membagi sumber) : membagikan sesuatu kepada semua orang yang
membutuhkan tanpa memanang dan membeda-bedakan.
c) Sosial : kebajikan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
d) Hukum (umum) :
Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang
berhak.
Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama)
mencapai kesejahteraan umum.2
6
Ada 16 poin dalam proses menentukan justice yaitu:
1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal,
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan,
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama,
4. Menghargai hak sehat pasien (addordability, equality, accesibility, availibility, quality),
5. Menghargai hak hukum pasien,
6. Menghargai hak orang lain,
7. Menjaga kelompok rentan yang paling dirugikan,
8. Tidak membedakan pelayanan atas dasar SARA, status social, dll
9. Tidak melakukan penyalahgunaan,
10. Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien,
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya,
12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil,
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten,
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat,
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan, dan
16. Bijak dalam makroalokasi.
Disiplin Kedokteran
Profesi kedokteran merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena tugas
utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar
manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai
dokter, selain terikat oleh norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma
disiplin kedokteran, yang bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga
martabat dan keluhuran profesinya.5 Wilayah norma disiplin dapat dikenakan terhadap dokter
atau dokter gigi yang berprilaku dalam penyelenggaraan praktik kedokteran karena diluar
praktik kedokteran hanya ada pada wilayah norma etika dan hukum.6
Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter
gigi.7
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :8
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
7
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI merumuskan 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu:7
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal
penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik maupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah,
sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat
atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atauetika profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau
teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai
subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga
yang diakui pemerintah.
8
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuaki bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou
melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi
hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap
pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik
(SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI
untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
Hukum
Menurut Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya
mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari
bentuk dan isi konstitusi karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam
melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah. Jadi, dapat
9
disimpulkan bahwa hukum adalah sebuah kumpulan peraturan yang disusun untuk mengatur
masyarakat yang diikat olehnya.
Hukum Kedokteran
Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1 Pembuatan keputusan etik,
terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan
pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan
teori etik yang menggunakan 4 topik yang essential dalam pelayanan klinik, yaitu :
1. Medical indication
Topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai
untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini
ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dannon-malificence.
Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed concent.
2. Patient preferences
Memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etika meliputi
pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan keputusannya,
pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien dalam keadaan tidak
sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insan. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis yang berkaitan denganbeneficence, non-malificence dan autonomy.
4. Contextual features
Pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mendahului keputusan seperti faktor
keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.
Definisi Malpraktek
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct
or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the result injury,
10
loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”
(bahasa mudahnya: lalai). 1
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ ketidak-kompetenan yang
beralasan. Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter.
Profesional dibidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di
luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam pekerjannya masing-
masing. 1
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
“penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedoktean, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja
melanggar standar, dan lain-lain. 1
Selain itu malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian. Sementara itu
ketidak-kompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu kelalaian. 1
Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya malpraktik
bukanlah dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus ditinjau dari
bagaimana proses tindakan medis tersebut dilaksanakan. 1
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforseeable), atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya tetapi
dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan. 1
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian
11
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.1
Tolak ukur culpa lata adalah:
1. Bertentangan dengan hukum
2. Akibatnya dapat dibayangkan
3. Akibatnya dapat dihindarkan
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan.1
Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di
bawah standar.1
Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai.
Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang
sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi,
histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis,
hedonistis dan konsumtif, di mana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek di atas dapat
meluas.2
Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena:
1. Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk menyembuhkan penyakit
atau setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
2. Dokter akan bertindak hati-hati dan teliti
3. Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.2
13
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai
adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).4
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin
res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.4
14
4. Akibat dari kegagalan dokter melaksanakan pelayanan yang layak (reasonable care)
dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tanpa alasan yang dapat dibenarkan.5
Dalam hal nomer 1,2,3 diatas, dokter tidak harus bertanggungjawab selama dokter
tersebut telah melakukan asuhan medis sesuai standar profesi. Bila terjadi yang nomer 4,
dokter dapat dimintai pertangungjawaban karenanya.5
Mengingat adanya risiko pada tindakan pengobatan oleh dokter, maka dipandang perlu
diterbitkan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengatur
praktik kedokteran di Indonesia. Pengaturan Praktik Kedokteran dilaksanakan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai perwujudan otonomi profesi dalam melakukan
pengaturan diri (self regulation) pada profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Pengaturan
praktik kedokteran oleh KKI bertujuan 1) untuk melindungi masyarakat dan 2) untuk
meningkatkan mutu praktik kedokteran dan kedokteran gigi.5
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan dilakukan oleh KKI melalui berbagai kegiatan
diantaranya:
1. Meregistrasi dokter/dokter gigi praktik (practitioner) melakui penilaian kredential. Bila
dinilai memenuhi persyaratan mutu, kepada yang bersangkutan akan diberikan surat tanda
registrasi (STR) sebagai bukti kewenangannya untuk melaksanakan asuhan medis.
2. Melakukan pembinaan dan pengawasan kepada para praktisi diatas, melalui penyusunan
standar-standar praktik kedokteran diantaranya standar pendidikan profesi, standar
kompetensi, standar perilaku profesional dan manual-manual teknis lainnya.
3. Melakukan penegakan disiplin profesi kedokteran berupa penilaian kinerja dan perilaku
profesional dari dokter/dokter gigi yang berpraktik, yang dalam hal ini dilakukan oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)5
MKDKI adalah bagian dari KKI yang bersifat otonom dalam melaksanakan tugas
fungsionalnya. Tugas pokok MKDKI adalah menegakkan disiplin profesi kedokteran, yang
meliputi keahlian profesional (professional expertise) dan perilaku profesional (professional
behaviour)6
Keluhan pasien pada umumnya adalah, hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan dan
komunikasi yang tidak adekuat, baik karena pasien tidak memahami penjelasan dokter atau
karena informasi dokter yang tidak memadai sehingga pasien tidak memahami
permasalahnya dan kemudian menimbulkan respons emosional.5
Bila pasien tidak puas pada pelayanan dokter/dokter gigi, ada beberapa langkah yang
dapat dilakukan, yaitu:
15
1. Menanyakan kepada dokter atau manajemen rumah sakit dalam rangka meminta
penjelasan tentang penanganan terhadapnya.
2. Bila pasien menduga adanya pelanggaran disiplin yang serius, dan dalam rangka
meningkatkan kinerja dokter/dokter gigi, sebaiknya pasien mengadukan keluhannya
kepada MKDKI. Pengaduan tentang kinerja dokter/dokter gigi dapat disampaikan oleh
pasien atau keluarganya, atau oleh otoritas kesehatan seperti dinas kesehatan, departemen
kesehatan, sarana kesehatan, dan lain-lain.5
Setelah menerima laporan/pengaduan, MKDKI akan mengumpulkan fakta data dan
informasi untuk kemudian membentuk majelis yang akan melakukan pemeriksaan dalam
rangka menemukan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang telah dilakukan oleh
seorang dokter/dokter gigi.5
Bila ditemukan pelanggaran disiplin profesi maka MKDKI akam memberikan sanksi
disiplin dalam rangka memperbaiki inerja yang bersangkutan berupa peringatan tertulis,
reedukasi, pencabutan sementara STR dan SIP, atau pencabutan selamanya bila dipandang
kinerja dokter/dokter gigi tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.5
MKDKI tidak berwenang menyelesaikan sengketa medik atau memerintahkan pihak
lain untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi, maka bila menginginkan hal tersebut
pengadu dapat memanfaaatkan lembaga mediasi atau peradilan umum.5
Kesimpulan
Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter itu harus mengamalkan
etika kedokteran dan prinsip-prinsip etika kedokteran tersebut. Sebelum melakukan tindakan
ke atas pasien, dokter harus memberikan informed consent kepada pasien, sama ada secara
expressed atau implied consent, lisan atau tertulis supaya pasien dapat mendapatkan
penjelasan-penjelasan tentang tindakan-tindakan yang akan dilakukan ke atasnya dan juga
demi kebaikan dokter supaya dokter tidak dituntut dengan syarat dokter melakukan tugasnya
dengan benar.
16
Daftar Pustaka
17