Anda di halaman 1dari 19

1.

Menurut klasifikasi dari Lauren kanker pada lambung dibagi menjadi 2 jenis:
a. Tipe Intestinal yang banyak berasal dari chronic atropic gastritis dan intestinal
metaplasia
b. Tipe diffuse yang banyak berasal dari sel normal gaster

Tatalaksana berdasarkan pada stadium kanker, berikut rekomendasi tatalaksana menurut


JGCA (Japan Gastric Cancer tahun 2014

Sumber Sitarz 2018, Junli 2016


2. Pada terapi pankreatitis yang dilakukan adalah
a. Terapi support: Cairan Intravena, Penanganan nyeri, dan mobilisasi
b. Monitoring ketat terutama tanda-tanda pemburukan berdasarkan APACHE II score
c. Nutirisi harus segera diberikan baik kepada yang mengalami pankreatitis ringan
maupun berat
d. Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan nekrosis yang terinfeksi dan tampak
adanya gas yang terlihat di CT scan (Greenberg 2014)
Terapi pembedahan pada pankreatitis
Pembedahan pada pankreatitis dilakukkan terutama hanya pada pankreatitis dengan
komplikasi, terapi biasanya diusahakan terlebih dahulu dengan ekstrenal drainase,
pembedahan terbuka hanya dilakukan bila dengan eksternal drainase mengalami
kegagalan
Suresh 2015

3. Divertikulum Meckel

Divertikula Meckel adalah anomali kongenital pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh incomplete obliterasi dari duktus vitelline. Divertikula Meckel jarang terjadi dan sering tanpa
gejala klinis. Akan tetapi diverticulum merkel apabila bergejala menimnbulkan perasaan nyeri
perut mirip seperti appendicitis akan tetapi nyeri terlokalisasi di daerah periumbilikalis (Wong et
al., 2016) ( Sagar V, et al., 2006)

Komplikasi dari diverticulum mercel adalah perdarahan gastrointestinal, obstruksi usus,


perforasi, peritonitis dan fistula antara divertikulum Meckel dan apendiks juga telah dilaporkan.
Divertikulum Meckel biasanya ditemukan saat operasi.

Tatalaksana Divertikulum Merkel

Secara umum direkomendasikan bahwa


1. Divertikulum Meckel asimptomatik tidak direseksi kecuali terdapat kelainan yang
teraba (menunjukkan adanya mukosa ektopik), divertikulum panjang (> 4cm) dan leher
sempit atau pangkal divertikulum (lebar <2cm). Reseksi profilaksis elektif
divertikulum Meckel asimptomatik yang diidentifikasi pada pencitraan tidak
dianjurkan untuk anak-anak dan orang dewasa (Wong et al., 2016)

2. Divertikulum Meckel yang simptomatik (pendarahan, meradang) harus segera dan


dirujuk untuk intervensi bedah pada semua pasien (anak-anak dan orang dewasa) untuk
menghilangkan gejala. Pendekatan bedah standar adalah melakukan reseksi segmental
atau melakukan reseksi usus kecil terbatas diikuti dengan anastomosis end-to-end
primer jika divertikulum primer atau ulserasi dijumpai. Meskipun perdarahan
gastrointestinal dari divertikulum Meckel adalah komplikasi yang jarang, namun
apabila ditemui, maka lebih baik dilakukan reseksi usus kecil segmental diikuti oleh
ileoileostomy end-to-end daripada diverticulectomy sederhana. Terapi r pompa proton
inhibitojuga harus dimulai pada pasien ini. Penutupan melintang ileum dengan teknik
dijahit tangan atau menggunakan stapler linier di dasar pangkal, banyak penelitian telah
melaporkan bahwa manajemen laparoskopi divertikulum Meckel aman, hemat biaya
dan efisien, lebih sedikit komplikasi dan periode pemulihan yang lebih pendek
dibandingkan dengan laparotomi konvensional (Wong et al., 2016).

4. Intra-Abdominal Infection

Intra-abdominal Infection adalah: Kontaminasi mikroba pada rongga peritoneum dan


diklasifikasikan menurut etiologi.

 Primary microbial peritonitis : merupakan peritonitis yang disebabkan oleh inokulasi


langsung dari bakteri, yaitu melalui mekanisme mikroba menginvasi batas steril rongga
peritoneum melalui penyebaran hematogen dari sumber infeksi. Primary microbial
peritonitis sering terjadi pada pasien asites dan pasien gagal ginjal dimana terjadi retensi
cairan pada rongga peritoneum. Infeksi ini selalu bersifat monomikrobial dan jarang
memerlukan intervensi bedah. Diagnosis ditegakkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor
risiko seperti yang disebutkan sebelumnya, pemeriksaan fisik yang menunjukkan diffuse
tenderness dan tidak terdapat tanda infeksi local. Pemeriksaan penunjang tidak ditemukan
gambaran infeksi local pada pencitraan dan hasil lab menunjukan neutrophil lebih dari
250/mL dalam cairan peritoneum. Kultur biasanya akan menunjukkan adanya organisme
gram positif dan organisme penyebab yang paling umum adalah E coli, K pneumoniae, dan
S pneumoniae. Pengobatan dengan antibiotik yang sensitif terhadap organisme dan
diberikan selama 14 hingga 21. (Bulander, et al., 2019)

 Secondary microbial peritonitis: merupakan peritonitis yang terjadi setelah kontaminasi


rongga peritoneum karena perforasi, proses inflamasi yang hebat dan infeksi organ intra-
abdominal. Contohnya termasuk appendicitis, perforasi saluran pencernaan, atau
divertikulitis. Pada secondary microbial peritonitis terapi yang tepat adalah mengontrol
sumber infeksi dengan memperbaiki organ yang terkena dengan cara debridemen jaringan
nekrotik, jaringan yang terinfeksi, dan debris serta pemberian antimikroba yang sensitive
terhadap bakteri aerob dan anaerob. Jenis antibiotic bord spectrum dipilih karena pada
pasien diagnosis yang tepat tidak dapat ditetapkan sampai laparotomi eksplorasi dilakukan.
Sebagai contoh pada pasien perforasi kolon yang menyebabkan infeksi sejumlah besar
mikroba yang ada di kolon sehingga kombinasi antibiotic atau antibiotic tunggal yang
memiliki spectrum luas sangat diperlukan. Kontrol sumber infeksi dengan terapi surgikal
dan terapi antibiotik yang efektif menurunkan angka kejadian dikaitkan dengan tingkat
kegagalan yang rendah dan menurunkan tingkat kematian dan kegagalan terapi dikaitkan
dengan kematian lebih dari 40%. (Bulander, et al., 2019)

Kegagalan terapi intra-abdominal infection mengakibatkan dampak sebagai berikut

1. Abses intra-abdominal,
2. Kebocoran dari anastomosis gastrointestinal
3. Peritonitis tersier (persisten)

Pada peritonitis tersier dikaitkan dengan kondisi imunosupresi dan walaupun pengobatan
dengan menggunakan antibiotic yang adekuat, tingkat kematian oleh karena peritonitis tersier
lebih dari 50%. Pada komplikasi abses intra-abdominal maka tindakan yang terbaik adalah
eksplorasi ulang dan drainase bedah. Abses intraabdominal dapat didiagnosis secara efektif
melalui CT Scan dan terapi drainase intrakutan digunakan apabila abses single. Intervensi bedah
digunakan untuk abses yang multipel, abses yang berdekatan dengan struktur vital, dan yang
sumber kontaminasi sudah diidentifikasi. Antibiotik jangka pendek (3 sampai 5 hari) yang
memiliki aktivitas aerob dan anaerob merupakan gold standar selama pasien memiliki respon
klinis yang baik terhadap terapi, dan kateter drainase tidak dianjurkan apabila produksi cairan
kurang dari 10 hingga 20 mL / hari, tidak ada bukti adanya sumber kontaminasi yang
berkelanjutan, dan kondisi klinis pasien telah membaik (Bulander, et al., 2019)

(Bulander, et al., 2019)

1.2 Sepsis

Yang terpenting dalam pengelolaan pasien sepsis adalah konsep bahwa sepsis merupakan
keadaan darurat medis oleh sebab itu identifikasi dini dan penatalaksanaan segera yang tepat pada
jam awal perkembangan sepsis meningkatkan hasil terapi. Terapi resusitasi cairan awal, kontrol
sumber infeksi, pemeriksaan laboratorium, dan pengukuran hemodinamik merupakan tatalaksana
yang terbaik. ( Levy, et al., 2018)

Waktu awal identifikasi sepsis adalah waktu triase di IGD. Untuk melakukan penilaian awal dari
sepsis sendiri maka menggunakan kriteria qSOFA yang terdiri dari:

1. Penilaian GCS ≤ 13
2. RR ≥ 22
3. Sistolik Blood Pressure ≤100 mmHg

qSOFA dikembangkan sebagai alat skrining sederhana untuk mengidentifikasi pasien dengan
kemungkinan sepsis. qSOFA memiliki validitas prediktif untuk mortalitas di rumah sakit. Sindrom
respons inflamasi sistemik dan qSOFA adalah skor yang mudah dihitung (Napolitano, 2018).
qSOFA score (Napolitano, 2018)

Dan untuk penilaian lebih lanjut dari sepsis sendiri menggunakan SOFA Score yang terdiri dari

Tatalaksana untuk septik syok adalah sebagi berikut, dalam 1 jam pertama adalah sebagai
berikut:
1. Ukur serum laktat dan resusitasi serum laktat.
2. Dapatkan kultur darah sebelum pemberian antibiotik.
3. Berikan antibiotik broadspectrum
4. Mulai terapi cairan dengan kristaloid 30 ml/ kg untuk pasien hipotensi atau dengan serum
laktat > 4 mmol/l
5. Berikan vasopressin jika pasien hipotensi selama atau setelah resusitasi cairan dengan
target MAP ≥ 65 mmHg
.

5. Tokyo Guideline Jelaskan

Tokyo Guidelines merupakan alat kriteria diagnostik pada akut kolesistitis. TG18 (Tokyo
Guideline 2018) dulu merupakan alat diagnostik dengan spesifitas dan sensitivitas yang tinggi,
namun pada penelitian terbaru sensitivitas dan spesifitas hasil menurun sehingga disepakati untuk
mengkombinasi Tokyo Guidelines 13 dengan 18 sebagai alat diagnostik dan derajat keparahan
kolesistitis. Kriteria diagnostik TG13 untuk kolesistitis akut tetap digunakan sehingga TG18
merupakan hasil kombinasi dnegan TG 13. Sebuah studi di Jepang tentang hubungan antara
kriteria diagnostik dan faktor-faktor seperti lama rawat inap dan biaya medis menemukan
perbedaan yang signifikan secara statistik antara diagnosis yang pasti dan yang diduga
menunjukkan efektivitas kriteria diagnosis medis. Mengingat hasil studi validasi kami
menganggap bahwa tidak ada masalah besar dengan kriteria diagnostik TG13 untuk kolesistitis
akut, dan merekomendasikan agar mereka digunakan tidak berubah sebagai kriteria diagnostik
TG18 / TG13. Kriteria Tokyo Guideline 2013 dan 2018 antara lain adalah :

Kriteria diagnosis kholesistitis akut menurut TG18 / TG13 adalah sebagai berikut

A. Tanda lokal peradangan (1) Tanda Murphy, (2) massa / nyeri / nyeri kuadran kanan atas

B. Tanda peradangan sistemik (1) Demam, (2) peningkatan CRP, (3) peningkatan jumlah WBC
C. Temuan pencitraan Temuan pencitraan karakteristik kolesistitis akut
Diagnosis yang dicurigai: satu item dalam A + satu item dalam B.

Diagnosis pasti: satu item dalam A + satu item dalam B + C

Untuk mengetahui diagnosis keparahan dari akut kolesistitis maka digunakan kriteria sebagai
berikut:

6. Kriteria Sepsis Bundle Terbaru

Yang terpenting dalam pengelolaan pasien sepsis adalah konsep bahwa sepsis merupakan
keadaan darurat medis oleh sebab itu identifikasi dini dan penatalaksanaan segera yang tepat pada
jam awal perkembangan sepsis meningkatkan hasil terapi. Terapi resusitasi cairan awal, kontrol
sumber infeksi, pemeriksaan laboratorium, dan pengukuran hemodinamik merupakan tatalaksana
yang terbaik. ( Levy, et al., 2018)
Waktu awal identifikasi sepsis adalah waktu triase di IGD. Menurut Surviving Sepsis
Campaign Guidelines tatalaksana dari penanganan sepsis yang terbaru adalah sebagai berikut:

a) Mengukur Tingkat Laktat


Serum laktat bukan merupakan ukuran langsung dari perfusi jaringan akan tetapi dapat
digunakan sebagai pertanda hipoksia jaringan, Uji coba terkontrol secara acak telah
menunjukkan penurunan mortalitas yang signifikan apabila pasien sepsis dilakukan
resusitasi laktat. Jika laktat awal meningkat (> 2mmol / L), maka harus segera dilakukan
resusitasi untuk mengukur kadar laktat dan harus diukur kembali dalam waktu 2-4 jam
setelah resusitasi ( Levy, et al., 2018)
b) Kultur Darah Sebelum Terapi Antibiotik
kultur harus diperoleh sebelum pemberian antibiotik untuk mengoptimalkan identifikasi
patogen dan meningkatkan hasil terapi. Kultur darah dilakukan untuk mengecek bakteri
aerob dan anaerob. Akan tetapi terapi antibiotik yang tepat tidak boleh ditunda untuk
mendapatkan kultur darah. Berikan antibiotik broad secara intravena untuk pasien yang
mengalami sepsis atau syok septik. Terapi antimikroba empiris harus dipersempit setelah
hasil kultur keluar dan dihentikan jika pasien tidak infeksi. ( Levy, et al., 2018)
c) Berikan cairan IV
Resusitasi cairan awal yang efektif sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan
yang diinduksi sepsis atau syok septik. Resusitasi cairan awal harus dimulai segera setelah
identifikasi pasien sepsis dan harus selesai dalam waktu 3 jam setelahidentifikasi. Pedoman
terapi awal untuk pasien sepsis adalah minimal 30 mL / kg cairan kristaloid intravena.
Tidak adanya manfaat yang jelas setelah pemberian koloid sehingga mendukung
rekomendasi kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi awal pasien dengan
sepsis dan septik syok. ( Levy, et al., 2018)

d) Gunakan Vasopresor
Pemulihan segera perfusi jaringan ke organ vital adalah bagian kunci dari resusitasi. Jika
tekanan darah tidak kembali setelah resusitasi cairan awal, maka vasopresor harus dimulai
dalam jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rerata (MAP) ≥ 65 mm Hg. ( Levy, et
al., 2018).

7. Abdominal Compartemen Syndrome

Abdominal Compartment Syndrome (ACS) terjadi jika tekanan intra abdominal > 20
yang menyebabkan terjadinya disfungsi organ tunggal atau multipel yang sebelumnya tidak ada.
Sedangkan seara definisi Abdominal Compartement Syndrome didefinisikan sebagai hipertensi
intra abdominal yang cukup untuk menyebabkan penurunan fungsi fisiologis dan menyebabkan
gangguan pada organ seperti urin output menurun, dan penurunan preload serta curah jantung.
Mortalitas dan morbiditas pasien sangat tinggi akan pada kondisi pasien yang berkembang
menjadi ACS, oleh karenanya, pengenalan dan penanganan ACS harus ditangani segera
(Bulander, et al., 2019).
Abdominal compartment syndrome dibagi menjadi 2 macam yaitu :
 Primer : disebabkan karena hipertensi intraabdominal akibat cedera langusng ke abdomen
 Sekunder : disebabkan oleh hal diluar abdomen yang membuthukan resusitasi cairan secara
massif seperti trauma dada, trauma ekstremitas atau syok sepsis, penyebab dari sindrom
kopartemen berupa edema mukosa usus, perdarahan, dan asites
Klasifikasi Sindrom kompartemen abdomen berdasarkan tekanan kandung kemih
Keputusan untuk melakukan intervensi pembedahan tidak didasarkan pada IAH saja tetapi lebih
pada adanya disfungsi organ dalam hubungannya dengan IAH. Beberapa pasien dengan tekanan
12 mm Hg memiliki disfungsi organ, sedangkan IAP lebih tinggi dari 15 sampai 20 mmHg
signifikan pada setiap pasien. Dengan kelas III IAH, dekompresi dapat dipertimbangkan ketika
perut tegang dan tanda-tanda disfungsi ventilasi ekstrem disertai oliguria. Pada grade IV IAH,
dengan tanda-tanda ventilator dan gagal ginjal, dekompresi diindikasikan. Tidak seperti ACS
primer, di mana pembukaan kembali sayatan laparotomi yang sudah ada sebelumnya untuk
dekompresi dapat dengan mudah dilakukan, biasanya perlu banyak pertimbangan untuk
melakukan laparotomi sebagai dekompresi dalam kasus ACS sekunder, terutama tanpa adanya
kelainan intraabdominal primer (Bulander, et al., 2019).

Complication Intraabdomen Sindrome

Infeksi intraabdomen yang rumit meluas melampaui viskus berongga asal ke dalam ruang
peritoneum dan dikaitkan dengan salah satu pembentukan abses atau peritonitis.

Istilah ini tidak dimaksudkan untuk menggambarkan tingkat keparahan atau anatomi
infeksi. Infeksi yang tidak rumit melibatkan peradangan intramural dari ekstrak usus dan memiliki
kemungkinan besar berkembang menjadi infeksi yang rumit jika tidak diobati secara memadai.
Infeksi intraabdomen adalah penyebab paling umum kedua kematian menular di unit perawatan
intensif. Meskipun demikian, klasifikasi penyakit ini meliputi berbagai proses yang mempengaruhi
beberapa organ yang berbeda. Persyaratan untuk intervensi dalam sebagian besar kasus dan
kontroversi seputar pilihan dan sifat prosedur yang dilakukan menambah lapisan kompleksitas
pada manajemen pasien ini. Penatalaksanaan infeksi yang tepat telah berkembang pesat, karena
kemajuan dalam perawatan intensif suportif, pencitraan diagnostik, intervensi invasif minimal, dan
terapi antimikroba. Pedoman ini dimaksudkan untuk memberikan kerangka kerja yang melibatkan
berbagai tindakan perawatan ini.
8. Fistel Perianal dan Abses Perianal Pembagian dan Tatalaksana

Abses perianal merupakan manifestasi akut, dan fistula perianal merupakan bentuk kronis dari
proses supuratif. Dalam bentuknya yang paling sederhana, fistula perianal mewakili komunikasi
antara pembukaan internal di saluran anus dan pembukaan eksternal di mana abses telah terkuras.
Fistula dan abses dapat hidup berdampingan atau dikaitkan dengan pembukaan internal atipikal
dan beberapa saluran yang menghasilkan proses supuratif yang kompleks.

Fistel Perianal dan Abses Perianal

Penyakit suppuratif anorectal bias terjadi dalam waktu yang akut atau kronis. Sepsis anal karena
abses muncul dengan manifestasi akut dan fistula anal merupakan bentuk manifestasi kronisnya.
Dalam bentuk yang paling sederhana, fistula anal merupakan hubungan antara lubang internal pada
kanal anal dan lubang pada keluarnya abses saat drainase. Fistel dan abses bisa berdampingan atau
menjadi berhubungan dengan pintu internal yang atipikal dan sejumlah saluran yang menimbulkan
terjadi proses supuratif.

Klasifikasi

Abses anorektal diklasifikasikan menurut ruang perirectal yang terlibat dalam proses supuratif; ini
termasuk ruang perianal, ischiorectal, intersphincteric, submukosa, deep postanal, dan
supralevator (Gambar 160.1). Diberikan
proses supuratif dapat melibatkan beberapa ruang perirectal. Sebagai contoh, abses “tapal kuda”
klasik berasal dari kelenjar yang terinfeksi di garis tengah posterior yang memanjang melalui ruang
inter-spingterik dan postanal yang dalam ke satu atau kedua ruang ischiorectal. Suatu kondisi yang
dikenal sebagai "anus apung" dapat terjadi dengan penyebaran intersphincteric, supralevator, atau
koleksi ischiorectal yang sirkumanal. Sulit untuk secara akurat menilai kejadian berbagai abses
karena banyaknya klasifikasi dan pola rujukan yang tercermin dalam seri besar.4–8 Namun, abses
perianal merupakan jumlah terbesar dalam sebagian besar kasus
(Tabel 160.1).

9. Lima Indkasi Terapi Adjuvant pada Ca Colon


Lima indikasi terapi adjuvant pada Ca Colon antara lain adalah:Terapi ajuvan direkomendasikan
untuk KKR stadium III dan stadium II yang memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi
adalah:

1. jumlah KGB yang terambil <12 buah,

2 tumor berdiferensiasi buruk,

3. invasi vaskular atau limfatik atau perineural;

4. tumor dengan obstruksi atau perforasi, dan

5. pT4.

Kemoterapi ajuvan diberikan kepada pasien dengan WHO performance status (PS) 0 atau 1.
Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi
lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), serta elektrolit darah.
Terapi adjuvant adalah terapi untuk mencegah kembalinya kanker

Diberikan pada stage 2 dan 3


Perawatan setelah operasi
Pilihan untuk perawatan setelah operasi untuk kanker stadium II dan III dikembalikan pada
Panduan . Perawatan setelah operasi diberikan ketika semua kanker yang terlihat telah
dihilangkan. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk membunuh sel kanker yang tidak terlihat.
Beberapa orang tidak membutuhkan perawatan lebih lanjut setelah operasi. Jika pasien mendapat
adjuvant yang terbaik adalah mendapat kan sesegera mungkin untuk hasil terbaik.

Pilihan untuk perawatan setelah operasi (perawatan ajuvan) tergantung pada:

- Tahap kanker
- Jika tumor pasien dMMR / MSI-H
- Jika kanker pasien berisiko tinggi untuk kembali

Tingkat risiko tinggi jika kondisi ini dipenuhi:


- Margin bedah positif ( kanker dalam jaringan yang tampak normal di sekitar tumor)
- Margin Tutup margin bedah (kanker di dekat jaringan yang tampak normal di sekitar
tumor)
- Margin Batas bedah yang tidak diketahui (penilaian yang tidak jelas dari jaringan yang
tampak normal di sekitar tumor)
- Kanker tingkat 3 atau 4 (sel kanker cenderung tumbuh dan menyebar lebih cepat daripada
biasanya).
- Invasi Angiolymphatic (kanker yang menyebar ke kelenjar getah bening dan pembuluh
darah tumor)
- Invasi perineural (kanker yang menyebar di sekitar atau ke dalam saraf)
- Limfadenektomi terbatas ( kurang dari 12 kelenjar getah bening diperiksa)
- Obstruksi usus (tumor telah tumbuh cukup besar untuk memblokir usus)
- Perforasi yang terlokalisasi ( adanya lubang di usus yang disebabkan oleh tumor)
Daftra Pustaka

Levy, M. M., Evans, L. E. & Rhodes, A., 2018. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018
Update. Critical Care Medicine , 46(6), pp. 997-1000.
Bulander, R. E., Dunn, D. L. & Be, G. J., 2019. Surgical Infection. In: F. C. Brunicardi, ed.
Schwartz’s Principles of Surgery. United States: McGraw-Hill Education, pp. 157-183.
Flynn Makic, M. B. and Bridges, E. (2018) ‘Managing Sepsis and Septic Shock: Current
Guidelines and Definitions: Recent updates emphasize early recognition and prompt
intervention.’, AJN American Journal of Nursing, 118(2), pp. 34–41. Available at:
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=c8h&AN=127753195&lang=pt-
br&site=ehost-live&authtype=ip,cookie,uid.

Kiriyama, S. et al. (2018) ‘Tokyo Guidelines 2018: diagnostic criteria and severity grading of
acute cholangitis (with videos)’, Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Sciences, 25(1),
pp. 17–30. doi: 10.1002/jhbp.512.

Napolitano, L. M. (2018) ‘Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes’, Surgical Infections,
19(2), pp. 117–125. doi: 10.1089/sur.2017.278.

Sitarz, R. et al. (2018) ‘Gastric cancer: Epidemiology, prevention, classification, and treatment’,
Cancer Management and Research, 10, pp. 239–248. doi: 10.2147/CMAR.S149619.

Wong, C. S. et al. (2016) ‘Meckel’s diverticulitis: a rare entity of Meckel’s diverticulum’,


Journal of Surgical Case Reports, 2017(1), p. rjw225. doi: 10.1093/jscr/rjw225.

Anda mungkin juga menyukai