Anda di halaman 1dari 33

Tujuan percobaan

1. untuk mengetahui marfologi kutu.

2. Agar bisa menyebutkan,menggambarkan,dan menjelaskan morfologi kutu

3.Untuk lebih memahami tentang kutu dan dapat mengetahui macam-macam kutu yang ada disekitar
manusia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

2.1.1 jenis kutu

Kutu termasuk dari ordo phithiraptera, yang ditandai dengan tubuh yang pipih dorsoventral, tidak
bersayap dan bagian tubuh terdiri dari kepala, toraks dan abdomen.

Ordo Phithiraptera mempunyai empat sub ordo yaitu subordo Amblycera dan subordo ischnocera yang
merupakan kelompok kutu penggigit (tidak menghisap darah) dan umumnya ditemui pada hewan. Selain
itu subordo Rhynchophthirina dan subordo Anoplura merupakan kutu penggigit sekaligus penghisap
darah. Dari keempat subordo itu Anoplura merupakan subordo yang mempunyai peranan yang penting
dan berpengaruh bagi kesehatan dengan spesiesnya antara lain Pediculus humanus capitis (kutu kepala),
pediculus humanus humanus(kutu badan), phthirus pubis (kutu kemaluan).

2.1.2 .Biologi dan Perilaku Kutu

Ketiga jenis spesies dari subordo Anoplura bersifat kosmopolitan, artinya ditemui diseluruh dunia.
Ketiganya hanya menjadi parasit pada manusia dan tidak pada hewan, karena memang pada umumnya
kutu mempunyai kekhasan inang (host spesificity) yang tinggi dibandingkan dengan ektoparasit yang
lainnya. Sehingga penularan kutu dari manusia ke hewan tidak terjadi, bahkan juga antara hewan yang
berbeda spesies. Pada inangnya, penyebaran P. humanus capitis hanya terbatas pada daerah kulit atau
rambut kepala terutama dibelakang kepala dan dekat telinga pada anak-anak. Telurnya dilekatkan pada
pangkal rambut yang sangat dekat kulit kepala. Karena pertumbuhan rambut diperkirakan satu cm
perbulan, maka jarak antara letak telur terjauh dengan kulit kepala dapat menunjukan sudah berapa
lama infestasi kutu terjadi. Infestasi bisa mencapai 10-20 kutu dewasa per orang.penularan kutu rambut
terutama terjadi akibatkontak antar inang seperti anak-anak yang tidur bersama pada satu ranjangatau
bergantian sisir yang mengandung rambut berkutu.

Berbeda dengan kutu rambut yang memiliki penyebaran terbatas, kutu kemaluan dapat ditemui bukan
hanya pada kulit atau rambut kemaluan tetapi juga daerah bermbut lainnya seperti rambut dada dan
ketiak. Bahkan pada bulu mata dan jenggot jika infestasinya sudah cukup tinggi. Penularan kutu ini
terutama terjadi akibat kontak seksualataupun hubungan intim yang lainnya. Adapun kutu badan yang
memiliki morfologi yang mirip dengan kutu kepala tetapi lebih besar, umumnya ditemui pada pakaian
terutama bagian pakaian yang melekat pada badan, seperti pakaian dalam, sellangkang celana panjang,
lengan bagian ketiak, kerah ataupun bagian pundak.

Hal ini terjadi karena kontak dengan inangnya hanya terjadi sewaktu menghisap darah dan setelah itu
kembali ke pakaian. Kutu badan lebih banyak menghabiskan waktunya pada pakaian termasuk termasuk
untuk bertelur.

Peranan kutu dalam kesehatan manusia terutama adalah akibat gigitan yang ditimbulkannya, apalagi
pada infestasi yang tinggi. Gigitan kutu menimbulkan kegatalan dan iritasi yang berakhir dengan
perlukaan kulit akibat garukan. Luka dapat diperparah dengan adanya infeksi sekunder baik dari mikroba
maupun jamur dan akhirnya membentuk kerak berwarna gelap (hiperkeratinasi) dan penebalan
dipermukaan kulit kepala terutama pada tempat-tempat predileksi kutu. Tanda khas permukaan kulit
kepala ini dikenal sebagai Vagabond’sdisease.

Kutu bisa menjadi vektor tranmisi dari beberapa penyakit. Namun hal ini belum pernah dilaporkan
terjadi di Indonesia. penyakit-penyakit louse-borne epidemic typhus, relapsing fever, dan trench fever
merupakan penyakit yang ditransmisikan oleh kutu. Louse born epidemica typhus dan relapsing fever
termasuk dalam kategori penyakit-penyakit karantina. Penyakit-penyakit ini biasanya terdapat di mana
banyak manusia hidup padat bersama tanpa banyak memperhatikan kebersihan perorangan, misalnya
tidak atau jarang mandi, pakaian lama tidak dicuci, terutama pakaian-pakaian tebal. Penyakit-penyakit ini
banyak terdapat dalam kazorne tentra, penjara, kamp konsentrasi dan sebagainya. Louse borne epidemic
typhus dulu pernah dikenal sebagai "demam penjara" ( "jail fever " ). Dimasa perang penyakit ini banyak
terdapat diantara prajurit-prajurit di front depan.

Beberapa penyakit yang diperantarai oleh kutu diantaranya yaitu :

1) Louse borne thypus fever


Penyakit ini disebabkan oleh mikroorganisme Rickettsia prowazekii dan merupakan penyakit akut dan
infeksius yang ditandai dengan sakit kepala, demam, dan gejala sakit pada umumnya. Penyakit ini
terutama dikenal didaerah dingin dan dimasa perang akibat tingkat sanitasi yang rendah termasuk
higiene pribadi yang memprihatinkan. Transmisi penyakit ini masih ditemui di wilayah pegunungan di
Amerika tengah dan selatan, Afrika timur dan Himalaya. Transmisi Rickettsia penyebab penyakit ini
terjadi melalui luka pada kulit manusia yang terkontaminasi dengan tinja kutu badan. Kutu badan yang
menghisap darah penderita akan mengeluarkan tinja yang mengandung ricketsia dan apabila tinja ini
mengering akan mudah sekali menyebarkan bahkan ricketsia dapat bertahan hidup dalam tinja kering
kutu selama dua bulan.

2) Relapsing fever

Penyakit ini disebabkan oleh Borelia recurrentis. Sesuai dengan namanya penderita mengalami demam
turun naik. Demam terjadi selama 2-9 hari, selanjutnya suhu tubuh turun selama 2-4 hari, dan kembali
terjadi demam. Tingkat kematian akibat penyakit ini cukup tinggi bahkan mencapai 50% pada kejadian
wabah. Seperti halnya demam tifus, tranmisi penyakit ini terjadi melalui kontaminasi luka oleh tinja kutu.
Adapun penyakit ini dikenal di wilayah terbatas di Afrika, Asia, dan Amerika selatan.

3) Trench fever

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Rochalimaea quintana, dan menimbulkan gejala yang mirip dengan
Relapsing fever yang diikuti dengan kesakitan disekujur tubuh. Akan tetapi penyakit jarang menimbulkan
kematian. Negara-negara yang pernah terjangkit adalah Bolivia, Burundi, Etiopia, dan beberapa negara di
Rusia, terutama pada para tahanan dimasa perang dunia pertama dan kedua. Hal ini terjadi akibat
sanitasi yang rendah dan penuh sesaknya tahanan, sehingga transmisi penyakit yang melalui tinja kering
kutu sangat mudah terjadi.

2.1.3 Siklus Hidup


Dalam hidupnya kutu mengalami metamorfosis yang tidak sempurna yang diawali dengan telur, nimfa,
dan dewasa. Kutu betina meletakkan 9-10 telur sehari dan total 270-300 telur selama hidupnya. Telur
kutu dilekatkan pada pada rambut inangnya dengan zat perkat khusus (disebut cement). Telur-telur tidak
bisa menetas pada suhu dibawah 24oC dan diatas 37.5oC. Pada suhu diantara 24oC-37.5oC telur-telur
kutu menetas dalam waktu kurang dari 2 minggu. Telur-telur menetas menjadi nimfa, nimfa sendiri
merupakan bentuk miniatur dari kutu dewasa tapi belim mempunyai organ reproduksi yang belum
senpurna. Pada stadium nimfa tumbuh dan bertukar kulit (molting) 3 x dalam wlaktu 3-9 hari menjadi
nimfa instar satu, dua, tiga dan berubah menjadi kutu dewasa dengan ukuran maksimal 4,5 mm. Kutu
jantan maupun betina menghisap darah inang setiap saat sejak stadium nimfa hingga dewasa.

KESIMPULAN

1. Ada tiga spesies kutu dalam subordo Anoplura yang berpengaruh pada kesehatan manusia, yaitu
P.humanus capitis (kutu kepala), Pediculus humanus humanus (kutu badan), Phthirus pubis (kutu
kemaluan). Kutu mengalami metamorfosis yang tidak sempurna yang diawali dengan telur, nimfa, dan
dewasa. Stadium nimfa tumbuh dan bertukar kulit (molting) 3 x dalam waktu 3-9 hari menjadi nimfa
instar satu, dua, tiga dan berubah menjadi kutu dewasa dengan ukuran maksimal 4,5 mm. Kutu bisa
menjadi vektor transmisi dari -penyakit louse-borne epidemic typhus, relapsing fever, dan trench fever.

2. Pengendalian kutu sangat tergantung dari kebersihan pribadi dan menghindari pemakaian aat-alat
yang memungkinkan terjadi penularan kutu secara bersama, seperti sisir, topi, pakaian, dll. Pengendalian
lain yang bisa dilakukan yaitu penggunaan serit, pencucian rambut, dan juga insektisida. Berbagai
perawatan yang bisa dilakukan agar menjaga kepala atau tubuh dari kutu anatara lain perawatan secara
kimia dan metode sisir dan kondisioner (Comb and conditioner method)

3. Pengendalian kuu busuk dan kutu beras hendaknya dijaga dari tingkat kebersihan diri an kebersihan
lingkungan.

Dalam praktikum ini praktikan mengidentifikasi 3 jenis kutu yaitu

a. Kutu beras

b. Kutu rambut

c. Kutu busuk
IMUNOLOGI WIDAL TEST

Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk batang. Morfologi
Salmonella typhosa berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel
feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2-4 mikrometer x 0.5 - 0.8
mikrometer dan bergerak, pada biakan agar darah, koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3
millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Tumbuh pada suasana
aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 - 41oC (suhu pertumbuhan optimum 37 oC) dan pH
pertumbuhan 6 - 8. Salmonella sp. yang hanya menginfeksi manusia, diantaranya S. typhii, S. paratyphi
A, S. paratyphi C. Kelompok ini termasuk agen yang menyebabkan demam tifoid dan paratifoid, yang
menjadi penyebab sebagian besar serangan salmonella. Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang
menjadi masalah kesehatan dunia. Demam tifoid terjadi baik di neg ara tropis maupun negara subtropis,
terlebih pada negara berkembang. Besarnya angka kejadian demam tifoid sulit ditentukan karena
mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang luas. Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah.
Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan WHO (2003), insidensi
demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan
dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun. Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonella enterica, terutama serotype Salmonella thypii (S. typhii). Bakteri ini termasuk kuman Gram
negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang,berkapsul dan bersifat fakultatif
anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis yang
timbul pada semua penderita demam tifoid ini. Namun, pada anak manifestasi klinis demam tifoid tidak
khas dan sangat bervariasi sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Untuk menentukan diagnosis pasti
dari penyakit ini diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan
adalah pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, uji
serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa
Demam typhoid memiliki masa inkubasi yang paling panjang, menghasilkan suhu badan yang tertinggi,
dan memiliki angka mortalitas yang tertinggi. S. typhii dapat di isolasi dari darah dan kadang-kadang
feses dan urin penderita yang menderita demam enterik. Sindrom paratyphoid lebih lemah dibanding
typhoid (Karsinah,1994).

Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis dan tes serologis saja. Uji
Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, khususnya di
negara berkembang termasuk Indonesia. Widal adalah uji diagnosis serologi untuk demam enterik yang
ditemukan pada tahun 1896 oleh Georges Fernand Isidore Widal. Reaksi aglutinasi ini menunjukkan
adanya lipopolisakarida (LPS),somatik (O) dan flagella (H) dari Salmonella thypii dalam serum dari pasien
yang menggunakan suspensi O dan H antigen. Kit komersil yang tersedia adalah untuk antigen
Salmonella thypii para-A, B dan C. Salah satu kelemahan utama dari uji widal adalah reaktivitas silang
karena yang beberapa bakteri lain yang memiliki genus sama sering menghasilkan hasil positif palsu,
sehingga hasil positif harus berkorelasi secara klinis sebelum meresepkan obat.Jadi, tes widal adalah
pilihan untuk demam tifoid terutama di daerah pedesaan (Aziz dan Haque, 2012).

Uji Widal ada dua macam yaitu uji Widal tabung yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji
Widal peluncuran yang hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja. Umumnya sekarang lebih
banyak digunakan uji Widal cara meluncurkan, karena merupakan uji serologis yang cepat dan mudah
dalam melaksanakannya. Sensitivitas dan terutama spesifisitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis
antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji Widal yang menggunakan antigen yang dibuat
dari jenis strain kuman asal daerah endemis (lokal) memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang secara
bermakna lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah
endemis (impor) (Baron et al.,1994). Uji Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun mempunyai banyak keterbatasan dan penafsiran uji
Widal, untuk menegakkan diagnosis demam tifoid harus hati-hati karena beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaannya. Yaitu antara lain keadaan gizi, saat pemeriksaan, pengobatan
antibiotica yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis, vaksinasi, penggunaan obat
imunosupresif, reaksi silang serta teknik pemeriksaan (Pang et al.,1997).

Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid masih kontroversial di antara para ahli karena hasil
yang berbeda-beda. Uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid (94,3%), asalkan dapat
diketahui titer antibodi di orang normal dan penderita demam nontifoid. Pang dan Puthucheary
mengatakan bahwa uji Widal masih merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan kesulitan dalam
memeriksa bakteri di negara berkembang (Pang et al.,1997). Hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan
titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau aglutinin H dalam jangka waktu 5–7 hari bernilai
diagnostik amat penting untuk demam tifoid. Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada
satu kali pemeriksaan Widal terutama aglutinin H tidak memiliki arti diagnostik yang penting untuk
demam tifoid. Namun demikian, masih dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid di
penderita dewasa yang berasal dari daerah nonendemik atau anak umur kurang dari 10 tahun dari
daerah endemik. Sebab di kelompok penderita ini kemungkinan terkena S.typhi dalam dosis
subterinfeksi masih amat kecil. Di orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di
daerah endemik kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subterinfeksi lebih besar, sehingga uji
Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu
dengan yang lainnya. Bergantung dari derajat endemisnya dan juga perbedaan keadaan antara anak di
bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis
demam tifoid, ambang atas titer rujukannya baik anak maupun orang dewasa perlu ditentukan. Besar
titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di lndonesia belum terdapat kesesuaian. Dari
hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid
bergantung prosedur yang digunakan di masing-masing rumah sakit atau laboratorium. Uji Widal
dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupun H dengan kriteria diagnostik
tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada
aglutinin H (Handojo, I, 1982).

Antibodi (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum darah dan cairan jaringan pada
mamalia. Antibodi memiliki lebih dari satu tempat pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibodi
makhluk hidup mempunyai 2 tempat pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibodi bivalen
dapat membenuk beraneka antibodi yang mempunyai lebih dari 10 tempat pengkombinasian antigen
(Volk Wheeler, 1984).
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau organisme multiseluler lain
yang dapat menimbulkan pembentukan antibodi terhadapnya dan dengan antibodi itu antigen dapat
bereaksi dengan khas. Sifat antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis
lainnya dalam familyEnterobacteriaceae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O (somatik), H
(Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen) (Volk Wheeler, 1984).

1. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari
lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang
encer (Baronet al.,1994).

2. Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia
protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain.
Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam (Baron
et al.,1994).

3. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan
struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian
asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier (Baron et al.,1994).

4. Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan
lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian
yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri
atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih
belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik
yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Baron et al.,1994).

Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap
Salmonella thypii dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O, H, dan Vi dari
laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka reaksi widal positif, berarti serum orang tersebut mempunyai
antibodi terhadap Salmonella thypii, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit tipus ataupun
sedang menderita tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii
(tidak terjadi aglutinasi). Berdasarkan hasil pengamatan pada pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi
berarti penderita tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii(hasilnya negatif). Jika hasilnya
positif terjadi adanya endapan pasir, sedangkan jika hasilnya negatif maka tetap jernih. Adanya aglutinasi
menandakan bahwa penderita positif terinfeksi Salmonella thypii yang dapat dilihat Pada serum 20 μl,
titer Ab + 1/80 = infeksi ringan (Volk and Wheeler, 1984).

g. Hasil

- Salmonella H antigen group A = negatif

- Salmonella H antigen group C = negatif

- Salmonella O antigen group B = positif

Pembahasan

Praktikum kali ini adalah melakukan test widal yang merupakan salah satu test untuk mendukung
diagnosis terhadap infeksi bakteri Salmonella yang dapat menyebabkan demam typhoid. Metode yang
digunakan adalah metode slide aglutinasi, sampel berupa serum yang berasal dari probandus bernama
Ika Rahma Yulia. Serum tersebut ditetesi dengan antigen Salmonella yaitu AH, CH, dan BO. Pada serum
yang ditetesi antigen AH dan CH menunjukkan hasil negatif ini menandakan tidak ada infeksi bakteri
Salmonella untuk antigen yang berada pada flagel Salmonella. Akan tetapi untuk antigen BO
menunjukkan hasil positif yang menandakan probandus pernah terinfeksi bakteri Salmonella. Hanya saja
hasil positif tersebut tidak didukung dengan pernyataan probandus bahwa pernah mengalami demam
typhoid. Hal tersebut mungkin terjadi karena ada kesalahan pada pra analitik, analitik, post analitik
maupun pada probandus sendiri yang mungkin tidak tahu pernah terinfeksi bakteri Salmonella.

Pada test widal sendiri memiliki beberapa kelemahan yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil, akan tetapi uji widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid. Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakata akan nilai
standar aglutinasi. Beberapa hal yang sering disalah artikan:

a. Pemeriksan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh, hal ini pengertian yang salah. Uji widal
hanya menunjukkan adanya antibody terhadap bakteri Salmonella.

hb. Pemeriksaan widal yang hilang setelah pengobatan dan menunjukkan hasil potf diangga masih
menderita tifus, hal ini juga pengertian yang salah. Setelah seseorag menderita tifus dan mendapatakan
pengobatan, hasil uji widal tetap postif untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan
sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan.

i. Kesimpulan

Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan widal menunjukkan
hasil positif pada salmonella O antigen group B.
j. Daftar Pustaka

- Jawetz, Melnick and Adelberg. 1966. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran.

- Pelczar and Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.

- Pelczar and Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.

- http://veronica-nina-miyora-situmorang.blogspot.com/2013/04/laporan-praktikum-imunologi-
pemeriksaan.html

- id.wikipedia.org/wiki/Widal

HEMATOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.


Dasar Teori

Waktu perdarahan (Bleeding Time, BT) adalah uji laboratorium untuk menentukan lamanya tubuh
menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur
hemostasis dan koagulasi. Masa perdarahan tergantung dari ketepatgunaan cairan jaringan dalam
memacu koagulasi, fungsi pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama 3 mengenai
trombosit, yaitu jumlah dan kemampuan untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk
agregasi (Juliantisilaen, 2014). Decterina melakukan analisis regresi linier untuk mengetahui sensitifitas,
spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif dari Bleeding Time (waktu perdarahan). Nilai dari hasil
pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) dipengaruhi oleh jumlah trombosit, dinding pembuluh
darah, hematokrit, kualitas kulit, dan juga teknik yang digunakan (Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro dan PERDATIN, 2011). Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) terdapat dua metode
yaitu Ivy dan Duke. Metode duke dinilai kurang teliti dan kurang akurat, sehingga dilakukan perbaikan
berdasarkan metode Ivy.Agar pemeriksaan terstandarisasi maka dilakukan penyamaan tekanan
pembuluh darah dengan menggunakan sfigmomanometer pada tekanan 40 mmHg. Tusukan dilakukan
pada lengan bagian bawah menggunakan lanset (Nugraha, Gilang, 2015). Metode Duke kurang
memberatkan pada mekanisme hemostasis karena tidak diadakan pembendungan. Namun metode
Duke sebaiknya hanya dipakai pada bayi dan anak kecil saja, karena pembendungan menggunakan
figmomanometer pada lengan atas tidak mungkin atau susah dilakukan (R.Gandasoebrata, 2010).
Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) lebih baik dengan menggunakan metode Ivy, karena
dilakukan pada 8 permukaan volar lengan bawah yang mudah diakses, memiliki pasokan darah
superfisial yang relatif seragam, kurang peka terhadap nyeri, dan mudah terpengaruh oleh peningkatan
ringan tekanan hidrastatik (Riswanto, 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Pasca Analitik 1.

Harga normal a.

Metode Duke : 1-3 menit b.


Metode IVY : 1-6 menit 2.

Hasil Percobaan perdarahan di dapatkan hasil, yaitu : a.

Metode Duke : 1 menit 30 detik b.

Metode IVY : 30 detik B.

Pembahasan Bleeding time adalah tes kasar hemostasis ( penghentian darah ). Hal ini menunjukkan
seberapa baik trombosit berinteraksi dengan pembuluh darah untuk membentuk bekuan darah.
Bleeding time paling sering digunakan untuk mendeteksi cacat kualitatif trombosit , seperti penyakit Von
Willebrand. Pada metode IVY apabila perdarahan yang berlangsung lebih dari 10 menit telah
membuktikan vadanya sesuatu kelainan dalam mekanismus hemostasis. Akan tetapi perlu juga
menyadari kemungkinan lain apabila masa perdarahan lebih dari 10 menit, yakni tertusuknya satu vena
pada persangkaan ini ulangilah percobaan pada lengan lain. Tusukkan harus cukup dalam sehingga salah
satu bacak darah pada kertas saring menjadi berdiameter 5 mm atau lebih. Percobaan batal jika tidak
didapat bacak sebesar itu dan perdarahan kurang dari 1 menit hal ini disebabkan karena penusukan
kurang dalam. Pada metode duke kurang memberatkan kepada mekanismus hemostasis Karena tidak
diadakan pembendungan. Janganlah melakukan masa perdarahan menurut Duke itu pada ujung jari ,
hasilnya teristimewa pada orang dewasa tidak boleh dipercaya. Cara Duke sebaiknya hanya dipakai pada
bayi dan anak kecil saja, karena mengenakan ikatan figmomanometer pada lengan atas tidak mungkin
atau sukar dilakukan( Gandasoebrata, 2007)

DAFTAR PUSTAKA

Astiawati, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit Ginjal Kronik
Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Semarang: Universitas Diponegoro
Juliantisilaen.2014. Waktu Perdarahan. Palembang Nugraha ,Gilang.2015. PanduanPemeriksaan
Laboratorium Hematologi Dasar. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media. R.Gandasoebrata.2010. Penuntun
Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat. Riswanto.2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi.
Yogyakarta : Alfamedia & Kanal Medika

Pengertian Bleeding Time (Waktu Perdarahan)

Bleeding time (waktu perdarahan) adalah uji laboratorium untuk menentukan lamanya tubuh
menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur
hemostasis dan koagulasi. Masa perdarahan tergantung dari ketepatgunaan cairan jaringan dalam
memacu koagulasi, fungsi pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama mengenai
trombosit, yaitu jumlah dan kemampuan untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk
agregasi (Juliantisilaen, 2014).

Bleeding Time (waktu perdarahan) merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengetahui jalur
koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. Pemeriksaan ini telah dilakukan beberapa dekade dengan
menggunakan metode Duke. Ivy et al dan Mielke et al melakukan modifikasi metode pemeriksaan waktu
perdarahan dan banyak digunakan pertengahan tahun 1980-an, sehingga muncul pertanyaan mengenai
validitas pemeriksaan (Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan PERDATIN, 2011).

Decterina melakukan analisis regresi linier untuk mengetahui sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif
positif dan negatif dari Bleeding Time (waktu perdarahan). Nilai dari hasil pemeriksaan Bleeding Time
(waktu perdarahan) dipengaruhi oleh jumlah trombosit, dinding pembuluh darah, hematokrit, kualitas
kulit, dan juga teknik yang digunakan (Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan PERDATIN, 2011).

Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) merupakan pemeriksaan skrining (penyaring) untuk
menilai gangguan fungsi trombosit dan mendeteksi adanya kelainan von willebrand. Pemeriksaan ini
secara langsung dipengaruhi oleh jumlah trombosit terutama dibawah 50.000/mm3 , kemampuan
trombosit membentuk plug, vaskularisasi dan kemampuan konstriksi pembuluh darah. Mekanisme
koagulasi tidak mempengaruhi waktu perdarahan secara signifikan kecuali terjadi penurunan yang cukup
parah (Nugraha, Gilang, 2015).

Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) tidak boleh dilakukan apabila penderita sedang
mengkonsumsi antikoagulan atau anti nyeri aspirin, karena dapat menyebabkan waktu perdarahan
memanjang. Pengobatan harus ditunda selama 3-7 hari atau jika memungkinkan pasien diberitahu agar
tidak mengkonsumsi aspirin atau obat penghilang rasa nyeri tanpa resep selama 5 hari sebelum
pemeriksaan (Riswanto, 2013) Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) terdapat dua metode
yaitu Ivy dan Duke.

Metode duke dinilai kurang teliti dan kurang akurat, sehingga dilakukan perbaikan berdasarkan metode
Ivy.Agar pemeriksaan terstandarisasi maka dilakukan penyamaan tekanan pembuluh darah dengan
menggunakan sfigmomanometer pada tekanan 40 mmHg. Tusukan dilakukan pada lengan bagian bawah
menggunakan lanset (Nugraha, Gilang, 2015).

Metode Duke kurang memberatkan pada mekanisme hemostasis karena tidak diadakan pembendungan.
Namun metode Duke sebaiknya hanya dipakai pada bayi dan anak kecil saja, karena pembendungan
menggunakan figmomanometer pada lengan atas tidak mungkin atau susah dilakukan (R.Gandasoebrata,
2010).

Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) lebih baik dengan menggunakan metode Ivy, karena
dilakukan pada 8 permukaan volar lengan bawah yang mudah diakses, memiliki pasokan darah
superfisial yang relatif seragam, kurang peka terhadap nyeri, dan mudah terpengaruh oleh peningkatan
ringan tekanan hidrastatik (Riswanto, 2013).
B. Masalah Klinis pada Pemeriksaan Bleeding Time (Waktu Perdarahan)

1. Pemendekan waktu

Penyakit Hodkin

2. Pemanjangan Waktu

a. Purpura trombositopenia, disarankan untuk memeriksa jumlah trombosit sebelum melakukan tes
waktu perdarahan (v.dacie, sir john dan lewis S.M)

b. Abnormalitas fungsi trombosit, gangguan ini bisa disebabkan oleh obat paraprotein atau kelainan
trombosit (v.dacie, sir john dan lewis S.M)

c. Abnormalitas vaskular

d. Leukemia

e. Penyakit hati kronis

f. DIC (disseminated intravascular coagulation)

g. Anemia aplastik

h. Defisiensi faktor (V, VII, XI)

i. Penyakit christmas (Nugraha, Gilang, 2015)

C. Manfaat Pemeriksaan Bleeding Time (Waktu Perdarahan) dalam Klinik

Bleeding Time (waktu perdarahan) dalam laboratorium klinik bermanfaat untuk menilai faktor-faktor
hemostasis yang letaknya extravaskuler, tetapi keadaan dinding kapiler dan jumlah trombosit juga
berpengaruh. Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang dasar, apabila ditemukan kelainan maka dapat
dilakukan 9 pemeriksaan yang lebih khusus untuk mencari suatu kelainan tertentu
(R.Gandasoebrata,2010)

D. Metode Pemeriksaan Bleeding Time (Waktu Perdarahan)

a. Metode Ivy Ikatan spigmomanometer dikenakan pada lengan atas dengan tekanan 40 mmHg.
Penusukan bagian lengan bawah kira-kira 3 jari dibawah lipat siku dengan kedalaman tusukan 3mm
(R.Gandasoebrata,2010). Insisi harus dibuat di tempat yang sudah dibersihkan, bebas dari penyakit kulit
dan jauh dari vena (Riswanto, 2013)

Prinsip metode Ivy : Dibuat perlukaan standar pada permukaan volar lengan bawah. Lamanya
perdarahan sampai berhenti dicatat sebagai waktu perdarahan (Riswanto, 2013).

b. Metode Duke Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan tusukan pada bagian cuping telinga
dengan kedalaman 2 mm (R.Gandasoebrata, 2010). Prinsip metode Duke : Dibuat perlukaan standar
pada daun telinga. Lamanya perdarahan sampai berhenti dicatat sebagai waktu perdarahan (Riswanto,
2013).

E. Peran Vasokonstriksi pada Hemostasis

Cedera pada pembuluh darah arteri yang besar atau sedang atau vena akan memerlukan tindakan bedah
yang cepat untuk mencegah perdarahan. Akan tetapi, ketika pembuluh yang lebih kecil, seperti arteriol,
venula, atau kapiler terluka, maka terjadi kontraksi untuk kendali mengurangi perdarahan. Kontraksi dari
dinding pembukuh darah disebut vasokonstriksi. Vasokonstriksi adalah reaksi refleks yang singkat dari
otot polos pad dinding pembuluh yang berasal dari cabang simpatis dari sistem saraf otonom.
Penyempitan atau stemosis dari lumen pembuluh darah akan mengurangi aliran darah pada pembuluh
yang luka dan disekitar vaskular, dan memungkin cukup untuk menutup kapiler yang luka. (Rukman
Kiswari, 2014)

Peran endotel, Endotel mengandung jaringan ikat kolagen dan elastin. Matriks jaringan ikat ini mengatur
permcabilitas dinding darah dan memberikan rangsangan utama terhadap cedera yang diikuti terjadi
trombosis pada pembuluh darah. Endotel sangat aktif secara metabolik dan terlibat dalam proses
pembekuan. Endotel juga kaya dengan aktivator plasminogen yang jika dirangsang akan dengan tepat
dilepaskan untuk mengaktifkan plasminogen, yang selanjutnya melisis bekuan fibrin dengan cepat. Selain
itu, endotelium menguraikan prostasiklin, yang disintesis oleh endotelium dari prokusor prstaglandin
yang bersifat sangat menghambat agregasi dan adhesi trombosit. Kolagen, khususnya, memulai aktivasi
faktor XII, yang mengawasi terjadinya pembekuan darah. Perubahan struktur dan fungsi endotel,
diprovakasi oleh rangsangan yang dapat mengakibatkan perubahan lokal, akut, dan kronis dalam intraksi
endotelium. Perubahan ini dapat mencakup :

a. Peningkatan permeabilitas terhadap lipoprotein plasma

b. Hiperadhesi terhadap leukosit

c. Ketidak keseimbangan faktor protrombotik dan anti- trombotik lokal.

Fungsi Endotel. Endolet terlibat dalam metabolisme dan klinik molekul srotonin angiotensin, dan
brandikinin yang mempengaruhi pengaturan tekanan darah, pergerakan cairan di endotel, dan
peradangan. Terkait dengan pembetukan darah, sebagai salah satu dasar karakteristik normal, endotel
yang utuh tidak bereaksi dengan trombosit dan tidak mampu untuk emulai aktivitas kantak permukaan
faktor pembekuan XII. (Rukman Kiswari, 2014)

Disfungsi Endotel. Apabila terjadi gangguan endotel, maka akan langsung mengaktifkan keempat
komponen hemolisis, sehingga terjadi hal sebgai berikut :

1. Awalnya, vasokonstriksi cepat selama 30 menit akan menguragi aliran darah dan meningkatkan
aktivitas kontak trombosiy ddan faktor koagulasi.
2. Pada tahap kedua, trombosit menuju ke jaringan ikat subendetodelial yang terkena, khususnya
kolahen ddengan membentuk agregat. Agregat trombosit meningkatkan vasokonstrikasi lebih lanjut
dengan melepaskan tromboksan A2 dan vasoaktifamin, termasuk serotonin dan epirefrain.

3. Pada rahap ketiga, dimuali koagulasi melaui kedua sistem instrinsik dan ekstrinsik.

4. Akhirnya, terjadi fibrinolisis setelah dikeluarkannya aktivator plasminogen jaringan (t-PA) dari
dinding pembuluh darah. Fibrinolitil terhadap kelebihan bahan hemostatik diperlukan untuk
membangaun pembuluh darah menjadi utuh kembali. (Rukman Kiswari, 2014)

F. Trombosit

Trombosit matang adalah frekmen sel yang aktif, merupakan komponen penting kedua dalam
hemostasis. Trombosit tidak berinti dan berada dalam darah perifer setelah diprosuksi dari sitoplasma
megakariosit merupakan sel terbesar yang ada dalam sumsusm tulang.

Peran trombosit dalam Hemostasis. Trombosit biasanya bergerak bebas melalui lumen pembuluh darah
sebagai salah satu komponen dari sistem peredaran darah. Pemeliharaan pembuluh darah normal
melibatkan nutrisis melalui endotel oleh beberapa konstituen trombosit. Untuk berlangsung hemostasis,
trombosit tidak hanya ada dalam jumlah normal, tetapi juga harus berfungsi dengan baik. (Rukman
Kiswari, 2014)

Fungsi Trombosit secara umum. Setelah kerusakan pada endotelium pembuluh darah, terjadi serangkain
peristiwa, termasuk adhesi ke pembuluh darah yang terluka, perubahan bentuk, agregasi, dan sekresi.
Setiap perubhan struktural dan fungsional disertai dengan serangkain reaksi biokimia yang terjadi selam
proses aktivasi trombosit. Memran plaasma trombosit adalah fokus dari interaksi antra lingkungan
ekstraselular dan intraselular. Salah satu kegiatan yang berbeda yang berhubungan dengan aktivitas
trombosit dalam menanggapi kerusakan vaskular adalah pemeliharaan secara terus-menerus keutuhan
vaskular oleh adhesi trombosit yang cepat pada endotel yang rusak. Selain itu, trombosit menyebar,
menjadi aktif, dan membentuk agregat besar, dengan terbentuknya plug trombosit. Adhesi dan agregasi
trombosit di lokasi pembuluh darah yang rusak memungkinkan untuk terjadi pelepasan molekul yang
melibatkan dalam hemostasis dan penyembuhan luka dan memungkinkan permukaan membran untuk
membentuk enzim koagulasi yang mengarah ke pembentukan fibrin. Penyembuhan pembuluh darah
didukung oleh rangsangan migrasi dan proliferasi sel endotel dan sel otot polos medial melaui reaksi
pelepasan. (Rukman Kiswari, 2014)

Adhesi Trombosit. Jika pembulug darah cedera, akan menyingkap permukaan endotel dan kolagen yang
mendasari. Trombosit mendatangi serat kolagen subendotel, membentuk pseudopodia di sepanjang
permukaan, dan antara trombosit satu dengan lainnya menyatu membentuk agregat. Adhesi trombosit
ke jaringan ikat subendotelial, terutama kolagen, terjadi dalam 1- 2 menit. Setelah berdiam endotel.
Epinefrin dan serotonin mendukung vasokonstriksi. ADP meningkatkan adhesi trombosit. Peningkatan
adhesi trombosit menyebabkan trombosit yang beredar melekat pada kolagen. Hasilnya dalah massa
trombosit kohesif yang meningkat dengan ceat mencapai ukuran yang cukup untuk membentuk plug
trombosit. (Rukman Kiswari, 2014)
Agregasi Trombosit. Adalah tes standar untuk menentukan fungsi trombosit. Agregasi trombosit in vivo
dalah proses yang jauh lebih kompleks dan dinamis dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya. Selama
dekade terakhir, telah menjadi jelas bahwa agregasi trombosit merupakan proses tahap adhesi yang
melibatkan reseptor berbeda. Berbagai macam agen mampu menghasilkan agregasi trombosit in vitro.
Agen ini meliputi materi seperti kolagen, enzim proteolitik seperti trombin, epinefrin, dan serotonin.
Dinyatakan bahwa jembatan yang dibentuk oleh fibrinogen dengan kalsium meghasilkan permukaan
yang lengket pada trombosit, ini menyebabkan agregasi. Jika agregat diperkuat oleh fibrindisebut
sebagai trombus. Agregasi trombosit, detidaknya satu jalur dapat diblokir oleh zat seperti prostaglandin
E (PGE), adenosin, dan obat anti- inflamasi nonsteroid, misalnya asparin. Hal ini secara trombosit dlam
mekanisme biosintesis yang diperlukan untuk menyimpan protein baru, terjadi catat yang disebabkan
oleh aspirin selams masa hidupnya (sekitar 10 hari). Oleh karena itu, setelah pengobatan dengan aspirin
dihentikan, aktivitas siklooksigenase secara perlahan akan pulih. Hal ini menjelaskan paradoks bagaimans
obat dengan waktu paruh 20 menit dalam sirkulasi sistemik dapat sepenuhnya efektif sebagai
antitrombosit ketiks cukup diberikan sekali sehari. (Rukman Kiswari, 2014)

G. Faktor pembekuan

Faktor pembekuan adalah komponen penting dalam pembentukan trombus. Sel hati dalah tempat
utama dari sintesis faktor koagulasi. Namun , sel-sel lain seperti sel-sel endotel, juga berperan penting
dalam proses normal hemostasis dan trombosis. Secara kasik, faktor koagulasi digambarkan sebagai
reaksi dalam urutan kaskade. Modifikasi dari urutan ini sekarang diketahui terjadi karena faktor koagulasi
darah salinf vberinteraksi untuk membentuk trombus akhir yang larut.

Karakteristik Umum Faktor Koagulasi. Protein yang merupakan faktor pembentukan memiliki
karakteristik yang sama. Karakteristik tersebut dijelaskan sebagai berikut ini. (Rukman Kiswari, 2014)

1. Terjadi kekurang salah satu faktor pada umumnya menyebabkan gangguan perdaraan, kecuali
faktor XII, prekallikrein (faktor Fletcher), dan high molecule weigh hininogen (HMWK, faktor Fitzgerald).

2. Masing-masing faktor diketahui mempuyai karakteristik fisik dan kimia.

3. Sintesis faktor bersifat independen terhadap protein lain

4. Faktor ini dapay diuji di laboratorium.

Karakteristik setiap faktor koagulasi. Masing-masing faktor koagulasi memiliki beberapa karakteristik
yang unik. Karakteristik ini meliputi : (Rukman Kiswari, 2014)

· Faktor I (Fibrinogen). Fibrinogen adalah protein globulin berukuran berat yang stabil (berisi molekul
341.000 ). Fibrinogen adalah prekursor fibrin yang menghasilkan bekuan. Ketika fibrinogen bereaksi
dengan trombin, dua peptida memisahkan diri dari molekul fibrinogen, menghasilkan fibrin monomer.
Monomer-monomer agraget bersama-sama membentuk produk terpolimerisasi bekuan fibrin akhir.

Fibrinogen trombin → fibrin monomer → bekuan fibrin


· Faktor II (Protrombin). Protrombin adalah protein yang stabil (berat molekul 63.000). dengan
dipengaruhi oleh kalsium teronisasi, protrombin diubah menjadi trombin oleh aksi enzimatik
tromboplastin dari kedua jalur ekstrinsik dan intransik. Protrombin memiliki waktu paruh hampir 3 hari
dan digunakan kira-kira 70% selama pembekuan. Kalsium terionisasi adalah istila untuk menggantikan
faktor IV. Kalsium terionisasi diperlukan untuk aktivitasi tromboplastin dan untuk konversi protrombin .
kalsium trionisasi adalah bentuk fisiologis aktif dari kalsium.

· Faktor V (Proaccelerin). Faktor V adalah protein globulin yang sangat labil, berupah dengan cepat,
memiliki waktu paruh 16 jam. Faktor V digunkan dalam proses pembekuan dan sangat penting untuk
tahap selanjutnya, yaitu pembentukan tromboplastin.

· Tromboplastin jaringan (sebelumnya disebut faktor III). Tromboplastin jaringan adalah istila yang
diberikan untuk setiap substansi nonplasma yang mengandung kompleks lipoprotein jaringan. Jaringan
ini dapat berasala dari otak, paru-paru, endotel pembuluh darah, hati, plasenta, atau ginjal, yang
merupakan jenis jaringan yang mampu mengonversi protrombin menjadi trombin.

· Faktor VII (Proconvertin). Faktor VII, beta-globulin, bukan merupakan komponen penting dari
mekanisme yang mengahasilkan tromboplastin dalam jalur instrinsik.fungsi faktor VII adalah aktivasi
tromboplastin jaringan dan percernaan pembentukan trombin dari protrombin. Faktor ini dihambat oleh
antagonis vitamin K.

· Faktor VIII (faktor Antihemofilik). Faktor ini adalah reaktan pada fase akut, digunkan selama proses
pembentukan dan tidak ditemukan dalam serum. Faktor VIII sangat labil, dan berukurang sebanyak 50%
dalam waktu 12 jam pada suhu 4oC in vitro. Faktor VII dapat dibagi ke dalam berbagai komponen
fungsional.

· Faktor IX (plasma thromboplastin Component). Faktor IX adalah faktor protein yang stabil yang
tidak dipakai selama pembekuan. Ini adalah komponen penting dari sistem pembangkit tromboplastin
jalur intrinsik, di mana dapat mempengaruhi laju pembentukan tromboplastin.

· Faktor X (stuart factor ). Merupakan alfa-globulin, faktor yang relatif stabil. Bersama dengan faktor
V, faktor X bereaksi dengan ion kalsium membentuk jalur akhir yang umumnya di mana produk-produk
bergabung untuk membentuk tromboplastin akhir yang mengubah protrombin menjadi trombin.
Aktivitas faktor X tanpaknya terkait dengan faktor VII.

· Faktor XI (Tromboplastin Plasma). Faktor XI, beta-globulin, dapat ditentukan dalam serum karena
hanya sebagian yang digunkan selama proses pembekuan. Faktor ini sangat penting untuk mekanisme
yang menghasilkan tromboplastin dalam jalur instrinsik.

· Faktor XII (faktor hageman). Faktoe XII merupakan faktor yang stabil absorbsi faktor XII dari
kininogen (dengan prekallikrein terikat dan faktor XI) pada permukaan pembuluh darah yang cedera
akan memulai koagulasi dalam jalur istriksik. Karena mekanisme umpat balik, kallikrein (diaktifkan faktor
flechter) memotong sebagian aktivitas molekul XIIa untuk menghasilkan bentuk yang lebih kinetik efektif
XIIa.
· Faktor XII (fibrin- stabilizing faktor, faktor penstabilisasi fibrin). Faktor ini bersama kalsium
terionisasi menghasilkan bekuan fibrin yang stabil.

Jalur ekstinsik koagulasi. Merupakan jalur ekstinsik yang diperkarsai oleh masuknya tromboplastin
jaringan ke dalam sirkulasi darah. Tromboplastin jaringan berasal dari fosfolipoprotein dan membran
organel dari sel-sel jaringan yang terganggi. Fosfolipid trombosit tidak diperlukan untuk aktivasi pada
jalur ekstrinsik karena faktoe jaringan mempunyai pasokan fosfolipid sendiri. Faktor VII akan mengikat
fosfolipid dalam membaran sel dan jaringan membentuk faktor VIIa, yang merupakan enzim kuat yang
mempunyai mengaktifkan faktor VII jaringan adalah kompleks dan tampaknya sebagai besar terganggu
pada konsentrasi tromboplastin jaringan. Faktor VII hanya berperan dalan jakur ekstrinsik. Langkah
terakhir adalah konversi fibrinogen manjadi fibrin oleh trombin. (Rukman Kiswari, 2014)

Jalur intrinsik koagulasi. Jalur intrinsik melibatkan aktivasi faktor kontak prekallikrein, HMWK, faktor XII,
dan faktor XI, faktor- faktor ini berinteraksi pada permukaan untk mengaktifkan faktor XI menjadi Ixa.
Faktor Ixa bereaksi dengan faktor VIII, PF3, dan kalsium untuk mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa.
Bersama faktor V, faktor Xa mengaktifkan protrombin (faktor II) menjadi trombin, yang selanjutnya
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Kolagen terpapar karena cedera pembuluh darah sangat
mempengaruhi keceptan reaksi. (Rukman Kiswari, 2014)

Jalur bersama. Stelah faktor X diaktikan menjadi Xa, jalur ekstrinsik dan intrinsik memasuki jalur
bersama. Faktor II (protrombin), diaktifakan menjadi trombin (faktor Iia), yang biasanya beredar dalam
darah sebagai faktor yang aktif. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan peptidak dalam jaringan fibrin
terpolimerisasi. Reaksi silang ini memnetuk finrin yang lebih elastis dan kurang rentan terhadap liis oleh
agen fibrinolitik. Finrin membentuk penutup yang longgar di daerah luka yang akan memperkuat sumbat
trombosit dan menutup lka. Setelah dalam waktu yang singkat, gumpalan mulai menjadi lebih kecil dan
lebih padat. (Rukman Kiswari, 2014)

Pembentukan fibrin. Pembekuan adalah hasil nyata dari konversi fibrinogen plasma menjadi bekuan
fibrin yang stabil. Trombin memiliki peran uatama dalam mengkonversi faktoer XIII menjadi XIIIa dan
dalam mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan fibrin terjadi dalam tiga tahap, yaitu
prtoteolisis, polimerisasi, dan stabilisai, awalnya trombin, enzim protease, akan menghasilkan finrin
monomer, fibrinopepetida A, dan fibrinopeptida fragmen B. Pada langkah kedua, fibrin monomer
berpolimerisasi secara spontan. Akhirnya, fibrin nomomer dihubungkan secara kovalen oleh faktor XIIIa
menjadi fibrin polimer.(Rukman Kiswari, 2014)

PEMBAHASAN

Bleeding time (waktu perdarahan) adalah uji laboratorium untuk menentukan lamanya tubuh
menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur
hemostasis dan koagulasi. Masa perdarahan tergantung dari ketepatgunaan cairan jaringan dalam
memacu koagulasi, fungsi pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama mengenai
trombosit, yaitu jumlah dan kemampuan untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk
agregasi (Juliantisilaen, 2014).
Bleeding Time (waktu perdarahan) merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengetahui jalur
koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. Pemeriksaan ini telah dilakukan beberapa dekade dengan
menggunakan metode Duke. Ivy et al dan Mielke et al melakukan modifikasi metode pemeriksaan waktu
perdarahan dan banyak digunakan pertengahan tahun 1980-an. Pemeriksaan Bleeding Time (waktu
perdarahan) tidak boleh dilakukan apabila penderita sedang mengkonsumsi antikoagulan atau anti nyeri
aspirin, karena dapat menyebabkan waktu perdarahan memanjang. Pengobatan harus ditunda selama 3-
7 hari atau jika memungkinkan pasien diberitahu agar tidak mengkonsumsi aspirin atau obat penghilang
rasa nyeri tanpa resep selama 5 hari sebelum pemeriksaan (Riswanto, 2013) Pemeriksaan Bleeding Time
(waktu perdarahan) terdapat dua metode yaitu Ivy dan Duke.

Metode duke dinilai kurang teliti dan kurang akurat, sehingga dilakukan perbaikan berdasarkan metode
Ivy.Agar pemeriksaan terstandarisasi maka dilakukan penyamaan tekanan pembuluh darah dengan
menggunakan sfigmomanometer pada tekanan 40 mmHg. Tusukan dilakukan pada lengan bagian bawah
menggunakan lanset (Nugraha, Gilang, 2015). Metode Duke kurang memberatkan pada mekanisme
hemostasis karena tidak diadakan pembendungan. Namun metode Duke sebaiknya hanya dipakai pada
bayi dan anak kecil saja, karena pembendungan menggunakan figmomanometer pada lengan atas tidak
mungkin atau susah dilakukan (R.Gandasoebrata, 2010).

Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) lebih baik dengan menggunakan metode Ivy, karena
dilakukan pada 8 permukaan volar lengan bawah yang mudah diakses, memiliki pasokan darah
superfisial yang relatif seragam, kurang peka terhadap nyeri, dan mudah terpengaruh oleh peningkatan
ringan tekanan hidrastatik (Riswanto, 2013).

Dari praktikum yang dilakukan diperoleh hasil pemeriksaan Bleeding time atau masa perdarahan
pasien : Metode Duke : Izza Tanasa = 1menit 50 detik, Niar Patandun = 1 menit 11 detik, Wa Ode Jumiati
= 2 menit 30 detik , St. Nurhidaya = 1 menit 21 detik, Ryan Ayuni = 1 menit 2 detik, Zumaira Abbas = 2
menit 30 detik , Elma Wahyuni = 1 menit. Metode Ivy : Izza Tanasa = 1 menit 27 detik, Niar Patandun = 1
menit, Wa Ode Jumiati = 1 menit 31 detik, St. Nurhidaya = 1 menit 12 detik, Ryan Ayuni = 1 menit,
Zumairah Abbas = 2 menit 1 detik, Elma Wahyuni = 1 menit 40 detik Dengan demikian bahwa hasil
pemeriksaan pasien masih dalam keadaan normal dimana nilai rujukan untuk masa perdarahan metode
DUKE adalah 1 – 3 menit dan metode IVY adalah 1 – 7 menit.

BAB V

KESIMPULAN

Dari praktikum yang dilakukan diperoleh hasil pemeriksaan Bleeding time atau masa perdarahan
pasien :

· Metode Duke

Izza Tanasa = 1menit 50 detik

Niar Patandun = 1 menit 11 detik


Wa Ode Jumiati = 2 menit 30 detik

St. Nurhidaya = 1 menit 21 detik

Ryan Ayuni = 1 menit 2 detik

Zumaira Abbas = 2 menit 30 detik

Elma Wahyuni = 1 menit

· Metode Ivy

Izza Tanasa = 1 menit 27 detik

Niar Patandun = 1 menit

Wa Ode Jumiati = 1 menit 31 detik

St. Nurhidaya = 1 menit 12 detik

Ryan Ayuni = 1 menit

Zumairah Abbas = 2 menit 1 detik

Elma Wahyuni = 1 menit 40 detik

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan pasien masih dalam keadaan normal
dimana nilai rujukan untuk masa perdarahan metode DUKE adalah 1 – 3 menit dan metode IVY adalah 1
– 7 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Juliantisilaen. (2014). Waktu Perdarahan [internet]. Tersedia dalam


http://www.slideshare.net/juliantisilaen/waktu-perdarahan [diakses 28 Mei 2014].

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi
Intensif (PERDATIN). (2011). Jurnal Anestesiologi Indonesia. Jawa Tengah : Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN).
Nugraha Gilang. (2015). PanduanPemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar. Jakarta Timur : CV. Trans
Info Media.

R.Gandasoebrata. (2010). Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat.

Riswanto. (2013). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Yogyakarta : Alfamedia & Kanal Medika.

Dr. Rukman Kiswari, Hematologi & Transfusi,(Jakarta: Erlangga, 2014)

Plasma

Darah disusun oleh 2 komponen, yaitu plasma darah dan sel-sel darah.Plasma darah termasuk dalam
kesatuan cairan ekstraseluler dengan volume ±5% dari berat badan. Apabila sejumlah volume darah
ditambah dengan zat pencegah anti pembekuan darah secukupnya kemudian diputar selama 20 menit
dengan kecepatan 3000rpm maka cairan yang terdapat pada bagian atas disebut plasma. Plasma darah
mengandung fibrinogen. Oleh karena itu dalam memperoleh plasma, darah dicampur dengan
antikoagulan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah ( Depkes RI,1989).

Sitrat merupakan antikoagulan yang langsung mengikat Ca, sehingga digunakan untuk pemeriksaan
waktu rekalsifikasi. Plasma yang diabsorpsi dengan barium sulfat mengandung fibrinogen, faktor V, VIII,
XI, XII, XIII.Plasma ini tidak dapat membeku karena tidak mengandung protrombin, factor X dan faktor VII
yang diperlukan untuk aktivasi intrinsik. Faktor XI dan XII stabil dalam plasma simpan, tidak diabsorpsi
oleh barium dan tidak habis oleh proses pembekuan (Frances K.Widmann,1995).

C. Pembekuan Darah

Pembekuan darah memerlukan sistem penguatan biologis dimana relatif sedikit zat pemula secara
beruntun mengaktifkan, dengan proteolisis,reaksi protein prekursor yang beredar ( enzim-enzim faktor
pembekuan ) yang memuncak pada pembentukan trombin, selanjutnya mengkonversi fibrinogen plasma
yang larut menjadi fibrin. Fibrin menjaring agregat trombosit pada tempat luka vaskular dan mengubah
sumbatan trombosit primer yang tidak stabil menjadi sumbatan haemostasis yang kuat, utuh, dan
stabil(Hoffbrand,A.V.,1987).

Kerja reaksi enzim ini membutuhkan pemekatan setempat factor-faktor pembekuan yang beredar pada
tempat luka.Reaksi melalui permukaan terjadi pada kolagen yang telah terpapar, faktor III dan faktor
jaringan. Dengan pengecualian fibrinogen yang merupakan sub unit bekuan fibrin,faktor-faktor
pembekuan adalah prekursor enzim maupun kofaktor, yaitu kemampuan menghidrolisa ikatan peptide
tergantung pada asam amino serin pada inti aktifnya (Hoffbrand,A.V.,1987).

PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukan pemeriksaan clotting time yaitu pemeriksaan yang bertujuan untuk
menentukan lama waktu/masa pembekuan darah.Hal tersebut menunjukkan seberapa baik keping darah
(trombosit) berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk pembekuan darah.Terdapat
3 metode yang dapat digunakan untuk mengukur masa pembekuan darah, diantaranya metode tabung
(Lee White),metode slide dan metode kapiler.

Dari ketiga metode tersebut, metode slide paling jarang digunakan.Sedangkan metode kapiler biasanya
digunakan untuk pemeriksaan pada pasien bayi sebab pada pasien bayi tidak mungkin mengambil
sampel darah dalam volume yang banyak. Nilai normal masa pembekuan darah dengan metode kapiler
ialah setengah dari nilai normal metode tabung yaitu 2-6 menit.Pemeriksaan masa pembekuan darah ini
merupakan salah satu tes penyaring dalam pemeriksaan faal hemostasis.Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mencari riwayat perdarahan abnormal,mencari kelainan yang mengganggu faal hemostatis,riwayat
pemakaian obat serta riwayat perdarahan dalam keluarga.Pemeriksaan faal hemostatis sangat penting
dalam mendiagnosis diatesis hemoragik.

Cloothing time adalah waktu yg dibutuhkan bagi darah untuk membekukan dirinya secara in vitro
dengan menggunakan suatu standart yang dinamakan Cloothing Time. Clot adalah suatu lapisan seperti
lilin/jelly yang ada di darah yg menyebabkan berhentinya suatu pendarahan pada luka yang dipengaruhi
oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.Pemeriksaan cloothing time pada praktikum ini menggunakan metode
Lee White,dimana prinsipnya yakni waktu pembekuan diukur sejak darah keluar dari pembuluh sampai
terjadi suatu bekuan dalam kondisi yang spesifik.Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah
sampel darah segar.Waktu pembekuan Lee-White menggunakan tiga tabung yang diinkubasi pada suhu
ruang, masing-masing berisi 1 ml darah lengkap. Tabung-tabung ini secara hati-hati dimiringkan setiap 30
detik untuk meningkatkan kontak antara darah dan permukaan kaca.Berikut adalah 13 Faktor
Pembekuan darah :

1. Fibrinogen : sebuah faktor koagulasi yang tinggi berat molekul protein plasma dan diubah menjadi
fibrin melalui aksi thrombin.Kekurangan faktor ini menyebabkan,masalah pembekuan darah afibrinogen
emiaatauhypo fibrinogenemia.

2. Prothrombin : sebuah faktor koagulasi yang merupakan protein plasma dan diubah menjadi bentuk
aktif thrombin (factor IIa) oleh pembelahan dengan mengaktifkan faktor X (Xa) dijalur umum dari
pembekuan.Fibrinogen thrombin kemudian memotong ke bentuk aktif tibrin.Kekurangan faktor
menyebabkan hypoprothrombinemia.

3. Tromboplastin : koagulasi faktor yang berasal dari beberapa sumber yang berbeda dalam
tubuh,seperti otak dan paru-paru;jaringan tromboplastin penting dalam pembentukan prothrombin
ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di jalur koagulasi ekstrinsik. Disebut juga faktor jaringan.

4. Kalsium : sebuah faktor koagulasi diperlukan dalam berbagai fase pembekuan darah.

5. Proaccelerin : sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan panas yang hadir dalam
plasma tetapi tidak dalam serum dan fungsi baik di intrinsik dan ekstrinsik koagulasi jalur.Proaccelerin
mengkatalisis pembelahan prothombin thrombin yang aktif.Kekurangan faktor ini, sifat resesif
autosomal,mengarah pada kecendrungan berdarah yang langka yang disebut parahemofilia,dengan
berbagai derajat keparahan. Disebut juga akselerator globulin.

6. Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu bentuk aktif faktor V, tetapi tidak lagi dianggap
dalam skema hemostasis.

7. Proconvertin :sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relative stabil dan panas dan
berpartisipasi dalam jalur koagulasi ekstrinsik.Hal ini diaktifkan oleh kontak dengan kalsium, dan
bersama dengan mengaktifkan faktor III itu faktor X. defisiensi faktor proconvertin, yang mungkin
herediter (autosomal resesif) atau di peroleh (yang berhubungan dengan kekurangan vitamin K), hasil
dalam kecendrungan perdarahan. Disebut juga serum prothrombin konversi faktor akselerator dan stabil.

8. Antihemofilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatief labil dan berpartisipasi
dalam jalur intrinsik dari koagulasi, bertindak (dalam konser dengan faktor von Willebrand) sebagai
kofaktor dalam aktivasi faktor 10. defisiensi, sebuah resesif terkait-10 sifat, penyebab hemophilia A.
disebut juga antihemophilic globulin dan faktor antihemophilic A.

9. Tromboplastin plasma komponen, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relative stabil dan
terlibat dalam jalur intrinsic dari pembekuan.Setelah aktivasi, diaktifkan defisiensi faktor 10. hasil di
hemophilia B.disebut juga faktor natal dan faktor antihemophilic B.

10. Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relative stabil dan berpartisipasi dalam
baik intrinsic dan ekstrinsik jalur koagulasi, menyatukan mereka untuk memulai jalur umum dari
pembekuan.Setelah diaktifkan membentuk kompleks dengan kalsium, fosfolipid dan faktor 7 yang
disebut prothrombinase hal ini dapat membelah dan mengaktifkan prothrombin untuk
thrombin.Kekurangan faktor ini dapat menyebabkan gangguan koagulasi sistemik.Disebut juga power
stuart-faktor. Bentuk yang diaktifkan disebut juga thrombokinase.

11. Tromboplastin plasma yang diatas, faktor koagulasi yang stabil yang terlibat dalam jalur intrinsic dari
koagulasi sekali diaktifkan itu mengaktifkan faktor 9. Lihat juga kekurangan 11. Disebut juga faktor
antihemophilic.

12. Hagamen faktor; faktor koagulasi yang stabil diaktifkan oleh kontrak dengan kaca atau permukaan
asing lainnya dan memulai jalur intrinsic dari koagulasi dengan mengaktifkan faktor 11. Kekurangan
faktor ini menghasilkan kecendrungan thrombosis.

13. Fibrin-faktor yang menstabilkan,sebuah faktor koagulasi yang merubah fibrin monomer untuk
polimer sehingga mereka menjadi stabil dan tidak larut dalam urea, fibrin yang memungkinkan untuk
membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor ini memberikan kecendrungan seseorang
hemorrhagic. Disebut juga fibrinase dan protransgultaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut
transglutaminase.

Dalam praktikum yang telah kami lakukan,kami menggunakan dua sampel darah dari dua pasien yang
berbeda dan kami pun menerapkan metode yang berbeda pada kedua sampel ini.Untuk sampel dengan
metode Lee and white didapatkan hasil nilai clotting timenya adalah 15 menit setelah dibulatkan 0,5
menit.Sedangkan untuk sampel yang menggunakan metode slide didapatkan hasil nilai clotting timenya
adalah 9 menit 36 detik.Dari kedua hasil yang diperoleh,nilai clotting time kedua pasien ini masih normal
bila dilihat dari nilai rujukan yang berkisar 9-15 menit untuk metode Lee and white dan 2-6 menit.

BAB V

KESIMPULAN

Cloothing Time adalah waktu yang di perlukan darah untuk membeku atau waktu yang di perlukan saat
pengambilan darah sampai saat terjadinya pembekuan.Komponen penyusun darah ada 2 yaitu bagian
yaitu :

a. Plasma darah, mempunyai fungsi pengangkut gas dan sari makanan disamping itu plasma darah
juga, mengandung fibrinogen yang berfungsi dalam pembekuan darah.

b. Sel darah, adalah merupakan 45 % volume darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit).

Hasil dari nilai clotiing time adalah normal yaitu 15 menit dengan menggunakan metode Lee and White
dan 9 menit 36 detik dengan menggunakan metode slide.

Mikologi

Tujuan : Mahasiswa mampu untuk melakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan jamur khususnya
jamur kulit, kuku dan rambut.

G. Dasar Teori

Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah dermatofita (dermatophyte,
bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican, yang menyebabkan
terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat
menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa
tetap berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).1
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas, oleh
karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke
dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah
dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku
yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan
jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi
dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih
banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat
makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.

Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena negara kita
beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang
disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi
dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan
dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi laboratorik.
Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk
mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru.
Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen
penyebab. Prevalensi di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari
pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan pekerja penebang kayu
di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis menderita dermatitis kontak utama Wijaya
(1972) menemukan 23,75% dan pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis
akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan
bahwa 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari data sekunder
ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang cukup tinggi,
walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang
tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari
persentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta)
dari seluruh kasus dermatomikosis.3

Mikosis Superfisialis
Mikosis superfisialis adalah penyakit infeksi mukokutaneus yang paling banyak

dijumpai, disebabkan oleh infeksi jamur dengan kedalaman infeksi 1-2 mm. Penyakit ini timbul akibat
perubahan lingkungan mikro di kulit, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu dermatofitosis dan
nondermatofitosis (Budimulja, 2002; Wolff, 2005; Odom dkk, 2000).

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk (keratin), misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita
(Budimulja, 2002). Terdiri atas:

a. Tinea kapitis

Tinea kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala berambut yang disebabkan oleh jamur golongan
dermatofita.

b. Tinea korporis

Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (glaborous skin) di daerah muka, badan,
lengan dan glutea.

c. Tinea kruris

Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia, dan sekitar anus,
yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.

d. Tinea pedis et manum

Tinea pedis et manum adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit
telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital.

e. Tinea unguium

Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita.

f. Tinea imbrikata
Tinea imbrikata adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yang memberikan
gambaran khas berupa kulit bersisik dengan sisik yang melingkar-lingkar dan terasa gatal.

g. Tinea barbae

Tinea barbae adalah infeksi jamur golongan dermatofitosis yang mengenai daerah jenggot, jambang dan
kumis.

Alat dan Bahan

Alat :

- Mikroskop

- Kapas

- Pipet Tetes

- Scapel

- Petridish

- Obyek Glass

- Cover Glass

Bahan :

- KOH 10 %

- KOH 10 %

- Alkohol

I. Langkah Kerja :

1. Kulit

- Kulit yang akan diambil sampelnya dibersihkan dengan kapas alkohol 70% untuk menghilangkan
lemak, debu dan kotoran lainnya.

- Bagian yang aktif dan didapati jamur di kerok dengan skalpel dengan arah dari atas kebawah.
- Objek glass yang telah ditetesi KOH 10% 1-2 tetes diletakkan dibawah bagian yang dikerok (untuk
melisiskan keratin)

- Bahan diambil dan dipilih dari bagian lesi yang aktif, yaitu daerah pinggir terlebih dahulu. Dikerok
dengan skapel sehingga memperoleh skuama yang cukup.

- Lalu tutup dengan cover glass.

- Letakkan di atas kapas beralkohol di petridisc, kemudian dibawa ke lab

- Untuk pemeriksaan, fiksasi sebanyak 3x kemudian periksa dibawah mikroskop perbesaran 10x –
40x.

2. Rambut

- Rambut yang dipilih adalah rambut yang terputus-putus atau rambut yang warnanya tidak
mengkilap lagi.

- Objek glass tetesi dengan KOH 20%

- Ambil sehelai rambut, potong dengan gunting

- Letakkan di objek glass, tutup dengan cover glass

- Letakkan di atas kapas beralkohol di petridisc, kemudian dibawa ke lab

- Untuk pemeriksaan, fiksasi sebanyak 3x kemudian periksa dibawah mikroskop perbesaran 10x –
40x

3. Kuku

- Bahan yang diambil adalah masa detritus dari bawah kuku yang sudah rusak atau dari bahan
kukunya sendiri.

- Kuku dibersihkan dengan alkohol 70%.

- Kemudian kuku di kerok menggunakan skapel dan taruh pada objek glass kemudian tuangi dengan
KOH 20-40% 1-2 tetes dan tutup dengan cover glass.

- Simpan di petridisc yang telah ada kapas beralkohol untuk diperiksa di lab

- Fiksasi sebanyak 3x kemudian periksa dibawah mikroskop perbesaran 10x – 40x dan dilihat
dibawah mikroskop perbesaran 10x. Dan yang dicari adalah hifa dan sporanya.

J. Hasil Pengamatan
· Kulit

Nama : Bu Ani

Hasil : Positif, terdapat hifa jamur

· Rambut

Nama : Bu Nini

Hasil : Negatif

· Kuku

Nama : Bu Yati

Hasil : Positif, terdapat senositif hifa tetapi tidak membentuk anyaman

K. Kesimpulan

Jamur merupakan salah satu mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia. Hal ini dapat
diakibatkan oleh beberapa faktor. Jamu yang paling ditemukan di Indonesia adalah jamur kulit, kuku dan
rambut. Dalam penelitian yang telah kami lakukan, jamur positif terdapat pada kuku dan kulit. Jamur
yang didapat adalah hifa hifa jamur. Sedangkan pada rambut dalam penelitian yang kami lakukan tidak
mendapatkan hasil negative. Untuk menghindari terjadinya jamur jamur tersebut dapat dilakukan
dengan perilaku hidup bersih, hidup di lingkungan yang bersih, menerapkan pola hidup sehat dan
memiliki kekebalan imun yang cukup.

Daftar Pustaka

Aini, nia. 2010. http://niaaini.blogspot.com/2010/07/mikosis-superfisialis.html diakses 10 Juni 2013

Education, 2009 http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/03/penyakit-dermatofitosis.html diakses 10


Juni 2013

Kimklin

Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Tes toleransi glukosa oral/TTGO (oral glucose tolerance test, OGTT) dilakukan pada kasus hiperglikemia
yang tidak jelas; glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau glukosa puasa antara 110-126 mg/dl, atau bila ada
glukosuria yang tidak jelas sebabnya. Uji ini dapat diindikasikan pada penderita yang gemuk dengan
riwayat keluarga diabetes mellitus; pada penderita penyakit vaskular, atau neurologik, atau infeksi yang
tidak jelas sebabnya.

TTGO juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada kehamilan (diabetes gestasional). Banyak di antara
ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan gejala, tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa
pada waktu hamil. Penting untuk menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa pada waktu hamil yang
menunjukkan glukosuria berulangkali, dan juga pada wanita hamil dengan riwayat keluarga diabetes,
riwayat meninggalnya janin pada kehamilan, atau riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg.
Skrining diabetes hamil sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan antara 26-32 minggu. Pada mereka
dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining lebih awal.

Prosedur

Selama 3 hari sebelum tes dilakukan penderita harus mengkonsumsi sekitar 150 gram karbohidrat setiap
hari. Terapi obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium harus dihentikan hingga tes dilaksanakan.
Beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium adalah insulin, kortikosteroid
(kortison), kontrasepsi oral, estrogen, anticonvulsant, diuretik, tiazid, salisilat, asam askorbat. Selain itu
penderita juga tidak boleh minum alkohol.

Kekurangan karbohidrat, tidak ada aktifitas atau tirah baring dapat mengganggu toleransi glukosa.
Karena itu TTGO tidak boleh dilakukan pada penderita yang sedang sakit, sedang dirawat baring atau
yang tidak boleh turun dari tempat tidur, atau orang yang dengan diit yang tidak mencukupi.

Protokol urutan pengambilan darah berbeda-beda; kebanyakan pengambilan darah setelah puasa, dan
setelah 1 dan 2 jam. Ada beberapa yang mengambil darah jam ke-3, sedangkan yang lainnya lagi
mengambil darah pada ½ jam dan 1½ jam setelah pemberian glukosa. Yang akan diuraikan di sini adalah
pengambilan darah pada waktu ½ jam, 1 jam, 1½ jam, dan 2 jam.

Sebelum dilakukan tes, penderita harus berpuasa selama 12 jam. Pengambilan sampel darah dilakukan
sebagai berikut :
Pagi hari setelah puasa, penderita diambil darah vena 3-5 ml untuk uji glukosa darah puasa. Penderita
mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya.

Penderita diberikan minum glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam segelas air (250ml). Lebih baik jika
dibumbui dengan perasa, misalnya dengan limun.

Pada waktu ½ jam, 1 jam, 1½ jam, dan 2 jam, penderita diambil darah untuk pemeriksaan glukosa. Pada
waktu 1 jam dan 2 jam penderita mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel
urinenya secara terpisah.

Selama TTGO dilakukan, penderita tidak boleh minum kopi, teh, makan permen, merokok, berjalan-jalan,
atau melakukan aktifitas fisik yang berat. Minum air putih yang tidak mengandung gula masih
diperkenankan.

Nilai Rujukan

Puasa : 70 – 110 mg/dl (3.9 – 6.1 mmol/L)

½ jam : 110 – 170 mg/dl (6.1 – 9.4 mmol/L)

1 jam : 120 – 170 mg/dl (6.7 – 9.4 mmol/L)

1½ jam : 100 – 140 mg/dl (5.6 – 7.8 mmol/L)

2 jam : 70 – 120 mg/dl (3.9 – 6.7 mmol/L)

Interpretasi

Toleransi glukosa normal

Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa darah meningkat dan mencapai puncaknya pada waktu 1 jam,
kemudian turun ke kadar 2 jam yang besarnya di bawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L). Tidak ada glukosuria.

Gambaran yang diberikan di sini adalah untuk darah vena. Jika digunakan darah kapiler, kadar puasa
lebih tinggi 5.4 mg/dl (0.3 mmol/L), kadar puncak lebih tinggi 19.8 – 30.6 mg/dl (1.1 – 1.7 mmol/L), dan
kadar 2 jam lebih tinggi 10.8 – 19.8 mg/dl (0.6 – 1.1 mmol/L). Untuk plasma vena kadar ini lebih tinggi
sekitar 18 mg/dl (1 mmol/L).
Toleransi glukosa melemah

Pada toleransi glukosa yang melemah, kurva glukosa darah terlihat meningkat dan memanjang. Pada
diabetes mellitus, kadar glukosa darah di atas 126 mg/dl (7.0 mmol/L); jika tak begitu meningkat,
diabetes bisa didiagnosis bila kadar antara dan kadar 2 jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Toleransi
glukosa melemah ringan (tak sebanyak diabetes) jika kadar glukosa puasa dibawah 126 mg/dl (7.0
mmol/L), kadar antara di bawah 180 mg/dl (10 mmol/L), dan kadar 2 jam antara 126-180 mg/dl (7.0-10.0
mmol/L). Terdapat glukosuria, walaupun tak selalu ada dalam sampel puasa.

Pada diabetes gestasional, glukosa puasa normal, glukosa 1 jam 165 mg/dl (9.2 mmol/L), dan glukosa 2
jam 145 mg/dl (8.0 mmol/L).

Pada banyak kasus diabetes, tidak ada puncak 1 jam karena kadar glukosa darah meningkat pada
keseluruhan waktu tes. Kurva diabetik dari jenis yang sama dijumpai pada penyakit Cushing yang berat.

Toleransi glukosa yang lemah didapatkan pada obesitas (kegemukan), kehamilan lanjut (atau karena
kontrasepsi hormonal), infeksi yang berat (terutama staphylococci, sindrom Cushing, sindrom Conn,
akromegali, tirotoksikosis, kerusakan hepar yang luas, keracunan menahun, penyakit ginjal kronik, pada
usia lanjut, dan pada diabetes mellitus yang ringan atau baru mulai.

Tes toleransi glukosa yang ditambah dengan steroid dapat membantu mendeteksi diabetes yang baru
mulai. Pada pagi dini sebelum TTGO dilaksanakan, penderita diberikan 100 mg kortison, maka glukosa
darah pada 2 jam bisa meningkat di atas 138.8 mg/dl (7.7 mmol/L) pada orang-orang yang memiliki
potensi menderita diabetes.

Penyimpanan glukosa yang lambat

Kadar glukosa darah puasa normal. Terdapat peningkatan glukosa darah yang curam. Kadar puncak
dijumpai pada waktu ½ jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Kemudian kadar menurun tajam dan
tingkatan hipoglikemia dicapai sebelum waktu 2 jam. Terdapat kelambatan dalam memulai homeostasis
normal, terutama penyimpanan glukosa sebagai glikogen. Biasanya ditemukan glukosuria transien.

Kurva seperti ini dijumpai pada penyakit hepar tertentu yang berat dan kadang-kadang para
tirotoksikosis, tetapi lebih lazim terlihat karena absorbsi yang cepat setelah gastrektomi,
gastroenterostomi, atau vagotomi. Kadang-kadang dapat dijumpai pada orang yang normal.

Toleransi glukosa meningkat

Kadar glukosa puasa normal atau rendah, dan pada keseluruhan waktu tes kadarnya tidak bervariasi
lebih dari ± 180 mg/dl (1.0 mmol/L). Kurva ini bisa terlihat pada penderita miksedema (yang mengurangi
absorbsi karbohidrat) atau yang menderita antagonis insulin seperti pada penyakit Addison dan
hipopituarisme. Tidak ada glukosuria. Kurva yang rata juga sering dijumpai pada penyakit seliak. Pada
glukosuria renal, kurva toleransi glukosa bisa rata atau ormal tergantung pada kecepatan hilangnya
glukosa melalui urine.
Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil laboratorium

Penggunaan obat-obatan tertentu

Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas dapat meningkatkan kadar
glukosa darah.

Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik dapat
menurunkan kadar glukosa darah.

Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi insulin menurun karena proses
penuaan.

Anda mungkin juga menyukai