Anda di halaman 1dari 16

A.

Konsep Penyakit
1. Anatomi Fisiologi
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk pada tubuh.
Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan melindungi organ
lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang membentuk rangka penunjang dan
pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka
tubuh. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsiumdan
fosfat (Price dan Wilson, 2006).

Gambar 1. Anatomi Tulang

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan tempat
primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fhosfat. Tulang rangka orang
dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan
darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama garam- garam
kalsium ) yang membuat tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari bahan tersebut
adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis (Price dan Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh
dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang koksa, tulang
femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta tarsalia, dan falang (Price dan Wilson, 2006).
a. Tulang Koksa (tulang pangkal paha)
OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan
bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur ( tulang paha)
Merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang kerangka pada bagian
pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut
kaput femoris, disebelah atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat taju yang
disebut trokanter mayor dan trokanter minor. Dibagian ujung membentuk persendian
lutut, terdapat dua buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis. Diantara
dua kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang
di sebut dengan fosa kondilus.
c. Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis)
Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk
persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang
disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari
pada bagian pangkal melekat pada OS fibula pada bagian ujung membentuk
persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut OS maleolus
medialis. Agar lebih jelas berikut gambar anatomi os tibia dan fibula.

d. Tulang tarsalia (tulang pangkal kaki)

Dihubungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki, terdiri dari
tulang-tulang kecil yang banyaknya 5 yaitu sendi talus, kalkaneus, navikular, osteum
kuboideum, kunaiformi.
e. Meta tarsalia (tulang telapak kaki)
Terdiri dari tulang- tulang pendek yang banyaknya 5 buah, yang masing-
masing berhubungan dengan tarsus dan falangus dengan perantara sendi.
f. Falangus (ruas jari kaki)
Merupakan tulang-tulang pipa yang pendek yang masing-masingterdiri dari 3
ruas kecuali ibu jari banyaknya 2 ruas, pada metatarsalia bagian ibu jari terdapat dua
buah tulang kecil bentuknya bundar yang disebut tulang bijian (osteum sesarnoid).
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
a. Sebagai kerangka tubuh.
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk tubuh.
b. Proteksi
Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting, misalnya otak dilindungi
oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum
thorax) yang di bentuk oleh tulang- tulang kostae (iga).
c. Ambulasi dan Mobilisas.
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh dan perpindahan
tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit yang di gerakan oleh otot- otot
yang melekat pada tulang tersebut ; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan
oleh kerja otot- otot yang melekat padanya.
d. Deposit Mineral
Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan elemen- elemen lain. Tulang
mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh
e. Hemopoesis
Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk menghasilkan sel- sel darah
merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu

2. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya
fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Fraktur merupakan hilangnya kontuinitas tulang, baik
yang bersifat total maupun sebagian yang disebabkan oleh trauma atau keadaan patologis
(Helmi, 2011). Fraktur juga dikenal sebagai patah tulang yang disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik, kekuatan dan sudut tenaga fisik keadaan itu sendiri, serta jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak (Fadli,
2017).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan maupun
kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki. Fraktur ini sering
terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang osteoporosis dan tulang
lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh atau benturan benda keras
(Henderson, 1998).
3. Epidemiologi
Kejadian fraktur diseluruh dunia berdasarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta
orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi
jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan konstribusi sebesar 44% dari total kecelakaan
didunia, yang didalamnya termasuk Indonesia (Aini, 2018).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI (2013) di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh
cidera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan trauma benda tajam/tumpul.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari
20.829 kasus kecelakan lalulintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%),
dari 14,127 trauma benda tajam/tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang
(1,7%) (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Selatan pada tahun 2015, dampak terjadinya fraktur dapat mengakibatkan kecacatan fisik
(56%), kematian (24%), mengalami kesembuhan (15%) dan gangguan psikologis atau
depresi (5%) (Aini, 2018).

4. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan
bermotor. Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis.
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan
itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di
tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis
patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah
bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain
tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang
paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan
bawah.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang
akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.Contohnya patah
tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps
dan biseps mendadak berkontraksi.
Menurut Doenges, 2000 adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Trauma langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya
benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
b. Trauma tak langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
kejadian kekerasan.
c. Faktor patologik
Kelelahan atau stres fraktur, Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan
aktivitas berulang-ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas
yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat
pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba-tiba
pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang.
.
5. Klasifikasi
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
a. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, fraktur dapat dibagi
menjadi:
1) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga
derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
a) Derajat I :
i. Luka <1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk.
iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
iv. Kontaminasi minimal
b) Derajat II :
i. Laserasi >1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi.
iii. Fraktur kominutif sedang
iv. Kontaminasi sedang
c) Derajat III : Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat
III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
b. Berdasarkan bentuk patahan tulang
Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme , yaitu:
1) Transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah
dikontrol dengan pembidaian gips.
2) Spiral adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
3) Oblik adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
4) Segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang
retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
5) Kominuta adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya
keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
6) Greenstick adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana
korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini
sering terjadi pada anak – anak.
7) Fraktur Impaksi adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra
lainnya.
8) Fraktur Fissura adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang
berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.

c. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis


Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan, bagian
ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada anak –
anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga
kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga.
Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah
klasifikasi fraktur menurut Salter Harris :
1) Tipe I : Fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan,
prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
2) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang
metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.
3) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan
kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan.
Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
4) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi
melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko
gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
5) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan
pertumbuhan lanjut adalah tinggi

6. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter
dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah
ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur
terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan
Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan
diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

7. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera. Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada
gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan
mengalami cedera pada daerah tersebut.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
1) X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi
untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
2) Tomografi
Sebagai penunjang pemeriksaan fraktur yang menggambarkan ada tidaknya satu
struktur yang tertutup yang sulit divisualisasi.
3) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
4) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
5) Computer Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

9. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif.
Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif
selamanya tidak absolut. Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
a. Cara konservatif
1) Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
2) Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
3) Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
(a) Pemasangan Gips.
(b) Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin
traksi adalah 5 Kg.
b. Cara operatif di lakukan apabila:
1) Bila reposisi mengalami kegagalan.
2) Pada orang tua dan lemah (imobilisasi  akibat yang lebih buruk).
3) Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
4) Fraktur patologik.
5) Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
(a) Reposisi.
(b) Fiksasi atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) dan OREF (Open Reduction External Fixation).

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
a. Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur.
b. Reduction : mereposisi atau mengembalikan tulang pada bentuk semula.
c. Retention : mempertahankan atau mengimobilisasi tulang.
d. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian/Assesment
Pengkajian pasien menurut Susanti (2018) pengkajian pasin fraktur meliputi :
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status
perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakitdan diagnosa
medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa nyeri pada daerah fraktur atau tidak
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan
apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka
kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal.
Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek,
sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas darat.
d. Riwayat Penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang sebelumnya
sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan
fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan
luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit
diabetes menghambat penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f. Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada beberapa
kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak
hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakn pengalaman pertama masuk
rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi dan
gangguan eliminasi urine akibat adanya program eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang
berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu
atau berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana biasanya,
yang hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada
perubahan fungsi anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan
dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu dapat juga
terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi otot kulit pucat, kering
dan besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi
serta proses penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang
dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap
penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien
dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna
(terutama kalau ada program amputasi).
g. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur dilakukan dengan teknik Head to Toe yaitu
dai atas kepala hingga ujung kaki dimana daerah fraktur menjadi daerah pemerksaan
lengkap.
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi penurunan
akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat general anastesi, RR
meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan respirasi
karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi terutama pada fraktur
terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan respirasi
karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi terutama pada proses
pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi, nyeri
akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola defekasi tidak
ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operatif
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan dengan agen injuri fisik dan
kerusakan jaringan: pergeseran fragmen tulang akibat fraktur.
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan akibat
adanya penekanan pembuluh darah yang ditandai dengan adanya odem.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik dan kerusakan jaringan: pergeseran
fragmen tulang akibat fraktur.
4) Risiko syok berhubungan dengan adanya perdarahan akibat adanya fraktur.
5) Kerusaka integritas kulit berhubungan dengan terjadinya laserasi kulit akibat adanya
perubahan jaringan pada kulit.
6) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi fisik,
prosedur pembedahan
7) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi terkait prosedur
operasi
b. Post Operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyembuhan luka, prosedur operasi.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko prosedur invasive.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi muskuloskletal.
4) Hambatan berjalan berhubungan dengan terjadinya hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
5) Risiko sindrom disuse berhubungan dengan terjadinya hambatan dalam melakukan
latihan atau imobilisasi dini pada pasien post-operasi.
6) Risiko jatuh berhu berhubungan dengan terjadinya hambatan dalam melakukan
mobilitas fisik
DAFTAR PUSTAKA

Aini, L., dan Reskita, R. 2018. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan
Nyeri pada Pasien Fraktur. Jurnal Kesehatan, Vol. 9, No. 2. ISSN : 2086-7751.
Bastiansyah, Eko. 2008. Panduan lengkap :Membaca Hasil Tes Kesehatan. Jakarta: Penebar
Plus.
Brunner & Suddarth. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Penerbit EGC:
Jakarta.
Bulechek, G. M., Howard, K.B., Dochterman, J.M., & Cheryl, M.W. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC). 6th edn. Elsevier
Bulechek, G. M., Howard, K.B., Dochterman, J.M., & Cheryl, M.W. (2013). Nursing
Outcome Classification (NOC). 6th edn. Elsevier
Carpenito. 2007. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian Keperawatan. Alih Bahasa
Monika Ester. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Fadli. 2017. Pengaruh Distraksi Pendengeran Terhadap intesnitas Nyeri Pada Klien Fraktur di
Rumah Sakit Nene Mollomo Kabupaten Sindenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis Vol. 11, No. 2. ISSN : 2302-1721.
Hardman, T. H. and Kamitsuru, S. (2018) NANDA Internasional Inc. Diagnosis
Keperawatan; Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. 11th edn. Jakarta: EGC.
Helmi Z. N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Kementrian Kesehatan R. I. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Mansjoer, Arif. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius. FKUI.
Potter, P.A. dan A.G. Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatn: Konsep, Proses, dan
Praktek. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Price, Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia: Jakarta.
Price and Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume
1. Jakarta: EGC.
Smeltzer, C . 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.

Anda mungkin juga menyukai