Anda di halaman 1dari 16

KERAJAAN ISLAM YANG BERADA DI KALIMANTAN DAN

SULAWESI

Disusun untuk Mmemenuhi Tugas Mata Kuliah


Sejarah Islam Indonesia

Dosen Pengampu
Dese Yoelliani Wikaryo, M.Pd
Disusun Oleh
Kelompok 4

Ainunnida Wati : 170102010445


Mau'izatul Hasanah : 170102011089
M. Harits Akbari : 170102011054
Sandika Ibrahim : 170102011095

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan hati dan pikiran yang tulus dipanjatkan kehadirat Allah Swt., karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya makalah ini dapat hadir kehadapan pembaca sekalian.
Salawat dan salam dihaturkan kepada nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabatnya
yang setia mengorbankan jiwa raga, harta dan lainnya untuk tegaknya syiar islam yang
pengaruh dan manfaatnya hingga kini masih terasa.

Selanjutnya, makalah yang kini berada dihadapan pembaca merupakan makalah yang
masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
kami perlukan. Disamping itu, kami ucapkan terima kasih kepada ibu Dese Yoelliani
Wikaryo, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Sejarah Islam Indonesia, beserta teman-teman
sekalian yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Akhirnya, kami memohon kepada Allah swt semoga selalu melimpahkan taufik dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Banjarmasin, Februari 2020

Kelompok 4
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i

Daftar Isi ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan .............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Kerajaan Islam di Kalimantan ......................................................................3


B. Kerajaan Islam di Sulawesi............................................................................7

BAB III PENUTUP

Simpulan ...........................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................13


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang dimana kebanyakan adalah orang yang menganut
agama islam, karna dalam agama ini tidak ada system kasta atau yang lainnya seperti dalam
agama Hindu maupun agama Budha dimana agama itu sudah berkembangsebelum
kedatangan agama islam. Dalam agama islam derajad seorang itu sama, baik ia kaya mupun
ia miskin, yang menjadikan derajad orang tingggi adalah keimanan dan ketakwaan. Ini lah
yang menyebabkan kebanyakan orang memilih islam sebagai agama yang patut untuk di ikuti
atau diyakini.
Dalam agama islam Allah telah berfirman kepada manusia agar ia sering
menyampaikan agama islam kepada orang lain, yang dimana Firman Allah berbunyi
“samoaikanlah ajaranku walau satu ayat”. Rasulullah SAW menyampaikan ajaran Allah
kepada seluruh penduduk makkah berpuluh tahun dengan mendapat berbagai rintangan yang
ia hadapi, sebenarnya masyarakat pada waktu itu sudah yakin dengan agama islam, tapi para
bangssawan kaum quraisy membuanh jauh-jauh keyakinan itu, sebab dalam islam ini tidak
mengenal akan system kasta atau perbedaan yang lain, jadi kaum bangsawan sulit untuk
diajak masuk islam, dan dengan kesabaran dan akhirnya agma itu dapat diterima oleh orang-
orang baik kaum bangsawan maupun rakyat jelata. Akhirnya agama islam pun semakin
berkembang. Dari sinilah akhirnya islam dapat masuk dan berkembang di Indonesia ini.
Seiring dengan berkembangnya islam ini oara sejarawan melakukan berbagai
penelitian tentang bagaiman cara masuk dan berkembangnya islam di Indonesia ini, yang
kemudian adanya berbagai teori yang mincul dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
para sejarawan.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi dan Kalimantan tidak terlepas dari
perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan
dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa
dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap
orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan
dan profesinya mereka dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu
ayat al-Quran. Pada perkembangannya memang ada kelompok-kelompok yang secara khusus
menjadi penyebar agama. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di
antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak
kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa-Tallo

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Kerajaan Islam di Kalimantan?
2. Bagaimanakah Kerajaan Islam di Sulawesi?

C. Tujuan
1. Menjelaskan Kerajaan Islam di Kalimantan
2. Menjelaskan Kerajaan Islam di Sulawesi
BAB II
PEMBAHASAN

A. KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


Di Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak islam baik besar maupun
kecil. Kerajaan Islam di Kalimantan yang akan di bicarakan adalah kerajaan Banjar di
Kalimantan Selatan, Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dan Kerajaan Pontianak di
Kalimantan Barat; beserta proses kesejahteraan yang dialaminya, pertumbuhan dan
perkembangan serta beberapa catatan penting di bidang politik, ekonomi-perdagangan,
agama dan kebudayaan.
1. Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang
merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Nagara Dipa, Daha, dan
Kahuripan yang berpusat di daerah hulu sungai Nagara di Amuntai kini. Kerajaan Nagara
Dipa masa pemerintahan Putri Junjung Buih dan patihnya lambung Mangkurat, pernah
mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. mengingat pengaruh Majapahit sudah
sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito dan sebagainya tercatat dalam
kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan
Kronik Banjarmasin, konon diceritakan bahwa di kerajaan Daha setelah pergantian Pangeran
Sukarama oleh Pangeran Tumenggung timbul perpecahan dengan Raden Samudera cucu
Pangeran Sukarama. Raden Samudera dinobatkan sebagai Raja Banjar oleh Patih Masin,
Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden
Samudera minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan sejak itulah
kerajaan Samudera menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang
mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudera dengan Patih-Patih serta rakyatnya
adalah seorang penghulu Demak.
Islamisasi di daerah itu menurut A.A. Cense terjadi sekitar 1550 M. Sejak
pemerintahan Sultan Suryanullah kerajaan Banjar/Banjarmasin meluaskan kekuasaannya
sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan.
Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada
Sultan Suryanullah sebagai penguasa kerajaan Banjar/Banjarmasin. Setelah Sultan
Suryanullah wafat, kemudian digantikan oleh putranya yang tertua dengan gelar Sultan
Rahmatullah yang masih mengirimkan upeti ke Demak yang pada waktu itu sudah menjadi
kerajaan Pajang. Sultan Rahmatullah, yang memerintah kerajaan Banjarmasin adalah seorang
putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah adalah Sultan
Marhum panembahan atau dikenal dengan gelar Sultan Mustain Billah yang pada masa
pemerintahannya berupa memindahkan ibukota kerajaan ke Amuntai. Masa pemerintahan
Sultan Mustain Billah pada awal abad ke-17 ditakuti oleh kerajaan kerajaan-kerajaan
sekitarnya dan dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya kerajaan
Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban Arosbaya dan Mataram, di
samping menguasai daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur Tenggara, Tengah, dan
Barat.
Kerajaan Banjar atau Banjarmasin sejak pengaruh Belanda politik monopoli
perdagangan masuk di Kalimantan Selatan terus menerus terjadi perselisihan-perselisihan
baik dengan pihak Belanda maupun di lingkungan kerajaan Banjar sendiri, ditambah masalah
pedagang Inggris. Terutama sejak abad ke-18, yaitu sejak Belanda membuat benteng di pulau
Tatas tahun 1797 bahkan kelak pada abad ke-19, yaitu tepatnya tanggal 4 Mei 1826 melalui
kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, dalam hal ini pulau Tatas
diserahkan kepada Belanda, juga daerah Kuwin selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpal, dan
sebagainya.
Meskipun keadaan politik kerajaan Banjar yang kurang stabil itu boleh dicatat bahwa
pada abad ke-18 di kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad
Arsyad bin Abdullah Al-Banjari (1710-1745) lahir di Martapura. Atas biaya kesultanan pada
masa pemerintahan Sultan Tahlilullah (1700-1745) pergi belajar ke Haramayn selama
beberapa tahun. Sekembalinya ia mengajarkan fiqih atau Syariah dengan kitabnya Sabilal
Muhtadin. Iya juga ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz Al-Ma'rifah. Baik
riwayatnya maupun ajaran dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara panjang
lebar telah dibicarakan oleh Dr. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Sejak wafatnya Sultan Adam pada tanggal 1 November 1857, pergantian sultan-sultan
dengan campur tangan politik Belanda mulai menimbulkan pertentangan-pertentangan antara
keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda.
Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus terutama antara tahun 1859
sampai 1863 merupakan perjuangan baik rakyat maupun para pahlawan, antara lain Pangeran
Antasari, Pangeran Demang Lehman, dan haji Nasrun.1

1
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), h.85-88.
2. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yaitu di sekitar
pertemuan Sungai Mahakam dengan anak sungainya. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan
tertua di Indonesia. Dulunya kerajaan ini bercorak Hindu. Karena letak kerajaan yang
strategis, yakni berada di jalur perdagangan antara Cina dan India sehingga menunjang
ekonomi kerajaan dan menjadi pintu masuknya bagi agama Islam.2
Kedatangan Islam di Kalimantan Timur dapat diketahui dari Hikayat Kutai, yang
menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datang dua orang mubalig yang
bernama Datok ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Mereka datang di daerah Kutai
setelah mengislamkan masyarakat Sulawesi Selatan, lebih tepatnya di Makassar. Kemudian
Raja Mahkota mengadu kesaktian dengan mereka, namun kalah. Maka, Raja Mahkota pun
memeluk agama Islam. C.A. Mees memperkirakan bahwa Islam datang ke Kutai, dan mulai
dianut oleh Raja Kutai pada sekitar tahun 1575.3
Pada awal abad ke-17, kerajaan Kutai selanjutnya melakukan penyebaran agama Islam
ke daerah-daerah sekitarnya yang mana pada saat itu mulai didatangi pedagang-pedagang
VOC Belanda bahkan sampai penjajahan Hindia-Belanda, namun agama Islam pada saat itu
sudah mulai diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kertanegara dan rakyat-rakyatnya.4
3. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat ini antara lain
Tanjungpura dan Lawe pernah diberitakan Tome Pires (1512-1515). Tanjungpura dan Lawe
menurut berita musafir Portugis itu sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik
dengan Malaka dan Jawa, bahkah kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin
adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pate Unus.
Tangjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditas seperti banyak emas,
berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang
dimasukkan ke daerah itu, demikian juga jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang
berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah, dikatakan pula bahwa
rakyatnya banyak yang menjadi pedagang.5 Pada abad ke-17 kedua daerah kerajaan itu telah

2
https://khazanah.republika.co.id/berita/pl3l9u313/mengenal-tiga-kerajaan-islam-di-kalimantan
3
Abdul Hadi, Achmad Syahid, Badri Yatim, Bambang Pranowo, Hassam Muarif Ambary, Imran T.
Abdullah, M. Dien Madjid, Mohammad Damami, Oman Fathurrahman, Saleh Fatuhena, Sunarwoto, dan Uka
Tjandrasasmita, Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), h. 54.
4
Marwati Djoened Poesponegoro, sejarah Nasional Indonesia III, h. 89.

5
Cortesao, Armando, Suma Orientall of Tome Pires … Hakluyt Society, 1944/1967, hlm.223-225.
ada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik
dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Menarik perhatian, beberapa tahun yang lampau pernah dilaporkan kepada Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta bahwa di daerah Sukadana ditemukan nisan-nisan
kubur Islam dan ternyata setelah diteliti bentuknya menunjukkan persamaan dengan nisan-
nisan kubur dari Tralaya yang pernah diteliti oleh L. Ch. Damais. Nisan-nisan kubur dari
daerah Sukadana itu seperti halnya nisan-nisan kubur di Tralaya sekitar abad ke-14-15 M.
pendapat itu diperkuat bahwa kedua kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah
banyak hubungannya dengan Jawa dan Malaka sehingga kehadiran Islam di daerah
Kalimantan Barat di pesisir itu mungkin sudah ada sejak abad-abad tersebut. Demikian pula
Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa kerajaan
Banjar juga sudah masuk dalam pengaruhnya, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16 M.
meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada
pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 M atau tahun 1720 M ada rombongan pendakwah dari
Tarim (Hadramaut) yang diantaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan
membaca Al-Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadits. Mereka diantaranya Syarif Idrus bersama
anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menusuri sungai ke arah laut memasuki
Kapuas Kecil sampailah kesuatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif
Idrus kemudian diangkat menjadi pemimpin utama masyarakat ditempat itu dengan gelar
Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan
pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus
dikenal sebagai raja kubu dan daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan
keagamaan, banyak datang para pedagang dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus
(lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus bin Abdurrahman bin All bin Hassan bin Alwi bin
Abdullah bin Ahmad bin Husein bin Abdullah al-Aydrus) yang memerintah dari tahun 1199-
1209 H. Konon, ia gugur tahun 1870 M karena serangan musuh yang tidak diduga.
Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang
mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan Barat terutama ke Sukadana adalah Habib
Husein al-Gadri ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan
di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab namanya Syekh, karena itulah Habib al-
Gadri berlayar ke Sukadana. Dengan kesaktian Habib Husein al-Gadri mendapat banyak
simpati dari raja, sultan Matan dan rakyatnya Habib Husein al-Gadri pindah dari Matan ke
Mempawah untuk meneruskan syiar Islam, yang setelah wafat ia digantikan oleh salah satu
puteranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan
sejumlah rakyatnya ketempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan tempat inilah
mendirikan Keraton dan Mesjid Agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nurul Alam bin
Habib Husein al-Gadri dari tahun 1773-1808 M diganti oleh Syarif Kasim bin Abdurrahman
al-Gadri tahun 1808-1828 M dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan
sultan-sultan keluarga Habib Husein al-Gadri.

B. KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI


Kerajaan-kerajaan di Sulawesi bermula dari penggabungan beberapa desa atau wanua,
yaitu kesatuan-kesatuan adat yang diketuai oleh seorang tetua adat yang pada masyarakat di
Sulawesi Selatan disebut Anang atau Kaum. Kelompok-kelompok ini membentuk suatu
konfederasi yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi kerajaan. Sebutan lima pahalaa
(lima kerajaan) untuk kerajaan Gorontalo di Sulawesi Utara misalnya, disebabkan kerajaan
ini merupakan konfederasi atau penggabungan dari lima kerajaan kecil, yakni Gorontalo,
Limboto, Attinggola, dan Bone. Daerah-daerah itu yang sekarang menjadi Provinsi
Gorontalo. Di Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa terdiri dari 9 wilayah Glarang yaitu:
Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agangjene, Bisei, Kalling, dan Sero.
Demikian pula Bone sebelum terbentuknya kerajaan terdapat konfederesi pemerintahan yang
dikenal dengan nama kawerang, yaitu ikatan dari tujuh wanua (negeri) yang terdiri dari
Ujung, Tibojong, Ta, Taneta ri Atang, Tanete ri Awang, Ponceng, dan Mecege.
Menurut cerita sejarah, di sulawesi terdapat sejumlah kerajaan islam, yang terbesar
diantaranya adalah Gowa, Bone, dan Luwu. Selain itu, kerajaan Buton di Pulau Buton,
Sulawesi Tenggara dan Kerajaan Banggai di kepulauan Banggai kerajaan islam tertua di
Sulawesi dan pulau-pulau disekitarnya. Kapan sesungguhnya agama islam hadir di Sulawesi,
belum dapat ditentukan secara tepat. Menurut sumber-sumber lokal, (Lontara Bugis-
Makassar) agama islam dibawa kesulawesi selatan oleh tiga orang muballig, yaitu Abdul
Makmur Khatib Tunggal Dato ri Bandang, Sulaiman Khatib Sulung Dato ri patimang, dan
Abdul jawad Khatib Bungsu Dato ri Tiro. Bahkan dalam sumber-sumber lokal di Bima dan
Kutai di Kalimantan Timur, Dto ri Bandang adalah penyebar dan pembawa islam ke daerah
Bima dan Kutai. Dalam Kronik Kutai, Datok ri Bandang lebih dikenal dengan sebutan Tuan
di Bandang, ia danag ke Kutai bersama-sama Tuan Parangan untuk mengislamkan Raja
Mahkota, Sultan Kutai yang pertama memeluk agama islam. Demikian pula dengan catatan
harian kerajaan Bima (Bo), disebutkan bahwa Dato ri Bandang dan Dato ri Toro pernah
datang ke Bima sebagai utusan kerajaan Gowa untuk menyebarkan agama islam, bahkan
Dato ri Bandang dianggat sebagai guru agama islam Sultan Abdul Kahir, Sultan Bima yang
pertama. Dalam sumber Bugis-Makassar dinyatakan bahwa Dato ri Bandang menyebarkan
islam di Kerajaan Goa, Dato ri Patimang menyebarkan islam di Kerajaan Luwu, sedangkan
Dato ri Tiro adalah penyebar islam di daerah Tirp atau Bulukumba. Menurut Mattulada,
periode penerimaan islam di Sulawesi Selatan berlangsung dari 1603-1605. Kerajaan-
kerajaan di Sulawesi terdiri atas kerajaan Mataran dan kerajaan agraris. Contoh kerajaan
agraris yang memiliki boroksi pemerintahan yang kompleks dan memadai adalah kerajaan
Bone sedangkan yang mewakili kerajaan maritim adalah kerajaan Makassar (Gowa dan
Tallo) dan kerajaan Buton (Butun).
Faktor-faktor yang mendorong Makassar dan buton menjadi kerajaan maritim karena
letak geografis kerajaan ini pada persimpangan jalan laut yang sangat besar artinya bagi
perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana, yaitu selat makassar, Laut Jawa, laut flores,
dan Laut Banda. Di samping itu, jatuhnya makala ketangan Portugis pada 1511 mendorong
saudagar-saudagar Melayu, Aceh, dan Jawa ke bandar Makassar, termassuk pula pedagang-
pedagang India, Arab, Eropa, dan Cina.
Dikalangan masyarakat Bugis-Makassar pemimpin dari setiap kelompok politik
(kerajaan) disebut dengan istilah yang berbeda-beda sehingga kerajaannya pun disebut
dengan istilah yang berasal dari istilah untuk pemimpinya itu. Di Luwu pemimpinya disebut
datu, sedangkan kerajaannya disebut adatueng, di Gowa pemimpinya disebut karaeng, dan
kerajaannya disebut akaraeneng, di Bono pemimpin disebut arung, dan kerajaannya disebut
akarungeng. Disamping itu, masyarakat Bugis-Makassar mengenal pelapisan yang amat
tajam dan resmi. Di daerah-daerah di Sulawesi selatan terlihat adanya suau piramida sosial
dengan Raja (sultan). Dewan kerajaan serta kaum kerabatnya berada dipuncak piramida itu,
sedangkan rakyat petani yang banyak jumlahnya berada dibawah. Di antara kedua lapisan
sosial itu terdapat para kepala kaum atau para pedagang terkemuka, bersama-sama dengan
kerabat mereka yang merupakan lingkungan tersendiri. Anggota-anggota lapisan atas
biasanya sedapat mungkin cenderung untuk mempertahankan batas yang ketat antara lapisan-
;apisan sosial itu. Bagi orang kebanyakan (To-sama’ atau To-samara) terdiri atas kaum tani
nerdeka, dan orang-orang dari lapisan atas masyarakat terdiri dari kaum bangsawan. Warga
kerabat raja-raja (Ana’ karaeng) dipandang ssebagai orang-orang dari dunia yang berada dan
dianggap mulia. Meskipun demikian, terdapat juga semacam mobilitas sosial vertical yang
memungkinkan orang-orang dari lapisan bawah dapat sampai ke lapisan yang lebih tinggi,
melalui keunggulan priibadi seperti: keberanian dalam peperangan membela kepentingan
kerajaan atau karena menjadi hartawan yang terpandang dalam masyarakat (Mattulada,
1976:79).6
Pakar hukum asal Bima, Abdul Gani Abdullah membagi masyarakat Bima dalam
empat golongan, yaitu pertama, golongan raja-raja, longan bangsawan, golongan “dari” dan
pegawai istana dan rakyat biasa. Golongan kedua, raja adalah golongan yang menduduki
tingkat teratas. Dalam masyarakat Bima masa lalu, termasuk didalamnya permaisusi, istri-
istri raja/sultan, anak-anak raja (mantan raja atau sultan), keluarga keatas dan kesamping.
Golongan ini mengklim dari sebagai keturunan tokoh legendaris Sang Bima atau londo sang
Bima. Raja atau sultan dipilih dari keturunan Sang Ngaji Bima dari garis laki-laki meskipun
seorang raja atau anak raja tidak tertutup kemungkinan menikahi seorang wanita dari
golongan rakyat biasa. Golongan ketiga, bangsawan adalah orang yang mengaku jabatan
dalam pemerintahan secara turun temurun, sehingga keturunannya pun dimungkinkan untuk
mempunyai anggapan bahwa mereka memangku jabatan itu adalah pengakuan hukum bagi
kelanjutan bangsawannya. Dilihat dari fungsinya dalam pemerintahan, sebgai masyarakat
Bima berpendapat bahwa orang-orang yang termasuk golongan bangsawan adalah mereka
yang menduduki jabatan Tureli, Jeneli dan Bumi dalam lingkungan Bumi Na’e. akan tetapi,
ada juga yang berpendapat bahwa golongan bangsawan adalah pemangku jabatan redahan
atau bekerja dalam lingkungan istana (Gani Abdullah, 2004:108). Golongan yang keempat
adalah rakyat biasa yang merupakan golongan rendahan.
Dalam masyarakat Buton (Wolio) dikenal empat golongan masyarakat. Golongan
pertama disebut kaomu atau lakina, mereka adalh golongan bangsawan keturunan garis ayah
cikal bakal raja/sultan Buton, untuk laki-laki memakai gelar La Ode, misalnya La Ode
ManarFfa, sedangkan wanitanya dengan gelar Wa Ode atau Ode (tanpa La) misalnya Ode
Oga. Para sultan harus dipilih dari golongan ini. golongan yang kedua adalah kelompok
masyarakat yang disebut walaka, yakni para bangsawan keturunan garis ayah para penguasa
wilayah inti kerajaan yang kemudian bergabung mendirikan kerajaan Buton. Golongan ini
(Walaka) yang mempunyai hak memilih sultan. Kelompok ini sangat dekat dengan golongan
aristocrat singga dalam system perkawinan, seorang laki-laki dari golongan kaomu dapat atau
boleh kawin dengan seorng wanita wakala atau sebliknya. Golongan ketiga adalah penduduk
desa yang disebut papara atau maradika, atau yang sering juga disebut budak adat. Mereka
tinggal secara bebas dalam suatu masyarakat desa yang disebut kadie, di mana mereka
memperoleh posisi atau kedudukan dalam organisasi desa. Golongan yang keempat atau

6
Muklis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm. 175-182
yang terakhir adalah golongan budak atau betua. Golongan ini membentuk kelompok-
kelompok tertentu, baik dipusat kerajaan maupun didesa-desa yang diperlakukan sebaagai
budak oleh tuannya. Munculnya golongan budak antara lain disebabkan peperangan,
perhambaan karena minta perlindungan hidup, tidak dapat membayar utang dan Karena
dibeli. 7
Di samping kelompok sosial diatas masih ada kelompok sosial yang disebut analaki
dan limbo, yakni orang-orang yang diturunkan derajatnya, baik dari golongan kaomu maupun
walaka. Mereka tinggal di berbagai desa dan telah kehilangan haknya terhadap posisi
kekuasaan di kasultanan. Mereka setingkat lebih tinggi di atas papara atau maradika karena
disebabkan dari kewajiban membayar pajak. Hierarki sosial selain pada nama atau gelar
tampak juga pada bentuk rumah, pakaian, adat, dan alat-alat kebesaran kerajaan.8
1. Kerajaan Wajo
Bagaimana tumbuh dan berkembangnya kerajaan Wajo terdapat sumber hikayat lokal
yang berupa naskah-naskah aslinya dan pernah diteliti Dr. J. Noorduyn dengan judul, Een
Aehtiende-Eeuwse Kronik van Wadjo, yang penting bagi penulisan Wajo. Sejarah awal
kerajaan Wajo dikatakan masih gelap karena terdapat beberapa versi yang menceritakan
munculnya nama Wajo. Di antara cerita ada yang menghubungkan dengan pendirian
kampung Wajo oleh tiga anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu dari keturunan
dewa yang mendirikan kampung itu yang menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa
Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja
diseluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun takhta
karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita
bahwa sejak itu pengangkatan raja-raja di Wajo tidak lagi turun-temurun, tetapi melalui
pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi Arung-matoa, artinya raja yang pertama atau
utama.
Selama pemerintah Arung-matoa yang keempat, dewan pengereh-praja diperluas
dengan 3 Pa’betelompo (pendukung panji), 30 Arung-ma’bicara (raja hakim), dan 3 duta
sehingga jumlah anggota dewan 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara.
Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi kerajaan Bugis yang
besar. Pada masa pemerintahan Arung-matoa yang keempat, raja Wajo yang budiman dan
ahli siasat perang yang ulung, dan pemerintahannya selama 40 tahun.

7
Ibid. hlm.187
8
Ibid. hlm 188
Di atas telah dibicarakan antara kerajaan-kerajaan Wajo dengan Gowa terjadi
peperangan. Wajo pernah bersekutu dengan kerajaan Luwu dan bersatu dengan kerajaan
Bone dan Sopppeng dalam Perjanjian Tellum Pocco tahun 1582. Wajo pernah ditaklukkan
kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada tahun 1610.
Disamping itu, diceritakan pula dalam hikayat tersebut bagaimana Dato’ri Bandang dan
Dato’ Sulaemana memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya
dalam masalah kalam fikih. Pada waktu itu kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama
atau sara dan yang menjadi kadi pertama adalah konon seorang wali dengan mukjizatnya
ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di kerajaan Wajo selama tahun 1612 sampai
1679 diperintah oleh 10 orang Arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu
diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan, tetapi berulang kali Gowa juga
mencampuri urusan pemerintah kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu
kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan kerajaan Bone pada tahun 1643, 1660, dan
1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan kerajaan Bone, tetapi karena didesak
kerajaan Bone sendiri takluk kepada kerajaan Gowa-Tallo. Melalui perang besar-besaran
antara kerajaan Gowa-Tallo dibawah sultan Hasanuddin melawan VOC yang dipimpin
Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan Perjanjian
Bongaya tahun 1667 di mana terjadi penyerahan kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada
tahun 1670 kerajaan Wajo yang terlebih dahulu diserang tentara Bone dan VOC sehingga
jatuhlah ibukota kerajaan Wajo, yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur dalam
peperangan itu. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makasar
tentang penyerahan kerajaan Wajo kepada VOC.
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Di Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak islam baik besar maupun
kecil. Adapun Kerajaan Islam di Kalimantan adalah kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan,
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dan Kerajaan Pontianak di Kalimantan Barat. Kerajaan
Islam di Kalimantan awal mulanya terjadi karena Kerajaan Hindu berperang dengan kerajaan
Islam, tetapi akhirnya kerajaan Hindu menyerah di antaranya kerajaan Hindu di Candi Laras
dan Candi Agung di Tanjung Pura. Sebagian rakyat memeluk agama Islam termasuk
sebagian rakyat Dayak di pantai-pantai. Rakyat Dayak yang telah masuk Islam, ialah yang
sering disebut sebagai Dayak melayu, yang kebanyakan di Kuala Kapuas, Tumpung Laung
(Barito) dan beberapa kampung melayu, sebenarnya mereka tetap suku Dayak, hanya sudah
memeluk agama Islam.
Munculnyakerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang
berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur
perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena
mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban
yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka
dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA

Djoened, Poesponegoro Marwati dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III.

Jakarta: Balai Pustaka. 2008.

https://khazanah.republika.co.id/berita/pl3l9u313/mengenal-tiga-kerajaan-islam-di-

kalimantan

Hadi, Abdul, dkk., Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

2012.

Cortesao, Armando, Suma Orientall of Tome Pires … Hakluyt Society. 1944/1967.

Paeni, Muklis. Sejarah Kebudayaan Indonesi. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

Anda mungkin juga menyukai