Anda di halaman 1dari 57

SKENARIO 3” RUAM”

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ketiga sebagai suatu laporan
atas hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XI semester IV
ini. Pada skenario yang berjudul “demam”, kami membahas masalah yang terkait dengan
patofisiologi terjadinya autoimunitas dan hipersensitivitas. Dari pemahaman tersebut
kami beranjak untuk membahas kemungkinan diagnosa pada skenario yaitu lupus
eritematosus sistemik. Penyakit tersebut kami bahas mendalam mulai dari definisi hingga
prognosis dan pencegahan.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam
menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario
ketiga ini baik pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang
kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai
manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat
kapada para pembaca.

Mataram, 18 Mei 2009

1 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................1


DAFTAR ISI .......................................................................................................................2
SKENARIO 3......................................................................................................................3
LEARNING OBJECTIVES.................................................................................................4
CONCEPT MAP .................................................................................................................5
PENENTUAN DIAGOSA PADA SCENARIO………………………………………......6
AUTOIMUNITAS…………………………………………………………………….......8
REAKSI HIPERSENSITIVITAS……………………………………………………......10
SLE……………………………………………………………………………………....24
KESIMPULAN .................................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................59

2 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

SKENARIO

Skenario 3: Ruam
Helen, 28 tahun datang ke dokter praktek  swasta
mengeluh demam hilang timbul sejak  1 bulan terakhir.
Setelah dianamnesis penderita juga mengeluh nyeri sendi
berpindah-pindah, pusing, mata kabur, lemas dan
penurunan berat badan. 1 minggu terakhir penderita
mengeluh kencing sedikit dan berbusa. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan ruam kemerahan di wajah dan ronki pada
kedua lapangan paru. Dokter kemudian melakukan
pemeriksaan lab dan didapatkan hasil anemia dan
leukopenia.
Pemeriksaan anamnesis, fisik, laboratorium apa lagi yang
diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis
penyakit diatas? Penyakit apa yang mungkin diderita Helen
dan bagaimana rencana penatalaksanaannya?

3 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

MAPPING CONCEPT

triger→ ndividu yang signs


rentan secara genetis diagnosa

simptom

kerja banding

SLE RA

OA
Definisi

etiologi ANEMIA

epidemmiologi
penyakit
manifestasi klinis
autoimun lainnya
diagnosa: anamnesis,
pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang

tatalaksana + edukasi

komplikasi

prognosis

pencegahan

4 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

LEARNING OBJEKTIF
1. mahasiswa dapat mengerti dan memahami mengenai SLE

a. Definisi

b. etiologi

c. epidemmiologi

d. manifestasi klinis

e. diagnosa: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

f. tatalaksana

g. komplikasi

h. prognosis

i. pencegahan

2. mahasiswa mengerti tentang ruam dan nyeri sendi pada SLE

3. mahasiswa mengetahui aspek-aspek edukasi yang perlu diberikan pada penderita


SLE untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya

5 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Penentuan Diagnosa Pada Skenario

informasi yang di didapat pada skenario untuk mengarahkan diagnosa pada sebuah
penyakit yaitu:

data anamnesis
identitas pasien: wanita usia muda
demam hilang timbul sejak 1 bulan terakhir
nyeri sendi berpindah-pindah
pusing
mata kabur
lemas
penurunan berat badan +
kencing sediikit dan berbusa
data pemeriksaan fisik
malar rash
ronki pada kedua lapang paru

+
data pemeriksaan penunjang
anemia dan
leucopenia

dari temuan-temuan di atas mengarahkan


pada sebuah kelainan yang bersifat
sistemik

6 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

temuan malar rash mengarahkan pada diagnosa SLE, tidak hanya itu karena temuan
lain dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang merupakan temuan yang
umum didapatkan pada penderita SLE
diagnosa lain yang paling mungkin yaitu reumatiod artirits
SLE vs RA
Pada SLE keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini
sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan Artritis Reumatoid
dimana pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi
yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Selain itu pada SLE gejala
artritis non-erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri,
bengkak dan efusi.
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit peradangan kronis sistemik yang
menyerang berbagai jaringan, tetapi pada dasarnya menyerang sendi untuk
menghasilkan suatu sinovitis proliferatif nonsupuratif yang sering kali berkembang
menjadi kehancuran tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dan menimbulkan
kecacatan akibat artirits.
DD seperti anemia dan OA tidak dijadikan diagnosa karena jarang menimbulkan
manifestasi seperti yang ditemukan pada pasien di scenario

7 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

AUTOIMUNITAS

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen sendiri yang disebabkan oleh hilangya
toleransi.

Mekanisme penyakit autoimun


1) kegagalan toleransi
kegagalan kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi.
2) gangguan anergi sel T
3) pemintasan kebutuhan sel B untuk bantuan sel T
mengubah epitop sel T dari suatu antigen sendiri
4) kegagalan supresi yang diperantarai sel T
5) mimikri molekular
beberapa agen infeksius memberikan epitop kepada antigen diri dan respon imun
yang melawan mikrobatersebut akan menghasilkan respon yang serupa terhadap
antigen diri yang beraksi silang
6) aktivasi limfosit poliklonal
autoimunitas dapat terjadi jika klon yang self reaktif terhadap anergik tidak diaktifkan
oleh mekanisme yang tidak tergantung antigen. Contoh superantigen yang
merangsang sel T CD4+ sehingga bertambah banyak tetapi tidak terdapat antigen
maka terjadi penimbunan sel T CD4+ ( autoimun).
7) pelepasan antigen terasing
ada antigen yang biasanya disimpan / diasingkan di dalam suatu organ.Pada saat
organ tersebut dibuang maka terjadilah pelepasan antigen.
8) pajanan epitop sendiri yang tersembunyi dan penyebaran epitop
sejumlah besar determinan sendiri tidak diproses sehingga tidak dikenali oleh sistem
imun jadi sel T semacam itu dapat menyebabkan penyakit autoimun jika epitop
tersebut kemudian disajikan dalam bentuk suatu imunogenik.

8 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

9 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

HIPERSENSITIVITAS

Tabel Empat Tipe Hipersensitivitas

Imunologi Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV (sel T)


spesifik
TH1 TH2 Sel T
Antigen Soluble Sel atau Soluble Soluble Soluble Antigen
antigen matriks antigen antigen antigen sel
allergen jaringan terasosiasi
antigen
Mekasnisme FcεRI atau FcγR, sel FcγR + sel Aktivasi Aktivasi Sitokin
efektor FcγRII- fagosit, sel komplemen makrofag eusinofil langsung
dependen NK,`system
aktivasi sel komplemen
mast dengan
rilis mediator
(sitokin)
Contoh Anafilaksis Reaksi obat Reaksi yang Reaksi Inflamasi Kontak
sistemik dan dimediasi kontak alergi dermatitis
inkompabili oleh Imun- dermatitis, kronis (ex:poiso
tas kompleks reaksi n ivy)
transfuse (ex:bacterial tuberkulin
darah endocardiitis)

10 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

A. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I


Reaksi Hipersensitivitas Tipe I dipacu oleh interaksi antigen dengan antigen-
spesifik IgE yang berikatan dengan reseptornya di sel mast yang menyebabkan aktivasi
sel mast. Enzim proteolitik dan mediator toksik seperti histamine, segera dirilis dari
preform granul, kemokin, sitokin, dan leukotrins yang tersintesis setelah aktivasi. Secara
bersamaan, mediator-mediator tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler, merusak
jaringan matriks protein dengan cara meningkatkan produksi eusinofil, aktivasi
interleukin (IL-3 dan IL-5 serta TNF-alpha), yang berujung kepada kerusakan jaringan.

Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE


sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc) pada permukaan sel mast
dan basofil

Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang


dengan dengan antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya
yang berisi granul yang menimbulkan reaksi

Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)


sebagai efek mediator-mediator yang dilepas dengan aktivitas
farmakologik

11 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Contoh penyakit yang timbul karena reaksi


hipersensitivitas tipe 1
asma bronkial
Rinitis
Urtikaria
dan dermatitis atopik

12 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

B. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas Tipe II disebabkan oleh modifikasi kimiawi pada permukaan sel
atau matriks yang terasosiasi antigen yang menghasilkan epitop yang dianggap asing di
mana sistem imun tidak toleran terhadapnya. Sel B berespon terhadap antigen ini dengan
memproduksi IgG yang mengikat sel tersebut dan mengubah mereka agar diterima untuk
menghancurkan aktivasi komplemen, pagositosis, dan antibody-dependent cytotoxicity.

Fenomena ini sering terjadi pada saat obat-obat berinteraksi dengan kompartemen darah,
dan mengubah antigen seluler darah tersebut. Anemia hemolitik terjadi karena mediasi
sistem imun yang menyebabkan penghancuran trombosit sehingga terjadi
trombositopenia.
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukanaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut
dapat merupakan molekul intrinsik normal bagi membran sel atau matriks ekstraselular,
atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya, metabolit obat). Pada
setiap kasus tersebut, respon hipertsensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang
diikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi. Pertama adalah reaksi yang
bergantung komplemen yang terjadi melalui dua mekanisme lisis langsung dan
opsonisasi. Contohnya adalaha reaksi transfusi. Sel darah merah dari seorang donor yang
tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan
antigen golongan darah donor. Kedua adalah sitotoksisitas selular bergantung antibodi

13 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

(ADCC) meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian
FcIgG; sasaran diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis maupun fiksasi
komplemen. Ketiga adalah disfungsi sel yang diperantai antibodi. Pada beberapa kasus,
antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau
mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Pada penyakit Graves,
antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang sel epitel tiroid
dan menyebabkan hipertiroidisme

Contoh reaksi tipe II


Destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi
Penyakit anemia hemolitik
Myasthenia gravis
Reaksi obat
Pempigus
Tirotoksikosis

C. Hipersensitivitas tipe III

14 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

- Merupakan kerusakan yang terjadi akibat aktivasi komplemen atau aktivasi sel
efektor yang menyertai proses pengendapan komples imun yang terbentuk saat
antibodi bertemu antigen pada berbagai organ dan jaringan
Mekanisme reaksi :

Pemaparan antigen Merangsang pembentukan


dalam jangka panjang antibodi (umumnya IgG)

Membentuk kompleks
Antibodi bereaksi dengan
Antigen-antibodi
Antigen bersangkutan

Menimbulkan reaksi
Mengendap pada
inflamasi
jaringan tubuh

Mengaktivasi sistem
komplemen

Penglepasan anafilatoksin
(C3a dan C5a)

Merangsang penglepasan berbagai mediator


(ex: vasoactive amine) dan faktor kemotaktik
oleh mastosit dan basofil

Vasodilatasi dan akumulasi PMN yang Merangsang PMN sehingga sel-sel tersebut
menghancurkan kompleks melepaskan isi granula berupan enzim-enzim
proteolitik (proteinase, kolagenase dan enzim
pembentuk kinin)

Merusak jaringan

15 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Kompleks imun dapat menyulut berbagai jenis proses inflamasi, karena :

1. Kompleks imun berinterkasi dengan sistem komplemen dan menghasilkan C3a


dan C5a (anafilatoksin). Fragmen-fragmen komplemen ini merangsang
penglepasan vasoactive amine (termasuk histamin) dan faktor khemotaktik yang
berasal dari mastosit dan basofil. C5a juga merupakan faktor khemotaktik bagi
basofil, eosinofil, dan neutrofil
2. Makrofag distimulasi untuk melepaskan sitokin, khususnya TNFα dan IL-1 yang
mempunyai peran penting pada inflamasi
3. kompleks imun segera merinteraksi dengan basofil dan trombosit melaluirseptor
Fc dan menghasilkan vasoactive amine. Substansi ini menyebabkan retraksi sel
endotel , dengan demikian meningkatkan permeabilitas vaskuler, memberi
kesempatan untuk pengendapan kompleks imun pada dinding pembuluh darah
dan endapan kompleks imun itu kemudian membentuk C3a dan C5a selanjutnya.
Sel-sel PMN ini ditarik ke tempat bersangkutan dan seharusnya dapat menelan
kompleks imun tetaspi hal itu sulit dilakukan karena kompleks imun melekat pada
dinding pembuluh darah. Untuk mengatasi hal itu, PMN melepaskan enzim
lisosom dengan cara eksositosis untuk menghancurkan deposit kompleks imun,

16 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

tetapi karena fagosit menempel pada kompleks imun yang melekat erat pada
jaringan pembuluh darah, maka enzim lisosom sekaligus dapat merusak jaringan

Manifestasi klinis :

 Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih
tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi
yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel
PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan
edema . reaksi ini disebut reaksi arthus. Agregasi trombosit dapat meningkatkan
penglepasan vasoactive amine atau mungkin juga dapat menimbulkan mikro-trombus
yang berakibat iskemia lokal.
 Dalam suasana antigen berlebihan , kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang
larut dan beredar dalam sirkulasi sehingga mungkin menimbulkan reaksi sistemik
yang disebut serum sickness atau terperangkap diberbagai jaringan di seluruh tubuh
dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti yang terjadi pada
glomerulonefritis dan arthritis rheumatoid.

Faktor yang berpengaruh

faktor keterangan

a. Ukuran kompleks Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit,


imun kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai.
Komples imun berukuran besarbiasanya dapat
disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit,
tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar
dalam sirkulasi untuk beberapa waktu.

b. Kelas Pembersihan (clearence) kompleks imun juga dapat


imunoglobulin dipengaruhi oleh kelas imunoglobulin yang
membentuk kompleks. Kompleks igG mudah melekat

17 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan-lahan


dari sirkulasi, tetapi tidak demikian halnya dengan IgA
yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan tidak
dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan
kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan
misalnya ginjal, paru dan otak.

c. Aktivasi Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapar


komplemen mencegah pengendapan kompleks imun karena C3b
yang terbentuk dapat menghambat pembentukan
kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b
akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu
dibawa ke hepar dimana kompleks itu dihancurkan
oleh makrofag. Bila sistem ini terganggu, maka
kompleks di atas akan membentuk kompleks yang
berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap di
berbagai jaringan atau organ.

d. Permeabilitas Penyulut yang penting untuk pengendapan kompleks


pembuluh darah imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular.
Peningkatan permeabilitas vaskular dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan
penglepasan vasoactive amine. Semua hal yang
berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus
dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit,
basofil dan trombosit yang dapat memberikan
kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vaskular.

e. Proses Pengendapan komples imun paling mudah terjadi di


hemodinamik tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada
turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap dalam
glomeerulus dimana terkanan darah meningkat hingga
4 kali dan dalam dinding perkembangan arteri dan di

18 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

tempat-tempat terjadinya filtrasi.

D. Hipersensitivitas tipe IV

- Disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat / hipersensitivitas seluler


- Pada umumnya timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan pada antigen
- Tidak melibatkan antibodi, tetapi melibatkan sel-sel limfosit T
- Dikenal beberapa jenis reaksi hipersensitivitas tipe lambat yaitu reaksi kontak, reaksi
tuberkulin, dan reaksi granuloma

Jenis reaksi keterangan


hipersensitivitas

1. Reaksi kontak  Ditandai dengan reaksi eksim pada tempat terjadinya


kontak dengan alergen yang dapat berupa hapten,
misalnya logam, zat warna maupun zat kimia
 Hapten umumnya terlalu kecil untuk menjadi antigenik
tetapi pada reaksi hipersensitivitas kontak, hapten
menembus epidermis kemudian mengikat protein yang
disebut carrier protein.
 Pengenalan oleh sel T adalah spesifik untuk konjugat
hapten carrier bersangkutan, dan tidak untuk masing-
masing komponen
 Reaksi kontak terjadi dalam lapisan epidermis
 Sel APC utama yang berperan dalam reaksi ini adalah
sel langerhans yang mengekspresikan CD1, MHC
kelasII serta reseptor untuk Fc imunoglobulin dan
reseptor untuk komplemen.
 Proses Sensitisisasi pada manusia berlangsung selama
10-14 hari
 Segera setelah diabsorpsi, hapten berikatan dengan
protein dan ditangkap oleh sel langerhans yang
kemudian bergerak melalui pembuluh getah bening
menuju bagian parakortikal kelenjar limfe
 Dalam waktu 4 jam setelah pemaparan dengan DNCB,

19 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

sel-sel langerhans tampat dalam bagian para kortikal


kelenjar limfe
 Dalam kelenjar ini ia mempresentasikan konjugat
hapten-carrier kepada limfosit CD4+ yang
menghasilkan populasi sel memory
 Manifestasi klinis :
 Respon yang terjadi tergantung dosis hapten yamg
masuk
 Dosis yang sangat rendah tidak menimbulkan
respon
 Dosis yang melebihi dosis tertentu tidak
meningkatkan respon
 Gejala pertama reaksi dapat terlihat setelah 4-8 jam
dan mencapai puncaknya dalam 48-72 jam
 Gejala awal menunjukkan sel-sel mononuklear
sekitar kelenjar peluh, sebasea, folikel dan
pembuluh darah yang mulai menginfiltrasi
epidermis
 Dalam waktu 48-72 jam jumlah sel yang
menginfiltrasi epidermis bertambah banyak dan
terjadi edema
 Reaksi kontak terdiri dari 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi
 Fase sensitisasi berlangsung selama 10-14 hari pada
manusia, sel langerhans membawa antigen ke area
parakortikal KGB regional, mempresentasikan
antigen yang telah diproses (bersama MHC kelas II)
kepada sel CD4+ dan menghasilkan populasi sel
CD4+ memory
 Pada fase elisitasi terjadi degranulasi dan pelepasan
sitokin oleh sel mastosit segera setelah kontak

2. Reaksi tuberkulin  Mencapai puncaknya 48-72 jam setelah pemaparan


 Diikutin oleh reaksi yang lebih lambat, yang ditandai
dengan agregasi dan proliferasi makrofag membentuk

20 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

granuloma yang menetap selama beberapa minggu


 Pemaparan ulang sel T memory pada kompleks antigen-
MHC kelas II yang ditampilkan oleh APCmerangsang
selT CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai
pembentukan DNA dan proliferasi sel
 Sebagian dari populasi limfosit yang teraktivasi
mengeluarkan berbagai mediator yang menarik
makrofag ke tempat bersangkutan
 Gambaran histologik yang tampak pada awal reaksi
adalah akumulasi makrofag, di daerah perivaskular
dalam waktu 12-72 jam di susul oleh eksudasi sel
mononuklear dan PMN
 Limfosit dan makrofag yang terdapat dalam infiltrasi
mengekspresikan HLA-DR
 Sel-sel PMN segera meninggalkan tempat tersebut,
tetapi sel-sel mononuklear tetap berada di tempat,
membentuk infiltrat yang sebagian besar terdiri atas
limfosit CD4+ dan CD8+ dengan perbandingan 2:1, dan
sel seri monosit-makrofag

3. Reaksi granuloma  Dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada


penyakit-penyakit yang melibatkan respon imun seluler
 Biasanya reaksi ini terjadi karena makrofag tidak
mampu menyingkirkan mikroorganisme atau partikel
yang ada di dalamnya, sehingga partikel itu menetap
 Kadang-kadang reaksi ini juga terjadi akibat kompleks
imun persisten
 Proses ini mengakibatkan pembentukan granuloma
 Reaksi granuloma dapat juga disebabkan oleh benda
asing, misalnya talk, silikon dan partikel lain, dan jenis
reaksi granuloma non-imunologik ini ini dapat
dibedakan karena tidak melibatkan limfosit
 Sel yang khas pada reaksi granuloma adalah sel
epiteloid, yang diduga berasal dari sel makrofag
reaktivasi tetapi tidak memiliki fagosom

21 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

 Pada reaksi ini juga dapat dijumpai sel raksasa


 Sel ini memiliki beberapa nukleus, sedangkan
mitokondria dan lisosom mengalami degradasi

Contoh klasik reaksi tipe IV adalah reaksi tuberkulin (+) pada uji mantoux, dermatitis
kontak dan reaksi penolakan jaringan transplantasi jenis lambat. Selain itu, ada beberapa
jenis penyakit kronik yang merupakan manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe
lambat yaitu : tuberkulosis, lepra, blastomikosis, leishmaniasis, kasndidiasis,
dermatomikosis,dll. Penyakit ini disebabkan rangsangan kuman patogen secara terus
menerus dan berkelanjutan.

Tabel perbandingan rekasi hipersensitivitas


karakteristik I II III IV
antibodi IgE IgG/IgM IgG/IgM Tidak ada
antigen eksogen Permukaan sel larut Jaringan, organ
Respon imun 15-30 menit Menit - jam 3-10 jam 48-72 jam
tampilan Weal dan flare Lisis dan Eritema dan Eritema
/kemerahan nekrosis odem
Yang Basofil dan Ab dan Komplemen Monosit dan
mengaktifkan eosinofil komplemen dan neutrofil limfosit
Ditransfer Ab Ab Ab Sel T
dengan
contoh Asma Transfusi SLE Tes tuberkulin
Hay fever Eritroblastosis
fetalis

22 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Sistemik Lupus Eritematosus

A. Definisi SLE
adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan adimediasi
oleh antibody dan kompleks imun.

B. Epidemiologi
Prevalensi di berbagai Negara sangat bervariasi, seperti di USA
prevalensi sekitar 15-50 per 100.000 orang dan lebih sering ditemukan pada etnik
African-americans.

Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi


penyakit

90 % pasien SLE adalah wanita usia produktif. Puncak


insidensinya usia antara 15-40 dengan perbandingan (5,5 – 9 : 1).

Pada populasi secara keseluruhan SLE mengenai sekitar


1:2000 orang.

Pada SLE yang disebabkan obat (drug induced LE) rasio ini
lebih rendah, yaitu 3:2

INDONESIA  belum dapat dipastikan secara tepat, karena


sistem pelaporan masih berupa laporan dengan jumlah penderita terbatas.

1. Insidensi LES dalam kurun waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto


Mangunkusumo Jakarta sebesar 15 kasus per 10.000 penderita yang dirawat,
kemudian meningkat menjadi 37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat
dalam kurun waktu 1988-1990.
2. Insidensi SLE di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar
10,1 kasus per 10.000 penderita yang dirawat.

23 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

3. Insidensi SLE di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4
kasus per 10.000 penderita yang dirawat.
4. Insidensi SLE di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999
sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik
(10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah
penderita SLE yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17
wanita dan 3 pria. Jumlah penderita SLE yang menjalani rawat inap ada 12
orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang
dirawat di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita.

C. Mortalitas
Sejak pertengahan abad 20, penderita SLE yang bertahan hingga 10 tahun
meningkat dari 10% menjadi 70-90%.

Pasien wanita dengan onset penyakit setelah usia 60 tahun sebagian besar
memiliki prognosis baik.

Anak dengan SLE memiliki prognosis yang jelek

Gagal ginjal dan infeksi interkuren adalah penyebab paling sering untuk
kematian yang terkait SLE.

Penyakit sistem saraf pusat yang meluas adalah penyebab kematian lain yang
paling sering.

Laju harapan hidup selama 10 tahun pada grup Dubois sejak 1950 hingga 1971
sebesar 87% pada pasien terkait kelainan ginjal.

D. Faktor Resiko SLE


1. Genetik
2. Wanita usia subur
3. Faktor lingkungan
Paparan sinar UV yang berlebihan (pada pasien yang sudah memiliki faktor

24 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

genetik), infeksi dapat memancing respon dari sistem imun sehingga akan bisa
terjadi SLE.
4. Ras (kulit putih); Lebih banyak menyerang kulit putih daripada kulit hitam.
5. Pemakaian obat-obatan
6. Kehamilan bagi yng sudah ada faktor genetik
Akan menyebabkan lebih rentannya perdarahan danmeningkatkan kemungkinan SLE.

E. Etiologi SLE

1. Genetik  Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat


(ferst-degree relative) yang juga menderita SLE.
 Jika pasien dengan SLE kembar identik maka kemungkinan
untuk terkena SLE adalah 24%-69%. Sedangkan yang
kembar non-identik (2-9%)

25 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

 Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat


hububngan positif antara SLE dan gen HLA kelas II,
terutama pada lokus HLA-DQ.
 Beberapa pasien lupus (6%) mengalami defisiensi
komponen komplemen yang diturunkan. Kekurangan
komplemen mungkin akan mengganggu pembersihan
komplek imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan yang menimbulkan jejas jaringan.

2. Sistem Sistem neuroendokrin berperan melalui pengaruhnya terhadap


Neuroendokrin sistem imun. Sebagai contoh hormon prolaktin dapat
merangsang respon imun.

3. Antibodi
Antinuklear
(ANA)
4. Faktor Pada SLE terdapat kelainan imunologis baik sel T, maupun sel
Imunologis B.

26 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

ANA ditujukan untuk melawan beberapa antigen nukleus. Adapun tabel yang
emnunjukan hubungan ANA dan SLE
Sifat Antigen Sifat antibodi SLE (%
positif)
Banyak antigen nuklear ANA generik (IF inderek) >95
(DNA, RNA, protein)
DNA asal Anti-DNA untai ganda 40-60
Histon Antihiston 50-70
Protein inti partikel ribonukleoprotein Anti-SM 20-30
nuklear kecil (antigen Smith)
Ribonukleoprotein (U1RNP) RNP nuklear 30-40
RNP SS-A (Ro) 30-50
RNP SS-B (La) 10-15
DNA topoisomerase I Scl-70 <5
Protein sentromer Antisentromer <5
Histidil-tRNA sintetase Jo-1 <5

27 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

patogenesis SLE

Pembentukan autoantibodi
Gen Lingkungan
-C14,C2,C4, -Sinar UV
-HLA, DR,3,8,MBL,Fc2A, -Infeksi?
3A,2B,IL-10MCP-1 -EBV(Eipstein Barr Virus)

-Ekpresi respon imun abnormal


-Aktivasi innate imunity(dendrtik
sel
-penurunan clearence dari sel
apoptotik Antigen masuk
-penurunan batas ambang aktivasi
sel imun adaptif(antigen spesifik T
dan B-Limfosit)
-Regulasi dan inhibisi yang tidak Dendritik sel B cell
efektif dari sel TCD4+ dan CD8+

T cell

Aktivasi sistem
komplemen abnormal Produksi autoantibodi
(ANA)terus menerus

Pelepasan bahanseperti:
-Bahan vasoaktif; Vasodilatasi
jaringan vaskular sehingga antibodi
autoreaktif gampang masuk
-Chemocine
-Chitokine= Manifestasi klinis
demam

Kerusakan organ target:


-Tergantung dimana antibodi autoreaktif terakumulasi – Manifestasi berlangsung lama
akibat regulasi dan inhibisi sel T. Organ yang paling sering terkena adalah organ seperti
jantung, ginjal dan paru-paru, -dsb
28 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

proses kerusakan organ target

Aktivasi
komplemen

Autoantibodi terus menerus Pelepasan bahan vasoaktif

Vasospasme pembuluh darah

Infiltrasi ke organ target Regulasitas dan inhibisi sel T CD 4+ dan CD8

Kerusakan organ target :


-Tergantung dimana antibodi autoreaktif terakumulasi
-Biasanya yang menjadi organ sasaran yang paling tersering adalah jantung, renal,
paru dan kulit
-Pada organ jantung;
Yang paling tersering adalah katup jantung akibat dari akumulasi ANA, sehingga
terjadi peradangan dan yang paling tersering adalah infiltrasi sel mononuklear,
jaringanparut dan jaringan nekrosis sehingga terjadi penyakit jantung
-Pada organ paru biasanya sering akibat reaksi peradangan,emboli paru, hipertensi
pulmonal sehingga terjadi hemoptisis paru
-Manifestasi renal
Biasanya sering terjadi setelah 5 tahun menderita SLE,puncak insiden pada usia
20-30 thn
Biasanya yang sering adalah akibat nefritis
-Pada gastrointestinal
Tidak spesifik, menggambarkan keterlibatan berbagai organ pada SLE atau sebagai
akibat pengobatan
Gangguan seperti disfagia akibat gangguan motilitas, nyeri abdomen akibat
mesentric vasculitis, pankreatitis, penyakit hati, dispepsia(50% pada pasien) akibat
dari konsumsi glukokortikoid

29 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

30 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

F. Manifestasi Klinis SLE


a. gejala konstitusional
1. fatigue biasanya merupakan respon terhadap steroid.
Penggunaan anti malaria,dan untuk latihan.

2. perubahan berat SLE biasanya dapat menyebabkan kehilangan berat


badan badan dan kenaikan berat badan.
Kehilangan berat badan / weight loss akibat :
kekurangan nafsu makan (IL1)
efek samping obat
penyakit gastrointestinal
kehilangan banyak cairan akibat obat – obatan
antidiuretik
Kenaikan berat badan akibat :
retensi air dan garam yang berhubungan dengan
penyakit ginjal
meningkatnya nafsu makan dengan adanya
penggunaan steroid.

3. Demam  paling sering pada pasien SLE.


 Dapat disebabkan oleh :
a. Demam yang berulangkali dapat disebabkan SLE
yang aktif / infeksi
b. Demam berkepanjangan dapat disebabkan oleh
keterlibatan CNS atau efek samping dari obat
 untuk mengobati aktif SLE biasanya menggunakan
NSAIDS/ Acetaminophen.
 Demam untuk infeksi ( malaria) menggunakan
antimalaria.
 Steroid sangat efektif tetapi jarang digunakan untuk
demam.

31 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

4. lain-lain Dapat terjadi sebeleum ataupun seiring dengan aktivitas


penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu
makan, pembesaran KGB, bengkak, sakit kepala, mual
dan muntah
Alopecia ( kebotakan)
Ada berbagai macam alopecia tetapi yang berkaitan
dengan kondisi autoimun seperti Lupus dan alergi
adalah Alopecia areata. Alopecia areata adalah suatu
penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang
folikel rambut) dimana folikel menjadi sangat kecil,
produksi rambut lambat dan kehilangan rambut untuk
berbulan-bulan atau bertahun – tahun. Folikel biasanya
kembali normal dan rambut akan tumbuh dalam satu
tahun.Selain itu, pengobatan terhadap arthitis juga
dapat menimbulkan kerontokan rambut.Contoh obat-
obatan tersebut adalah methotrexat(Rheumatrex),
arava/ leflunomide,plaquenil
(hidroksikloroquin),NSAIDs.Kerontokan rambut pada
penyakit arthitis biasanya sekunder ( telogen
effluvium), dimana akar rambut didorong secara
prematur pada resting state(telogen).

32 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

33 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Table Manifestasi Klinis SLE Dan Prevalensinya Dari Masing-Masing Manifestasi


Tersebut
Manifestasi Prevalence, %
1. Sistemik: Fatigue, malaise, fever, anorexia, weight loss 95
2. Musculoskeletal 95
Arthralgias/myalgias 95
Polyarthritis non erosif 60
Deformitas tangan 10
Myopathy/myositis 25/5
Ischemic necrosis of bone 15
3. Cutaneous 80
Photosensitivity 70
Malar rash 50
Oral ulcers 40
Alopecia 40
Discoid rash 20
Vasculitis rash 20
Other (e.g., urticaria, subacute cutaneous lupus) 15
4. Hematologic 85
Anemia (chronic disease) 70
Leukopenia (<4000/μL) 65
Lymphopenia (<1500/μL) 50
Thrombocytopenia (<100,000/μL) 15
Lymphadenopathy 15
Splenomegaly 15
Hemolytic anemia 10
5. Neurologic 60
Cognitive disorder 50
Mood disorder 40
Headache 25
Seizures 20
Mono-, polyneuropathy 15
Stroke, TIA 10

34 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Manifestasi Prevalence, %
Acute confusional state or movement disorder 2–5
Aseptic meningitis, myelopathy <1
6. Cardiopulmonary 60
Pleurisy, pericarditis, effusions 30–50
Myocarditis, endocarditis 10
Lupus pneumonitis 10
Coronary artery disease 10
Interstitial fibrosis 5
Pulmonary hypertension, ARDS, hemorrhage <5
Shrinking lung syndrome <5
7. Renal 30–50
Proteinuria >500 mg/24 h, cellular casts 30–50
Nephrotic syndrome 25
End-stage renal disease 5–10
8. Gastrointestinal 40
Nonspecific (nausea, mild pain, diarrhea) 30
Abnormal liver enzymes 40
Vasculitis 5
9. Thrombosis 15
Venous 10
Arterial 5
10. Ocular 15
Sicca syndrome 15
Conjunctivitis, episcleritis 10
Vasculitis 5

35 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

36 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

b. Manifestasi musculoskeletal

kebanyakan pasien dengan SLE menglami poliartrtis intermittent, bervariasi dari


ringan sampai cacat, digambarkan oleh pembengkakan soft tissue dan konsistensi
sendi yang lunak, umumnya pada
tangan, pergelangan tangan dan kaki.
Deformitas sendi ( tangan dan kaki)
berkembang hanya 10%. Erosi sendi
pada X-ray jarang, hal ini mengarah
pada non-lupus inflammatory
arthropathy seperti rheumatoid
arthritis, beberapa ahli mengira bahwa
pada SLE juga terjadi erosi. Jika nyeri
persisten pada sendi tunggal seperti
kaki, pundak atau pinggang, diagnosa dari nekrosis iskemik tulang harus ditetapkan
terutama jika tidak ada manifestasi lain dari SLE aktif. Prevalensi dari nekrosis
iskemik tulang meningkat pada SLE terutama pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid sistemik. Miositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan level
kreatinin kinase, MRI scan positif dan nekrosis dan inflamasi pada biopsy, meskipun
sebagian besar pasien mengalami mialgia tanpa miositis yang nyata. Terapi
glukokortikoid dan antimalaria juga dapat menyebabkan kelemahan otot, efek ini
harus bisa dibedakan dengan penyakit aktif.

Limfosit B sinovial  produksi IgG abnormal  produksi faktor


rheumatoid  pembentukan kompleks imun pada sinovial dan atau
kartilago  aktivasi komplemen jalur klasik dan alternatif  respon
inflamasi  arthitis.

37 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

c. Manifestasi kutaneus

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),


ruam sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE) dan yang lain. ruam
SLE lainnya termasuk urtikaria berulang, planus–like dermatitis. bulla, dan
panniculitis.

Jika manifestasi malar rash akibat paparan


terhadap cahaya matahari yang memiliki
sinar ultraviolet (UV), dimana sinar UV
merusak sel dari kulit (keratinosit) dan
menyebabkan sel menjadi mati. Pada
orang sehat tanpa lupus, sel yang mati ini
akan dibuang dengan cepat dan inflamasi
yang diinduksi oleh matahari akan
menginduksi kerusakan kulit dengan cepat
(sun burn), dimana pada pasien lupus , sel
kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan
dengan adanya peningkatan kejadian yang
menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak dibersihkan secara efisien
akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan menyebabkan inflamasi.Selain
itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul termasuk Ro yang secara normal
tidak terpapar pada sel imun sehingga menyebabkan reaksi imun.Akibatnya orang
yang menderita lupus akan mengalami ruam photosensitivity.

d. Manifestasi Renal

nefritis bisanya dalah manifestasi paling serius dari SLE, terutama sejak nefritis dan
infeksi merupakan penyebab mortalitas pada dekade pertama penyakit. Sejak nefritis
asimptomatik pada sebagian besar pasien SLE, urinalisis harus dilakukan pada setiap
pasien yang suspek SLE. pada pasien dengan bentuk proliferasi berbahaya dari

38 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

kerusakan glomerular (ISN III dan IV) biasanya mengalami hematuria mikroskopik
dan proteinuria (>500 mg/24 jam), kira-kira setengahnya berkembang sindrome
nefrotik dan perkembangan hipertensi. Jika diffuse proliferative glomerulonephritis
(DPGN) tidak terobati, pada semua pasien berkembang ESRD dalam 2 tahun setelah
diagnosa.

Manifestasi yang timbul terjadi karena agregat kompleks imun akan disaring di ginjal
dan mengendap di membran basal glomerulus.Kompleks lainnya mungki
mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi
sebagai glomerulonefritis.Kerusakan ginjal menimbulkan proteinuri dan kadang-
kadang pendarahan.Derajat gejala penyakit dapat berubah – ubah sesuai dengan kadar
kompleks imun.Kelainan ginjal juga dapat menyebabkan kulit gatal,sakit/nyeri
dada,susah berpikir,mual dan muntah.

e. Manifestasi system saraf

Pada beberapa pasien mungkin merupakan penyebab mayor mortalitas dan


morbiditas. Pendekatan yang bermanfaat dengan menanyakan simptom pertama
karena SLE atau kondisi lain ( seperti infeksi pada individu dengan
immunosupresan). Jika simptom terkait dengan SLE, harus ditetapkan apakah
disebabkan oleh proses difus atau oklusi vaskuler. Manifestasi yang paling umum dari
SLE yaitu disfungsi kognitif meliputi kesulitan dalam memory dan berfikir. Sakit
kepala juga umum terjadi. Berbagai tipe seizura dapat disebabkan oleh lupus,
terapinya memerlukan anti seizura dan terapi umunosupresan. Psikosis dapat menjadi
manifestasi yang dominan pada SLE, ini harus dibedakan dari psikosis akibat
glukokortikoid. Mielopati tidak jarang terjadi dan sering menyebabkan kecacatan,
terapi imunosupresan yang cepat dengan glukokortikoid adalah standar terapinya.

f. oklusi vaskuler

prevalensi TIA (transient ischemic attask), stroke dan infark miokard meningkat pada
pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat namun tidak eksklusif pada pasien

39 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL), sehingga sepertinya aPL ini meningkatkan
terjadinya emboli pada pasiennya.

g. Manifestasi pulmoner

maifestasi yang umum terjadi adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural.
Manifestasi ini jika sedang dapat berespon terhadap terapi dengan NSAID. Infiltrasi
pulmoner dapat terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dengan
infeksi. Manifestasi pulmonary seumur hidup meliputi inflamasi interstitial
menyebabkan fibrosis, shrinking lung syndrome, dan perdarahan intraalveolar;
kesemuanya membutuhkan terapi imunosupresan agresif.

h. Manifestasi kardiak

Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling sering terjadi, ini biasanya
berespon terhadap terapi antiinflamasi dan jarang menyebabkan tamponade.
Manifestasi kardiak yang lebih seius adalah miokarditis dan endokarditis fibrinosa
dari Libman-Sacks. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi
valvular, lebih sering pada katup mitral atau katup aorta atau pada kejadian embolik.
Hal ini tidak membuktikan bahwa glukokortikoid atau imunosupresan lainnya
menyebabkan perkembangan miokarditis lupus atau endokarditis tapi biasanya
diberikan steroid dosis tinggi dengan terapi suportif yang sesuai untuk gagal jantung,
aritmia atau emboli. Pasien SLE memiliki resiko yang meningkat untuk terjadinya
infark miokard, biasanya karena percepatan aterosklerosis, dimana disebabkan oleh
inflamasi kronik dan ataukerusakan oksidatif kronik terhadap lpid dan organ.

GEJALA YANG TIMBUL


gejala keterangan
sakit / nyeri dada Selain ini juga penyakit arteri koroner dapat
selama latihan menyebabkan angina pectoris.Penyakit nyeri dada
tiba – tiba atau tekanan yang tidak terjadi dlam
beberapa menit bisa mengindentifikasikan serangan

40 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

jantung (miokardiac infark) nyeri dada akibat


inflamasi sekeliling jantung (pericarditis)

nafas pendek akibat kerusakan atau penyempitan katup jantung dapat


penyakit pada katup terjadi akibat kerusakan lapisan ruang jantung dan
jantung permukaan katup halus(endokardium).Kondisi
dikenal dengan endokarditis verrucous (Libman-
sacks endocarditis).

Fenomena Raynaud
adalah kondisi yang menurunkan kecepatan aliran
darah ke ekstremitas pada respon terpapar dingin,
stress, merokok,dan kafein. Fenomena Raynaud
merupakan problem yang sering pada SLE dan
mendahului tampilan penyakit.Akibatnya jari tangan
dan kaki menjadi pucat, biru atau merah. Fenomena
Raynaud dapat terbagi 2 yaitu Fenomena Raynaud
primer yang tidak terkait dengan penyakit lain dan
Fenomena Raynaud sekunder yang terkait dengan
penyakit lain

i. Manifestasi hematologik

manifestasi keterangan

anemia (yang paling biasanya normokromik normositik menggambarkan


sering) penyakit kronik. Onset hemolisis yang cepat dan berat,
memerlukan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dimana
efektif pada sebagian besar pasien.

41 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Leukopenia umum terjadi dan sering mengandung lymphopenia, bukan


granulositopenia, hal ini jarang merupakan predisposisi
untuk infeksi dan dengan sendirinya tidak memerlukan
terapi.

Trombositopenia mungkin merupakan masalah yang terjadi. Jika platelet


count >40000/μL dan tidak ada perdarahan yang abnormal
maka terapi tidak diperlukan. Terapi glukokortikoid dosis
tinggi ( misalnya 1 mg/Kg per hari prednisone atau
ekuivalen) biasanya efektif untuk episode pertama dari
trombositopenia berat.

j. manifestasi gastrointestinal

Nausea, terkadang vomiting dan diare dapat merupakan manifestasi SLE yang dapat
seperti nyeri abdomen yang difus disebabkan oleh peritonitis autoimun dan atau
vaskulitis intestinal. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotransferase (ALT) umum terjadi pada SLE aktif. Manifestasi ini biasanya
berkembang tepat selama terapi glukokortikoid sistemik. Vaaskulitis pada intestine
membutuhkan terapi seumur hidup, perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis
merupakan komplikasi yang sering terjadi. Terapi imunosupresan yang agresif dengan
dosis tinggi glukokortikoid direkomendasikan untuk control jangka pendek, bukti
adanya kekambuhan merupakan indikasi untuk terapi tambahan.

k. Manifestasi ocular

Syndrome Sicca (Sjögren's syndrome;) dan konjunctivitis non spesifik adalah yang
sering terjadi pada pasien SLE. Vaskulitis retinal dan neuritis optic adalah manifestasi
serius, kebutaan dapat berkembang setelah beberapa hari sampai minggu.
Imunosupresan agresif direkomendasikan, meskipun tidak ada kontrol trial untuk

42 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

meningkatkan keefektifan. Komplikasi dari terapi glukokortikoid yaitu katarak dan


glaukoma

G. diagnosis SLE
Kriteria diagnosis SLE ACR (American College of Rheumatology)
1. Ruam malar  Eritema tetap, datar, atau meninggi, melebihi tonjolan malar,
cenfrung tidak mengenai lipatan nasolabialis.
2. Ruam diskoid  Bercak eritematosa menonjol dengan skuama keratosis dan
sumbatan folikel; parut atrofi dapat muncul pada lesi yang
lebih lama.
3. Fotosensitifitas Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap
cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien atau
pengamatan dokter
4. Fotosensitifitas  Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap
cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien atau
pengamatan dokter.
5. Ulkus mulut  Ulserasi mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diamati
oleh dokter.
6. Artritis  Artritis nonerosif yang mengenai ≥2 sendi perifer.
7. Serositis  Pleuritis – adanya riwayat nyeri atau gesekan pleura yang
menyakinkan yang didengar oleh dokter atau bukti adanya
efusi pleura atau
 Perikarditis – diperhatikan melalui EKG atau adanya
gesekan atau adanya efusi perikard.
8. Gangguan  Proteinuria persisten (>0,5 g/dl atau >3+ bila tidak dengan
ginjal protein kuantitatif atau
 Silinder sel – dapat berupa SDM, Hb, granula, tubulus, atau
campuran.
9. Gangguan  Kejang – tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
neurologis metabolik yang diketahui (misalnya urema, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elktrolit) atau
 Psikosis – tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
metabolik yang diketahui (misalnya urema, ketoasidosis,

43 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

atau ketidakseimbangan elktrolit)


10. Gangguan  Anemia hemolitik – disertai retikulosis atau
 Leukopenia (<4 x 109/L = 4000/mm3) – total pada 2 atau
hamatologi
lebih pemeriksaan.
 Limfopenia (<1,5 x 109/L = 1500/mm3) – pada 2 atau lebih
pemeriksaan
 Trombositopenia (<100 x 109/L = 100.000/mm3) tanpa adany
aobat yang mengganggu.
11. Gangguan  Ab anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer abnormal atau
 Anti-Sm (Ab terhapat Ag nukleus Sm) atau
imunologi  Ab anti-fosfolipid positif berdasarkan pada:
o Kadar Ab antikardiolipin IgG atau IgM serum yang
abnormal
o Uji positif antikoagulan lupus menggunakan uji standar
o Uji serologis sifilif positif keliru yang diketahui positif
paling tidak 6 bulan dan dikonfirmasi dengan
imunomobilisasi Treponema pallidum atau uji absorpsi
Ab treponema fluoresen yang negatif.
12. Antibodi  Titer ANA abnormal melalui imunofluoresensi atau
antinuklar pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya
obat yeng diketahui berkaitan dengan sindrom lupus yang
diinduksi obat.
Seorang pasien dikatakan menderita SLE jika terdapat ≥ 4 dari 11 kriteria di atas,
selama interval pengamatan manapun dalam perjalanan penyakit pasien. (spesifisitas
95%, sensitifitas 75%).

Antibodi Anti-Nuklear (ANA)


Kategori ANA:
a. Ab terhadap DNA

b. Ab terhadap histon

c. Ab terhadap protein non histon yang terikat pada RNA

d. Ab terhadap Ag nukleolus

44 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Secara klinis, metode yang paling sering digunakan untuk mendeksi ANA adalah
imunofluoresensi indirek, yang mendeksi berbagai macam Ag nukleus.
ANA positif pada 98% pasien SLE.
Diagnosis pasein SLE harus tetap merujuk pada kecocokan manifestasi klinis.
Jika hasil tes multiple autoantibodi (ANA, ds-DNA, SmDNA, anti-fosfolipid) positif
tetapi tidak terdapat manifestasi klinis ANA  bukan SLE.

45 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Algoritma diagnosis dan terapi awal SLE

Diagnosis: gejala mengarah ke SLE (< 4 gejala klinis ACRtanpa


penjelasan)

Permitaan dilakukan PP: ANA, hitung darah lengkap,


urinalisis

Semua tes norma Semua tes normal ANA positif (titer ≥


Gejala yang ada Gejala persisten atau tidak 1:40)
mereda atau didapatkan didapatkan penjelasan yang
penjelasan yang kuat kuat (melawan SLE) untuk
(melawan SLE) untuk manifestasi klinis yang ada
manifestasi klinis yang
ada
≥ 4 kriteria yang < 4 kriteria
ACR ACR

Mengulang tes ANA,


ditambahkan tes anti-ds- Definite SLE
DNA, anti-Ro
Bukan SLE

Possible SLE atau


incomplete SLE
Semua negatif Beberapa positif

Terapi
Bukan SLE

Bagan
berikutnya
46 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Terapi

tidak mengancam organ atau mengancam organ atau nyawa


nyawa

Kualitas Kualitas hidup: Glukokortikoid dosis tinggi, biasanya


hidup: Not-acceptable ditambahkan second agent
Acceptable

Terapi Terapi konservatif Mycophenolate Cyclophosphamid


konservatif plus glukokortikoid mefotil e
dosis rendah

Jika berespon,
hentikan
cyclosphosphamide;
Tidak Berespon terapi pemeliharaan
berespon dengan
mycophenolate atau
azathioprine

Terapi Taper dose of all


ekperimental agents

47 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

H. Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:
a. mendapatkan masa remisi yang panjang
b. menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin
c. mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup
keseharian tetap baik.

Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Juga diperlukan
mekanisme rujukan yang dimulai dari fasilitas kesehatan paling perifer. Pilar
Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
1. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan asupan akan
masalah aktifitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan
dengan aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Edukasi
memiliki tingkat kepercayaan tinggi yaitu pada evidence based level 1A. Butir-
butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 1

48 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

Tabel 1
Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE

11. Latihan / Program rehabilitasi


Tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan
beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. dsb

III.Pengobatan SLE Ringan


Terapi konservatif → keluhan yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan
dengan kerusakan organ
Pilar pengobatan tetap dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta
ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
a. Edukasi
Pasien diberikan harapan yang realistik sesuai keadaannya, hindari paparan ultra
violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan tanda

49 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan


konsultasi teratur.
b. Obat-obatan
c. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan minimun sun protection factor
15 (SPF 15)
d. Istirahat: Terutama bila pasien mulai merasakan gejala kekambuhan.

Terapi konservatif keterangan


Artritis, artralgia, analgetik sederhana atau obat inflamasi nonsteroid
dan mialgia
obat antimalaria (hidroksiklorokuin 400 mg/hari)
kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg, setiap pagi)
metotreksan dosis rendah (7,5 – 15 mg/minggu)

Lupus kutaneus sunscreen topical berupa krem, minyak lotion atau gel
yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,
salisilat dan sianamat → dapat menyerap UVA dan
UVB, harus dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat.
Glukokortikoid local, seperti krem, salep atau injeksi
(pemilihan preparat topical harus hati-hati
(glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat
diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,
depigmentasi, teleangiektaksis dan fragilitas)
Kulit muka → steroid local berkekuatan rendah dan
tidak diflorinasi (mis. hidrokortison)
Kulit badan dan lengan → steroid topical berkekuatan
sedang (mis. Betametason valerat dan triamsinolon
asetonid)
Lesi-lesi hipertrofik (mis. Di daerah palmar dan plantar
pedis) → glukokortikoid topical berkekuatan tinggi
(mis. Betametason dipropionat) → pemakaian dibatasi 2
minggu, kemudian diganti dengan yang berkekuatan

50 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

lebih rendah
Obat antimalaria → memiliki efek sunblocking,
antiinflamasi, dan imunosupresan

Fatik dan keluhan seringkali tidak memerlukan terapi spesifik, manambah


sistemik
waktu istirahat dan mengatur waktu kerja
keadaan berat → glukokortikoid sistemik

Serositis (ditandai salisilat, obat antiinflamasi nonsteroid, anti malaria, atau


nyeri dada dan nyeri
glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari)
abdomen)
keadaan yang berat → glukokortikoid sistemik untuk
menontrol penyakitnya

IV. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa


Terapi agresif → mengancam nyawa & berhubungan dengan kerusakan organ
Perjalanan penyakit dan efek pengobatan memerlukan pemantauan yang tepat dan
dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah:
1. Anamnesis:
a. Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri
dada peluritik, nyeri dan bengkak sendi.
b. Fisik:
Pembengkakan sendi, ruam, SLEi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa,
SLE vaskulitis, fundus, edema
c. Penunjang:
Hematologi, analisis urin, serologi, radiologi dan kimia darah.
Catatan: pada pusat-pusat dengan fasillitas laboratorium maupun penunjang lain
yang tersedia diperlukan pemeriksaan kadar komplemen C3 dan C4 maupun titer
anti-ds-DNA.

51 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

 Glukokortikoid dosis tinggi: bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam
nyawa (misalnya: Vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis,
iokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia
hemolotik, trombositopenia, sindrom otak organic, defek kognitif yang berat,
mielopatio, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Jenis dan dosis obat imunosupresan dan sitotoksik yang dapat dipakai pada SLE
Jenis obat Dosis Jenis toksisitas Evaluasi Pemantauan
Klinis Laboratorik
awal
Azatioprin 50-150 Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mg/hari, hepatotoksik, lengkap, mielosupresif tiap 1-2 minggu dan
dosis terbagi gangguan kreatinin, selanjutnya 1-3 bulan
1-3, limfoproliferatif AST/ALT interval. AST tiap
tergantung tahun dan pap smear
BB secara teratur
Siklofosfamid Per oral: 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
150 mg/hari gangguan lengkap, mielosupresif, dan urin lengkap tiap
IV: 500 limfoproliferatif, hitung jenis hematuria, dan bulan, sitologi urin
mg/M2 keganasan, leukosit, infertilitas dan pap smear tiap
dalam imunosupresi, urin tahun seumur hidup
dextrose 250 sistisis lengkap
ml, infuse hemoragik,
selama 1 jam infertilitas
sekunder
Metotreksat 7,5 – 20 Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mg/minggu, hepatic fibrosis, lengkap, mielosupresif, terutama hitung
dosis tunggal sirosis, infiltrate foto tórax, sesak napas, trombosit tiap 4-8
atau terbagi pulmonal dan serologi mual dan minggu, AST/ALT
3. dapat fibrosis hepatitis B muntah, ulkus dan albumin tiap 4-8
diberikan dan C pada mulut minggu, urin lengkap
pula melalui pasien dan kreatinin
injeksi risiko

52 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

tinggi,
AST,
fungís hati,
kreatinin
Siklosporin A 2,5 – 5 mg/kg Pembengkakan, Darah tepi Gejala Kreatinin, tes fungsi
BB, atau nyeri gusi, lengkap, hipersensitifitas hati, darah tepi
sekitar 100- peningkatan kreatinin, terhadap castor lengkap
400 mg/hari tekanan darah, urin oil (bila obat
dalam 2 peningkatan lengkap, tes diberikan
dosis, pertumbuhan fubgsi hati injeksi),
tergantung rambut, tekanan darah,
BB gangguan fungsi fungsi hati dan
ginjal, nafsu ginjal
makan menurun,
tremor
Mofetil 2000 mg.hari Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mikofenolat dalam 2 dosis leukopenia lengkap, gastrointestinal terutama leukosit dan
feses seperti mual, hitung jenisnya
muntah

Sistim Rujukan dan Fungsi Konsultatif


Penatalaksanaan SLE dilakukan baik oleh dokter umum di perifer sampai dokter ahli
dalam kelompok bala bantuan. Namun terdapat berbagai hal yang memerlukan
rujukan. Umumnya rujukan ditujukan pada ahli penyakit reumatik.
Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan
kesehatan primer, yaitu:
1. waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini diantara pasien yang dirawatnya
dan melakukan rujukan diagnosis
2. melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya
stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas)
3. mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE

53 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

4. melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktifitas penyakit pasien


SLE derajat berat .

Bagan di bawah ini memperlihatkan alur fungsi rujukan dari dokter umum di pusat
pelayanan kesehatan primer sampai ke bala bantuan SLE.

Maksud rujukan dikelompokkan dalam:


a. Konfirmasi diagnosis
b. Kajian akan berat ringannya penyakit dan aktifitasnya.
c. Panduan pengobatan secara umum.
d. Bila aktifitas penyakit tidak dapat dikendalikan.
e. Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ atau membahayakan nyawa.
f. Pencegahan / pengobatan efek samping obat.
g. Pada SLE dengan kedaan tertentu seperti kehamilan.

I. Prognosis
Perjalanan penyakit SLE sangat beragam. Walaupun tanpa pengobatan, beberapa
pasien mengalami perjalanan penyakit yang relatif jinak yang hanya disertai manifestasi
pada kulit dan/atau hematuria. Dalam kasus yang jarang, perjalanan penyakit demikian
cepat hingga terjadi kematian dalam waktu beberapa bulan saja. Penyakit tersebut paling
sering ditandai dengan remisi serta relaps berjangka waktu beberapa tahun hingga

54 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

beberapa puluh tahun. Serangan akut biasanya dikendalikan dengan menggunakan obat
steroid atau imunosupresif lainnya. Secara keseluruhan, dengan pengobatan yang
digunakan pada saat ini, dapat diperkirakan angka kelangsungan hidup untuk 5 tahun
adalah 90% dan untuk 10 tahun adalah 80%. Penyebab utama kematian adalah gagal
ginjal, infeksi yang ikut menyerang, dan serangan pada sistem saraf pusat yang difus.

J. Pencegahan
Prinsip dasar tindakan pencegahan pada SLE:
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan energi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol.
Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan
pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau dihindari.
Dapat juga dipakai lotion tertentu (sunscreener lotion) untuk mengurangi kontak
dengan matahari
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya,
pasien harus segera memeriksakan diri. Di Amerika dianjurkan vaksinasi dengan
vaksin unfulenza dan pneumokokus. Diperlukan terapi pencegahan dengan
antibiotik pada oprasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedah invasif lain.
5. Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat
pengobatan dengan obat imunosupresif.

55 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

KESIMPULAN

a. diagnosa pada skenaraio yaitu SLE karena ditemukan:


1. ruam
2. artritis
3. gangguan ginjal
4. gangguan hematologi
dari temuan tersebut ( >4 dari kriteria diagnosa SLE) sehingga bisa dikatakan
pasien menderita SLE
b. SLE merupakan hipersensitivitas tipe III

56 KELOMPOK 5-BLOK XI
SKENARIO 3” RUAM”

DAFTAR PUSTAKA

Tim penyusun. 2005. Ilmu Penyakit Dalam FK UI. FK Universitas Indonesia. Jakarta

Wachjudi G. Rachmat. 2007. Review Article: Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Bandung

Fauci, Braunwald, dkk. 2008. Harrison’s Principal of Internal Medicine 17th Edition.
Mc-Graw Hill : US.

Gill, M. James, dkk. 2003. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. American


Academy of Family Physician. www.aafp.org/afp

Kumar, Cotran,dan Robin. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1 Edisi 7. EGC: Jakarta.

Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 1. EGC: Jakarta

Goldman, Lee. Cecil Textbook of Medicine. 22nd edition. Pennsylvania : Sauders. 2004.

Sudoyo, dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam Jilid III edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.

Braunwald E et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 edition. New York:


McGraw-Hill. Medical Publishing Division

Burmester, Gerd-Rudiger. 2003. Color Atlas of Immunology. Thieme:Stutgart

57 KELOMPOK 5-BLOK XI

Anda mungkin juga menyukai