KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ketiga sebagai suatu laporan
atas hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XI semester IV
ini. Pada skenario yang berjudul “demam”, kami membahas masalah yang terkait dengan
patofisiologi terjadinya autoimunitas dan hipersensitivitas. Dari pemahaman tersebut
kami beranjak untuk membahas kemungkinan diagnosa pada skenario yaitu lupus
eritematosus sistemik. Penyakit tersebut kami bahas mendalam mulai dari definisi hingga
prognosis dan pencegahan.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam
menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario
ketiga ini baik pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang
kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai
manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat
kapada para pembaca.
1 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
DAFTAR ISI
2 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
SKENARIO
Skenario 3: Ruam
Helen, 28 tahun datang ke dokter praktek swasta
mengeluh demam hilang timbul sejak 1 bulan terakhir.
Setelah dianamnesis penderita juga mengeluh nyeri sendi
berpindah-pindah, pusing, mata kabur, lemas dan
penurunan berat badan. 1 minggu terakhir penderita
mengeluh kencing sedikit dan berbusa. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan ruam kemerahan di wajah dan ronki pada
kedua lapangan paru. Dokter kemudian melakukan
pemeriksaan lab dan didapatkan hasil anemia dan
leukopenia.
Pemeriksaan anamnesis, fisik, laboratorium apa lagi yang
diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis
penyakit diatas? Penyakit apa yang mungkin diderita Helen
dan bagaimana rencana penatalaksanaannya?
3 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
MAPPING CONCEPT
simptom
kerja banding
SLE RA
OA
Definisi
etiologi ANEMIA
epidemmiologi
penyakit
manifestasi klinis
autoimun lainnya
diagnosa: anamnesis,
pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
tatalaksana + edukasi
komplikasi
prognosis
pencegahan
4 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
LEARNING OBJEKTIF
1. mahasiswa dapat mengerti dan memahami mengenai SLE
a. Definisi
b. etiologi
c. epidemmiologi
d. manifestasi klinis
f. tatalaksana
g. komplikasi
h. prognosis
i. pencegahan
5 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
informasi yang di didapat pada skenario untuk mengarahkan diagnosa pada sebuah
penyakit yaitu:
data anamnesis
identitas pasien: wanita usia muda
demam hilang timbul sejak 1 bulan terakhir
nyeri sendi berpindah-pindah
pusing
mata kabur
lemas
penurunan berat badan +
kencing sediikit dan berbusa
data pemeriksaan fisik
malar rash
ronki pada kedua lapang paru
+
data pemeriksaan penunjang
anemia dan
leucopenia
6 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
temuan malar rash mengarahkan pada diagnosa SLE, tidak hanya itu karena temuan
lain dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang merupakan temuan yang
umum didapatkan pada penderita SLE
diagnosa lain yang paling mungkin yaitu reumatiod artirits
SLE vs RA
Pada SLE keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini
sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan Artritis Reumatoid
dimana pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi
yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Selain itu pada SLE gejala
artritis non-erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri,
bengkak dan efusi.
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit peradangan kronis sistemik yang
menyerang berbagai jaringan, tetapi pada dasarnya menyerang sendi untuk
menghasilkan suatu sinovitis proliferatif nonsupuratif yang sering kali berkembang
menjadi kehancuran tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dan menimbulkan
kecacatan akibat artirits.
DD seperti anemia dan OA tidak dijadikan diagnosa karena jarang menimbulkan
manifestasi seperti yang ditemukan pada pasien di scenario
7 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen sendiri yang disebabkan oleh hilangya
toleransi.
8 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
9 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
HIPERSENSITIVITAS
10 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
11 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
12 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
B. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas Tipe II disebabkan oleh modifikasi kimiawi pada permukaan sel
atau matriks yang terasosiasi antigen yang menghasilkan epitop yang dianggap asing di
mana sistem imun tidak toleran terhadapnya. Sel B berespon terhadap antigen ini dengan
memproduksi IgG yang mengikat sel tersebut dan mengubah mereka agar diterima untuk
menghancurkan aktivasi komplemen, pagositosis, dan antibody-dependent cytotoxicity.
Fenomena ini sering terjadi pada saat obat-obat berinteraksi dengan kompartemen darah,
dan mengubah antigen seluler darah tersebut. Anemia hemolitik terjadi karena mediasi
sistem imun yang menyebabkan penghancuran trombosit sehingga terjadi
trombositopenia.
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukanaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut
dapat merupakan molekul intrinsik normal bagi membran sel atau matriks ekstraselular,
atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya, metabolit obat). Pada
setiap kasus tersebut, respon hipertsensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang
diikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi. Pertama adalah reaksi yang
bergantung komplemen yang terjadi melalui dua mekanisme lisis langsung dan
opsonisasi. Contohnya adalaha reaksi transfusi. Sel darah merah dari seorang donor yang
tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan
antigen golongan darah donor. Kedua adalah sitotoksisitas selular bergantung antibodi
13 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
(ADCC) meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian
FcIgG; sasaran diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis maupun fiksasi
komplemen. Ketiga adalah disfungsi sel yang diperantai antibodi. Pada beberapa kasus,
antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau
mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Pada penyakit Graves,
antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang sel epitel tiroid
dan menyebabkan hipertiroidisme
14 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
- Merupakan kerusakan yang terjadi akibat aktivasi komplemen atau aktivasi sel
efektor yang menyertai proses pengendapan komples imun yang terbentuk saat
antibodi bertemu antigen pada berbagai organ dan jaringan
Mekanisme reaksi :
Membentuk kompleks
Antibodi bereaksi dengan
Antigen-antibodi
Antigen bersangkutan
Menimbulkan reaksi
Mengendap pada
inflamasi
jaringan tubuh
Mengaktivasi sistem
komplemen
Penglepasan anafilatoksin
(C3a dan C5a)
Vasodilatasi dan akumulasi PMN yang Merangsang PMN sehingga sel-sel tersebut
menghancurkan kompleks melepaskan isi granula berupan enzim-enzim
proteolitik (proteinase, kolagenase dan enzim
pembentuk kinin)
Merusak jaringan
15 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
16 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
tetapi karena fagosit menempel pada kompleks imun yang melekat erat pada
jaringan pembuluh darah, maka enzim lisosom sekaligus dapat merusak jaringan
Manifestasi klinis :
Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih
tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi
yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel
PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan
edema . reaksi ini disebut reaksi arthus. Agregasi trombosit dapat meningkatkan
penglepasan vasoactive amine atau mungkin juga dapat menimbulkan mikro-trombus
yang berakibat iskemia lokal.
Dalam suasana antigen berlebihan , kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang
larut dan beredar dalam sirkulasi sehingga mungkin menimbulkan reaksi sistemik
yang disebut serum sickness atau terperangkap diberbagai jaringan di seluruh tubuh
dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti yang terjadi pada
glomerulonefritis dan arthritis rheumatoid.
faktor keterangan
17 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
18 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
D. Hipersensitivitas tipe IV
19 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
20 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
21 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Contoh klasik reaksi tipe IV adalah reaksi tuberkulin (+) pada uji mantoux, dermatitis
kontak dan reaksi penolakan jaringan transplantasi jenis lambat. Selain itu, ada beberapa
jenis penyakit kronik yang merupakan manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe
lambat yaitu : tuberkulosis, lepra, blastomikosis, leishmaniasis, kasndidiasis,
dermatomikosis,dll. Penyakit ini disebabkan rangsangan kuman patogen secara terus
menerus dan berkelanjutan.
22 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
A. Definisi SLE
adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan adimediasi
oleh antibody dan kompleks imun.
B. Epidemiologi
Prevalensi di berbagai Negara sangat bervariasi, seperti di USA
prevalensi sekitar 15-50 per 100.000 orang dan lebih sering ditemukan pada etnik
African-americans.
Pada SLE yang disebabkan obat (drug induced LE) rasio ini
lebih rendah, yaitu 3:2
23 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
3. Insidensi SLE di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4
kasus per 10.000 penderita yang dirawat.
4. Insidensi SLE di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999
sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik
(10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah
penderita SLE yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17
wanita dan 3 pria. Jumlah penderita SLE yang menjalani rawat inap ada 12
orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang
dirawat di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita.
C. Mortalitas
Sejak pertengahan abad 20, penderita SLE yang bertahan hingga 10 tahun
meningkat dari 10% menjadi 70-90%.
Pasien wanita dengan onset penyakit setelah usia 60 tahun sebagian besar
memiliki prognosis baik.
Gagal ginjal dan infeksi interkuren adalah penyebab paling sering untuk
kematian yang terkait SLE.
Penyakit sistem saraf pusat yang meluas adalah penyebab kematian lain yang
paling sering.
Laju harapan hidup selama 10 tahun pada grup Dubois sejak 1950 hingga 1971
sebesar 87% pada pasien terkait kelainan ginjal.
24 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
genetik), infeksi dapat memancing respon dari sistem imun sehingga akan bisa
terjadi SLE.
4. Ras (kulit putih); Lebih banyak menyerang kulit putih daripada kulit hitam.
5. Pemakaian obat-obatan
6. Kehamilan bagi yng sudah ada faktor genetik
Akan menyebabkan lebih rentannya perdarahan danmeningkatkan kemungkinan SLE.
E. Etiologi SLE
25 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
3. Antibodi
Antinuklear
(ANA)
4. Faktor Pada SLE terdapat kelainan imunologis baik sel T, maupun sel
Imunologis B.
26 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
ANA ditujukan untuk melawan beberapa antigen nukleus. Adapun tabel yang
emnunjukan hubungan ANA dan SLE
Sifat Antigen Sifat antibodi SLE (%
positif)
Banyak antigen nuklear ANA generik (IF inderek) >95
(DNA, RNA, protein)
DNA asal Anti-DNA untai ganda 40-60
Histon Antihiston 50-70
Protein inti partikel ribonukleoprotein Anti-SM 20-30
nuklear kecil (antigen Smith)
Ribonukleoprotein (U1RNP) RNP nuklear 30-40
RNP SS-A (Ro) 30-50
RNP SS-B (La) 10-15
DNA topoisomerase I Scl-70 <5
Protein sentromer Antisentromer <5
Histidil-tRNA sintetase Jo-1 <5
27 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
patogenesis SLE
Pembentukan autoantibodi
Gen Lingkungan
-C14,C2,C4, -Sinar UV
-HLA, DR,3,8,MBL,Fc2A, -Infeksi?
3A,2B,IL-10MCP-1 -EBV(Eipstein Barr Virus)
T cell
Aktivasi sistem
komplemen abnormal Produksi autoantibodi
(ANA)terus menerus
Pelepasan bahanseperti:
-Bahan vasoaktif; Vasodilatasi
jaringan vaskular sehingga antibodi
autoreaktif gampang masuk
-Chemocine
-Chitokine= Manifestasi klinis
demam
Aktivasi
komplemen
29 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
30 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
31 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
32 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
33 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
34 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Manifestasi Prevalence, %
Acute confusional state or movement disorder 2–5
Aseptic meningitis, myelopathy <1
6. Cardiopulmonary 60
Pleurisy, pericarditis, effusions 30–50
Myocarditis, endocarditis 10
Lupus pneumonitis 10
Coronary artery disease 10
Interstitial fibrosis 5
Pulmonary hypertension, ARDS, hemorrhage <5
Shrinking lung syndrome <5
7. Renal 30–50
Proteinuria >500 mg/24 h, cellular casts 30–50
Nephrotic syndrome 25
End-stage renal disease 5–10
8. Gastrointestinal 40
Nonspecific (nausea, mild pain, diarrhea) 30
Abnormal liver enzymes 40
Vasculitis 5
9. Thrombosis 15
Venous 10
Arterial 5
10. Ocular 15
Sicca syndrome 15
Conjunctivitis, episcleritis 10
Vasculitis 5
35 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
36 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
b. Manifestasi musculoskeletal
37 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
c. Manifestasi kutaneus
d. Manifestasi Renal
nefritis bisanya dalah manifestasi paling serius dari SLE, terutama sejak nefritis dan
infeksi merupakan penyebab mortalitas pada dekade pertama penyakit. Sejak nefritis
asimptomatik pada sebagian besar pasien SLE, urinalisis harus dilakukan pada setiap
pasien yang suspek SLE. pada pasien dengan bentuk proliferasi berbahaya dari
38 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
kerusakan glomerular (ISN III dan IV) biasanya mengalami hematuria mikroskopik
dan proteinuria (>500 mg/24 jam), kira-kira setengahnya berkembang sindrome
nefrotik dan perkembangan hipertensi. Jika diffuse proliferative glomerulonephritis
(DPGN) tidak terobati, pada semua pasien berkembang ESRD dalam 2 tahun setelah
diagnosa.
Manifestasi yang timbul terjadi karena agregat kompleks imun akan disaring di ginjal
dan mengendap di membran basal glomerulus.Kompleks lainnya mungki
mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi
sebagai glomerulonefritis.Kerusakan ginjal menimbulkan proteinuri dan kadang-
kadang pendarahan.Derajat gejala penyakit dapat berubah – ubah sesuai dengan kadar
kompleks imun.Kelainan ginjal juga dapat menyebabkan kulit gatal,sakit/nyeri
dada,susah berpikir,mual dan muntah.
f. oklusi vaskuler
prevalensi TIA (transient ischemic attask), stroke dan infark miokard meningkat pada
pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat namun tidak eksklusif pada pasien
39 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL), sehingga sepertinya aPL ini meningkatkan
terjadinya emboli pada pasiennya.
g. Manifestasi pulmoner
maifestasi yang umum terjadi adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural.
Manifestasi ini jika sedang dapat berespon terhadap terapi dengan NSAID. Infiltrasi
pulmoner dapat terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dengan
infeksi. Manifestasi pulmonary seumur hidup meliputi inflamasi interstitial
menyebabkan fibrosis, shrinking lung syndrome, dan perdarahan intraalveolar;
kesemuanya membutuhkan terapi imunosupresan agresif.
h. Manifestasi kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling sering terjadi, ini biasanya
berespon terhadap terapi antiinflamasi dan jarang menyebabkan tamponade.
Manifestasi kardiak yang lebih seius adalah miokarditis dan endokarditis fibrinosa
dari Libman-Sacks. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi
valvular, lebih sering pada katup mitral atau katup aorta atau pada kejadian embolik.
Hal ini tidak membuktikan bahwa glukokortikoid atau imunosupresan lainnya
menyebabkan perkembangan miokarditis lupus atau endokarditis tapi biasanya
diberikan steroid dosis tinggi dengan terapi suportif yang sesuai untuk gagal jantung,
aritmia atau emboli. Pasien SLE memiliki resiko yang meningkat untuk terjadinya
infark miokard, biasanya karena percepatan aterosklerosis, dimana disebabkan oleh
inflamasi kronik dan ataukerusakan oksidatif kronik terhadap lpid dan organ.
40 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Fenomena Raynaud
adalah kondisi yang menurunkan kecepatan aliran
darah ke ekstremitas pada respon terpapar dingin,
stress, merokok,dan kafein. Fenomena Raynaud
merupakan problem yang sering pada SLE dan
mendahului tampilan penyakit.Akibatnya jari tangan
dan kaki menjadi pucat, biru atau merah. Fenomena
Raynaud dapat terbagi 2 yaitu Fenomena Raynaud
primer yang tidak terkait dengan penyakit lain dan
Fenomena Raynaud sekunder yang terkait dengan
penyakit lain
i. Manifestasi hematologik
manifestasi keterangan
41 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
j. manifestasi gastrointestinal
Nausea, terkadang vomiting dan diare dapat merupakan manifestasi SLE yang dapat
seperti nyeri abdomen yang difus disebabkan oleh peritonitis autoimun dan atau
vaskulitis intestinal. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotransferase (ALT) umum terjadi pada SLE aktif. Manifestasi ini biasanya
berkembang tepat selama terapi glukokortikoid sistemik. Vaaskulitis pada intestine
membutuhkan terapi seumur hidup, perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis
merupakan komplikasi yang sering terjadi. Terapi imunosupresan yang agresif dengan
dosis tinggi glukokortikoid direkomendasikan untuk control jangka pendek, bukti
adanya kekambuhan merupakan indikasi untuk terapi tambahan.
k. Manifestasi ocular
Syndrome Sicca (Sjögren's syndrome;) dan konjunctivitis non spesifik adalah yang
sering terjadi pada pasien SLE. Vaskulitis retinal dan neuritis optic adalah manifestasi
serius, kebutaan dapat berkembang setelah beberapa hari sampai minggu.
Imunosupresan agresif direkomendasikan, meskipun tidak ada kontrol trial untuk
42 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
G. diagnosis SLE
Kriteria diagnosis SLE ACR (American College of Rheumatology)
1. Ruam malar Eritema tetap, datar, atau meninggi, melebihi tonjolan malar,
cenfrung tidak mengenai lipatan nasolabialis.
2. Ruam diskoid Bercak eritematosa menonjol dengan skuama keratosis dan
sumbatan folikel; parut atrofi dapat muncul pada lesi yang
lebih lama.
3. Fotosensitifitas Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap
cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien atau
pengamatan dokter
4. Fotosensitifitas Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap
cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien atau
pengamatan dokter.
5. Ulkus mulut Ulserasi mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diamati
oleh dokter.
6. Artritis Artritis nonerosif yang mengenai ≥2 sendi perifer.
7. Serositis Pleuritis – adanya riwayat nyeri atau gesekan pleura yang
menyakinkan yang didengar oleh dokter atau bukti adanya
efusi pleura atau
Perikarditis – diperhatikan melalui EKG atau adanya
gesekan atau adanya efusi perikard.
8. Gangguan Proteinuria persisten (>0,5 g/dl atau >3+ bila tidak dengan
ginjal protein kuantitatif atau
Silinder sel – dapat berupa SDM, Hb, granula, tubulus, atau
campuran.
9. Gangguan Kejang – tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
neurologis metabolik yang diketahui (misalnya urema, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elktrolit) atau
Psikosis – tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
metabolik yang diketahui (misalnya urema, ketoasidosis,
43 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
b. Ab terhadap histon
d. Ab terhadap Ag nukleolus
44 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Secara klinis, metode yang paling sering digunakan untuk mendeksi ANA adalah
imunofluoresensi indirek, yang mendeksi berbagai macam Ag nukleus.
ANA positif pada 98% pasien SLE.
Diagnosis pasein SLE harus tetap merujuk pada kecocokan manifestasi klinis.
Jika hasil tes multiple autoantibodi (ANA, ds-DNA, SmDNA, anti-fosfolipid) positif
tetapi tidak terdapat manifestasi klinis ANA bukan SLE.
45 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Terapi
Bukan SLE
Bagan
berikutnya
46 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Terapi
Jika berespon,
hentikan
cyclosphosphamide;
Tidak Berespon terapi pemeliharaan
berespon dengan
mycophenolate atau
azathioprine
47 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
H. Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:
a. mendapatkan masa remisi yang panjang
b. menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin
c. mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup
keseharian tetap baik.
Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Juga diperlukan
mekanisme rujukan yang dimulai dari fasilitas kesehatan paling perifer. Pilar
Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
1. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan asupan akan
masalah aktifitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan
dengan aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Edukasi
memiliki tingkat kepercayaan tinggi yaitu pada evidence based level 1A. Butir-
butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 1
48 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Tabel 1
Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
49 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Lupus kutaneus sunscreen topical berupa krem, minyak lotion atau gel
yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,
salisilat dan sianamat → dapat menyerap UVA dan
UVB, harus dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat.
Glukokortikoid local, seperti krem, salep atau injeksi
(pemilihan preparat topical harus hati-hati
(glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat
diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,
depigmentasi, teleangiektaksis dan fragilitas)
Kulit muka → steroid local berkekuatan rendah dan
tidak diflorinasi (mis. hidrokortison)
Kulit badan dan lengan → steroid topical berkekuatan
sedang (mis. Betametason valerat dan triamsinolon
asetonid)
Lesi-lesi hipertrofik (mis. Di daerah palmar dan plantar
pedis) → glukokortikoid topical berkekuatan tinggi
(mis. Betametason dipropionat) → pemakaian dibatasi 2
minggu, kemudian diganti dengan yang berkekuatan
50 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
lebih rendah
Obat antimalaria → memiliki efek sunblocking,
antiinflamasi, dan imunosupresan
51 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Glukokortikoid dosis tinggi: bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam
nyawa (misalnya: Vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis,
iokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia
hemolotik, trombositopenia, sindrom otak organic, defek kognitif yang berat,
mielopatio, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)
Jenis dan dosis obat imunosupresan dan sitotoksik yang dapat dipakai pada SLE
Jenis obat Dosis Jenis toksisitas Evaluasi Pemantauan
Klinis Laboratorik
awal
Azatioprin 50-150 Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mg/hari, hepatotoksik, lengkap, mielosupresif tiap 1-2 minggu dan
dosis terbagi gangguan kreatinin, selanjutnya 1-3 bulan
1-3, limfoproliferatif AST/ALT interval. AST tiap
tergantung tahun dan pap smear
BB secara teratur
Siklofosfamid Per oral: 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
150 mg/hari gangguan lengkap, mielosupresif, dan urin lengkap tiap
IV: 500 limfoproliferatif, hitung jenis hematuria, dan bulan, sitologi urin
mg/M2 keganasan, leukosit, infertilitas dan pap smear tiap
dalam imunosupresi, urin tahun seumur hidup
dextrose 250 sistisis lengkap
ml, infuse hemoragik,
selama 1 jam infertilitas
sekunder
Metotreksat 7,5 – 20 Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mg/minggu, hepatic fibrosis, lengkap, mielosupresif, terutama hitung
dosis tunggal sirosis, infiltrate foto tórax, sesak napas, trombosit tiap 4-8
atau terbagi pulmonal dan serologi mual dan minggu, AST/ALT
3. dapat fibrosis hepatitis B muntah, ulkus dan albumin tiap 4-8
diberikan dan C pada mulut minggu, urin lengkap
pula melalui pasien dan kreatinin
injeksi risiko
52 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
tinggi,
AST,
fungís hati,
kreatinin
Siklosporin A 2,5 – 5 mg/kg Pembengkakan, Darah tepi Gejala Kreatinin, tes fungsi
BB, atau nyeri gusi, lengkap, hipersensitifitas hati, darah tepi
sekitar 100- peningkatan kreatinin, terhadap castor lengkap
400 mg/hari tekanan darah, urin oil (bila obat
dalam 2 peningkatan lengkap, tes diberikan
dosis, pertumbuhan fubgsi hati injeksi),
tergantung rambut, tekanan darah,
BB gangguan fungsi fungsi hati dan
ginjal, nafsu ginjal
makan menurun,
tremor
Mofetil 2000 mg.hari Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mikofenolat dalam 2 dosis leukopenia lengkap, gastrointestinal terutama leukosit dan
feses seperti mual, hitung jenisnya
muntah
53 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
Bagan di bawah ini memperlihatkan alur fungsi rujukan dari dokter umum di pusat
pelayanan kesehatan primer sampai ke bala bantuan SLE.
I. Prognosis
Perjalanan penyakit SLE sangat beragam. Walaupun tanpa pengobatan, beberapa
pasien mengalami perjalanan penyakit yang relatif jinak yang hanya disertai manifestasi
pada kulit dan/atau hematuria. Dalam kasus yang jarang, perjalanan penyakit demikian
cepat hingga terjadi kematian dalam waktu beberapa bulan saja. Penyakit tersebut paling
sering ditandai dengan remisi serta relaps berjangka waktu beberapa tahun hingga
54 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
beberapa puluh tahun. Serangan akut biasanya dikendalikan dengan menggunakan obat
steroid atau imunosupresif lainnya. Secara keseluruhan, dengan pengobatan yang
digunakan pada saat ini, dapat diperkirakan angka kelangsungan hidup untuk 5 tahun
adalah 90% dan untuk 10 tahun adalah 80%. Penyebab utama kematian adalah gagal
ginjal, infeksi yang ikut menyerang, dan serangan pada sistem saraf pusat yang difus.
J. Pencegahan
Prinsip dasar tindakan pencegahan pada SLE:
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan energi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol.
Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan
pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau dihindari.
Dapat juga dipakai lotion tertentu (sunscreener lotion) untuk mengurangi kontak
dengan matahari
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya,
pasien harus segera memeriksakan diri. Di Amerika dianjurkan vaksinasi dengan
vaksin unfulenza dan pneumokokus. Diperlukan terapi pencegahan dengan
antibiotik pada oprasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedah invasif lain.
5. Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat
pengobatan dengan obat imunosupresif.
55 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
KESIMPULAN
56 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun. 2005. Ilmu Penyakit Dalam FK UI. FK Universitas Indonesia. Jakarta
Fauci, Braunwald, dkk. 2008. Harrison’s Principal of Internal Medicine 17th Edition.
Mc-Graw Hill : US.
Kumar, Cotran,dan Robin. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1 Edisi 7. EGC: Jakarta.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 1. EGC: Jakarta
Goldman, Lee. Cecil Textbook of Medicine. 22nd edition. Pennsylvania : Sauders. 2004.
Sudoyo, dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam Jilid III edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.
57 KELOMPOK 5-BLOK XI