Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011). Tuberkulosis

adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit

ini apabila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan

komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 66 (2014) menyatakan bahwa

kesehatan lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit atau gangguan kesehatan

dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik

dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial. Kesehatan lingkungan meliputi

seluruh faktor fisik, sosial, dan biologi dari luar tubuh manusia dan segala faktor

yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Kondisi dan kontrol dari kesehatan

lingkungan berpotensial untuk mempengaruhi kesehatan (WHO, 2015).

Lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi tingginya kejadian

tuberkulosis paru adalah lingkungan rumah yang kurang sehat misalnya kurang

adanya fasilitas ventilasi yang baik, pencahayaan yang buruk di dalam ruangan,

kepadatan hunian dalam rumah dan bahan bangunan didalam rumah. Selain

lingkungan rumah yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis keadaan lingkungan

fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang kurang baik juga akan dapat
merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit tuberkulosis dan pada

akhirnya mempengaruhi tingginya kejadian tuberkulosis (Muaz, 2014).

Faktor risiko terjadinya TB Paru dapat digolongkan dalam 5 (lima) hal yaitu

manusia, kuman penyebab, lingkungan fisik rumah baik dalam maupun luar,

perilaku dan tindakan. Faktor manusia adalah sejauh mana kondisi dan ketahanan

tubuh manusia mampu menangkis serangan kuman akibat terinfeksi dari orang

sakit. Faktor kuman penyebab adalah keadaan keganasan dan jumlah kuman yang

masuk cukup kuat dan banyak. Faktor lingkungan adalah keadaan lingkungan

manusia dan kuman yang mendukung untuk perubahan sehat menjadi sakit. Faktor

risiko perilaku kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi

terjadinya penularan atau penyebaran penyakit TB Paru yaitu kebiasaan tidur

penderita TB Paru bersama-sama dengan anggota keluarga, membuang dahak di

sembarang tempat, tidak pernah membuka jendela ruangan rumah, tidak membuka

jendela kamar tidur, tidak pernah membersihkan lantai dan kebiasaan merokok.

Faktor tindakan adalah tindakan penemuan dalam rangka pencarian penderita yang

dilaksanakan di lapangan maupun penegakan diagnosis dan pengobatan

dipuskesmas (Arusadi, 2011).

Peningkatan jumlah penduduk tentunya meningkatkan permintaan terhadap

kebutuhan dasar manusia, salah satunya ialah perumahan layak huni dan sehat.

Perumahan merupakan kebutuha dasar manusia dan juga determinan kesehatan

masyarakat, karena itu ketersediaan perumahan merupakan tujuan fundamental

yang kompleks dan adanya standar perumahan adalah isu penting dari kesehatan

masyarakat. Perumahan yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat

2
kesehatan, sehingga penghuninya tetap sehat. Sebaliknya, jika kontruksi rumah dan

lingkungan tidak memenuhi syarat kesehatan, rumah tersebut dapat menjadi faktor

risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit seperti infeksi saluran pernafasan

akut (ISPA) dan tuberkulosis (Dede, 2010).

Menurut World Health Organization (2015) menyatakan bahwa penyakit

tuberkulosis paru saat ini telah menjadi ancaman global, karena hampir sepertiga

penduduk dunia telah terinfeksi. Sebanyak 95% kasus tuberkulosis paru dan 98%

kematian akibat tuberkulosis paru didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.

Negara dengan kasus pertama di dunia adalah India dengan presentasi kasus 23%,

Indonesia menempati urutan ke dua dengan presentasi kasus 10% dan Cina

menempati urutan ke tiga dengan presentase 10% sama seperti Indonesia dari

seluruh penderita tuberkulosis di dunia (WHO, 2015).

Dalam laporan WHO tahun 2016 diperkirakan 8,7 juta orang terjangkit TB

Paru dan 1,4 juta orang meninggal. Dilaporkan terdapat 6.216.513 TB Paru kasus

baru, dan 2.621.308 merupakan BTA positif. Kasus terbanyak TB Paru antara umur

15-44 tahun, di dapatkan 734.908 kasus. Berdasarkan data dari WHO tahun 2016,

angka prevalensi tuberkulosis di Indonesia di perkirakan 395 per 100.000 penduduk

dan menyatakan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk 254.831.222 menepati

posisi kedua dengan beban tuberkulosis tertinggi di dunia setelah China.

Tuberkulosis di Indonesia juga merupakan penyebab nomor empat kematian

setelah kardiovaskular (WHO, 2016).

Diseluruh dunia pada tahun 2017 ditemukan 6,4 juta kasus TB Paru baru,

jumlah ini terus mengalami peningkatan sejak tahun 2013 dan empat tahun

3
sebelumnya dimana hanya terdapat 5,7-5,8 juta kasus baru. Dari 6,4 juta kasus TB

Paru yang dilaporkan mewakili 64% dari total perkiraan 10 juta. Kasus TB Paru pada

tahun 2017 sepuluh negara menyumbang 80% dari 3,6 juta kesenjangan global. Tiga

teratas adalah India (26%), Indonesia (11%) dan Nigeria (9%) (WHO, 2018).

Prevalensi TB paru di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 297 per 100.000

penduduk. Target prevalensi TB paru tahun 2019 sebesar 245 per 100.000

penduduk (Kemenkes RI, 2015). Sehingga perlu adanya peningkatan program

pengendalian TB paru untuk mencapai target tersebut. Tahun 2014 ditemukan

kasus baru BTA positif di Indonesia sebanyak 176.677 kasus. Kasus tersebut

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 196.310 kasus

dan tahun 2012 sebesar 202.301 kasus (Kemenkes RI, 2015).

Di Indonesia pada tahun 2017 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis

sebanyak 425.089 kasus dengan CNR 162/100.000 penduduk, meningkat bila

dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2016 yang

sebesar 351.893 kasus dengan CNR 136/100.000 dan tahun 2015 sebesar 330.729

kasus dengan CNR 129/100.000. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di

tiga provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat 78.698 kasus,

disusul oleh Jawa Timur 48.323 kasus dan Jawa Tengah 42.272 kasus. Menurut

kelompok umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2017 paling banyak ditemukan pada

kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 17,32% diikuti kelompok umur 45-54

tahun sebesar 17,09 % dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 16,43%

(Kemenkes RI, 2017).

4
Tuberkulosis sering dikaitkan dengan lingkungan yang kumuh dan beberapa

penyakit lain seperti HIV dan AIDS. Riskesdas (2010) menunjukan bahwa secara

nasional hanya 24,9% rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat.

Penilaian rumah sehat ini dilakuka terhadap kriteria kondisi fisik rumah yang

meliputi atap, dinding, lantai, ketersediaan jendela, ventilasi, pencahayaan, dan

kepadatan hunian. Selain kriteria yang ada dalam Riskesdas, masih terdapat faktor

risiko lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit maupun

kecelakaan seperti kelembaban, suhu, asap rokok, kualitas udara dalam ruang,

adanya binatang penular penyakit, ketersediaan air bersih, serta perilaku penghuni

rumah itu sendiri (Permenkes, 2011).

Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2018 prevalensi penduduk Indonesia

yang di dianognis TB Paru oleh tenaga kesehatan adalah 0,4%, tidak berbeda

dengan tahun 2013 yaitu 0,4%. Provinsi dengan prevalensi TB Paru tertinggi

terdapat pada provinsi Banten (0,8%), Papua (0,8%), Jawa Barat (0,6%) dan Aceh

(0,5%) (Riskesdas, 2018).

Berdasarkan laporan Dinkes Provinsi Aceh tahun 2016 jumlah suspek TB

yang diperiksa dengan target suspek 80031 dengan capaian suspek 39894 dengan

proporsi suspek 783/100.000. Keseluruhan kasus TB Paru 5775 dengan proporsi

BTA(+) 3429 kasus meningkat bila dibandingkan tahun 2014 dengan keseluruhan

5241 kasus TB Paru. Sedangkan tahun 2017 jumlah target suspek TB 80031 sama

dengan 2016 dengan capaian suspek menurun menjadi 35.311, dengan jumlah

semua kasus TB Paru meningkat menjadi 7342 kasus dengan CNR 141/100.000

jumlah kasus terbanyak terdapat di Aceh Utara 1282 kasus disusul oleh Banda Aceh

5
790 kasus dan Bireun 731 kasus. Sedangkan tahun 2018 target suspek 16248

dengan penemuan kasus baru sebesar 23,212 (Januari-Juni) dari jumlah penduduk

5.281.314 di provinsi Aceh (Dinkes Provinsi Aceh, 2018).

Menurut laporan Dinkes Kota Banda Aceh tahun 2015 jumlah kasus TB Paru

mencapai 572 kasus dengan CNR 228.52/100.000. Pada tahun 2016 ditemukan

peningkatan jumlah 581 kasus TB Paru dengan CNR seluruh kasus 227.93/100.000.

Pada tahun 2017 jumlah kasus TB Paru terus mengalami peningkatan mencapai 790

kasus dengan CNR 300,94/100.000. Jumlah kasus terbanyak terdapat di UPTD

Puskesmas Kuta Alam sebanyak 412 kasus dan disusul oleh UPTD Puskesmas Banda

Raya sebanyak 225 kasus (Dinkes Kota Banda Aceh, 2017).

Meuraxa merupakan kecamatan yang berada di Kota Banda Aceh dan

Puskesmas Meuraxa adalah salah satu puskesmas dari 11 puskesmas yang ada di

Kota Banda Aceh. Wilayah kerja Puskesmas Meuraxa termasuk dalam jumlah kasus

terendah pada tahun 2015 dibandingkan dengan UPTD Puskesmas Kuta Alam dan

UPTD Banda Raya walaupun demikian kasus TB Paru di UPTD Puskesmas Meuraxa

terus mengalami peningkatan sejak tiga tahun terakhir yaitu dari tahun 2015

menduduki posisi kedua terbawah dan pada tahun 2018 meningkat dengan

menduduki posisi keempat dari 11 puskesmas yang ada di Kota Banda Aceh (Dinkes

kota Banda Aceh, 2017).

Berdasarkan hasil pelaporan puskesmas Meuraxa pada tahun 2016 jumlah

kasus TB Paru di Puskemas Meuraxa sebanyak 12 orang , pada tahun 2017 jumlah

penderita TB Paru meningkat mencapai 17 orang, dan pada tahun 2018 kasus TB

Paru terus mengalami peningkatan hingga 26 orang. Puskemas Meuraxa tidak

6
hanya menerima penderita yang ada di wilayah kerjanya, namun juga menerima

penderita TB Paru diluar wilayah Puskesmas. Rumah yang memenuhi syarat pada

tahun 2016 mencapai 5770 rumah sehat dan tahun 2017 rumah sehat meningkat

6147 (95%) rumah dari jumlah rumah 6258 (Puskesmas Meuraxa, 2018).

Observasi yang dilakukan peneliti terhadap lingkungan fisik rumah

dibeberapa desa yang terdapat penderita TB Paru yang ada di kecamatan Meuraxa.

Berdasarkan data Puskesmas Meuraxa, hampir semua rumah memenuhi syarat

kesehatan sebesar 95%. Rumah yang telah memenuhi syarat tidak dimanfaatkan

dengan baik dan benar, di dapati beberapa masyarakat yang tidak membuka

jendela rumahnya dan terdapat rumah dengan jendela, gorden dan ventilasinya

tidak dibuka sama sekali, sedangkan rumah tersebut tidak menggunakan AC,

sehingga tidak terdapatnya celah untuk cahaya masuk kedalam rumah dan tidak

terjadinya pertukaran udara secara bebas yang dapat menyebabkan ruangan

menjadi lembab. Hal ini berdampak terhadap tingginya risiko kejadian TB Paru

diwilayah tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Handayani dkk (2016) yang menyatakan

bahwa luas ventilasi ruangan rumah memiliki risiko terjadinya TB Paru 3,1 kali lebih

besar pada rumah dengan keadaan luas ventilasi ruangan tidak memenuhi standar

dibandingkan dengan rumah yang keadaan luas ventilasi ruangannya yang

memenuhi standar. Berdasarkan penelitian Syafri (2015), pencahayaan rumah < 60

lux berisiko 8,125 kali lebih besar untuk terinfeksi TB Paru dari pada dengan rumah

yang memiliki pencahayaan ≥ 60 lux.

7
Sahputra (2015) menyatakan bahwa ada hubungan kelembaban kamar tidur

dengan kejadian TB Paru, seseorang yang tinggal didalam rumah dengan

kelembaban yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 9,5 kali lebih berisiko

untuk menderita TB Paru dibandingkan dengan rumah yang memenuhi standar

kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Lahabama (2013), kepadatan hunian yang

tidak memenuhi syarat memiliki risiko 5,9 kali untuk terjadi penularan ke anggota

keluarga lainnya dibandingkan dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat

kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian Yunengsih (2015), pengetahuan merupakan

salah satu penyabab kejadian TB Paru. Responden yang memiliki pengetahuan

kurang akan berisiko menderita Tb Paru sebesar 2,9 kali dibandingkan dengan

responden yang pengetahuan baik.

Perilaku kesehatan seperti penelitian yang dilakukan oleh Dhika RK &

Sarwani SR (2011), menyatakan bahwa ada hubungan kebiasaan membuka jendela

kamar tidur dengan kejadian TB Paru. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni, dkk

(2015), menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan

kejadian TB Paru. seseorang yang mempunyai kebiasaan merokok berisiko 16 kali

lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak merokok.

1.2. Rumusan Masalah

TB Paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis, dan menjadi masalah kesehatan hingga saat ini. Ada

faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian TB Paru seperti perilaku

kesehatan dan lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

meliputi luas ventilasi, kepadatan hunian, pencahayaan dan kelembaban. Jumlah

8
kasus TB Paru di Kota Banda Aceh setiap tahunnya terus mengalami peningkatan.

Pada tahun 2015 jumlah kasus TB Paru mencapai 572 kasus meningkat pada tahun

2016 mencapai 581 kasus dan pada tahun 2017 jumlah kasus meningkat menjadi

790 kasus. UPTD puskesmas Meuraxa merupakan posisi terendah kejadian TB paru

yang ada di kota Banda Aceh tahun 2015, walaupun menduduki peringkat terbawah

kejadian TB Paru, UPTD Puskemas Meuraxa terus mengalami peningkatan setiap

tahunnya dan menduduki posisi keempat dari 11 puskesmas di kota Banda Aceh

dengan jumlah kasus TB Paru tertinggi tahun 2017. Dari laporan Puskesmas Pada

tahun 2016-2018 Puskesmas Meuraxa terus mengalami peningkatan kasus, oleh

karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan kualitas

lingkungan fisik rumah dan perilaku kesehatan dengan kejadian TB Paru di wilayah

kerja UPTD Puskesmas Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, maka penelitian ini hanya

dibatasi pada kondisi lingkungan fisik rumah yang meliputi kepadatan hunian

kamar, pencahayaan rumah, luas ventilasi kamar, kelembaban rumah,

pengetahuan, kebiasaan merokok, pekerjaan, kebiasaan menjemur peralatan tidur

dan kebiasaan membuka jendela di wilayah kerja Puskesmas Meuraxa Kota Banda

Aceh tahun 2019.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kualitas lingkungan fisik rumah dan perilaku

kesehatan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD

Puskesmas Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

9
1.4.1. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan

kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas

Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

2. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan rumah dengan

kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas

Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

3. Untuk mengetahui hubungan antara luas ventilasi kamar dengan

kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas

Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

4. Untuk mengetahui hubungan antara kelembaban rumah dengan

kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas

Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

5. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB

Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas Meuraxa Kota

Banda Aceh tahun 2019.

6. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan

kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas

Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

7. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan kejadian TB Paru

BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas Meuraxa Kota Banda

Aceh tahun 2019.

10
8. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan menjemur peralatan tidur

dengan kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD

Puskesmas Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

9. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan membuka jendela

dengan kejadian TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD

Puskesmas Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 2019.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Peneliti

Menambahkan pengalaman dan wawasan peneliti terhadap gambaran

hubungan kondisi fisik rumah dan perilaku kesehatan dengan kejadian

TB Paru BTA (+) di 10 desa wilayah kerja UPTD Puskesmas Meuraxa.

1.5.2. Bagi Responden

Sebagai sumber pengetahuan dan pendidikan terhadap responden

tentang pentingnya lingkungan kondisi fisik rumah sehingga dapat

meminimalkan kejadian penderita TB Paru.

1.5.3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan pada perpustakaan yang dapat dimanfaatkan

oleh mahasiswa dan mahasiswi khususnya fakultas kesehatan

masyarakat dan sebagai referensi bagi penulis lain yang meneliti tentang

hal ini.

1.5.4. Bagi Institusi Kesehatan

Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Meuraxa atau

Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, dan sebagai acuan untuk membuat

11
kebijakan dalam hal penanggulangan TB Paru melalui kondisi fisik rumah

sehingga dapat menurunkan angka kesakitan TB Paru.

12

Anda mungkin juga menyukai