Bab ini akan menguraikan hasil penelitian yang meliputi analisis univariat
dan bivariat sesuai tujuan penelitian. Bab ini juga akan menguraikan
interpretasi hasil penelitian dan diskusi atau pembahasan tentang hasil
penelitian.
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini akan peneliti deskripsikan berdasarkan masing-masing
karakteristik responden dan variabel dalam penelitian serta peneliti akan
menyajikan hasil penelitian dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, yang
antara lain sebagai berikut :
1. Karakteristik Responden
a. Usia Responden
Deskripisi usia responden dalam penelitian ini akan diuraikan dalam
tabel 4.1 sebagai berikut:
9 tahun 7 6,0
10 tahun 35 29,9
11 tahun 25 21,4
12 tahun 34 29,0
13 tahun 16 13,7
Laki-laki 72 61,5
Perempuan 45 38,5
c. Kelas Responden
Deskripisi kelas responden dalam penelitian ini akan diuraikan dalam
tabel 4.3 sebagai berikut:
Kelas IV A 29 24,8
Kelas IV B 29 24,8
Kelas V A 30 25,6
Kelas V B 29 24,8
Rendah 26 44,1
Cukup 19 32,2
Baik 14 23,7
Jumlah 59 100
Rendah 26 44,8
Cukup 27 46,6
Baik 5 8,6
Jumlah 58 100
Rendah 17 28,8
Cukup 31 52,5
Baik 11 18,6
Jumlah 59 100
Rendah 5 8,6
Cukup 32 55,2
Baik 21 36,2
Jumlah 58 100
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Sikap Awal Responden pada Kelompok Kontrol di
SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n= 59)
Mendukung 29 49,2
Jumlah 59 100
Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh gambaran bahwa sikap awal responden
pada kelompok kontrol sebagian besar adalah tidak mendukung yaitu
sebayak 30 orang (50,8%), dan yang mendukung sebanyak 29 orang
(49,2%).
Mendukung 27 46,6
Jumlah 58 100
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Sikap Akhir Responden pada Kelompok Kontrol di
SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n=59)
Mendukung 29 49,2
Jumlah 59 100
Mendukung 40 69,0
Jumlah 58 100
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Praktik Mencuci Tangan Responden Awal pada
Kelompok Kontrol di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n=59)
Kurang 21 35,6
Cukup 18 30,5
Baik 20 33,9
Jumlah 59 100
Kurang 26 44,8
Cukup 18 31,0
Baik 14 24,1
Jumlah 58 100
Kurang 13 22,0
Cukup 29 49,2
Baik 17 28,8
Jumlah 59 100
Kurang 7 12,1
Cukup 17 29,3
Baik 34 58,6
Jumlah 58 100
Berdasarkan tabel 4.15 diperoleh gambaran bahwa praktik mencuci
tangan responden pada kelompok intervensi setelah diberikan
penyuluhan kesehatan sebagian besar adalah baik yaitu sebayak 34
orang (58,6%), yang melakukan praktik cukup sebanyak 17 orang
(29,3%), dan yang melakukan praktik dengan kurang sebanyak 7 orang
(12,1%).
Tabel 4.16 Uji normalitas data pengetahuan awal dan akhir pada anak usia sekolah
tentang mencuci tangan pada kelompok kontrol mencuci tangan di SDN
Meteseh Semarang, April 2014 (n=59)
Tabel 4.18 Uji normalitas data pengetahuan anak usia sekolah sebelum dan setelah
diberikan penyuluhan kesehatan mencuci tangan pada kelompok
intervensi di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n=59)
Tabel 4.19 Perbedaan pengetahuan anak sebelum dan setelah diberikan penyuluhan
kesehatan pada kelompok intervensi di SDN Meteseh Semarang, 2014
(n=59)
b. Perbedaan sikap awal dan akhir anak usia sekolah tentang kesehatan
mencuci tangan pada kelompok kontrol
Sebelum dilakukan uji statistik adanya perbedaan sikap awal dan akhir
anak usia sekolah tentang kesehatan mencuci tangan pada kelompok
kontrol dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu seperti dalam tabel
4.20.
Tabel 4.20 Uji normalitas data sikap awal dan akhir anak usia sekolah tentang
kesehatan mencuci tangan pada kelompok kontrol di SDN Meteseh
Semarang, April 2014 (n=117)
Tabel 4.21 Perbedaan sikap awal dan akhir anak pada kelompok kontrol di SDN
Meteseh Semarang, 2014 (n=59)
Tabel 4.22 Uji normalitas data sikap anak usia sekolah sebelum dan setelah dilakukan
penyuluhan kesehatan mencuci tangan pada kelompok intervensi di SDN
Meteseh Semarang, April 2014 (n=117)
Tabel 4.23 Perbedaan sikap anak sebelum dan setelah diberikan penyuluhan kesehatan
pada kelompok intervensi di SDN Meteseh Semarang, 2014 (n=58)
Tabel 4.24 Uji normalitas data praktik awal dan akhir mencuci tangan anak usia
sekolah pada kelompok kontrol di SDN Meteseh Semarang, April 2014
(n=59)
Tabel 4.25 Perbedaan praktik awal dan akhir mencuci tangan pada kelompok kontrol
di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n=59)
Tabel 4.26 Uji normalitas data praktik mencuci tangan anak usia sekolah sebelum dan
setelah dilakukan penyuluhan kesehatan mencuci tangan pada kelompok
intervensi di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n=58)
Tabel 4.27 Perbedaan praktik mencuci tangan sebelum dan setelah diberikan
penyuluhan kesehatan pada kelompok intervensi di SDN Meteseh
Semarang, April 2014 (n=58)
Tabel 4.28 Uji normalitas data pengetahuan anak usia sekolah pada kelompok kontrol
dan intervensi di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n1=59n2=58)
Tabel 4.30 Uji normalitas data sikap mencuci tangan pada kelompok kontrol dan
intervensi di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n1=59n2=58)
Tabel 4.32 Uji normalitas data praktik mencuci tangan pada kelompok kontrol dan
intervensi di SDN Meteseh Semarang, April 2014 (n1=59n2=58)
Tabel 4.33 Perbedaan praktik mencuci tangan pada kelompok kontrol dan intervensi
di SDN Meteseh Semarang, 2014 (n1=59n2=58)
C. Pembahasan
Bagian ini akan menguraikan interpretasi hasil dan pembahasan hasil
penelitian yang meliputi analisis univariat dan analisis bivariat sesuai tujuan
penelitian. Data hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya
akan dibandingkan dengan teori penelitian yang ada atau penelitian
sebelumnya. Selain itu, dibahas juga mengenai keterbatasan dalam penelitian.
1. Pengetahuan awal dan akhir anak usia sekolah pada kelompok kontrol dan
intervensi
Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok kontrol didapatkan bahwa
pengetahuan awal responden sebagian besar adalah rendah yaitu sebayak
26 orang (44,1%), sedangkan pada kelompok intervensi sebagian besar
adalah cukup yaitu sebayak 27 orang (46,6%). Hasil tersebut diperoleh
dengan cara mengukur tingkat pengetahuan awal responden tentang
kesehatan mengenai cuci tangan baik pada kelompok kontrol maupun pada
kelompok intervensi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Susilowati (2007), menyatakan bahwa pengetahuan seseorang akan
bertambah dengan diperolehnya informasi tentang objek tetentu dimana
pengetahuan juga dapat diperoleh melelui media massa maupun
lingkungan. Notoatmodjo (2005), Mengatakan bahwa pengetahuan
berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki seseorang dan
informasi yang semakin banyak dimiliki seseorang maka makin tinggi pula
pengetahuan seseorang. Maka sesuai pernyataan tersebut, responden yang
tidak diberi penyuluhan kesehatan tidak terjadi peningkatan pengetahuan
hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa
responden tidak diberikan penyuluhan kesehatan tidak mendapat tambahan
pengetahuan atau tidak dapat menyimpan suatu pesan karena tidak
memperoleh suatu informasi. Tingkat pengetahuan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain berupa tingkat pendidikan, informasi, budaya,
pengalaman, dan sosial ekonomi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi
tingkat pengetahuan adalah informasi baik informasi dari media maupun
pendidikan atau penyuluhan (Nasution, 1999 dalam Notoatmodjo, 2005).
Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Setiawan (2009) tentang gambaran tingkat pengetahuan remaja sebelum
dan sesudah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang SADARI didapatkan
hasil bahwa sebagian besar remaja 35 orang (56,45%) memiliki
pengetahuan yang rendah sebelum diberikan penyuluhan kesehatan. Hal
ini karena responden belum pernah mendapatkan informasi sebelumnya
terkait SADARI sehingga pengetahuan remaja terbatas dan kurang
mengerti tentang SADARI. Menurut peneliti hasil tersebut dimungkinkan
karena anak usia sekolah belum mendapatkan penyuluhan kesehatan
sebelumnya, sehingga anak usia sekolah belum cukup mendapatkan
informasi mengenai cuci tangan yang benar. Kurangnya informasi tersebut
maka dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan anak usia sekolah,
sehingga tingkat pengetahuan anak usia sekolah kurang memadai saat
dilakukan pre-tes mengenai cuci tangan pada anak usia sekolah.
2. Pengetahuan akhir anak usia sekolah pada kelompok kontrol dan
intervensi
Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok kontrol didapatkan bahwa
pengetahuan akhir responden sebagian besar adalah cukup yaitu sebayak
31 orang (52,5%), sedangkan pada kelompok intervensi sebagian besar
memiliki pengetahuan cukup juga setelah diberikan penyuluhan kesehatan
yaitu sebanyak 32 orang (55,2%). Setelah diberikan penyuluhan kesehatan
mengenai cuci tangan didapatkan data responden mengalami perubahan
yang signifikan baik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Yaitu anak
usia sekolah yang diberikan penyuluhan kesehatan sebagian besar
memiliki tingkat pengetahuan cukup baik.
3. Sikap awal anak usia sekolah pada kelompok kontrol dan intervensi
Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok kontrol didapatkan bahwa
sikap awal responden sebagian besar adalah tidak mendukung yaitu
sebayak 30 orang (50,8%), sedangkan pada kelompok intervensi sebagian
besar memiliki sikap yang tidak mendukung pula yaitu sebanyak 31 orang
(53,4%). Hasil penelitian ini didukung dengan pendapat Notoatmodjo
(2005) yang menyatakan bahwa dari suatu sikap atau pengambilan
keputusan dapat membentuk keyakinan seseorang untuk dapat menentukan
sikap lain yang lebih baik. Sebelum seseorang menentukan sikap dalam
mencuci tangan seseorang harus memiliki pengetahuan tentang mencuci
tangan, sehingga sesuai pernyataan tersebut, bahwa tanpa ada tambahan
pengetahuan maka seseorang tidak akan dapat menentukan sikap yang
harus dilakukan dalam mencuci tangan. Bloom (1997) dalam Azwar
(2010) menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau sikap seseorang
sehingga sesuai pernyataan tersebut tanpa ada pengetahuan, seseorang
tidak akan dapat menentukan sikap dalam hal tertentu. Pengetahuan
diperlukan sebagai dorongan psikis dalam menumbuhkan rasa percaya diri
maupun dorongan sikap dan perilaku, sehingga apabila pengetahuan yang
dimiliki seseorang masih kurang maka tidak cukup kuat untuk dijadikan
pendorong dalam menentukan sikap. Terbentuknya suatu sikap baru,
dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu
terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluar. Sehingga hal
tersebut dapat menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan
selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek
terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang
telah diketahui dan dimencuci tangan sepenuhnya tersebut akan
menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan (action)
terhadap atau sehubungan dengan objek stimulus tadi, sehingga apabila
suatu sikap dan tindakan bila tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2005).
Menurut peneliti hasil beberapa penelitian ini disebabkan karena masih
kurangnya pengetahuan anak usia sekolah tentang mencuci tangan
sehingga mempengaruhi sikap anak usia sekolah dalam melakukan
mencuci tangan kepada. Hal ini juga disebabkan karena belum adanya
tambahan informasi atau belum diberikannya penyuluhan kesehatan
tentang mencuci tangan sehingga belum terjadi peningkatan pengetahuan
yang nantinya juga mempengaruhi pada perubahan sikap anak usia
sekolah.
Penelitian rogers (2004) seperti yang dikutip oleh Ircham (2009) bahwa
subjek akan bersikap sesuai dengan pengetahuan dan kesadaran yang
dimiliki dan dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, berfikir dan
emosi memegang peranan penting sehingga dapat dilihat berdasarkan hasil
penelitian bahwa bila seseorang yang telah memiliki pengetahuan maka
sikap yang muncul didasari oleh pengetahuan yang dimiliki. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husein (2009)
yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pendidikan
kesehatan dengan metode ceramah dengan peningkatan sikap responden
dalam melakukan mencuci tangan di SMA N 1 Karanganyar. Pendidikan
kesehatan akan memberikan tambahan pengetahuan sehingga akan
membantu seseorang dalam bersikap terhadap suatu stimulus.
5. Praktik awal dan akhir mencuci tangan pada anak usia sekolah pada
kelompok kontrol dan intervensi
Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok kontrol didapatkan bahwa
praktik awal mencuci tangan responden sebagian besar adalah kurang
yaitu sebayak 21 orang (35,6%), sedangkan pada kelompok intervensi
sebagian besar melakukan praktik dengan kurang juga yaitu sebanyak 26
orang (44,8%). Hasil penelitian ini didukung dengan pendapat Wijayanti
(2008) yang menyatakan bahwa Berbagai aspek komunikasi, misalnya
informasi yang kurang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Selain itu
juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu tingkat
pengetahuan seseorang yaitu diantaranya sosial ekonomi, pendidikan,
budaya atau agama, dan pengalaman. Hal ini dapat dibuktikan pada saat
sebelum diberikan penyuluhan kesehatan perilaku responden dalam
praktik mencuci tangan kurang karena bisa diakibatkan oleh berbagai
faktor seperti tingkat pendidikan, sarana informasi yang kurang, pelayanan
kesehatan kurang terutama dalam rangka memberikan penyuluhan
kesehatan (Wijayanti, 2008). Tiga faktor penting yang mempengaruhi
perilaku yaitu, Faktor predisposing dapat berupa tingkat pengetahuan,
pengalaman, nilai-nilai, sikap, budaya. Faktor enabling atau faktor
pendukung meliputi biaya, jarak, ketersediaan fasilitas, informasi. Faktor
reinforcing atau penguat adalah dukungan dari keluarga, tokoh
masyarakat, petugas kesehatan. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor perilaku tersebut belum terpenuhi sehingga berdampak terhadap
perilaku mencuci tangan yang tidak baik (Green, 2000, dalam
Notoatmodjo, 2012). Menurut peneliti hasil penelitian ini disebabkan
karena belum adanya penyuluhan kesehatan tentang mencuci tangan.
Secara umum anak usia sekolah menganggap cuci tangan adalah tidak
penting dan tidak dapat menimbulkan masalah. Padahal penyuluhan
kesehatan sangat diperlukan oleh anak usia sekolah untuk memperbaiki
perilaku dalam praktik mencuci tangan. Perilaku merupakan totalitas
penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama
antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan
mempunyai bentangan yang sangat luas (Ircham, 2009).
6. Praktik akhir mencuci tangan pada anak usia sekolah pada kelompok
kontrol dan intervensi
Praktik akhir mencuci tangan responden pada kelompok kontrol sebagian
besar adalah cukup yaitu sebayak 29 orang (49,2%), sedangkan pada
kelompok intervensi didapatkan sebagian besar melakukan praktik dengan
baik yaitu sebanyak 34 orang (58,6%). Hasil penelitian ini berarti
menunjukkan bahwa analisa perilaku responden dalam mencuci tangan
sesudah diberikan penyuluhan kesehatan lebih besar dari sebelum
diberikan penyuluhan kesehatan sehingga secara nyata dapat dilihat hasil
sesudah diberikan penyuluhan kesehatan mengalami peningkatan perilaku
mencuci tangan.
7. Perbedaan pengetahuan awal dan akhir anak usia sekolah pada kelompok
kontrol dan interensi
Berdasarkan hasil analisis statistik pada kelompok kontrol dengan uji t-
dependent test atau paired t-test didapatkan nilai rata-rata tingkat
pengetahuan akhir lebih baik yaitu sebesar 14,58 dibandingkan dengan
pengetahuan awal yaitu sebesar 13,63. Analisis hasil penelitian dengan uji
Paired t-test diperoleh nilai p-value 0,146 > (0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pengetahuan awal dan akhir anak. Sedangkan hasil analisis statistik pada
kelompok intervensi dengan uji t-dependent test atau paired t-test
didapatkan nilai rata-rata tingkat pengetahuan sesudah diberikan
penyuluhan kesehatan lebih baik yaitu sebesar 16,55 dibandingkan dengan
sebelum diberikan penyuluhan yaitu sebesar 12,36. Analisis hasil
penelitian dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p-value 0,000 < (0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pengetahuan anak sebelum dan setelah diberikan penyuluhan
kesehatan mencuci tangan pada kelompok intervensi. Peningkatan
pengetahuan anak usia sekolah mengenai cuci tangan yang terjadi dalam
penelitian ini tidak terlepas dari upaya penyuluhan kesehatan yang
dilakukan yaitu dengan metode ceramah, dan tanya jawab. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan pendapat Efendi (2008) bahwa setiap
orang memiliki tanggapan yang berbeda-beda. Salah satu faktor yang
mempunyai potensi berpengaruh terhadap proses belajar adalah minat dari
anak usia sekolah terhadap materi yang disampaikan. Hal tersebut
didukung dengan pendapat Suliha (2009) yang menyatakan bahwa tujuan
penyuluhan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku individu,
kelompok, dan masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana
melalui proses belajar. Penyuluhan kesehatan dalam waktu yang pendek
(imediate impact) hanya menghasilkan perubahan atau peningkatan
pengetahuan seseorang. Peranan penyuluhan kesehatan adalah melakukan
intervensi faktor pengetahuan dan perilaku, sehingga perilaku individu,
kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan kesehatan adalah suatu usaha
untuk menyediakan kondisi psikologis dari sasaran agar pengetahuan dari
peserta didik sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan (Husni, 2005).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kusmawati
(2006) tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan anak
tentang diare didapatkan hasil bahwa anak usia sekolah sesudah diberikan
penyuluhan kesehatan pengetahuanya lebih baik dibandingkan
pengetahuan anak usia sekolah sebelum diberikan penyuluhan kesehatan.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Notoatmodjo (2003) yang
mengatakan bahwa penyuluhan kesehatan menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan dan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010)
tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan
perilaku responden dalam melakukan pemeriksaan payudara sendiri,
dengan hasil bahwa pendidikan kesehatan memiliki pengaruh yang
signifikan dalam meningkatkan pengetahuan responden dimana
pengetahuan setelah diberikan pendidikan kesehatan responden memiliki
rata-rata sebesar 22,63 lebih baik daripada sebelum diberikan pendidikan
kesehatan yaitu dengan rata-rata 19,35 dan dengan nilai p value 0,012 <
0,05. Berdasarkan beberapa hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
penyuluhan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan anak usia sekolah
mengenai cuci tangan. Hal ini sesuai dengan tujuan penyuluhan kesehatan,
yaitu meningkatkan pengetahuan masyarakat dibidang kesehatan (Depkes,
2003), dalam hal ini berupa peningkatan pengetahuan anak usia sekolah
mengenai cuci tangan. Menurut peneliti hasil peneliltian ini dimungkinkan
karena terdapat peningkatan pengetahuan anak usia sekolah yang
signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan,
yaitu tingkat pengetahuan anak usia sekolah sesudah diberikan penyuluhan
kesehatan sebagian besar adalah baik. Terjadinya peningkatan
pengetahuan tersebut terjadi karena informasi yang diterima anak usia
sekolah sesudah diberikan penyuluhan kesehatan lebih banyak
dibandingkan dengan informasi sebelum diberikan penyuluhan kesehatan.
Adanya penyuluhan kesehatan tentunya akan menambah informasi dan
pengalaman anak, sehingga mereka lebih paham dan mengerti khususnya
mengenai pentingnya mencuci tangan.
8. Perbedaan sikap awal dan akhir anak usia sekolah pada kelompok kontrol
dan intervensi
Berdasarkan hasil analisis statistik pada kelompok kontrol dengan uji
Paired t-test diperoleh gambaran bahwa rata-rata sikap anak akhir lebih
tinggi yaitu sebesar 14,53 dibandingkan dengan sikap awal yaitu sebesar
11,59. Analisis hasil penelitian dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p-
value 0,000 < (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan sikap awal dan akhir anak pada kelompok kontrol.
Sedangkan hasil analisis statistik pada kelompok intervensi dengan uji
Paired t-test diperoleh gambaran bahwa rata-rata sikap anak setelah
diberikan penyuluhan kesehatan lebih tinggi yaitu sebesar 16,28
dibandingkan dengan sebelum diberikan penyuluhan yaitu sebesar 12,31.
Analisis hasil penelitian dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p-value
0,000 < (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan sikap anak sebelum dan setelah diberikan penyuluhan kesehatan
mencuci tangan pada kelompok intervensi. Hasil penelitian ini didukung
dengan pendapat Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa orang yang
setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek berarti memiliki
sikap yang arahnya positif. Sebaliknya mereka yang tidak setuju atau tidak
mendukung dapat dikatakan memiliki sikap yang arahnya negatif. Sikap
merupakan pandangan tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan suatu
pengetahuan yang dimiliki orang. Sikap dapat bersifat positif dan dapat
bersifat negatif. Sikap positif cenderung terhadap tindakan yang
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap
negatif cenderung untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak
menyukai objek tertentu. Pemahaman akan baik buruk, merupakan garis
pemisah antara suatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
Pemahaman ini diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta
ajarannya. Hal ini akan menjadi dasar bagi individu untuk menentukan
sikapnya terhadap suatu stimulus atau objek. Demikian pula yang
diungkapkan oleh Middlebrook dalam Azwar (2010) tidak adanya
pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan
membentuk sikap negatif atau kurang mendukung terhadap objek tersebut.
Sehingga responden yang belum pernah mengetahui tentang pentingnya
mencuci tangan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung tehadap
informasi dan praktik mencuci tangan. Untuk dapat menjadi dasar dalam
pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan
yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila
pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor
emosional karena dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan
pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama membekas (Azwar,
2010). Penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bustami (2011) tentang pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode
ceramah terhadap sikap anak usia sekolah dalam pencegahan karies dentis
di SD N 1 Tulungagung, dengan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan
dengan nilai p value 0,004. Penelitian lain yang dilakukan oleh Arumi
(2009) yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap sikap anak sekolah dalam melakukan sikat gigi,
dengan nilai p value 0,010. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa
ada pengaruh antara penyuluhan kesehatan terhadap sikap anak usia
sekolah dalam melakukan cuci tangan. Hasil penelitian juga menunjukan
bahwa tingkat pengetahuan responden tentang mencuci tangan mengalami
peningkatan pengetahuan setelah diberikan penyuluhan kesehatan. Hal ini
disebabkan pengetahuan sebagai faktor penyebab terbentuknya sikap.
Seseorang yang memiliki pengetahuan baik, diharapkan mempunyai sikap
yang baik pula (Azwar, 2010). Menurut peneliti hasil penelitian ini
dikarenakan dengan diberikannya penyuluhan kesehatan pada anak, maka
akan meningkatkan pemahaman serta pengetahuan anak mengenai cuci
tangan. Pemahaman yang baik pada anak tentunya anak dapat memikirkan
manfaat dan dampak dari cuci tangan pada kesehatanya, sehingga anak
dapat menentukan sikap yang baik terhadap cuci tangan. Sikap yang
didasari dengan pengetahuan serta pemahaman yang baik tentu akan
memiliki sikap yang lebih kekal daripada sikap yang tidak didasari dengan
pengetahuan.
9. Perbedaan praktik awal dan akhir mencuci tangan pada anak usia sekolah
kelompok kontrol dan intervensi
Berdasarkan hasil analisis statistik pada kelompok kontrol dengan uji
Paired t-test diperoleh gambaran bahwa rata-rata praktik akhir mencuci
tangan lebih tinggi yaitu sebesar 9,73 dibandingkan dengan praktik awal
yaitu sebesar 9,20. Analisis hasil penelitian dengan uji Paired t-test
diperoleh nilai p-value 0,313 > (0,05) sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan praktik awal dan akhir
mencuci tangan pada kelompok kontrol. Sedangkan hasil analisis statistik
pada kelompok intervensi dengan uji Wilcoxon diperoleh gambaran bahwa
rata-rata praktik mencuci tangan setelah diberikan penyuluhan kesehatan
lebih tinggi yaitu sebesar 10,97 dibandingkan dengan sebelum diberikan
penyuluhan yaitu sebesar 8,40. Analisis hasil penelitian dengan uji
Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,000 < (0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan praktik mencuci
tangan sebelum dan setelah diberikan penyuluhan kesehatan mencuci
tangan pada kelompok intervensi. Berdasarkan analisis di atas maka dapat
dilihat bahwa pemberian penyuluhan kesehatan dapat meningkatkan
perilaku responden dalam mencuci tangan. Perilaku merupakan suatu
tindakan yang memiliki frekuensi, lama, dan tujuan khusus. Tiga faktor
penting yang mempengaruhi perilaku yaitu, faktor predisposing, faktor
enabling dan faktor reinforcement. Faktor predisposing dapat berupa
tingkat pengetahuan, pengalaman, nilai-nilai, sikap, budaya. Faktor
enabling atau faktor pendukung meliputi biaya, jarak, ketersediaan
fasilitas, informasi. Faktor reinforcing atau penguat adalah dukungan dari
keluarga, tokoh masyarakat, petugas kesehatan Menurut (Green et.al. 2000
dalam Notoatmodjo, 2012). Menurut Shenandu (2009) menyatakan bahwa
selain tiga faktor tersebut diatas ada beberapa bagian perilaku yang
berfungsi untuk mengubah perilaku menjadi lebih baik. Bertitik tolak
bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari: niat seseorang untuk bertindak
sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior
intention), dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support),
ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accessibility ofinformation), otonomi pribadi orang yang bersangkutan
dalam hal mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy) dan
situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action
situation). Petugas kesehatan mempunyai peran yang berarti dalam
meningkatkan perilaku mencuci tangan. Tugas utama dari pendidik atau
penyuluh kesehatan dalam bidang kesehatan adalah meningkatkan
kesadaran akan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan
rehabilitasi. Penyuluhan kesehatan itu sendiri pada dasarnya ialah suatu
proses mendidik individu/masyarakat supaya mereka dapat memecahkan
masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya sehingga diharapkan akan
berusaha belajar merubah perilakunya kearah yang lebih baik (Azwar,
2010). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ircham (2009) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan respons terhadap
stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku
ini dapat dibedakan menjadi 2 yakni faktor internal yakni karakteristik
orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan. Misalnya : tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan faktor eksternal yakni
lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan
yang mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penyuluhan kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mengubah
pengetahuan, sikap dan perilaku individu atau masyarakat agar mampu
mengambil keputusan yang berhubungan dengan kesehatan dirinya
sebagai tanggung jawab pribadi dalam rangka mencapai tingkat kesehatan
yang lebih baik (Siswanto, 2010). Hasil penelitian ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) tentang pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan perilaku responden dalam
melakukan pemeriksaan payudara sendiri, dengan hasil bahwa pendidikan
kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan
perilaku responden dalam melakukan praktik pemeriksaan payudara
sendiri dimana perilaku setelah diberikan pendidikan kesehatan responden
memiliki rata-rata sebesar 25,33 nilai ini lebih baik daripada sebelum
diberikan pendidikan kesehatan yaitu dengan rata-rata 21,17 dan dengan
nilai p value 0,001 < 0,05. Penelitian lain yang dilakukan oleh Arumi
(2009) yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap praktik anak sekolah dalam melakukan sikat gigi,
dengan nilai p value 0,027. Peningkatan perilaku mencuci tangan dalam
penelitian ini dimungkinkan karena peningkatkan pengetahuan dan sikap
setelah pelaksanaan penyuluhan kesehatan melalui metode ceramah, tanya
jawab, demontrasi dan media leaflet, dengan diberikan penyuluhan
kesehatan maka dapat menambah informasi bagi responden tentang
manfaat dan dampak dari mencuci tangan sehingga responden diarahkan
untuk bersikap dan berpeilaku sesuai dengan pola hidup sehat yang
dianjurkan dalam teori dalam hal ini adalah untuk melakukan praktik
mencuci tangan.
10. Perbedaan pengetahuan cuci tangan pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Independent t-test di atas
didapatkan bahwa rata-rata pengetahuan pada kelompok intervensi
mengalami peningkatan yaitu sebesar 16,55 dibandingkan dengan
kelompok kontrol yaitu sebesar 14,58. Analisis hasil penelitian dengan uji
Independent t-test diperoleh nilai p-value 0,007 < (0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan
pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Hasil penelitian ini
didukung pendapat dari Soekanto (2002) yang menyatakan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah adanya penerimaan
informasi dari pihak-pihak lain. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku dan sikap
seseorang. Pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang
dimiliki seseorang. Semakin banyak informasi kesehatan yang dimiliki
oleh seseorang maka semakin tinggi pula pengetahuannya. Pengetahuan
ini pula yang akan membentuk kepercayaan dan selanjutnya akan
memberikan dasar dalam mempercayai serta menentukan perilaku
terhadap objek tertentu (Mahfudz, 2005). Pengetahuan memberi informasi
kepada seseorang yang mempelajarinya sehingga jika diterapkan dalam
kehidupannya akan bisa mendatangkan perubahan perilaku atau tingkah
laku. Selain pengetahuan, perilaku atau tingkah laku juga didukung dengan
sikap positif dan dukungan dari pihak lain, orang dapat mengambil
keputusan dalam menentukan pilihan untuk mempermudah menyelesaikan
permasalahannya. Pengetahuan akan membentuk keyakinan tertentu
sehingga seseorang akan berperilaku sesuai dengan keyakinan
(Notoatmojo, 2003). Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Amelia (2009) tentang perbedaan pengetahuan
tentang perilaku hidup bersih sehat anak usia sekolah yang diberikan
pendidikan kesehatan dan tidak diberikan pendidikan kesehatan di SDN 1
Karanganyar yang menyatakan bahwa sebagian besar anak yang diberikan
pendidikan kesehatan mayoritas memiliki pengetahuan baik yaitu
sebanyak (60,9%) sedangkan yang tidak diberikan kesehtan sebagian besar
memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak (43,5%) dengan nilai p
value 0,001. Menurut peneliti hal ini dikarenakan adanya intervensi yakni
berupa penyuluhan kesehatan kepada responden. Penyuluhan kesehatan
yang melibatkan peserta didik secara langsung akan mudah difahami oleh
anak sehingga hal ini akan dapat meningkatkan pengetahuan pada anak
yang diberikan penyuluhan daripada anak yang tidak mendapatkan
penyuluhan. Pengetahuan ini sebagai dasar bagi anak untuk menentukan
sikap dan perilaku dalam hal kesehatan.
11. Perbedaan sikap mencuci tangan pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Independent t-test di atas
didapatkan bahwa rata-rata sikap pada kelompok intervensi mengalami
peningkatan yaitu sebesar 16,28 dibandingkan dengan kelompok kontrol
yaitu sebesar 14,53. Analisis hasil penelitian dengan uji Independent t-test
diperoleh nilai p-value 0,029 < (0,05) sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sikap mencuci tangan pada
kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Hasil ini sejalan dengan
pendapat dari Azwar (2010) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap antara lain berasal dari pendidikan
kesehatan dimana pendidikan kesehatan dalam penyampaian informasi
sebagai tugas pokoknya, selain itu sikap juga dapat terbentuk karena media
masa yang membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugesti yang dibawa oleh
informasi tersebut, apabila cukup kuat akan memberi dasar afektif dalam
menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap
berarti memiliki sikap yang arahnya positif. Sebaliknya mereka yang tidak
setuju atau tidak mendukung dapat dikatakan memiliki sikap yang arahnya
negatif (Notoatmodjo, 2007). Dalam hal ini sikap merupakan pandangan
tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang
dimiliki orang. Sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Sikap
positif cenderung terhadap tindakan yang mendekati, menyenangi,
mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif cenderung untuk
menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu.
Pemahaman akan baik buruk, merupakan garis pemisah antara suatu yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Pemahaman ini diperoleh dari
pendidikan formal maupun pendidikan non formal seperti penyuluhan. Hal
ini akan menjadi dasar bagi individu untuk menentukan sikapnya terhadap
suatu stimulus atau objek. Demikian pula yang diungkapkan oleh
Middlebrook dalam Azwar (2010) tidak adanya pengalaman sama sekali
dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif
atau kurang mendukung terhadap objek tersebut. Sehingga responden yang
belum pernah mengetahui tentang manfaat dan dampak mencuci tangan
cenderung bersikap negatif atau kurang mendukung tehadap informasi dan
praktik mencuci tangan. Untuk dapat menjadi dasar dalam pembentukan
sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat.
Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional karena
dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan pengalaman akan lebih
mendalam dan lebih lama membekas (Azwar, 2010). Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2009), tentang perbedaan
sikap anak tentang perilaku hidup bersih sehat antara yang diberikan
penyuluhan dan yang tidak dilakukan penyuluhan di SDN 1 Kota
Pekalongan, dengan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan dengan
nilai p value 0,009. Menurut peneliti hal ini dikarenakan responden telah
mendapatkan penyuluhan kesehatan sehingga responden yang telah
diberikan penyuluhan kesehatan menyadari akan pentingnya melakukan
cuci tangan untuk kesehatan. Anak secara umum biasa tidak melakukan
cuci tangan karena belum memahami tentang manfaat dari cuci tangan
sehingga anak kurang responsif terhadap mencuci tangan. Selain itu, sikap
yang ditunjukkan oleh responden setelah diberikan penyuluhan kesehatan
dikarenakan mayoritas responden telah mendapatkan sumber informasi
yang tepat dari tenaga kesehatan (Notoatmojo, 2012).
12. Perbedaan praktik mencuci tangan pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Mannwithney U-test di atas
didapatkan bahwa rata-rata praktik mencuci tangan pada kelompok
intervensi mengalami peningkatan yaitu sebesar 10,97 dibandingkan
dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 9,73. Analisis hasil penelitian
dengan uji Mannwithney U-test diperoleh nilai p-value 0,011 < (0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
praktik mencuci tangan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Hal ini didukung dengan pendapat Hurlock (2001) yang menyatakan
bahwa tahap perkembangan pada anak usia sekolah cenderung belum
mementingkan hal yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat bagi
dirinya karena pada masa perkembangan ini masing sering bermain
sehingga dengan adanya penyuluhan kesehatan dapat meningkatkan
pengetahuan serta pemahamannya terkait dengan mencuci tangan. Anak
sekolah meruakan populasi yang rawan terserang penyakit terutama
penyakit saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena anak sering kali tidak
mencuci tangan setelah bermain dan ketika hendak makan. Diberikannya
penyuluhan kesehatan diharapkan mampu merubah perilaku anak dalam
melakukan cuci tangan. Perubahan perilaku dipengaruhi beberapa faktor
salah satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan dari responden tentang
mencuci tangan diperoleh dari penyuluhan kesehatan. Pengaruh yang
signifikan dari penyuluhan kesehatan terhadap perilaku praktek mencuci
tangan, dikarenakan perilaku berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan
pada seseorang. Perilaku seseorang terhadap suatu objek menunjukkan
pengetahuan orang tersebut terhadap objek yang bersangkutan (Walgito,
2003). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa responden yang
mempunyai pengetahuan baik tentang mencuci tangan maka akan
cenderung mempunyai perilaku yang baik pula. Sebaliknya responden
yang kurang pengetahuannya tentang mencuci tangan cenderung
mempunyai perilaku praktek mencuci tangan yang tidak baik. Hasil
penelitian ini sependapat juga dengan pernyataan Notoatmodjo (2012),
dengan adanya pengetahuan yang baik yang dimiliki responden
berpengaruh pada perilaku yang akan dilakukan responden terhadap
praktek mencuci tangan. Jadi dengan adanya pengetahuan yang baik dan
tepat maka status kesehatan responden lebih meningkat. Selain itu
pengetahuan yang baik akan mendorong responden untuk berperilaku yang
tepat dalam hal ini berupa perilaku praktek mencuci tangan, dimana
perilaku dipengaruhi oleh respon individu terhadap stimulus atau
pengetahuan yang bersifat baik, sedang, buruk, positif, negatif yang
tergantung bagaimana reaksi individu untuk merespon terhadap suatu
stimulus tersebut yang berujung pada suatu tindakan atau perilaku. Maka,
apabila pengetahuan responden tentang mencuci tangan baik akan
berpengaruh pada perilaku yang baik pula pada responden untuk
melakukan tindakan yang tepat dalam melakukan praktek mencuci tangan.
Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati (2009), yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang
signifikan praktik sikat gigi pada anak yang diberikan penyuluhan dan
yang diberikan penyuluhan kesehatan di SD N Tamanan, Banguntapan,
Bantul yang dibuktikan dengan nilai p = 0,035 < 0,05. Menurut peneliti
hasil penelitian ini dikarenakan responden yang telah diberikan
penyuluhan kesehatan memiliki informasi yang lebih banyak tentang
mencuci tangan sehingga responden lebih mengetahui tentang manfaat dan
resiko jika tidak mencuci tangan. Perilaku praktik mencuci tangan ini akan
dilakukan dengan baik dan konsisten oleh responden jika responden telah
memperoleh pengetahuan sebelumnya tentang cuci tangan, sehingga
responden yang mendapatkan penyuluhan kesehatan akan melakukan
praktik mencuci tangan dengan baik.
D. Keterbatasan Penelitian
1. Pengumpulan data perilaku anak usia sekolah dalam mencuci tangan
hanya dilakukan dengan alat ukur kuesioner dan diisi sendiri oleh
responden, sehingga peneliti tidak dapat mengetahui secara langsung
bagaimana cara dan perilaku mencuci tangan pada anak usia sekolah,
maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan alat
ukur yang berbeda misalnya dengan lembar observasi.
2. Penelitian ini hanya didasarkan pada jenis intervensi penyuluhan kesehatan
yang dilakukan pada responden dan tidak memperhatikan adanya pengaruh
dari faktor lain seperti media massa.
3. Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada kelas 4 dan 5 sehingga
belum dapat menggeneralisasi dari seluruh populasi yang ada di SDN 1
Meteseh
4. Alat ukur dalam penelitian ini hanya didasarkan pada kuesioner, sehingga
peneliti kurang bisa mengeksplor jawaban responden secara lebih
mendalam, sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan
metode lain dalam pengumpulan data misalnya dengan lembar observasi.
E. Implikasi Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian, implikasi keperawatan yang bisa diambil adalah
sebagai berikut:
1. Implikasi terhadap pendidikan sekolah dasar (SD)
Perlunya memberikan perhatian tentang intervensi pemberian penyuluhan
kesehatan dalam meningkatkan perilaku hidu bersih dan sehat pada anak
usia sekolah. Perhatian ini dapat diawali dari pembelajaran di Institusi
sekolah dasar.
2. Bagi masyarakat
Penelitian ini memberikan informasi bagi masyarakat tentang pentingnya
mengajarkan mencuci tangan dengan benar sejak dini sehingga mencuci
tangan menjadi kebiasaan anak ketika dewasa dan dapat meningkatkan
kualitas dan derajat kesehatan pada anak usia sekolah..
3. Implikasi terhadap pelayanan keperawatan (petugas Puskesmas)
Penelitian ini memperkuat teori atau referensi dari penelitian yang sudah
ada bahwa penyuluhan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan. Jika
pengetahuan dapat ditingkatkan maka akan mempengaruhi sikap dan
perilaku anak dalam melakukan mencuci tangan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat membantu meningkatkan kompetensi perawat terutama
dalam menjalankan perannya sebagai pemberi pelayanan. Hasil penelitian
ini memberikan kontribusi agar perawat melakukan atau meningkatkan
penyuluhan kesehatan tentang tujuan dan manfaat dari mencuci tangan
kepada anak usia sekolah sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan
pada anak usia sekolah.
4. Implikasi terhadap penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan bagi perawat
tentang pentingnya pemberian informasi tentang tujuan, manfaat dan
langkah mencuci tangan pada anak usia sekolah. Penelitian ini juga dapat
menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya untuk membandingkan
perilaku mencuci tangan antara anak laki-laki dan anak perempuan, atau
menghubungkan antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku mencuci
tangan pada anak usia sekolah.